Share

Bertemu Klien

Diandra meninggalkan Revan sendirian di dalam mobil, dia segera membawa berkas-berkas yang telah di persiapkan untuk meeting. Diandra melangkah dengan anggun membuat Revan tak bisa berpaling dan memaksakan diri untuk menghampirinya di tempat meeting.

Revan melangkah pelan dan berusaha melawan rasa sakit di pahanya. Semua orang meperhatikan cara jalan Revan kala itu, seperti orang yang sedang menderita wasir. Revan terus melangkah dan mencoba menepis rasa malunya.

“Tuh pria tampan, tapi jalannya kayak orang wasir ya?” ledek salah satu perempuan remaja yang sedang nongkrong di meja nomor tujuh, satu-satunya meja VIP di lantai bawah gadis itu adalah seorang anak pengusaha, dia memilki seorang kakak perempuan. Namun, karena tidak akur dengan kakak perempuannya, gadis remaja itu selalu menghabiskan waktunya bersama teman-teman. Dia menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang kurang bermanfaat.

      Mendengar perkataan remaja itu membuat Revan menjadi emosi, pria itu menonjok meja nomor tujuh itu dan memanggil para pelayan untuk mengusir ketiga anak remaja itu, yang sudah berani mengusik ketenangannya. Meskipun baik prilakunya kadang kala Revan juga bisa menjadi pria kejam. Semua mata tertuju padanya saat Revan menghardik ketiga remaja itu. Saat logikanya sudah bermain, pria itu lupa untuk mengendalikan hatinya.

“Pelayan!” panggil Revan seraya memetik jarinya sehingga menimbulkan bunyi sebagai isyarat bahwa pelayan harus datang tepat waktu untuk merespon perintahnya.

“Iya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?” tanya pelayan tampan yang memberikan hormat kepadanya.

Lantas ketiga remaja itu menatap heran kepada pelayan tampan itu. Mengapa dia harus memberikan hormat kepada pria kejam itu? Siapakah dia sebenarnya? Dengan berani Florensia Anantasya kembali membentaknya dengan wajah brigasnya. Florensia tak segan-segan menujuk ke arah pria itu. Dia menilai pria itu sebagai pria paling dingin di dunia.

“Heh, maksudnya apa, Tuan? Kamu ngusir kami?” bentak Flo.

“Nah, tu pintar! Sekarang kamu sudah tahu kan pintu keluarnya?” tukas Revan yang menunjuk ke arah pintu keluar.

“Ayo, keluar dari restoran saya sekarang!” tegas Revan.

“Dengar ya baik-baik! Aku gak akan pernah mau menginjakkan kakiku di restoran ini! Dasar pria sombong!” Florensia melengkungkan senyuman sinis kepadanya dan melangkahkan kakinya menjauh dari pria itu.

Revan menatap langkah kakinya dari jauh yang perlahan menghilang dari pandangannya. Perasaan kagum saat melihat keberanian remaja itu.

“Dasar tidak sopan! Siapa dia sebenarnya?” tanya Revan lirih.

“Van? Kamu sudah bertemu dengan kliennya?” tanya Diandra yang menghampirinya, dia baru saja kembali dari toilet.

Diandra meminta izin kepada pelayan restoran, dia menitip pesan kepada pelayan restoran itu sebelumnya, agar meminta para klien itu tetap menunggunya saat dia tak ada di kursi VIP yang sudah di janjikan.

“Maaf, Nyonya. Tadi klien yang memesan meja VIP sudah di usir sama tuan Revan. Dia sangat marah dengan ketiga anak remaja itu, dia adalah utusan dari pak Ferdiansyah Syahputra. Gadis itu baru saja menyelesaikan pendidikannya di salah satu Universitas terbesar di Jakarta. Orangnya sangat cantik sekali wajahnya persis seperti nyonya.” ucap pelayan itu.

“Anak kedua dari pak Ferdiansyah Syahputra yang bernama Florensia Anantasya? Sekarang dia di mana? Apakah dia sudah jauh?” desak Diandra kepada pelayan itu, karena tak kunjung mendapat jawaban akhirnya Diandra segera berlari mengejar adik semata wayangnya itu.

Diandra meminta agar Florensia tidak membatalkan jadwal meeting nya karena tingkah kasar Revan pemimpin perusahaan besar di Tanggerang.

