Diandra bergegas masuk ke ruangan pribadi Revan. Seketika Diandra kaget karena ada seroang wanita paruh baya yang duduk di kursi tamu yang tak jauh letaknya dari meja kerja Revan. Wanita itu menatap tajam kepada Diandra, seketika gadis itu hanya menunduk hormat kepadanya. Meskipun Diandra tidak mengenal wanita itu, tapi dia tetap saja menghormati seseorang yang lebih tua darinya. Wanita itu beranjak dari duduknya dan menghampiri Diandra. Sementara Diandra hanya bergeming seraya menelan saliva.
“Mana Revan?” tanya wanita itu dengan tegas.
“Hm ... Maaf nyonya, sekarang saya sedang menggantikan tugas Pak Revan, karena sekarang dia terbaring di rumah sakit, tiba-tiba saja tadi Pak Revan pingsan di dalam mobil.” sahut Diandra dengan sopan, gadis itu tak ingin memperlihatkan ketakutannya.
“Apa? Sekarang dia di mana?” tanya wanita paruh baya itu dengan ekspresi wajah yang menunjukkan rasa cemas yang berlebihan terhadap Revan. Semula Diandra terdiam, dan tak menanyakan siapa sebenarnya wanita paruh baya itu? Mengapa berani sekali dia memasuki ruangan pribadinya Revan Aldhinara Putra yang merupakan pemimpin perusahaan itu.
“Ma–maaf nyonya, sekarang Pak Revan sedang di rawat di rumah sakit Syahdika Farma. Setelah saya selesai mengurus pekerjaannya Pak Revan saya akan kembali ke rumah sakit. Maaf ya nyonya, sebelumnya saya izin memeriksa berkas-berkas yang belum sempat di teliti oleh Pak Revan.” Diandra menunduk dan meminta izin dengan wanita paruh baya itu, meskipun hatinya curiga, tapi Diandra tetap berpikir bahwa tidak ada seseorang yang bisa lolos masuk di ruang pribadi milik atasannya itu, selain kerabat dekat, saudara dan orang tuanya. Diandra tak memperhatikan wanita itu, dia tetap sibuk meneliti berkas-berkas yang menumpuk di meja kerja Revan.
“Ya sudah, silahkan kamu gantikan tugasnya Revan, saya mau ke rumah sakit menghampirinya.” tegas wanita paruh baya yang bernama Renata Melodya Atmaja yang merupakan istri dari pak Rama Aldhinara Sanjaya. Pemilik perhiasaan terbesar di Tanggerang. Renata melangkah menuju pintu keluar, seketika langkahnya terhenti saat Diandra memanggilnya dan menawarkan bantuan untuknya.
“Ma-maaf nyonya, apakah nyonya mau saya antarkan ke rumah sakit?” tawar Diandra dengan suara pelan. Di sisi lain gadis itu merasa takut dengan wanita yang berdiri hampir sepuluh langkah dari tempat dia berdiri.
Renata membalikkan tubuhnya dan mental gadis pemberani itu. Akhirnya Renata melemparkan senyumannya yang sebelumnya tak pernah dia sungguhan saat masuk di perusahaan milik suaminya.
“Tidak usah, Nak. Saya bisa sendiri.” sahut Renata yang menyunggingkan senyuman terhadap gadis berparas cantik itu. “Terima kasih atas tawarannya, jangan lupa semangat ya. Saya yakin kamu pasti bisa menghendle semuanya.” sambung Renata.
“Baiklah, nyonya. Hati-hati di perjalanan ya.” tukas Diandra yang membalas senyuman wanita paruh baya itu. Diandra sangat senang bisa melihat senyuman wanita itu, perlahan wanita itu melangkah dan menutup pintu ruangan dengan pelan. Diandra masih tidak habis pikir mengapa wanita itu sangat mencemaskan keadaan Revan.
