Archand dan Diandra memasuki lorong rumah sakit, saat Archand sibuk menelusuri koridor rumah sakit, gadis itu menghentikan langkahnya ke meja perawat. Dia bertanya di manakah Revan di rawat? Archand segera menghentikan pencariannya dan menghampiri gadis yang sedang berdiri di meja perawat. Setelah mendapatkan informasi dari perawat Archand dan Diandra melangkah menuju ruang VIP yang berada sepuluh langkah dari tempat mereka berdiri. Kamar nomor dua setelah meja perawat, gadis itu segera membuka kamar VIP yang berada paling ujung dari meja perawat.
“Selamat sore, Revan.” sapa Diandra yang masih berdiri di depan pintu.
“Ya, selamat sore, Diandra. Silahkan masuk, jangan hanya berdiri di sana! Kamu bersama siapa di luar?” tanya Revan kesal, karena dari jauh Revan sudah melihat keberadaan Archand adik semata wayangnya. Revan merasa cemburu dengan keberadaan pria itu.
“Baiklah, Revan.” sahut Diandra seraya menundukkan kepalanya, gadis itu masukan ke kamarnya dan langkahnya di susul oleh Archand.
Sontak gadis berparas itu kaget, saat melihat wajah wanita paruh baya yang duduk di samping Revan. Gadis itu meraih punggung tangan wanita itu dan menciumnya, sungguh membuat wanita paruh baya yang bernama Renata itu kagum kepada sikapnya, menurut Renata gadis seperti itu sangat langka pada zaman kini.
“Subhanallah, gadis ini benar-benar sangat sopan.” Renata bermonolog.
Renata tersenyum menatap gadis itu, senyuman yang sama seperti yang terukir di bibirnya saat pertemuan beberapa jam yang lalu. Renata membelai rambut gadis itu dengan penuh kelembutan, wanita paruh baya itu sangat bahagia melihat gadis itu, karena gadis seperti Diandra sangat langka pada zaman kini.
Melihat perlakuan Renata terhadap Diandra membuat Revan jadi tertegun, tidak biasanya sang mama memperlakukan orang baru seperti itu. Menurut Revan, sang mama seperti terlihat dekat dengan Diandra, padahal mereka baru saja bertemu dan berkenalan. Tapi hal tersebut membuat Revan bahagia, karena suatu saat nanti Revan berharap Diandra akan menjadi bagian keluarga besar Aldhinara Sanjaya.“Kamu pasti sangat lelah sekali, Nak. Sebaiknya kamu duduk dulu istirahat bersama mama ya, sini duduk sama mama.” Renata menarik tubuh gadis itu acara duduk bersamanya di sebuah kursi panjang, membuat Revan dan Archand saling menatap satu sama lain.
“What, tidak biasanya mama seperti ini dengan orang baru. Kemarin saja waktu kak Revan mengenalkan mantan kekasihnya repsonnya pedas banget.” Archand bermonolog, dan menatap heran kepada sang mama. Pertanyaan demi pertanyaan telah mengelabui pikirannya kala itu, sama seperti apa yang sedang di pikirkan Revan.
Tiba-tiba cacing di perut Revan berubunyi, menandakan bahwa Revan sedang lapar. Suara perutnya terdengar hingga ke telinga gadis itu, seketika Diandra menoleh ke arahnya. Revan berusaha menyembunyikan rasa malunya dengan menyuruh gadis itu untuk membelikan makanan untuknya. Revan memasang wajah nanar dan memberikan beberapa lembar uang kepada gadis itu. Lalu menyuruh gadis itu untuk segera pergi, dengan sigap gadis itu segera pergi menuju kantin di lantai dasar.
Begitu gadis itu sudah melangkah keluar pintu, akhirnya Revan dapat bernafas dengan lega. Dia merasa sangat malu dengan gadis cantik itu, sang adik hanya menggeleng heran melihat perlakuan sang kakak yang menurutnya keterlaluan. Begitu juga dengan Renata, wanita yang sedang duduk di kursi panjang yang berada tak jauh dari brankarnya. Renata sangat marah sekali, karena putra sulungnya memperlakuka Diandra seperti anak kecil.
