Archand menghampiri mantan kekasihnya yang sedang duduk di meja kantin. Archand segera memesan dua mangkok bakso untuk dirinya dan gadis yang berada di depannya. Meksipun Diandra sempat menolak, tapi Archand tetap tak ingin mendengar penolakan
dari gadis cantik yang sedang duduk di depannya. Gadis itu meminta kembali ke lantai empat untuk menemui sahabatnya sekaligus atasannya.“Kok kamu buru-buru sih, Di? Aku lagi mau makan loh, temani kenapa sih? Sok sibuk banget sih jadi mantan.” gumam Archand dengan wajahnya yang terlihat santai saat menyebutkan kata mantan terhadap gadis cantik itu. Seketika gadis itu menatap nanar kepadanya.
“Jangan panggil aku, mantan!” tegas Diandra dan berusaha menatap ke arah lain, dia berusaha menyembunyikan rasa bahagianya ketika mendengarkan perkataan Archand kala itu, karena di antara mereka masih saling mencintai. Namun, harus terpisah dikarenakan suatu alasan, yaitu: Florensia. Diandra memutuskan Archand demi menjaga hubungan baiknya dengan Florensia adik semata wayangnya.
“Kenapa? Oh ngerti, bilang aja takut baper kan?” sahut pria itu yang semakin mendekati gadis itu dan menatap pupil matanya dalam-dalam. Seketika Diandra kaget saat menatap pupil mata pria itu dengan jarak yang sangat dekat.
“Heh, lepasin!”
Diandra mendorong tubuhnya sehingga menyiptakan jarak yang cukup jauh diantara mereka. Bukannya marah Archand malah tertawa dengan tingkahnya, pria itu kembali membetulka posisi duduknya dan kembali membujuknya agar mau menemaninya makan. Meskipun hanya sebentar.
“Oke, sekarang aku janji gak usil sama kamu. Tapi tolong temenin aku makan, meksipun hanya sebentar, Diandra. Please!” Archand memasang wajah melas terhadap mantan kekasihnya itu. Archand berharap, rayuannya kali ini ampun untuk meluluhkan hati gadis itu.
“Dari dulu paling jago merayu. Ya sudahlah, aku temenin kamu makan. Tapi, aku mau nganterin makanan kakak kamu dulu.” sahut Diandra yang beranjak dari duduknya, dengan sigap pria itu menangkap tangannya dan menahannya pergi.
“Heh, mau kemana? Katanya mau nemenin aku makan.” Archand berusaha menuntut Diandra untuk kembali mengingat ucapannya beberapa menit yang lalu.
“Ya ampun.” Diandra menepuk jidatnya, pertanda dia bingung dengan tingkah pria yang sedang bersamanya itu. “Kan aku udah bilang mau nganterin makanan punya kakak kamu. Cuma sebentar saja, Archand.” sahut Diandra.
“Gak boleh, yang ada nanti kak Revan malah melarang kamu buat balik lagi ke sini. Pokoknya aku gak mau.” tegas Archand.
“Jadi siapa dong yang mengantarkan makanan Revan?” tanya Diandra seraya menerima pesanan yang sudah siap. “Kalau Revan keburu lapar gimana? Kan kasihan Revan, ayolah Archand. Aku cuma mau mengantarkan makanan ini saja.” lanjut Diandra.
Archand menyapu pandngannya, tiba-tiba dia melihat langkah Giska yang meja paling pojok. Gadis itu melangkah untuk membayar makanannya yang sudah dia makan sejak tadi. Langkah Giska terhenti saat Archand memanggilnya. Gadis itu kembali memutar tubuhnya dan menghampiri Archand dan Diandra.
“Hey, Archand. Ada apa?” sahut Giska.
“Archand butuh bantuan, Kak. Boleh kan kalau Archand minta bantuan kakak? Boleh ya, Kak. Ayolah kak Giska.” Archand memasang wajah melas kepada Giska.
“Kamu emang paling bisa ya.” Sahut Giska tersenyum. “Ya sudah, kamu minta bantuan apa sama kakak? Bilang saja, jangan malu-malu.” laniut Giska.
“Tolong antarkan makanan ini ke kamar kak Revan, soalnya Archand mau makan sama kekasih Archand.” sahut Archand dengan wajah santainya, tanpa memikirkan apakah gadis yang sedang bersamanya marah atau tidak dengan perkataannya?