Diandra mencoba meneliti berkas-berkas yang sudah menumpuk di meja kerja Revan satu persatu, gadis itu mencoba berkosentrasi agar pekerjaannya cepat selesai. Detik demi detik terus berjalan hingga akhirnya Diandra berhasil menyelesaikankan pekerjaannya dengan baik. Akhirnya Diandra bisa bernafas lega setelah memastikan pekerjaannya selesai.Diandra membenamkan wajahnya ke meja kerja Revan. Rasanya sangat lelah sekali ketika mengerjakan pekerjaan tambahan. Diandra mengerjakan semua pekerjaan itu dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan apapun, karena tubuhnya terasa sangat lelah. Akhirnya Diandra pun tertidur dengan lelap di meja kerjanya Revan. Saat tertidur Diandra sempat bermimpi indah, dalam mimpinya Diandra menikah dengan sahabatnya itu dan di anugerahi seorang bayi cantik persis seperti wajahnya. Diandra tersenyum saat larut dalam mimpi indahnya. Hingga akhirnya Archand masuk ke ruang pribadinya Revan dan membangunkan Diandra yang sedang bergelut dengan mimpi indahnya, karena masih bergelut dengan mimpi indahnya tanpa sadar Diandra memeluk pergelangan tangan Archand dengan erat. Archand tersenyum dan membiarkan gadis itu untuk terus memeluk pergelangan tangannya. Kapan lagi bisa merasakan kasih sayang dari mantan kekasihnya itu? Archand hanya tersenyum menatap wajah gadis itu. Hingga akhirnya Diandra tersadar dari mimpi indahnya. Seketika Diandra kaget dan menepis tangannya Archand dari pelukannya.“Hah! Archand kamu ngapain masih ke sini?” teriak Diandra.
“Apa sih, Di? Emang salah aku datang ke kantor papaku?” sahut Archand kesal, dengan cepat Archand duduk di sebelahnya dan meminta Diandra untuk menjelaskan tentang Revan yang mendadak pingsan di pelukannya. “Kak Revan pingsan ya? Jelasin gimana kronologisnya!” titah Archand yang menatap sinis kepadanya.
“Kenapa? Datang-datang langsung meminta penjelasan, emangnya penjelasan apa? Bukankan kamu sudah tahu kakak kamu pingsan?” tanya Diandra dengan kesal.
“Iya, Diandra. Tapi kenapa dia bisa pingsan di pelukanmu? Pingsan atau modus? Lagian pingsan pilih-pilih tempat.” tukas Archand geram, dari raut wajahnya ada kecemburuan yang tersirat di hatinya. Archand masih saja cemburu dengan setiap pria yang mendekati mantan kekasihnya itu. “Lagian kamu mau aja sih, kalau Revan pingsan di pelukan kamu.” sambung Archand yang masih saja membahas tentang kakaknya.
“Kamu kenapa sih, Can?” tanya Diandra dengan tegas. “Emang salah jika aku menolong kakak kamu? Lagian kamu kenapa sih? Gak jelas banget? Tiba-tiba merungut gak jelas. Sebenarnya kamu kenapa? Yang butuh penjelasan itu aku, bukan kamu.” sambung Diandra.
“Eng–enggak apa-apa kok. Kamu kenapa malah nanya balik?” tanya Archand dengan suara terbata-bata. Archand merasa mati gaya saat Diandra kembali melontarkan pertanyaan kepadanya. Archand takut jika gadis itu mengatakan bahwa dirinya sedang merasa cemburu terhadap kakak kandungnya sendiri. Archand berusaha menutupi rasa cemburunya kala itu.
“Ha? Kamu nanya ke aku, kenapa aku balik nanya ke kamu?” Diandra menggerutu kesal dan menatap pira itu dengan tatapan sinis. “Wajar lah, habisnya kamu aneh banget, marah-marah gak jelas sama aku.” gadis itu menyibak rambutnya dengan geram.
“Iya ya, aku salah, aku minta maaf.” Archand menghela nafas dan mencoba untuk meredakan rasa cemburunya kepada kakak kandungnya sendiri.
“Oh iya, tadi siang kamu gak di hukum kan sama kak Revan?” tanya Archand yang mematikan jika mantan kekasihnya itu tidak menerima hukuman apapun.
“Enggak kok, kakak kamu gak menarikan hukuman apapun. Lagian aku juga salah karena bolos pada jam kerja, sebenarnya tadi aku mau ketemu sama kamu. Ada yang perlu aku bicarakan sama kamu, Can.” ucap Diandra.
