Revan mengejar Diandra yang lari darinya. Namun, Diandra terus saja bergelut dengan kesedihannya itu. Perasaannya seketika hancur saat mengetahui latar belakang Revan yang nyatanya adalah seorang CEO di suatu perusahaan milik pak Surya yang merupakan sahabat dari papanya itu. Sejak lama mereka saling mengenal satu sama lain, mereka terpisah sejak berhasil menamatkan pendidikan Sekolah Dasar. Sejak saat itu Diandra dan Revan tidak pernah saling bertemu, apalagi untuk saling menyapa. Saat itu tekhnologi belum terlalu canggih bahkan mereka baru memegang ponsel saat duduk di bangku SMP.
Revan mengejar Diandra dengan kecepatan tinggi, sebagai seorang atlet lari, tentu saja mudah baginya untuk menyaingi langkah wanita sudah berada jauh darinya. Diandra berusaha mempercepat langkahnya meskipun akhirnya Revan berhasil menangkapnya dan menggenggam erat pengekangan tangannya. Diandra berusaha menepis genggaman Revan. Namun, genggaman itu terlalu erat untuk di menepisnya. Diandra menoleh pandangannya ke jalanan dan memasang wajah gusar terhadap pria yang berdiri di depannya itu. Revan memegang kedua sisi wajahnya dan memaksa Diandra untuk menatap netranya. Diandra tertegun dan gugup saat retina mata mereka saling menatap terhadap satu sama lain. Diandra menelan saliva dan berusaha menstabilkan degupan jantungnya.
Rasanya gugup saat harus menatap kedua netranya dengan jarak dekat. Revan bahkan tak henti menatap wanita yang berambut pirang itu dan memusnahkan jarak antara mereka.
Diandra merasa risih dengan adegan romantis itu, dia pun mencoba menepis tubuh Revan dan berlari darinya. Namun, usaha Diandra berkali-kali gagal untuk menciptakan sebuah jarak dengannya. Dengan sigap Revan menangkap pergelangan tangannya dan kembali menarik Diandra sehingga terjatuh dalam dekapannya.“Sudahlah, usahamu akan sia-sia saja untuk menjauh dariku! Menyerah sajalah, Diandra. Aku tak akan membiarkan kamu pergi sebelum aku bisa menjelaskan semuanya kepadamu. Ayolah, jangan begini.” tegas Revan yang mengguncang tubuhnya dan memaksanya untuk memberikan jawaban atas permintaan maaf yang telah dia lontarkan berkali-kali terhadap wanita berambut pirang itu. Revan berharap akan menerima maaf darinya.
“Jika kamu masih saja seperti ini bagaimana bisa aku memaafkan kamu, Revan Aldinara Putra!” tegas Diandra dengan tatapan gusar. Akhirnya Revan melonggarkan genggamannya tangannya tehadap lengan kecil wanita itu. Sementara Diandra tersenyum masam karena merasa sangat jengkel dengan pria yang berdiri di depannya itu.
“Baiklah, aku minta maaf karena bersikap tak pantas denganmu. Tolong! Aku benar-benar minta maaf atas kejadian ini. Aku tak bermaksud untuk bersikap kasar denganmu Diandra Friyanka Putri.” Revan sedikit memelankan nada bicaranya.
“Oke, aku maafkan kamu, Revan. Tapi aku mohon jangan pernah membohongiku lagi! Aku bisa memaklumi kesalahanmu, karena manusia tak pernah lepas dari salah dan khilaf. Aku juga salah, aku minta maaf.” Diandra menunduk dan tak berani menatap wajah pria yang berdiri di depannya itu, karena Diandra juga merasa bersalah karena telah meninggalkan Revan sendirian di ruangannya saat mempersiapkan meeting bersama klien.
“Iya, Diandra. Aku telah memaafkan kesalahanmu, sekarang sebaiknya kita kembali ke ruangan untuk mempersiapkan meeting bersama pak Bagas.” ucap Revan.
