Share

10 | A Moment To Remember

Aku membersihkan luka Harry dengan hati-hati. Sementara pria itu hanya diam membisu semenjak perseteruan dirinya dengan Chris berakhir beberapa waktu lalu. Walau aku tidak tahu mana kenyataan yang benar, maksudku antara pembelaan Harry maupun Chris yang jauh berkebalikan, bagaimanapun juga hatiku condong pada Harry. Aku memercayai dia melebihi orang-orang di sekitarku. Aku yakin dia selalu berkata jujur.

"Ini sudah malam. Beristirahat--"

Tiba-tiba Harry meraih pergelangan tanganku usai aku selesai mengobatinya dan hendak beranjak dari kamarnya. Hijau Harry menatapku datar, tak ada emosi apapun yang mampu ku baca. "Apa... kau akan pergi? Kau tidak memercayaiku?"

Pun aku tersenyum tipis sambil menyentuh wajahnya. "Kau kekasihku, tentu aku percaya. Sekarang tidurlah."

"Temani aku." Ia menatapku dengan tatapan meminta. "Aku merasa sedikit... kacau. Dan itu cukup mengganggu."

Aku menunduk, ku yakin pipiku memerah sempurna. Memang sudah 2 minggu kami berstatus sebagai sepasang kekasih, namun kami masih menjaga jarak satu sama lain. Kami selalu tidur di kamar terpisah, sehingga keinginan Harry barusan tentu mengejutkan. Terlebih aku baru menolaknya saat ia melamarku di hadapan banyak pasang mata. Ini akan luar biasa canggung sekaligus mendebarkan.

"Kau terlalu banyak berpikir, Britt." Ia menarik tangangku sehingga aku pun jatuh di atas tubuhnya. Kemudian dia bergeser, menjadikanku kini berada di sisinya. Bisa ku rasakan tubuhku menegang, karena hanya bisa mengamati langit-langit kamar tanpa bergerak sedikit pun. Aku benar-benar terlihat konyol. "Kau hanya perlu memejamkan mata, lalu bermimpi." Tambahnya lagi seraya membawa kelapaku bersandar di salah satu tangannya sebelum membawaku bersembunyi di dadanya. "Aku sudah memberimu izin."

"Izin? Atas apa?" Tanyaku yang sedari tadi hanya bisa memainkan jemariku gugup.

"Memimpikanku."

Dahiku mengernyit, kemudian sadar jika ia sedang merayu dengan cara menggelikan, "Kalau begitu haruskah aku mengucapkan terima kasih?"

"Tentu. Tidak semua orang mendapatkannya."

"Terima kasih, Tuan Harry Edward."

Kami pun tertawa, membuat suasana kami, khususnya hatiku menjadi lebih baik. Masalah yang tadi sempat datang serasa hilang. Kami menikmati waktu bersama ini sebaik mungkin.

"Kita tidak akan seks, Britt."

Aku mendongak, bingung. Perlahan aku menggangguk, walau sebenarnya ada rasa ingin bertanya; mengapa? Apa ia tidak memiliki ketertarikan seksual?

"Bukan itu maksudku." Harry tertawa seolah membaca pikiran dapat diperbuatnya. "Seks sebatas untuk melepaskan gairah, tidak ada perasaan yang terlibat di dalamnya. Berbeda dengan bercinta. Bercinta hanya dilakukan oleh pasangan yang saling mencintai, dan-" Wajah kami pun berhadapan, berbagi helaan nafas. "Dan kita akan bercinta, Brit. Itu pun apabila aku sudah berhasil membuatmu mencintaiku."

"Harry?"

Pipiku lantas dibelainya lembut. "Ya?"

"Entah kehidupan seperti apa yang aku miliki dulu. Yang pasti aku sedang menghadapi masa kini. Di hadapanku ada kau, dan aku mencintai itu. Aku mencintaimu."

Ia terdiam oleh perkataanku seperti tidak percaya. Tak lama berselang bibirnya mendekat, dan kami berciuman mesra serta penuh kehati-hatian, mengingat dirinya masih masih terluka.

"Jika kau tidak keberatan, aku berniat mengubah keputusanku." Lanjutku memberanikan diri. Sekalipun Chris hadir dengan segala kepalsuannya guna menggoyahkan perasaanku, aku mencoba yakin untuk mencintai Harry sepenuh hati. Hanya dia seorang yang aku inginkan. "Lamaranmu terlalu manis untuk aku tolak. Mari kita tentukan tanggal pernikahannya."

Harry seketika mengecup seluruh wajahku bertubi-tubi. Aku bahkan sampai mendorongnya sambil terkekeh, lantaran janggut tipisnya membuatku kegelian.

"Aku tidak akan mengecewakanmu. Terimakasih sudah mau menjadi pendampingku." Harry pun terhenti sejenak. Ujung bibirnya sepersekian detik kemudian terangkat ke atas. "Jadi apakah kita harus melakukannya malam ini?" Tanyanya menggoda.

"Maksudmu?"