“Ya sudah, kamu mau bicara apa? Katakan saja sekarang, aku selalu punya banyak waktu untuk kamu, Diandra.” ucap Archand yang berusaha melontarkan senyumannya. Archand duduk di meja kerja milik kakaknya itu, seketika Diandra memukul tangannya dengan sangat keras. Gadis itu marah kepadanya karena bertingkah tidak sopan.
“Archand!” teriak Diandra.
“Ada apa? Kenapa kamu terlihat marah kepadaku, Diandra?” tanya Archand kaget.
“Turun dari sana! Dasar tidak sopan, kenapa kamu malah duduk di meja kerja Revan? Walau bagaimanapun dia kakakmu dan juga atasanku.” tegas Diandra.
“Ya ampun, Diandra. Ini hanya masalah sepele loh, jangan di perbesarkan. Ayolah, Di, aku lelah dan aku ingin beristirahat sebentar.” Archand memasang wajah belas kasihan agar gadis itu tak lagi memarahinya untuk menduduki meja kerja kakaknya.
“Gak bisa! Kalau kamu mau istirahat di kursi panjang itu!” tukas Diandra yang menunjuk ke arah kursi panjang yang berada di pojok ruangan dan menyuruh Archand duduk di sana.
“Ya ampun, Diandra. Jauh banget, sedangkan kamu di sini, terus kita ngomongnya teriak-teriak? Gak mungkinlah, ayolah Diandra. Please!” Archand berusaha membujuk wanita itu. Akan tetapi, usahanya sia-sia. Diandra tetap kekeh dengan keputusannya.
“Archand!” tegas Diandra yang menyipitkan matanya, pertanda bahwa pria itu harus menuruti permintaannya, gadis itu tetap kekeh dengan pendiriannya yang menyuruh mantan kekasihnya untuk duduk di bangku panjang yang sudah dia tunjukkan.
“Baiklah, Diandra!” sahut Archand cengegesan. “Hm, untung masih sayang, kalau gak udah aku marahin dari tadi.” bisik Archand lirih, lalu melangkah pelan menuju bangku panjang yang di tujukan oleh mantan kekasihnya itu.
Diandra mendengar suara Archand dan menggeleng heran kepada pria itu, mungkin Archand berpikir gadis itu tidak mendengar ucapannya itu. Diandra menghampirinya dan duduk di samping mantan kekasihnya itu, tatapan Diandra tajam terhadap pria yang berada di sampingnya itu. “Tadi kamu bilang apa? Kamu kira aku gak dengar apa yang sudah kamu omongin di belakang aku?” Diandra memergoki Archand.
“Hm ...” Archand menggarukkan kepalanya yang sama sekali tidak terasa gatal. Sekali lagi pria itu dibuat mati gaya oleh mantan kekasihnya itu. “Ka–kamu benar-benar mendengarnya? Maaf ya, Diandra.” Lanjut Archand.
“Oke, kita skip saja pembahasan itu, tadi kan aku mau bahas soal lain sama kamu. Aku mohon kali ini kamu jawab jujur!” tegas Diandra.