“Baiklah, Revan.” sahut Diandra seraya mengangguk.Mereka melangkah secara beriringan menuju pintu masuk kantor. Revan dan Diandra saling bergandengan mereka memasuki koridor kantor yang terlihat luas. Mereka berdiri di depan pintu lift untuk menunggu pintu lift agar lekas terbuka dan membawa mereka menuju lantai dua. Diandra memencet tombol yang berada di dinding pintu lift, saat itu situasi di lift itu sangat ramai sekali sehingga sulit rasanya untuk sampai keruangan dengan cepat.
Beberapa menit kemudian mereka pun kembali ke ruangan pribadi milik Revan. Segera Diandra megambil semua berkas-berkas yang telah dia persiapkan tadi dan meletakkannya ke dalam tas kerja milik Revan. Diandra sendiri merupakan sekretaris pribadinya Revan.
Usia mereka hanya selisih dua tahun saja. Revan menginjak usia 26 tahun, sedangkan Diandra menginjak usia 24 tahun. Meksipun begitu, tetap aja Revan masih bersikap manja dengan Diandra yang usianya dua tahun lebih muda darinya.“Bagaimana, Revan? Sudah selesai?” tanya Diandra.
“Coba ulangi sekali lagi!” tegas Revan.
“Apa? Bukankah aku sudah mengatakannya dengan baik?” tukas Diandra tak kalah ketus. Diandra tak sadar jika dia salah dalam berbahasa. Saat jam kerja berlangsung tidak seharusnya dia memanggil bos nya dengan sebutan nama.
“Diandra ini masih jam kerja, panggil aku dengan sebutan Pak Revan!” tegas Revan seraya menatap sinis kepadanya. Mendengar hal itu Diandra segera membungkam mulutnya dengan kedua tangan. Dia baru menyadari bahwa apa yang dia lakukan itu salah.
“Kenapa? Baru sadar? Huh, kemana saja kamu. Ya sudah, ikut aku sekarang jangan membuat mereka menunggu lebih lama.” Revan melangkah lebih dulu darinya, dengan nafas terengah-engah Diandra mengikuti langkah kakinya yang cepat itu. Diandra merasa kewalahan mengikuti langkah kaki atasannya itu. Rasanya ingin sekali Diandra menendang bokong Revan, belum lagi tindakannya yang tegas beberapa menit yang lalu.
“Cepatlah, Diandra! Apa lagi yang kamu tunggu?” desis Revan yang menatapnya dengan tatapan sinis. Ya, seperti itulah Revan ketika menjalani profesinya sebagai bos. Dia benar-benar menjaga wibawanya sebagai atasan. Revan terkenal tegas dan dingin saat berada di ruangannya. Berbeda hal dengan kehidupan sehari-hari.“Ta–tapi, Revan ...” Diandra gelagapan dan tak berani melanjutkan ucapannya kala itu. Dia takut jika Revan harus marah lagi kepadanya. Revan benar-benar membuatnya serba salah.
Diandra akhirnya terdiam dan menelan salivanya. Dia hanya menunduk dan tak berani menatap pria yang tengah duduk di kursi sopir itu.“Tidak ada tapi! Masuk sekarang!” bentak Revan.
“Siap!” sahut Diandra dengan tegas.
Diandra tersentak dan tak sengaja menjawab perkataan Revan dengan suara lantang dan tegas. Bukannya marah, malah Revan tersenyum bahagia melihat respon dari wanita yang masih berada di ambang pintu mobil itu. Revan tersenyum menatap wanita itu, dengan luluh Revan membukakan pintu khusus untuk dirinya.
“Bagus, coba saja jawabanmu seperti itu sejak tadi. Pasti aku tidak akan membentakmu seperti tadi.” sahut Revan dengan memelankan nada bicaranya dan tersenyum kepada wanita itu. “Sudahlah, ayo masuk sekarang!” lanjut Revan.