“Mengapa Diandra harus menampung sikap egoismu, Revan?” tukas sang mama, dia menatap putra sulungnya itu dengan tatapan gusar. Renata sangat kecewa karena putranya telah memperlakukan Diandra seperti anak kecil.
“Kenapa, Ma? Dia kan sekretaris aku, bawahan aku, Ma.” sahut Revan lirih, wajahnya sedikit ketakutan ketika melihat respon Renata kala itu. Revan menelan salivanya dan tak berani menatap wanita paruh baya itu. Revan tak mengerti kenapa Renata mendadak baik kepada orang baru. Kedua putranya merasa heran mengapa Renata sangat menyayangi Diandra padahal dia tidak pernah menyukai gadis manapun yang berhubungan dengan kedua putranya itu, terutama Revan yang merupakan putra kesayangannya.
“Tidak pantas rasanya seorang pria memperlakukan seroang wanita seperti itu! Jika nanti Diandra kembali, mama pengen dengar kamu minta maaf sama gadis itu, kalau bukan karena gadis itu mama tidak akan tahu kalau kamu terbaring di rumah sakit ini, Revan! Mama akan tunggu sampai gadis itu kembali!” tegas Renata.
“Ta-tapi, Ma.” perkataan Revan terpotong.
“Shutttt ... Mama tidak mau dengar alasan apapun, pokoknya kamu harus minta maaf sama Diandra. Buka mata kamu, zaman sekarang jarang loh, menemukan gadis yang sopan seperti dia. Mama tidak pernah mendidikmu untuk bersikap seperti ini, Revan.” sahut sang mama yang menekan volume suaranya.
“Oke, Ma. Revan akan minta maaf ke Diandra, dan Revan janji gak akan mengulanginya lagi. Revan akan memperlakukan Diandra dengan baik, seperti Archand yang sudah memperlakukan Diandra dengan baik.” sahut Revan dengan suara berat.
“Ya, memang seharusnya seperti itu.” sahut Renata.
Archand hanya tersenyum saat melihat ekspresi wajah Revan ketika sang mama sedang memarahinya, pria itu mencoba membuang pandangannya agar dapat melampiaskan tawanya. Archand takut ketahuan jika dirinya sedang menertawai sang kakak yang terlihat ketakutan saat sang mama menggerutu terhadapnya.
“Rasain tuh, emangnya enak di marahin mama? Siapa suruh memperlakukan mantan kekasihku seperti anak kecil.” Archand bermonolog, dan menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya. Archand berusaha tertawa sepuasnya di dalam kedua tangannya.
Tanpa dia sadari, sang kakak sedang memperhatikan tingkahnya kala itu. Revan memimpin sang adik dengan tutup botol yang berada di atas meja kecil yang terletak di samping brankar. Rasanya sangat kesal sekali jika ada yang menertawakan dirinya kala itu. Bukannya marah, sang adik justru memeletkan lidahnya. Dia sangat puas karena Revan sudah mendapatkan teguran dari sang mama. Archand hanya bisa berharap sang kakak akan segera sadar dan membuang sikap egoisnya itu, karena dia tak tega jika nanti mantan kekasihnya terus saja di perlakukan kasar oleh kakaknya.
“Kamu kenapa, Can?” tanya Revan.
“Aku tidak apa-apa, hanya saja ...” Archand menggantungkan ucapannya dan tak berani untuk meneruskan, pria itu memeletkan lidahnya menghampiri pintu keluar. Archand berniat untuk menyusul mantan kekasihnya di lantai dasar. Sementara Revan masih terlihat kesal dan meredakan amarahnya.