“Ah, sudahlah! Tak perlu di jawab, aku akan segera mengejarnya!” sahut Dinadra yang melangkahkan kakinya, sebagai atlet lari tentu saja Diandra berhasil mengejar langkah kaki sang adik.

Diandra meminta Flo kembali melanjutkan meeting, dengan kekeh Flo tetap menolaknya. Tak hanya itu Florensia juga melabrak sang kakak agar berhenti mencuri perhatian terhadap kekasihnya Archand, yang tak lain adalah mantan kekasih Diandra saat dia masih duduk di bangku Universitas terbesar di Jakarta.

“Flo ... Flo ... Ayolah, kamu kembali lagi ke meja tadi. Tolong jangan batalkan meeting ini, kakak mohon Flo! Nanti jika papa tahu kamu juga yang akan di marahin papa.” bujuk sang kakak, tapi tetap saja Flo dengan santainya menolak permintaan sang kakak.

“Sudahlah, kak Diandra. Jangan merayuku! Bukankah sejak lama kakak tahu, aku tidak tertarik untuk memimpin perusahaan milik papa!” sahut Florensia.

“Kenapa? Apa karena kamu tidak ingin keluar dari duniamu yang berantakan itu?

Ayolah Flo, saatnya menjadi yang membanggakan buat orang tua kita. Bukankah mereka sudah memberikan kita kehidupan yang baik?” Diandra membujuk sang adik. Namun sayangnya Florensia malah membangkang setiap perkataan yang di lontarkan sang kakak.

“Apa maksudmu? Kamu bilang duniaku berantakan? Heh, ngaca dong, Kak! Tanpa papa kamu gak bisa apa-apa!” bentak Florensia dengan wajah sanggar.

“Oh iya, satu lagi. Yang diberikan kehidupan terbaik itu kamu, bukan aku. Jadi, aku gak berhak balas apa-apa ke mereka, Kak. Sekarang silahkan urus duniamu sendiri! Jangan pernah mencampuri urusanku. Mengerti kan, Kak?” Florensia menatap sinis kepada sang kakak.

“Ta–tapi ...” sahut Diandra gelagap.

“Sudah-sudah, cukup!”

Florensia mengangkat tangannya sebagai isyarat untuk menyuruh sang kakak diam dan berhenti menasehati dirinya.

“Aku sudah tidak mau berdebat dengan kakak. Oke, gaes kita lanjut perjalanan kita.” lanjut Flo dengan mengarahkan kedua sahabatnya agar ikut masuk ke dalam mobil untuk menonton film horor kesukaannya.

     Florensia dan teman-temannya masuk ke dalam mobil, sementara Diandra hanya menatap kaku kepada mereka. Diandra merasa sedih karena hubungannya bersama Florensia telah hancur di karenakan Archand yang diam-diam memberikan harapan palsu kepada Florensia demi mendekati dirinya.

Sungguh Diandra tak bermaksud untuk menyakiti adiknya. Apalagi ketika Diandra hanya memiliki Florensia, sebisa mungkin dia mencoba untuk kembali memperbaiki hubungannya yang semula rusak karena urusan asmara.

Diandra tak terima jika Archand merusak hubungan kekeluargaannya dengan Florensia. Dengan geram Diandra segera menghampiri mobil Revan dan membawanya menuju studio milik Archand.

   Ketika menyadari kunci mobilnya tiada dari saku kemejanya. Revan baru teringat jika kunci mobil miliknya di pegang oleh Diandra. Ketika Revan menyadarinya dia segera berlari dan berharap agar mendapatkan kunci itu dari tangan Diandra. Namun, dia kalah cepat. Diandra sudah setengah jalan menuju studio milik Archand, dengan cepat Revan segera menghentikan sebuah taksi yang melintas di depannya. 

“Pak, tolong saya kejar mobil itu. Sekarang!” titah Revan seraya menaiki taksi itu.

Revan menyuruh sang sopir ngebut agar berhasil mengejar mobil miliknya yang sedang di kendarai oleh Diandra. Saat itu Revan panik dengan keadaan Diandra yang tampaknya begitu frustasi. 

“Cepat, Pak! Lebih ngebut lagi!” titah Revan lagi.