“Baik, Pak Revan.” sahut Diandra tersenyum.
Diandra tersenyum, dia segera masuk dan mengatur posisi duduknya dengan baik. Saat sudah merasa nyaman Diandra menyenderkan tubuhnya ke sandaran kursi mobil. Revan mendekat dan meraih ke arah pinggang wanita itu. Dengan cepat Diandra menepis tangan Revan dan membentuknya dengan penuh ketegasan. Wajah Diandra terlihat memanas dan memerah kala itu. Diandra terbawa emosi dan berprasangka buruk terhadap Revan.
Plaaaakk!
“Apa sih, Di? Sakit tahu gak?” bentak Revan ketus.“Seharusnya saya yang marah, Pak! Tidak seharusnya bapak kurang ajar terhadap saya, mentang-mentang saya bawahan bapak, eh malah seenaknya saja!” bentak Diandra yang tak kalah ketus darinya. Diandra terlihat emosi saat menatap wajahnya.
“What?” Revan mengeryitkan kedua alisnya dan mengangkat kedua tangannya sebagai isyarat tidak mengerti dengan maksud Diandra. “Kamu ini kenapa sih, Diandra? Ada apa sama kamu? Saya kurang ajar bagaimana sih sama kamu?” tanya Revan lagi.
Tidak menjawab apa-apa Diandra hanya terdiam dan memberikan jeda agar Revan mampu berpikir dengan baik. Dia ingin Revan mengakui kesalahannya dan minta maaf kepadanya. Menurut Diandra, hal tersebut harus di hadapi dengan ketegasan. Diandra tak mampu berpikir dengan baik saat itu. Revan hanya ingin memasang sabuk pengaman yang berada di di bagian kursi mobil, tepat di pinggangnya. Bukan ingin berniat buruk terhadapnya.
“Jawab! Bagaimana aku bisa mengerti dengan maksudmu kalau kamu hanya diam seperti ini, Diandra!” titah Revan, tapi Diandra masih saja memilih bungkam dan gak mau berbicara apapun kepadanya, setelah lama berpikir akhirnya Revan pun peka dan menyadari bahwa Diandra hanya salah paham kepadanya. Revan tertawa lepas saat sudah mengetahui semuanya. Bahkan dia menganggap bahwa wanita yang berada di sampingnya itu mudah memiliki pikiran negatif terhadap orang lain.
“Hahahahah ...” Revan tertawa keras.
“Apa hah? Mengapa bapak tertawa menatap saya?” tanya Diandra yang melototinya, hampir saja bila mata Diandra keluar dari tempatnya. “Bapak meremehkan saya? Saya tidak segampang itu ya, Pak!” tegas Diandra.
“Oke, sekarang saya mengerti dengan ucapan kamu. Diandra, sekretaris pribadiku yang terhormat. Saya tidak berniat buruk pada kamu, justru saya ingin melindungi kamu dengan memakaikan sabuk pengaman terhadapmu, agar kamu terhindar dari bahaya. Kita harus tertib dalam berkendara dan mematuhi aturan. Jadi, jangan berpikir jika saya ingin bertindak kurang ajar ke kamu.” jelas Revan dengan mimik wajah serius.
Mendnegar hal tersebut Diandra hanya bungkam dan tak mampu menahan rasa malu. Diandra menutupi wajahnya dengan menggunakan sepuluh jarinya. Rasanya dia sangat malu sekali untuk kembali menatap atasannya itu. Belum lagi beberapa menit yang lalu dia bertindak tegas terhadap atasannya dan tak segan-segan memarahinya. Revan tersenyum dan mendekatkan wajahnya kepada wajah Diandra. Dengan pelan Revan meraih kedua tangan yang telah menutupi wajah cantiknya itu.
“Sudahlah, aku mengerti jika kamu malu memandangku.” ucap Revan seraya melepaskan kedua tangan yang menutupi seluruh wajahnya. Revan hanya tersenyum memandangnya dan berusaha menyakinkan wanita itu bahwa dia tidak marah.