Archand mengernyitkan kedua alisnya dan mencoba mencari arti dari pernyataan gadis yang berada di depannya itu. Archand hanya menunggu sampai gadis itu membuka pertanyaan untuknya. Tak lama kemudian gadis itu melontarkan pertanyaan kepadanya dan Archand pun di buat kaget dengan pertanyaan gadis cantik itu. “Sebenarnya sebatas apa hubunganmu dengan Florensia?” tanya Diandra. “What? Kenapa jadi bahas dia sih? Ayolah, Dinadra. Kita bahas yang lain saja, tolong jangan bahas dia, aku tidak ingin membahas tentangnya.” Archand berusaha membujuknya agar berhenti mempertanyakan tentang hubungannya dengan Florensia. “Tapi aku pengen tahu, Archand! Tolong jawab pertanyaan aku dengan jujur, sebelum aku pacaran sama kamu, kamu memliki hubungan kan sama dia? Lantas, kenapa kamu tidak cerita sebelumnya?” tegas Diandra, gadis itu mulai terlihat emosi karena pertanyaannya tak kunjung mendapatkan jawaban dari mantan kekasihnya itu. “Oke, aku akan jawab pernyataan dari
Archand dan Diandra memasuki lorong rumah sakit, saat Archand sibuk menelusuri koridor rumah sakit, gadis itu menghentikan langkahnya ke meja perawat. Dia bertanya di manakah Revan di rawat? Archand segera menghentikan pencariannya dan menghampiri gadis yang sedang berdiri di meja perawat. Setelah mendapatkan informasi dari perawat Archand dan Diandra melangkah menuju ruang VIP yang berada sepuluh langkah dari tempat mereka berdiri. Kamar nomor dua setelah meja perawat, gadis itu segera membuka kamar VIP yang berada paling ujung dari meja perawat. “Selamat sore, Revan.” sapa Diandra yang masih berdiri di depan pintu. “Ya, selamat sore, Diandra. Silahkan masuk, jangan hanya berdiri di sana! Kamu bersama siapa di luar?” tanya Revan kesal, karena dari jauh Revan sudah melihat keberadaan Archand adik semata wayangnya. Revan merasa cemburu dengan keberadaan pria itu. “Baiklah, Revan.” sahut Diandra seraya menundukkan kepalanya, gadis itu masukan ke kamarnya dan la
Archand menghampiri mantan kekasihnya yang sedang duduk di meja kantin. Archand segera memesan dua mangkok bakso untuk dirinya dan gadis yang berada di depannya. Meksipun Diandra sempat menolak, tapi Archand tetap tak ingin mendengar penolakandari gadis cantik yang sedang duduk di depannya. Gadis itu meminta kembali ke lantai empat untuk menemui sahabatnya sekaligus atasannya. “Kok kamu buru-buru sih, Di? Aku lagi mau makan loh, temani kenapa sih? Sok sibuk banget sih jadi mantan.” gumam Archand dengan wajahnya yang terlihat santai saat menyebutkan kata mantan terhadap gadis cantik itu. Seketika gadis itu menatap nanar kepadanya. “Jangan panggil aku, mantan!” tegas Diandra dan berusaha menatap ke arah lain, dia berusaha menyembunyikan rasa bahagianya ketika mendengarkan perkataan Archand kala itu, karena di antara mereka masih saling mencintai. Namun, harus terpisah dikarenakan suatu alasan, yaitu: Florensia. Diandra memutuskan Archand dem
Archand memengang kedua sisi pundaknya dan mencoba menenangkan mantan kekasihnya itu. Gadis itu hanya diam saja dan menatapnya dengan nanar, dia sendiri bingung untuk memberikan tanggapan tehadap pria yang di depannya itu. Apakah dia harus bahagia atau harus marah kepada pria itu? Di sisi lain, gadis itu juga merasa bahagia saat mengetahui jika Archand masih susah melupakannya. Tapi Diandra mencoba menutupi kegembiraannya itu. “Diandra, dengarkan aku!” tegas Archand. “Apa? Mau bahas tentang masa lalu lagi? Kamu nyebelin deh, katanya minta temenin makan sebentar aja. Yang ada kamu malah mengulur waktu buat lama-lama sama aku, mau kamu tu apa?” tanya Diandra geram. “Mau aku cuma satu, Diandra.” sahut Archand yang menatap gadis itu lebih dekat lagi, gadis itu sedikit takut melihat respon mantan kekasihnya itu, yang sedang berdiri di depannya dan menatap lekat sehingga memusnahkan jarak di antara mereka. “Aku cuma ingin balikan sama kamu, apakah kamu mau?” tanya