“Sabar, Pak. Di depan ada polisi lalu lintas, nanti kita bisa di tilang, tenang saja saya akan berusaha mengejar mobil itu dan tetap menjaga keselamatan bapak.” sahut sang sopir, yang menoleh ke belakang, betapa terkejutnya Revan saat mengetahui sopir taksi itu adalah Radit sahabatnya waktu masih duduk di bangku kuliah. Seketika Revan terkejut saat melihat pria yang terkenal dengan kecerdasannya kala itu. 

“Kamu rupanya, Dit? Kenapa kamu malah jadi sopir taksi? Kan profesimu yang sebenarnya dokter. Gimana sih kamu?” tukas Revan heran menatap sahabatnya itu.

“Eh, gak baik loh menilai pekerjaan seseorang.” sahut Aditya menggeleng heran melihat tingkah temannya  itu.

“Aku cuma lagi menggantikan temanku saja, dia lagi sakit karena kecapean kerja. Dia seorang dosen di kampus tempat adikmu kuliah, nah dia mencari kerja tambah dengan menjadi seroang driver. Tapi, daya tahan tubuhnya malah menurun dan buat dia sakit.” sahut Aditya.

“Lagian, apa salahnya sih jadi sopir, Van. Selagi pekerjaan itu halal kenapa gak di lakuin aja? Benar kan?” tanya Aditya seraya melemparkan senyum.

      Hal tersebut membuat Revan mengembuskan nafas panjang, dia tahu jika temannya itu marah karena secara tidak langsung telah merendahkan profesi seseorang. Sejak dulu Revan memang kurang menghargai orang lain.

Revan sadar jika sikap egoisnya telah membuat hidupnya sedikit berantakan, dia berusaha untuk menghilangkan sikap egoisnya itu. Akan tetapi hasilnya selalu saja nihil.

“Oke, aku minta maaf, aku salah menilai profesi seseorang. Aku akui jika perkataanku yang tadi salah. Jadi, Maafkan aku.” ucap Revan dengan penuh penyesalan.

Melihat penyesalannya membuat Aditya luluh dan ingin membantu Revan untuk mendapatkan cinta Diandra, sejak dulu pria berwajah tampan itu sudah mencintai Diandra diam-diam, bukan Revan namanya jika tidak berhasil menutupi semua perasaannya. Selama bertahun-tahun dia memendam rasa kepada gadis cantik itu.

“Eh iya, kamu mau ngejar Diandra kan? Kita udah hampir dekat dengan mobil yang di kendarai Diandra, kamu siap-siap ya, aku mau ngebut.” ucap Aditya seraya menambah kecepatan taksi yang sedang di kendarainya.

“Jangan gila, Dit. Kamu kan gak biasa ngebut, kalau gak bisa semampunya aja.” sahut Revan yang mencoba berpegang kepada bangku supir. Baru kali ini Revan terlihat takut, dia memejamkan matanya dan berdoa di dalam hati.

“Bisa takut juga kamu, Van? Gak biasanya aku lihat kamu ketakutan seperti ini.” ledek Aditya terhadapnya, dia tak hentinya menertawai temannya itu, yang sedang ketakutan karena ulahnya.

Revan membayangkan jika dia kecelakaan dan mati di usia yang masih sangat muda. Dengan cepat Revan menggelengkan kepalanya, dia baru teringat dengan kejadian beberapa menit yang lalu saat Diandra mengambil alih kursi kemudi. Revan baru mengerti bahwa ketakutan yang di rasakan oleh Diandra tak jauh berbeda dari yang dia rasakan sekarang. Setelah lama melamun, akhirnya mereka sampai ke tempat tujuan. Aditya menepuk pundaknya dan membuat lamunan Revan terhenti seketika.

“Van!” panggil Aditya. “Turun, kita sudah sampai.” 

“Ah, beneran nih? Kita sudah sampai ke tempat tujuan?” tanya Revan panik, dia segera turun dari mobil dan menghampiri mobil miliknya yang jauh terparkir di halaman studio.

“Eh, tunggu deh, Van. Bukannya ini studio pribadinya Archand? Adik kandung kamu sendiri. Ngapain Diandra datang ke studio Archand? Apa jangan-jangan ...” ucap Aditya yang berusaha menerka-nerka kejadian yang ada kala itu. 