“Enggak, Pak. Saya malu kepada bapak.” sahut Diandra yang perlahan menuruti tangan Revan yang sedang membuka wajahnya. Diandra menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan. Terlihat air mata telah tergenang di bola matanya dan siap menghujani pipinya yang mulus itu. Diandra seakan tak punya nyali lagi untuk menatap atasannya itu.
“Hey, sudahlah. Kamu tidak perlu memanggilku bapak, karena ini di luar jam kerja. Sekarang tatap mataku dan lihat, apakah aku benar-benar meledekmu?” tukas Revan yang memegang kedua sisi wajahnya dan memaksa wanita itu untuk menatapnya. “Lihatlah, apa wajah ini terlihat marah dan menaruh dendam?” tanya Revan lagi.
Diandra menggeleng pelan dan menjawabnya dengan penuh keraguan. “Tidak, Revan. Kamu tidak terlihat marah kepadaku.” sahut Diandra yang memberanikan diri untuk menatap pria itu dan berusaha menepis semua rasa malunya.
“Baiklah, aku minta maaf ya atas kejadian tadi. Aku mengakui kalau aku mudah berpikiran negatif terhadap orang lain.” sahut Diandra.
“Mulai sekarang belajarlah untuk mementingkan logika dan mengendalikan perasaan! Selama ini kamu selalu saja mengedepankan perasaan dan membuang jauh-jauh logikamu. Ayolah, Diandra. Kamu pasti bisa berpikir lebih maju!” titah Revan.
Tanpa banyak bicara Diandra menepis tangan pria yang sedang memengang kedua sisi wajahnya itu. Dengan senyuman menyeringai Diandra membentak Revan agar tak lagi mengaturnya dalam segi berpikir. Diandra cenderung mengedepankan perasaannya dan membuang jauh-jauh logikanya. Oleh karena itu Diandra gampang patah hati dan sering sensitif dengan situasi yang membuatnya merasa tidak nyaman.
“Tidak, Revan! Kamu tidak perlu mengajariku, aku tahu perasaan berperan penting. Apalagi dalam segi mencintai kekurangan pasangan masing-masing.” tukas Diandra seraya menepis tangan pria yang sedang duduk di sebelahnya itu.
“Diandra! Sungguh wanita yang sangat keras kepala!” bentak Revan.
“Sudahlah, kita harus berangkat menemui klien sekalian! Para klien tidak boleh di buat menunggu. Sebaiknya, kamu pikirkan omonganku yang tadi, Diandra.” tukas Revan yang mencoba menyetir mobilnya, dan siap menuju tempat pertemuannya dengan para klien.
Di sepanjang perjalanan, mereka hanya berdiam diri satu sama lain. Tiada kata yang terucap dari keduanya. Revan berusaha mencuri pandangannya terhadap wanita yang sedang sibuk memperhatikan kendaraan yang sedang berlalu lalang di sampingnya. Revan meraih tombol yang ada di pintu kursi penumpang dan menutup kaca jendela, agar Diandra berhenti memperhatikan jalanan dan mulai fokus kepadanya.
“Ada apa denganmu, Revan?” tukas Diandra geram.
“Jangan tanyakan padaku, mengapa aku? Tapi tanyakanlah kepada dirimu sendiri. Diandra Friyanka Putri!”
“Jangan hanya fokus menatap jalanan saja, tapi ...” hampir saja Revan keceplosan, dia ingin bilang jika Diandra harus fokus kepada hubungan mereka.
Meskipun dekat selama bertahun-tahun. Namun, tak membuat Diandra jatuh hati kepada CEO tampan yang sedang menatapnya itu. Diandra mengeryitkan kedua alisnya dan mempertanyakan apa yang ingin Revan sampaikan sebenarnya, sehingga membuat dirinya serbasalah.