“Dasar menyebalkan, pasti dia akan menyusul Diandra di kantin. Aku tidak terima jika merak balikan lagi. Terus aku harus bersaing dengan adikku sendiri?” pikirannya terlihat kalut, rasa cemburu terus menghantuinya, rasanya ingin sekali Revan ikut menyusul Diandra di lantai bawah. Revan merasa akhir-akhir ini dia sering memperlakukan Diandra dengan kasar, lebih kasar lagi dari sebelumnya. Namun, sesal kemudian tidak akan mampu memperbaiki semuanya. Cukup memperbaiki sikapnya agar tak menyakiti gadis itu lebih dalam lagi.
“Terkadang, mama benar. Aku selalu memperlakukan Diandra seperti anak kecil, aku terlalu kasar dengannya, padahal selama ini gadis itu selalu sabar menghadapi sikapku.” Revan mengusap wajahnya pelan. “Oh, Diandra, maafkan aku yang selalu bersikap kasar kepadamu ajari aku untuk menjadi pria yang lebih baik lagi.” Revan bermonolog, lalu kembali menyapu wajahnya dengan kasar. Rasanya ingin sekali dia memaki dirinya sendiri.
Gadis itu memukul lengan Archand dengan penuh amarah, sementara Archand hanya tertawa melihat tingkahnya yang lucu. Archand berusaha menggenggam pengelangan tangan gadis itu agar menghentikan pukulannya. Akhirnya, gadis itu pun kelelahan dan menghentikan pukulannya, menyenderkan tubuhnya di sandaran kursi. “Nah, capek juga kan?” tanya Archand tersenyum. “Diam ah, habisnya kamu sih, nyebelin!” tegas Florensia. “Eh, jangan bilang nyebelin terus dong, nyebelin tapi bikin kangen kan? Ayo ngaku! Pasti kamu selalu kangen sama minta ketemuan terus sama aku.” gumam Archand dengan penuh percaya diri. Pria itu menopang dagunya di atas meja dan sibuk menggoda gadis yang kini tengah menyapa sinis kepadanya. Dia tak bosan-bosan menggoda gadis itu. “Apa? Kangen kamu bilang? Ogah!” tukas Florensia yang memeletkan lidahnya, gadis itu tak hentinya bersikap emosi ketika berada di samping Archand. “Jangan bilang ogah terus dong, sesekali bilang iya gitu!” titah Archand.
“Berawal dari kebencian, perlahan hati itu luluh dengan sendirinya. Ketika pertama kali melihatnya bersikap dingin kepadaku, dikarenakan kesalahan masa lalu. Aku pernah mengabaikannya, perlahan aku membopongnya saat tubuhnya hampir sampai di sebuah aspal. Tanpa sengaja aku menatap kedua pupil matanya, dan kulihat ada seberkas cahaya cinta yang masih menyala untukku. Kamu 'tak sendiri masih ada aku yang juga mencintaimu dan akan melabuhkan hati dalam dermaga cintamu.” _Archand Aldhinara Syahdana_ *** Akhirnya momen yang mereka tunggu telah tiba juga, di mana Archand akan memperistri kekasihnya dan siap menjadi suami yang baik untuknya. Tiada keraguan untuk terus melanjutkan kisah asmara yang awalnya menjadi musuh hingga kini menjadi teman hidup. Archand tersenyum saat menantikan kehadiran calon istrinya agar segera hadir dan duduk di sampingnya, karena sebentar lagi ijab kabul akan di mulai. Berawal dari seorang penggemar beratnya, kini gadis itu telah menjadi tem
Malam itu menjadi saksi kebahagiaan mereka di mana mereka sedang menyaksikan percikan kembang api yang menghiasi langit nan kelam. Gadis itu tersenyum bahagia saat menyaksikan momen tersebut, di temani semilir angin yang berhembus meniup anak rambutnya. Gadis itu tampak cantik dengan gaun yang dia pakai, membuat Archand terpesona. Pria itu memeluk kekaishnya dengan erat, dan membisikkan kata-kata romantis. Seketika Florensia tersenyum saat mendengarkan pujian dari tunangannya itu. Dia semakin larut dalam indahnya cinta yang telah di persembahkan oleh kekasihnya, gadis itu tak lelah untuk terus menyampaikan percikan kembang api yang menghiasi langit malam saat itu. Florensia duduk dan menyenderkan kepadanya ke pundak tunangannya itu. Rasanya sangat nyaman apabila berada dalam pelukan seseorang yang di cintainya. “Aku nyaman ketika berada dalam pelukanmu, terima kasih ya Allah. Engkau telah memberikan malaikat terindah untukku. Aku berharap cinta ini akan a