“Ah berisik! Gak usah menerka-nerka kejadian yang gak terjadi.” bantah Revan.

“Heh, kalau beneran terjadi gimana? Bisa saja kan?” tanya Aditya lagi, dia menatap Revan dengan tatapan serius.

Revan melangkah ke dalam studio milik sang adik. Revan menyambar tangan Aditya agar ikut masuk bersamanya ke dalam studio yang berukuran besar bagaikan istana itu. Aditya mengagumi setiap desain yang tercipta di sana, tampak indah dengan cat berwarna abu-abu tua. Setiap dekorasi yang di ciptakan sungguh menawan.

“Wah, aku kagum sekali dengan setiap dekorasi di sini. Suatu saat nanti aku ingin menciptakan rumah yang dekorasi nya sama seperti ini.” ucap Aditya yang tak hentinya mengagumi pesona bangunan besar itu. Aditya memperhatikan setiap sudut bangunan dengan detail sehingga membuat Revan menjadi jengkel dan mempercepat langkahnya.

“Sudahlah, jangan meperhatikan dekorasi di studio milik Archand. Aku ingin menghampiri Archand di ruangannya, aku yakin Diandra pasti berada di ruangan Archand sekarang. Ayo percepat langkahmu sekarang!” tegas Revan yang masih saja menggandeng tangan Adit.

“Tapi lepas dulu dong! Aku bisa jalan sendiri, ingat ya aku bukan anak kecil, Van.” Aditya menepis tangan Revan dan mencoba tegas kepada temannya itu.

Aditya mendahului langkahnya menuju ruangan Archand yang tinggal beberapa langkah lagi dari lokasi di mana dia sedang berdiri bersama Revan. Dengan gagahnya Aditya mengetuk pintu yang di duga pintu ruangan pribadi Archand adik kandung dari Revan.

Tok ... tok ... tok ... suara ketukan pintu, dari dalam Aditya mendengar suara keributan antara Archand dengan seorang wanita yang di duga pemilik suara tersebut adalah Diandra mantan kekasihnya Archand. Revan segera berlari dan mendobrak paksa pintu ruangan pribadinya sang adik.

Revan memergoki sang adik yang sedang cek cok bersama sekretaris pribadinya itu. Revan segera menghentikan pertengkaran itu dengan menengahi mereka.

“Sudah-sudah, jangan berkelahi lagi. Sebenarnya ini ada masalah apa? Jelaskan sama saya Diandra!” tukas Revan yang menatap Diandra dan Archand secara bergantian. Namun, pria itu tak juga menerima jawaban dari sekretarisnya dan juga dari sang adik.

“Oke, saya paham ini masalah pribadi kalian berdua. Terutama kamu Diandra, asal kamu tahu kamu sudah tidak profesional dalam bekerja, kenapa kamu tiba-tiba datang ke studio Archand saat sedang bekerja sama saya?” tanya Revan yang meninggikan nada suaranya.

Diandra hanya terdiam dan tak berani menatap Revan. Diandra sadar jika dirinya telah melakukan kesalahan. “Saya butuh bicara dengan kamu hari ini, dan untuk kamu Archand nanti kita bicarakan ini di rumah! Tolong pulang ke rumah lebih awal malam ini!” tukas Revan seraya menonjok meja pribadi Archand hingga pecah. Buku-buku yang tersusun di meja itu menjadi berantakan karena ulah Revan, emosi Revan sedang meledak-ledak.

“Baiklah, Pak. Saya sadar saya salah.” sahut Diandra. 

“Oke, saya maafkan. Tapi tetap ya, temui saya di ruangan pribadi saya!” tegas Revan yang menatap tajam kepadanya, sementara Archand tak berani melawan perkataan sang kakak dia hanya mengedipkan mata kepada Diandra seraya menunjuk ke arah ponselnya. Sebagai isyarat bahwa dia mengajak Diandra bertemu dan membicarakan masalah pribadinya lewat via W******p saja.

“Ya sudah, sekarang kita kembali ke kantor!” Revan menarik pergelangan tangan Diandra dan membawanya melangkah menuju taksi yang di kemudikan oleh Aditya.