“Tapi apa, Revan Aldinara Putra? Please, answer!” bentak Diandra yang membuang pandangannya ke arah lain. Gadis itu memanyunkan bibirnya, pertanda bahwa dia sangat jengkel dengan pria yang berada di sebelahnya itu.Revan mengelus dada saat dia berhasil mengendalikan perasaannya. Revan tak mau jika terjebak dengan perasaannya sendiri, dia menyenderkan pundaknya dan mencari posisi nyaman saat menyetir. Revan sedikit menambah kecepatan mobilnya agar cepat sampai ke tempat tujuan. Sementara Diandra sangat ketakutan dengan laju mobil yang dikendarai oleh pria yang duduk di kursi sopir itu. Diandra memeluk Revan dengan erat, dia sangat takut dan tak hentinya meneriaki Revan dengan berbagai ucapan.
“Revan! Kamu gila ya? Apa kamu bosan hidup?” teriak Diandra seraya memejamkan matanya.
Semakin dia berteriak dengan kencang, semakin erat pula pelukan itu. Revan hanya tertawa kecil dan menambah kecepatan mobil yang dia kendarai. Dia senang ketika Diandra memeluk tubuhnya dengan erat.
“Revan!” tambah Diandra.
Kali ini Diandra mencoba menghentikan aksi pria itu, dan mengalihkan kendali. Dengan berani Diandra merebut kemudi itu dan menggantikan Revan untuk menyetir. Bahkan Diandra menghimpit paha Revan karena geram dengan tingkah sahabatnya sekaligus CEO di perusahaan di tempat dia bekerja. Diandra tak mempedulikan perkataan Revan, dia tetap fokus kepada kemudi mobil yang sedang dia kendalikan untuk menggantikan posisi Revan sebagai sopir. Menurutnya Revan benar-benar sudah kelewatan, dia egois dengan kesenangannya sendiri tanpa memikirkan keselamatan dirinya sebagai penumpang di dalam mobil milik pria tengil itu. Revan memeluknya dari sisi belakang, tapi Diandra tetap fokus kepada kemudi mobilnya, akhirnya mereka pun sampai tepat waktu di tempat tujuan.
“Apa kamu gila Diandra? Beraninya kamu menghimpitku? Sakit!” bentak Revan seraya meringis kesakitan karena di duduki oleh gadis cantik itu.
Revan berusaha memijat pahanya yang kesakitan itu, rasanya enggan untuk turun dari mobil pribadinya dan menghampiri klien yang sudah menunggunya beberapa menit yang lalu.
“I don't care, Revan! Yang penting aku selamat dari keegoisanmu!” betah Diandra.
Diandra meninggalkan Revan sendirian di dalam mobil, dia segera membawa berkas-berkas yang telah di persiapkan untuk meeting. Diandra melangkah dengan anggun membuat Revan tak bisa berpaling dan memaksakan diri untuk menghampirinya di tempat meeting. Revan melangkah pelan dan berusaha melawan rasa sakit di pahanya. Semua orangmeperhatikan cara jalan Revan kala itu, seperti orang yang sedang menderita wasir. Revan terus melangkah dan mencoba menepis rasa malunya. “Tuh pria tampan, tapi jalannya kayak orang wasir ya?” ledek salah satu perempuan remaja yang sedang nongkrong di meja nomor tujuh, satu-satunya meja VIP di lantai bawah gadis itu adalah seorang anak pengusaha, dia memilki seorang kakak perempuan. Namun, karena tidak akur dengan kakak perempuannya, gadis remaja itu selalu menghabiskan waktunya bersama teman-teman. Dia menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Mendengar perkataan remaja itu membuat Revan men