“Oh, kirain apa? Boleh kok, kalau begitu aku pamit dulu ya, Archand dan ...”
“Diandra.” sahut Diandra yang menyambung perkataan Giska. Gadis itu berusaha melontarkan senyumannya kepada perawat cantik itu, sekaligus merupakan putri dari owner rumah sakit tersebut, di mana tempat Revan di rawat.
“Baiklah, Diandra. Kalau begitu aku pamit dulu.” gumam Giska tersenyum.
Giska melangkah menuju pintu keluar dan segera menelusur koridor rumah sakit, yang tampak redup karena hari sudah menjelang malam. Setelah memastikan langkah Giska jauh. Diandra segera menjewer telinga pria yang berada di depannya itu. Rasanya sangat puas sekali saat melihat pria itu meringis kesakitan.
“Auuhh ...” teriak Archand.
“Apa ha? Sakit?” celetuk Diandra.
“Gak! Enak banget.” sahut Archand kesal. “Ya sakitlah, Di. Kamu tega banget sih jewer aku, emang salah aku apa sama kamu?” tanya Archand.
“Pakai tanya lagi!” tegas Diandra. “ jawab aku! Kenapa kamu bilang kalau aku kekasih kamu? Maksudnya apa Archand. Kamu mau pamer kalau kita ini pernah pacaran?” tanya Diandra.
“Ya kan emang kita pernah pacaran kan? Emang salah ya, kalau kita pernah pacaran. Jangan marah dong, nanti cantiknya hilang.” sahut Archand masih dengan tatapan yang menyebalkan. Rasanya ingin sekali Diandra menoyor kepalanya kala itu.Diandra hanya menghela nafas dan berusaha sabar menghadapi pria itu. Sejak dulu pria itu memang sudah sangat menyebalkan. Namun, dibalik sikapnya yang menyebalkan, pria itu merupakan organ yang sangat penyayang dan berjiwa pahlawan. Archand tidak memiliki wibawa seperti kakaknya Revan. Menurut Archand, popularitas bukanlah segalanya. Akan tetapi, sikap yang adik dan bijaksanalah yang bisa membawanya kepada jalan kesuksesan.
Archand lebih mandiri di bandingkan sang kakak, meksipun usianya masih remaja akan tetap dia sudah bisa mencari uang sendiri dan membangun studio dan satu caffe shop pribadinya. Archand membangun caffe itu untuk masa depannya kelak, saat dia akan menikahi gadis pujaannya itu. Namun, apakah dia masih bisa mendapatkan kembali cinta gadis itu? Apakah Archand bisa meresmikan hubungannya dengan Diandra ke jenjang yang lebih serius? Entahlah, pria itu hanya pasrah. Dia takut jika menerima penolakan dari gadis itu.
“Dasar nyebelin!” sahutnya geram.
“Kok nyebelin sih?” Archand memanyunkan bibirnya, “Aku memang nyebelin, tapi ngangenin kan?” hayo jujur saja.” lanjut Archand tertawa.
“Ah, terserah deh. Aku mau pergi saja, selera makan ku hilang karena kamu.” Diandra beranjak dari duduknya dan melangkah meninggalkan Archand sendirian, gadis itu tampak kesal dengan mantan kekasihnya itu. Mengapa Archand harus membahas masa lalu? Apakah Archand belum bisa melupakannya? Pertanyaan demi pertanyaan terus mengelabui hatinya. Membuat dirinya sulit berkonsentrasi. Diandra berjalan cepat tanpa menghiraukan langkah kakinya Archand yang berusaha mengejar langkahnya hingga menuju pintu lift. Beruntungnya mereka hanya berdua di dalam, jadi Archand memiliki kesempatan untuk menjelaskan maksud dari perkataannya tadi.