Archand menggandeng tangan Florensia dengan penuh kehangatan, dia menuntun kekasihnya hingga sampai ke atas pentas. Saat itu Arhcand mempersembahkan sebuah lagu untuknya. Hal tersebut membuat kekasihnya sangat bahagia, gadis itu menikmati alunan lagu dengan irama yang mengalun merdu. Dia mengikuti lirik lagu yang di nyanyikan oleh kekasihnya, perlahan gadis itu larut dalam iringan lembut irama.“Mereka sangat cocok sekali.” ucap Diandra yang tersenyum melihat sang adik sedang berduet dengan kekasihnya itu. Diandra larut dalam momen romantis itu, dia menyenderkan tubuhnya ke pundak sang suami. “Iya, Sayang. Mereka sangat cocok seperti pasangan Cinderella.” sahut Revan yang membenarkan perkataan istrinya. “Sayang, aku sangat berterima kasih kepadamu, karena sudah memberikan aku keturunan, semoga anak kita selalu dalam keadaan sehat ya, Sayang. Jangan kandunganmu baik-baik.” titah suaminya. “Sama-sama, Sayang. Kita akan merawatnya bersama ya, rasanya gak
Malam telah tiba, mereka sedang asik mendengarkan alunan musik yang mengalun merdu di telinga, di tambah lagi dengan iringan suara dari seorang vokalis. Diandra menikmati setiap alunan musik yang terdengar merdu di telinganya menambah kesan romantis saat sedang berduaan dengan suaminya. Mereka masih menunggu kehadiran keluarganya, meski mereka memesan meja terpisah. Archand dan Florensia sengaja mengambil meja yang paling pojok agar tak ada seseorang yang akan mengganggu kebersamaan mereka kala itu. Satya hanya memantau dan ikut bergabung bersama keluarga besar Aldhinara. Termasuk kedua orang tuanya. Satya terus menatap tajam kepada Florensia. Pria itu masih susah untuk melupakan gadis incarannya, di sisi lain Satya mencoba melupakan gadis itu karena dia sadar, hubungannya dengan Florensia hanya sebatas teman dia tak mungkin menyakiti sepupunya sendiri. Apalagi mereka telah bersahabat sejak remaja. Tak mungkin Satya tega menikung sahabatnya sendiri. “Ya A
Saat itu jam menunjukkan pukul sembilan pagi, di mana kedua pasangan pengantin tesebut masih betah di dalam kamar. Diandra memandang wajah suaminya dan membalas tatapan lembut wajahnya. Diandra mengagumi ketampanan suaminya itu, wanita itu memeluk erat suaminya untuk mendapatkan kehangatan setelah pagi datang membawa kesejukan.Revan menyadari ada seseorang yang sedang memeluk tubuhnya dengan erat. Pria itu membalikkan tubuhnya dan memeluk tubuh istrinya dengan erat pula. Tak lupa dia mencium kening sang istri. Pria itu tampak bahagia ketika mendapati keberadaan wanita yang sudah sah menjadi miliknya. Saat Diandra ingin mencium suaminya tiba-tiba saja Diandra mual-mual. Wanita itu segera melepaskan pelukan suaminya dan berlari menuju kamar mandi. Hal tersebut membuat Revan bertanya-tanya apakah pertempuran tadi malam telah berhasil? Revan berharap jika istrinya benar-benar hamil. Revan tak sabar untuk segera memiliki momongan.“Kenapa Diandra? Apakah kita s