Diandra histeris, secara tiba-tiba dia memeluk pria yang berjalan bersamanya itu. Seketika Aditya terkejut saat melihat respon bahagia dari gadis cantik itu. Namun, rasanya nyaman saat di peluk oleh gadis cantik itu. Rasanya enggan untuk melepaskan pelukan darinya. Seketika Diandra tersadar dan segera melepaskan pelukannya, tak lupa gadis itu meminta maaf karena merasa sangat bahagia ketika mendapat pertolongan dari pria itu.Aditya hanya tersenyum melihat wajahnya yang cengegesan pertanda bahwa gadis itu salah tingkah kepadanya. Aditya membalasnya dengan senyuman. “Uppss, maafkan aku dokter Aditya.” ucap Diandra seraya melepaskan pelukannya dengan cepat. Diandra sangat malu kepada pria yang hanya tersenyum menatapnya. “Aku terlalu bahagia karena dokter Aditya mau membantuku.” sambung Diandra. “Sudahlah, Diandra. Kamu tidak perlu minta maaf, aku tidak marah.” sahut Aditya tersenyum. “Selanjutnya, kamu mau kemana?” tanya dokter Aditya kepadanya. “Aku mau ke
Diandra bergegas masuk ke ruangan pribadi Revan. Seketika Diandra kaget karena ada seroang wanita paruh baya yang duduk di kursi tamu yang tak jauh letaknya dari meja kerja Revan. Wanita itu menatap tajam kepada Diandra, seketika gadis itu hanya menunduk hormat kepadanya. Meskipun Diandra tidak mengenal wanita itu, tapi dia tetap saja menghormati seseorang yang lebih tua darinya. Wanita itu beranjak dari duduknya dan menghampiri Diandra. Sementara Diandra hanya bergeming seraya menelan saliva. “Mana Revan?” tanya wanita itu dengan tegas. “Hm ... Maaf nyonya, sekarang saya sedang menggantikan tugas Pak Revan, karena sekarang dia terbaring di rumah sakit, tiba-tiba saja tadi Pak Revan pingsan di dalam mobil.” sahut Diandra dengan sopan, gadis itu tak ingin memperlihatkan ketakutannya. “Apa? Sekarang dia di mana?” tanya wanita paruh baya itu dengan ekspresi wajah yang menunjukkan rasa cemas yang berlebihan terhadap Revan. Semula Diandra terdiam, dan
Archand mengernyitkan kedua alisnya dan mencoba mencari arti dari pernyataan gadis yang berada di depannya itu. Archand hanya menunggu sampai gadis itu membuka pertanyaan untuknya. Tak lama kemudian gadis itu melontarkan pertanyaan kepadanya dan Archand pun di buat kaget dengan pertanyaan gadis cantik itu. “Sebenarnya sebatas apa hubunganmu dengan Florensia?” tanya Diandra. “What? Kenapa jadi bahas dia sih? Ayolah, Dinadra. Kita bahas yang lain saja, tolong jangan bahas dia, aku tidak ingin membahas tentangnya.” Archand berusaha membujuknya agar berhenti mempertanyakan tentang hubungannya dengan Florensia. “Tapi aku pengen tahu, Archand! Tolong jawab pertanyaan aku dengan jujur, sebelum aku pacaran sama kamu, kamu memliki hubungan kan sama dia? Lantas, kenapa kamu tidak cerita sebelumnya?” tegas Diandra, gadis itu mulai terlihat emosi karena pertanyaannya tak kunjung mendapatkan jawaban dari mantan kekasihnya itu. “Oke, aku akan jawab pernyataan dari
Archand dan Diandra memasuki lorong rumah sakit, saat Archand sibuk menelusuri koridor rumah sakit, gadis itu menghentikan langkahnya ke meja perawat. Dia bertanya di manakah Revan di rawat? Archand segera menghentikan pencariannya dan menghampiri gadis yang sedang berdiri di meja perawat. Setelah mendapatkan informasi dari perawat Archand dan Diandra melangkah menuju ruang VIP yang berada sepuluh langkah dari tempat mereka berdiri. Kamar nomor dua setelah meja perawat, gadis itu segera membuka kamar VIP yang berada paling ujung dari meja perawat. “Selamat sore, Revan.” sapa Diandra yang masih berdiri di depan pintu. “Ya, selamat sore, Diandra. Silahkan masuk, jangan hanya berdiri di sana! Kamu bersama siapa di luar?” tanya Revan kesal, karena dari jauh Revan sudah melihat keberadaan Archand adik semata wayangnya. Revan merasa cemburu dengan keberadaan pria itu. “Baiklah, Revan.” sahut Diandra seraya menundukkan kepalanya, gadis itu masukan ke kamarnya dan la