     Revan menyuruh Aditya untuk mengantarkannya kembali di perusahaan milik papanya. Aditya mengangguk mantap dan segera melaksanakan perintah Revan dengan semangat. Aditya berharap Revan tidak cemburu ketika Diandra menghampiri Archand diam-diam. Aditya berharap Revan bisa mengatasi semua masalah pribadinya.

    Archand menatap langkah kaki sang mantan yang perlahan menghilang dari pandangan. Dia berharap Diandra tidak menerima hukuman apapun dari sang kakak. Belum sempat mereka berbicara apapun. Tiba-tiba saja Diandra sudah di jemput dan di bentak-bentak oleh sang kakak yang sangat terkenal dengan sikap dinginnya.

Sementara Archand tak bisa membela Diandra di karenakan kesalahan Diandra sendiri. Archand menghela nafas dan berharap agar semua permasalahan ini cepat berakhir. Apalagi Archand masih menyimpan rasa terhadap Diandra mantan kekasihnya itu.

“Payah! Kenapa aku hanya diam saja saat kak Revan membentak Diandra?” teriak Archand seraya menutup wajahnya sepuluh jarinya.

Archand merasa sangat payah sekali, dia sangat menyesal karena tak mampu membela sang mantan. Meskipun terkesan bandel, tapi Archand juga merupakan anak penurut kepada seseorang yang lebih tua darinya.

“Semoga kak Revan tak menghukum Diandra.” 

Archand mengembus nafas panjang dan berharap semuanya akan baik-baik saja dan tak ada yang perlu di khawatirkan. Dia menyenderkan tubuhnya di atas kursi dan menatap kepada satu arah, pria tampan itu kembali mengingat kenangan masa lalunya saat masih menjalin hubungan bersama sang mantan. Bayangan sang mantan terus membekas dalam ingatnya. 

“Oh Tuhan, mengapa aku sangat payah sekali? Apa yang harus aku lakukan? Salahkan jika aku terus menurut kepada kakakku, dan membiarkan mantan kekasihku menderita atas sikap egois kakak kandungku?”

Archand berteriak dan mencoba melepaskan uneg-uneg yang selama ini selalu dia simpan sendiri. Archand pria yang baik dan penyayang. Namun, tetap saja sebagai seorang remaja Archand memiliki sisi nakal.

***

       Revan menarik pergelangan tangan Diandra dan menyeretnya ke dalam mobil. Aditya hanya menggeleng heran melihat perlakuan temannya itu. Sejak dulu Revan memang selalu bersikap tegas dan kasar. Maka dari itu banyak wanita yang enggan mendekati Revan selain Diandra.

Dia tidak suka jika peraturan yang dia buat di langgar begitu saja tanpa alasan yang logis. Namun, ketika jam kerja sudah berakhir, Revan kembali berubah menjadi baik. Dia hanya tak ingin ada seseorang yang melanggar peraturan seperti yang telah dilakukan Diandra. Saat jam kerja masih berlangsung Diandra malah menemui orang lain, yang tak lain adalah adik kandungnya sendiri. Saat Revan menyeretnya di mobil Diandra hanya bergeming karena dia sadar akan kesalahan yang telah dia buat.

“Lain kali, aku tidak mau hal ini terulang lagi, Diandra!” tegas Revan yang berusaha membuat wanita itu mengakui kesalahannya dan menjawab perkataannya dengan tegas Revan sangat membenci gadis lemah seperti Diandra. Dia berharap jika Diandra akan menjawab perkataannya.

“Mengapa hanya diam? Jawab aku!” lanjutnya.

“Iya, Pak Revan. Saya sadar saya salah! Maaf jika memanggilmu dengan sebutan bapak, karena ini sudah jam kerja!” sahut Diandra singkat dan padat.

“Bagus! Ketegasan seperti inilah yang aku mau.” Revan termangut-mangut dan mulai melengkungkan senyuman dari sudut bibirnya. Dia sangat bahagia ketika menerima jawaban dari sekretaris pribadinya itu.

“Oke, saya maafkan kamu Diandra, tapi ingat lain kali jangan ulangi lagi perbutanmu ini!” tegas Revan.

“Baik, Pak!” sahut Diandra dengan nada lantang.