Archand memengang kedua sisi pundaknya dan mencoba menenangkan mantan kekasihnya itu. Gadis itu hanya diam saja dan menatapnya dengan nanar, dia sendiri bingung untuk memberikan tanggapan tehadap pria yang di depannya itu. Apakah dia harus bahagia atau harus marah kepada pria itu? Di sisi lain, gadis itu juga merasa bahagia saat mengetahui jika Archand masih susah melupakannya. Tapi Diandra mencoba menutupi kegembiraannya itu. “Diandra, dengarkan aku!” tegas Archand. “Apa? Mau bahas tentang masa lalu lagi? Kamu nyebelin deh, katanya minta temenin makan sebentar aja. Yang ada kamu malah mengulur waktu buat lama-lama sama aku, mau kamu tu apa?” tanya Diandra geram. “Mau aku cuma satu, Diandra.” sahut Archand yang menatap gadis itu lebih dekat lagi, gadis itu sedikit takut melihat respon mantan kekasihnya itu, yang sedang berdiri di depannya dan menatap lekat sehingga memusnahkan jarak di antara mereka. “Aku cuma ingin balikan sama kamu, apakah kamu mau?” tanya
Archand dan Diandra masuk bersamaan di ruang VIP, saat itu Diandra hanya menunduk ketika Revan menatap tajam kepadanya. Diandra tak berani menatap pria dingin itu karena dia takut jika Revan akan memarahinya dan mengancam untuk memecatnya dari kantor. Ketika Archand menyadari respon sang kakak, dengan cepat Archand menarik Diandra untuk di tengah-tengah antara dirinya dan sang mama. Archand sengaja memancing emosi sang kakak, ketika nanti sang kakak sudah terpancing emosi dia akan bersedia untuk membela mantan kekasihnya itu. Lagipula Archand tak yakin jika Revan berani bersuara di depan sang mama, karena selama ini mereka selalu menunduk kepada mamanya. “Awas saja kalau sampai kakak berani memarahi Diandra karena hal sepele, aku gak akan segan-segan melawan kakak, demi membela Diandra. Seenaknya saja memperlakukan mantan kekasihku seperti budak.” Archand bermonolog, dia membalas tatapan Revan. Archand berdehem dan memberanikan dirinya untuk bertanya tentang ap
Archand menghentikan mobil di halaman rumah Diandra, suara mobil Archand terdengar hingga ke kamar Florensia. Gadis itu keluar mengintip di balik jendela ruang depan, seketika dia menyeringai pertanda bahwa dia tidak menyukai hal tersebut. Florensia mengumpat, dia sangat marah jika sang kakak kembali dekat dengan pria idolanya itu. Florensia menjatuhkan tubuh rampingnya ke sofa empuk dan menyenderkan kepalanya untuk menunggu sang kakak masuk. Beberapa saat Florensia tertidur karena lama menunggu sang kakak. Saat selesai berbincang Archand kembali menyalakan mobilnya, lalu kembali menuju jalan pulang. Diandra melihat laju mobil Archand dari kejauhan, dia khawatir jika Archand berubah pikiran untuk ngebut, perlahan bayangan Archand segera menghilang dari pandangannya. Diandra melangkah masuk menuju pintu rumah, seketika dia tersenyum saat melihat Florensia tertidur. Gadis itu duduk di samping sang adik, dia membelai lembut kepada gadis kecilnya itu seraya berkata maafkan kakak
Archand kembali tertawa dengan ucapannya, menurutnya Diandra terlalu polos sehingga harus merasakan ketakutan yang berlebihan. Bagaimana anak remaja yang pemikirannya masih labil. Diandra memang tidak bisa bersikap dewasa dan tidak memiliki jiwa pemimpin sama sekali, sikapnya sangat berbeda jauh dengan Florensia sang adik. “Ya Allah, ternyata mantanku tidak berubah, masih sama seperti dulu.” lirih Archand. “Heh, apa katamu? Kamu bilang aku labil hah?” sanggah Diandra, “Hm ... aku sadar kok, aku memang wanita yang labil.” Diandra mulai menyerah dengan gagasan yang di lontarkan Archand. Dia menyadari bahwa gagasan yang lontarkan oleh Archand memang benar adanya. Sejak dulu Diandra tak mampu berpikir lebih dewasa. “Nah, tuh ngaku juga kan?” sahut Archand tersenyum. “Iya ya, aku memang labil. Aku mengakui kalau aku labil, puas?” tegas Dinadra. Gadis itu tampak kesal dengan mantan kekasihnya yang sedang duduk di sampingnya itu. Archand segera menar