Archand menghampiri mantan kekasihnya yang sedang duduk di meja kantin. Archand segera memesan dua mangkok bakso untuk dirinya dan gadis yang berada di depannya. Meksipun Diandra sempat menolak, tapi Archand tetap tak ingin mendengar penolakandari gadis cantik yang sedang duduk di depannya. Gadis itu meminta kembali ke lantai empat untuk menemui sahabatnya sekaligus atasannya. “Kok kamu buru-buru sih, Di? Aku lagi mau makan loh, temani kenapa sih? Sok sibuk banget sih jadi mantan.” gumam Archand dengan wajahnya yang terlihat santai saat menyebutkan kata mantan terhadap gadis cantik itu. Seketika gadis itu menatap nanar kepadanya. “Jangan panggil aku, mantan!” tegas Diandra dan berusaha menatap ke arah lain, dia berusaha menyembunyikan rasa bahagianya ketika mendengarkan perkataan Archand kala itu, karena di antara mereka masih saling mencintai. Namun, harus terpisah dikarenakan suatu alasan, yaitu: Florensia. Diandra memutuskan Archand dem
Archand memengang kedua sisi pundaknya dan mencoba menenangkan mantan kekasihnya itu. Gadis itu hanya diam saja dan menatapnya dengan nanar, dia sendiri bingung untuk memberikan tanggapan tehadap pria yang di depannya itu. Apakah dia harus bahagia atau harus marah kepada pria itu? Di sisi lain, gadis itu juga merasa bahagia saat mengetahui jika Archand masih susah melupakannya. Tapi Diandra mencoba menutupi kegembiraannya itu. “Diandra, dengarkan aku!” tegas Archand. “Apa? Mau bahas tentang masa lalu lagi? Kamu nyebelin deh, katanya minta temenin makan sebentar aja. Yang ada kamu malah mengulur waktu buat lama-lama sama aku, mau kamu tu apa?” tanya Diandra geram. “Mau aku cuma satu, Diandra.” sahut Archand yang menatap gadis itu lebih dekat lagi, gadis itu sedikit takut melihat respon mantan kekasihnya itu, yang sedang berdiri di depannya dan menatap lekat sehingga memusnahkan jarak di antara mereka. “Aku cuma ingin balikan sama kamu, apakah kamu mau?” tanya
Archand dan Diandra masuk bersamaan di ruang VIP, saat itu Diandra hanya menunduk ketika Revan menatap tajam kepadanya. Diandra tak berani menatap pria dingin itu karena dia takut jika Revan akan memarahinya dan mengancam untuk memecatnya dari kantor. Ketika Archand menyadari respon sang kakak, dengan cepat Archand menarik Diandra untuk di tengah-tengah antara dirinya dan sang mama. Archand sengaja memancing emosi sang kakak, ketika nanti sang kakak sudah terpancing emosi dia akan bersedia untuk membela mantan kekasihnya itu. Lagipula Archand tak yakin jika Revan berani bersuara di depan sang mama, karena selama ini mereka selalu menunduk kepada mamanya. “Awas saja kalau sampai kakak berani memarahi Diandra karena hal sepele, aku gak akan segan-segan melawan kakak, demi membela Diandra. Seenaknya saja memperlakukan mantan kekasihku seperti budak.” Archand bermonolog, dia membalas tatapan Revan. Archand berdehem dan memberanikan dirinya untuk bertanya tentang ap