“Ya sudah, rapikan penampilanmu sekarang! Setelah ini kita langsung istriahat makan siang tanpa harus kembali ke kantor!” tukas Revan yang menyibak rambutnya dan membetulkan penampilannya yang sedikit berantakan itu.

Diandra menatapnya dengan tatapan kagum, harus dia akui bahwa Revan memang benar-benar tampan. Diandra menepuk pipinya dan berhenti memikirkan pria dingin itu. Dia mencoba fokus kepada dirinya sendiri.

     Diandra merapikan penampilannya yang terlihat berantakan kala itu, tanpa sadar ada sepasang mata yang memperhatikan gerak-geriknya. Revan di buat kagum dengan kecantikannya. Sehingga membuat Revan gagal fokus dengan berkas-berkas yang sedang dia teliti di dalam mobil. Aditya memperhatikan gerak-geriknya itu.

“Eheemm.” Aditya segera berdehem. 

Seketika membuat Revan sadar dan membuyarkan segala lamunannya terhadap Diandra. Revan masih tak habis pikir jika Aditya memperhatikan gerak-geriknya. Revan merasa sedikit malu kepada sahabatnya itu dan kembali mengarahkan pandangannya ke arah lain. Revan menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak terasa gatal.

“Ciee, di perhatiin terus dari tadi.” tukas Aditya.

“Sudahlah, jangan di bahas terus masalah itu.” sahut Revan salah tingkah dan berusaha mencari topik pembahasan lain.

“Oh iya, bagaimana dengan pekerjaanmu sebagai dokter, Dit? Apakah menyenangkan? Maybe, karena itukan impianmu dari kecil.” tanya Revan.

“Yes, maybe. Sejauh ini aku masih mencintai pekerjaanku.” sahut Aditya.

“Baguslah, jika kamu mencintai sesuatu yang sudah berhasil kamu raih. Hingga suatu saat nanti sudah tiba waktunya untuk kamu mencintai seseorang yang akan hadir di hidupmu. Pastinya kamu siap karena hidupmu sudah mapan.” tukas Revan yang sedikit melenceng.

“Pastinya. Namun, satu kata yang lebih tepat untukmu. Mengapa kamu tak mencari pasangan sekarang? Bukankah usiamu sudah memungkinkan untuk berumah tangga, Van?” sahut Aditya.

“Ayolah, tunggu apalagi?”

Aditya kembali melontarkan pertanyaan yang sama seperti yang di lontarkan oleh Revan kepadanya. Aditya tersenyum saat melihat respon temannya itu yang terdiam beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan darinya.

“Aku ...” tukas Revan seraya berpikir harus menjawab apa. “Oh, aku masih menunggu orang yang tepat untuk kujadikan istri.” sahut Revan yang masih saja memperhatikan Diandra.

“Siapa? Bukankah dia sudah berada di dekatmu?” tanya Aditya yang berusaha membuat Revan mengakui perasaannya di depan Diandra. Namun, pria itu salah, Revan memilik banyak cara untuk menyembunyikan perasaannya.

“Ya, mungkin sekarang dia memang berada dekat denganku. Tapi waktunya belum tetap, jika nanti waktunya sudah tepat aku akan mengenalkan dia kepadamu.” sahut Revan mantap. 

Ekor matanya terus saja memperhatikan gerak-gerik Diandra sehingga membuat Diandra sadar dan gelisah dengan tatapannya itu. Diandra menghentikan gerakannya yang sedang memoles wajah dengan alat kosmetik. Wanita berusia 24 tahun itu di buat tak nyaman dengan tingkah Revan yang seperti kekanak-kanakan saat menatapnya.

“Kenapa bapak menatap saya seperti itu? Apakah ada yang salah dengan saya? Maaf, Pak Revan saya menjadi tidak nyaman dengan tatapan bapak.” tukas Diandra yang tersenyum kaku kepada pria itu. Rasanya ingin sekali Diandra memoles wajahnya dengan alat-alat komsetik yang dia pegang kala itu.

“Salahnya, saya terlalu nyaman menatap wajahmu, Diandra Friyanka Putri!” Revan menyunggingkan senyuman kepadanya dan semakin memperhatikan gadis itu dengan tatapan yang sulit di artikan.

“Sudahlah, lanjutkan saja dandannya. Aku mau lihat caramu berdandan.” titah Revan yang masih tersenyum dengan senyuman yang menjengkelkan bagi Diandra.