Gadis itu tetap saja meneruskan langkahnya, tanpa menghiraukan panggilan pria yang kini sedang berusaha mengejar langkah kakinya. Diandra menangkap pengelangan tangan Florensia sehingga memusnahkan jarak di antara mereka. Gadis itu benar-benar merasa bersalah kepada sang adik. Diandra memohon agar sang adik memaafkan dirinya. “Lepasin aku, Kak!” tegas Florensia. “Kakak bisa jelasin semuanya, Flo.” sahut Diandra, seraya memasang wajah melas, gadis itu terdiam sejenak dan menjelaskan semua yang telah terjadi. “Kakak sama Archand tidak memiliki hubungan apa-apa, Archand hanya menggantikan tugas kakaknya saja, dan kak Diandra sebagai sekretaris pribadi kakaknya Archand. Udah itu aja, kita gak ada hubungan apa-apa selain teman.” lanjut Diandra. Diandra memegang kedua pergelangan tangan Florensia dan meminta maaf kepada gadis yang hanya terdiam menatapnya. Diandra berharap gadis itu akan memaafkan dirinya, meskipun dia harus rela melepaskan cinta pertamanya d
“Dulunya iya, Nak. Tapi sekarang sudah tidak kuat lagi.” sahut wanita paruh baya itu dengan senyuman. “Tapi, anak-anak tante cuma satu yang tertarik untuk melatih langkahnya, dia anak tante yang paling tua, hanya saja dia mengurungkan niatnya untuk menjadi atlet lari karena dia mengidap anemia sejak kecil. Sungguh di sayangkan.” wanita itu menggeleng pertanda menyesal karena tiada satu pun keturunannya yang menjadi seorang atlet seperti dirinya. Sedangkan wanita itu berharap agar suatu saat nanti dia mendapatkan menantu yang memiliki kemampuan lari seperti dirinya. “Sayang sekali ya, Tante. Lalu bagaimana dengan anak tante yang bungsu? Apakah dia juga tidak tertarik untuk menjadi seorang atlet lari?” tanya Florensia. “Kalau anak tante yang bungsu itu orangnya agak nakal, tapi dia tetap nurut sama orang tua dan juga kakaknya. Sekarang dia sedang menggantikan tugas kakaknya untuk memimpin perusahaan. Makanya, tante jadi cepat lelah karena gak ada teman ngobrol di rumah
Gadis itu hanya tersenyum dan berusaha menahan air matanya yang sedari tadi telah dia bendung agar tak terjatuh membasahi pipinya. Gadis itu tampak cantik dengan pakaiannya yang casual. Dia berusaha untuk memaafkan pria itu, lagi pula Florensia sadar bahwa kemarin dia telah mempermalukan Revan di depan umum. “Terima kasih ya, Tante.” ucap Florensia. Tak lama kemudian Renata menerima pesan singkat dari Archand, yang mengatakan bahwa dia tidak bisa pulang lebih cepat untuk menemani Revan di rumah sakit, karena dia harus mengurus perusahaan dan juga mengelola restoran pribadi Revan. Renata menghembus nafas panjang. Dia merasa bingung bagaimanakah dia bisa pulang dalam keadaan tenang? Tak mungkin dia harus meninggalkan putra sulungnya itu sendirian di rumah sakit. Bagaimana jika ada keperluan mendadak dari suster? Dengan berat hati Florensia menawarkan dirinya untuk membantu Renata menjaga putra sulungnya itu. Mendengar hal tesebut Renata menjadi sedi
Setelah beberapa menit gadis itu tertidur, akhirnya dia kembali terbangun dari mimpi indahnya. Florensia menatap pria yang sedang tertidur lelap di depannya, kali ini gilirannya untuk menyelimuti pria itu. Florensia menatapnya dengan tajam, gadis itu sedikit kagum melihat pesona yang di lancarkan Revan. ”Ternyata aku baru sadar kalau kamu adalah pria yang tampan. Aku baru sadar kalau aku diam-diam mengagumi kamu.” lirih Florensia yang menatap pria itu dekat-dekat.Saat sedang menatap pria itu dekat-dekat tiba-tiba Giska datang untuk menggantikan cairan infus milik Revan. Giska melangkah masuk menuju selang infus Revan dan siap menggantikan cairan darah yang sudah habis dengan cairan NACL sebagai pembersih. Giska menatap kagum pada kecantikan Florensia yang sedang memperhatikan cara dia bekerja. Setelah usai mengganti cairan Giska menanyakan keberadaan Renata. “Maaf, Kak. Kalau boleh tahu tante Renata sudah pulang ke rumah?” tanya Giska. “Iya, tan