Archand dan Diandra masuk bersamaan di ruang VIP, saat itu Diandra hanya menunduk ketika Revan menatap tajam kepadanya. Diandra tak berani menatap pria dingin itu karena dia takut jika Revan akan memarahinya dan mengancam untuk memecatnya dari kantor. Ketika Archand menyadari respon sang kakak, dengan cepat Archand menarik Diandra untuk di tengah-tengah antara dirinya dan sang mama. Archand sengaja memancing emosi sang kakak, ketika nanti sang kakak sudah terpancing emosi dia akan bersedia untuk membela mantan kekasihnya itu. Lagipula Archand tak yakin jika Revan berani bersuara di depan sang mama, karena selama ini mereka selalu menunduk kepada mamanya. “Awas saja kalau sampai kakak berani memarahi Diandra karena hal sepele, aku gak akan segan-segan melawan kakak, demi membela Diandra. Seenaknya saja memperlakukan mantan kekasihku seperti budak.” Archand bermonolog, dia membalas tatapan Revan. Archand berdehem dan memberanikan dirinya untuk bertanya tentang ap
Archand menghentikan mobil di halaman rumah Diandra, suara mobil Archand terdengar hingga ke kamar Florensia. Gadis itu keluar mengintip di balik jendela ruang depan, seketika dia menyeringai pertanda bahwa dia tidak menyukai hal tersebut. Florensia mengumpat, dia sangat marah jika sang kakak kembali dekat dengan pria idolanya itu. Florensia menjatuhkan tubuh rampingnya ke sofa empuk dan menyenderkan kepalanya untuk menunggu sang kakak masuk. Beberapa saat Florensia tertidur karena lama menunggu sang kakak. Saat selesai berbincang Archand kembali menyalakan mobilnya, lalu kembali menuju jalan pulang. Diandra melihat laju mobil Archand dari kejauhan, dia khawatir jika Archand berubah pikiran untuk ngebut, perlahan bayangan Archand segera menghilang dari pandangannya. Diandra melangkah masuk menuju pintu rumah, seketika dia tersenyum saat melihat Florensia tertidur. Gadis itu duduk di samping sang adik, dia membelai lembut kepada gadis kecilnya itu seraya berkata maafkan kakak
Archand kembali tertawa dengan ucapannya, menurutnya Diandra terlalu polos sehingga harus merasakan ketakutan yang berlebihan. Bagaimana anak remaja yang pemikirannya masih labil. Diandra memang tidak bisa bersikap dewasa dan tidak memiliki jiwa pemimpin sama sekali, sikapnya sangat berbeda jauh dengan Florensia sang adik. “Ya Allah, ternyata mantanku tidak berubah, masih sama seperti dulu.” lirih Archand. “Heh, apa katamu? Kamu bilang aku labil hah?” sanggah Diandra, “Hm ... aku sadar kok, aku memang wanita yang labil.” Diandra mulai menyerah dengan gagasan yang di lontarkan Archand. Dia menyadari bahwa gagasan yang lontarkan oleh Archand memang benar adanya. Sejak dulu Diandra tak mampu berpikir lebih dewasa. “Nah, tuh ngaku juga kan?” sahut Archand tersenyum. “Iya ya, aku memang labil. Aku mengakui kalau aku labil, puas?” tegas Dinadra. Gadis itu tampak kesal dengan mantan kekasihnya yang sedang duduk di sampingnya itu. Archand segera menar
Gadis itu tetap saja meneruskan langkahnya, tanpa menghiraukan panggilan pria yang kini sedang berusaha mengejar langkah kakinya. Diandra menangkap pengelangan tangan Florensia sehingga memusnahkan jarak di antara mereka. Gadis itu benar-benar merasa bersalah kepada sang adik. Diandra memohon agar sang adik memaafkan dirinya. “Lepasin aku, Kak!” tegas Florensia. “Kakak bisa jelasin semuanya, Flo.” sahut Diandra, seraya memasang wajah melas, gadis itu terdiam sejenak dan menjelaskan semua yang telah terjadi. “Kakak sama Archand tidak memiliki hubungan apa-apa, Archand hanya menggantikan tugas kakaknya saja, dan kak Diandra sebagai sekretaris pribadi kakaknya Archand. Udah itu aja, kita gak ada hubungan apa-apa selain teman.” lanjut Diandra. Diandra memegang kedua pergelangan tangan Florensia dan meminta maaf kepada gadis yang hanya terdiam menatapnya. Diandra berharap gadis itu akan memaafkan dirinya, meskipun dia harus rela melepaskan cinta pertamanya d