Tingkah Revan tak seperti biasanya, bukankah selama ini dia risih dengan wanita yang suka berdandan. Sementara Diandra hanya mengangguk dan menuruti perintah bos nya itu. Meskipun sebenarnya Diandra mengumpat dan ingin sekali menolak permintaan konyol dari bos nya yang terkenal dingin itu.

“Rasanya ingin sekali aku menampar wajahmu, Revan. Belum lagi senyum yang kamu umbarkan itu sungguh menyebalkan bagiku.” Diandra bermonolog dan menatap tajam kepada pria yang sedang memperhatikan dia yang sedang asik berdandan.

“Mengapa ketika kulihat wajahmu, aku merasa tak asing dengan wanita yang berani membentakku tadi. Sepertinya, aku pernah berhubungan dengan wanita tadi. Tapi dia siapa? Mengapa aku jadi memikirkannya?” Revan bermonolog, serasa pikirannya menjadi berat karena peristiwa tadi. Tiba-tiba Revan pingsan dan terjatuh di pelukan Diandra.

“Pak Revan!” teriak Diandra panik.

      Diandra menyuruh Aditya untuk singgah ke rumah sakit terdekat untuk memastikan keadaan Revan kala itu. Diandra takut terjadi sesuatu dengan atasannya itu, makanya dia segera mencari tindakan yang bisa menyelamatkan atasannya itu. Meskipun Revan selalu bertindak kasar kepadanya.

Namun, tak membuat Diandra dendam akan sikapnya. Saat sampai di tempat tujuan, tim medis sudah menunggunya di depan pintu mobil dan membawa Revan ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) agar segera mendapat tindakan terbaik dari tim medis. Kebetulan Aditya sendiri merupakan dokter spesialis penyakit dalam.

Aditya memakai jas putih dan segera memberikan tindakan terbaik untuk sahabatnya sendiri. Aditya mengatakan jika Revan kelelahan, sehingga membuat penyakit anemianya kembali kumat. Selama ini Revan jarang meminum vitamin penambah darah yang selalu di sediakan Dinadra setiap pagi. Diandra sendiri terkejut ketika tim medis memberikan jas putih kepada Aditya yang sebelumnya di kenal hanya seorang sopir taksi olehnya.

“Maaf pak dokter, jika sebelumnya saya meragukan dokter.” 

Diandra menunduk sebagai tanda bahwa dia menghormati Aditya sebagai dokter yang telah menangani atasannya itu. Diandra merasa malu kepada pria itu karena sempat meragukan profesinya sebagai dokter. Aditya hanya tersenyum dan memandang kagum kepadanya, dengan santainya Aditya menangkup wajah gadis itu dan mengumbarkan senyumannya sebagai tanda bahwa dia tidak marah kepada Diandra.

“Kamu benar-benar gadis yang sangat polos, Diandra. Jarang sekali kutemukan seseorang sepertimu. Pantas saja jika Revan menyukaimu.” ucap Adit tersenyum.

“Maksud dokter?” tanya Dinadra ragu.

“Sudahlah, suatu saat kamu pasti akan mengerti dengan ucapanku, Diandra.” sahut Aditya yang berusaha menyakinkan wanita itu.

Aditya kembali melakukan tugasnya dengan baik. Aditya menangani Revan yang saat itu sedang menjadi pasiennya. Dengan sigap Aditya berusaha melakukan tindakan terbaik untuk sahabatnya sendiri.

Setelah lama berada dalam penanganannya, akhirnya Revan kembali sadar dari pingsannya, agar tak membuat gadis itu khawatir, Aditya segera mencarinya dan memberitahukan kepadanya bahwa Revan sudah sadar dan keadaannya baik-baik saja. Meskipun seluruh tubuhnya masih merasa lemah.

*** 

“Diandra, saat ini Revan sudah sadar dari pingsannya, dia hanya kecapean karena akhir-akhir ini dia tidak pernah meminum tablet penambah darah.”

Aditya menepuk bahunya pelan dan berusaha menyakinkan gadis yang sedang berdiri di hadapannya itu. Saat memastikan tidak terjadi apa-apa dengan atasannya, akhirnya Diandra mampu bernafas dengan lega.

      Diandra bergegas menemui atasannya yang sedang terbaring lemah di atas brankar. Gadis itu segera merengkuh tubuh Revan dan mendekapnya dengan erat. Diandra sangat khawatir kepada atasannya itu sehingga membuat air matanya jatuh dan menetes di wajah Revan. Akhirnya Revan pun tersadar dari pingsannya, dia memijat keningnya, seketika Revan terlihat panik saat mengetahui dirinya terbaring lemah di rumah sakit.

“Astaqfirullah, aku kenapa? Apa yang terjadi kepadaku, Diandra?” tanya Revan.

“Maaf, Revan. Tadi kamu pingsan di mobil, dan dokter Adit bilang kakak kamu tidak meminum vitamin penambah darah dalam seminggu ini.” sahut Diandra singkat.

“Ya ampun, kenapa bisa seperti ini sih?” 

Revan memijat keningnya dan berusaha untuk bangun dari brankar. Melihat hal tersebut Diandra berusaha mencegahnya untuk bangun, karena Diandra tahu jika kondisi Revan sedikit mengkhawatirkan. Jadi tidak mungkin rasanya Revan harus kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Diandra berusaha meyakinkan pria dingin itu dan memintanya untuk menuruti keinginannya untuk kali ini saja. Akhirnya Revan mengangguk pertanda dia menuruti permintaan Diandra. Senyum pun mulai mengembang dari sudut bibirnya.

“Revan! Sebaiknya kamu jangan bangun dulu.” titah Diandra. “Kondisi kamu semakin melemah saat ini, jadi biarkan aku saja yang menghendle semua pekerjaanmu.” tawar Diandra memasang wajah melas, setelah beberapa menit kemudian memelas kepadanya akhirnya Revan mengangguk setuju dan mempercayai Diandra untuk mengambil alih tugasnya sebagai CEO perusahaan. 

“Baiklah, Diandra.” Revan mengangguk.

“Oke, kalau begitu aku permisi dulu ya, Van. Aku harus kembali ke kantor.” Diandra melangkah menuju pintu keluar, tiba-tiba langkahnya terhenti saat mengingat apakah Revan ingin makan terlebih dahulu? Karena sebelumnya Revan ingin mengajaknya makan siang.

“Ada apa, Diandra?” tanya Aditya yang baru saja ingin menemui Revan di ruang IGD. Aditya mengeryitkan kedua alisnya dan menatap heran kenapa gadis itu. Sepertinya di sangat khawatir sekali kepada atasannya itu. “Kamu mau kemana? Oh iya, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan sama kamu.” sambung Aditya.

“Kalau boleh tahu, tentang Revan? Ayo katakan saja, Dok!” desak Diandra.

“Mari ikut saya.”

       Aditya melangkah lebih dulu dan langkah itu di susul oleh Diandra, sebagai atlet lari tentu saja Diandra berhasil menyamai langkahnya. Aditya mengatakan bahwa Revan harus mendapatkan perawatan intensif beberapa hari di rumah sakit. Namun, Diandra masih bingung untuk menganggapi pernyataan dari Aditya, karena seperti yang Diandra tahu Revan pasti tidak akan mau menginap di rumah sakit untuk beberapa hari. Seketika dia hanya bergeming dan memikirkan cara untuk membujuk Revan agar mau menuruti saran Aditya sebagai dokter yang telah menanganinya.

“Baik, bagaimana pendapatmu, Diandra?” tanya Aditya memastikan.

“Tentunya saya setuju dengan saran dokter, tapi ...” Diandra sengaja menggantungkan kalimatnya, dia 'tak tahu harus memberikan penjelasan apa kepada Aditya. Diandra berharap pria di sebelahnya itu mau membantunya untuk membujuk Revan jika nanti dia gagal untuk memberikan nasehat kepada atasannya itu.

“Tapi apa?” tanya Aditya yang sedikit memiringkan kepalanya. “Saya tahu, kamu pasti memikirkan bagaimana caranya untuk membujuk Revan kan? Kamu jangan khawatir, Diandra. Saya bersedia membantu kamu untuk meyakinkan Revan jika nanti kamu gagal untuk meyakinkan dia.” lanjut Aditya.

“Benarkah itu dokter?” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status