"Bercinta."

Harry memerhatikanku intens, tanpa ada tekanan sama sekali. Ia menunggu kesiapanku hingga matang. Pun akhirnya aku menggangguk pelan, menyerahkan seluruh yang ku miliki.

"I'll be gentle." Bisiknya diiringi dengan membuka pakaianku.

-----

Aku sudah terbangun dari setengah jam yang lalu. Harry masih memelukku dari belakang, masih tertidur juga. Beruntung ini hari sabtu, sehingga dia bisa beristirahat lebih lama dibandingkan hari-hari biasanya. Sebenarnya aku ingin beranjak dari ranjang, tetapi di saat bersamaaan aku enggan bila gerak tubuhku kemungkinan akan membangunkannya.

"Membayangkan yang semalam?"

Suara berat Harry menggelitiki telingaku. Wajahku langsung merah padam, serta aku pun menyingkirkan tangannya jauh-jauh. Ternyata dari tadi ia sedang mengawasiku.

"Aku masih ingin memelukmu." Harry pun menjatuhkan tangan besarnya lagi di pinggangku, menahanku yang semula berniat mengenakan pakaian. Oh, aku tidak tahu kalau ia ternyata memiliki sisi manja.

"Biarkan aku menyiapkan sarapan."

"Aku bisa memakanmu. Lagipula kau enak." Balas Harry dengan mata terpejam. Sontak aku mencubit pinggangnya sambil memaksa enyah dari ranjang. Dasar pria mesum!

Aku nyaris jatuh begitu kakiku mendarat di lantai. Semacam hilang keseimbangan. Oh astaga, mengapa bagian bawah tubuhku terasa sakit? Belum aku menyadari apa penyebabnya, Harry secara tiba-tiba bangun dan membantuku mengenakan bra.

"Apakah aku sehebat itu?" Dengan semburat seringaian yang jelas tergambar, ia bertanya. "Permainanku bahkan sampai membuatmu tidak mampu berjalan."

"Hentikan, Harry."

Lantas ku dorong tubuhnya, kesal sekaligus malu. Selepas meninggalkan Harry, aku terburu-buru menuruni anak tangga. Sebaiknya aku segera membuat sarapan sebelum terlalu siang. Aku pun mengambil 4 lembar roti untuk ku bakar, lalu telur mata sapi serta bacon.

Begitu aku selesai dan hendak menaruhnya di meja makan, Harry secara bersamaan muncul. Dahiku mengernyit melihat ia sudah berpakaian rapih.

"Bukankah hari ini kau tidak ada sidang?"

Harry mengambil tempat duduk di hadapanku, kemudian menaruh saus tomat di piringku, saus kesukaanku. "Memang, tapi aku harus mengurus berkas kepindahan kita di beberapa tempat." Jawabnya santai sambil memberikanku garpu dan pisau. "Aku akan kembali sebelum makan malam. Tak apa?"

Menghela nafas berat, aku sekilas membuang muka. "Apakah ini keputusanmu semata? Mengapa kau tidak merundingkannya denganku?"

"Aku sudah mengatakannya sejak kemarin, Britt. Kita akan pindah ke Belanda secepat mungkin."

"Tapi aku tidak pernah mengiyakan." Tukasku tenang, enggan menciptakan perselisihan. "Keluargaku di sini, Harry. Mungkin mereka sedang kesulitan mencariku. Dan jika aku ikut pindah bersamamu, kesempatanku untuk bertemu dengan mereka akan hilang."

"Lalu bagaimana jika mereka tidak mencarimu? Atau apakah kau berharap Chris adalah suamimu dan kalian benar sudah memiliki anak? Begitukah?"

Harry bertanya dengan satu nada tajam. Jujur itu melukai perasaanku. Aku bahkan tidak memikirkan kejadian di taman semalam yang mana Chris hadir dan mengaku sebagai suamiku. Begitupun dengan nama Alex yang disebutkan olehnya sebagai anak kami. Aku tahu itu hanya kepura-puraan Chris guna memanfaatkan amnesiaku. Namun tidak ku sangka Harry justru kembali membahasanya dan berprasangka buruk atas diriku.

"Apa itu pertanyaan yang pantas setelah aku menerima lamaranmu? Setelah aku mengatakan ingin menikah denganmu?"

Rahang Harry yang sempat mengeras, melemah. Ia meremas tanganku lembut. "Maafkan aku telah berucap kasar seperti tadi. Aku... hanya memiliki pikiran bahwa mungkin kau akan berpaling padanya."

"Kita akan menikah, Harry. Itu artinya bagiku kau merupakan pria yang paling istimewa." Tuturku membuatnya tersenyum kecil. "Dan apabila ada sesuatu hal, sebaiknya kita bicarakan. Aku tidak suka kau memutuskannya sendiri. Hargai aku juga."

"Sekali lagi maafkan aku." Harry sedikit bangkit dari duduknya guna mencium dahiku. "Kalau begitu kita rundingkan juga dengan Lia dan Dion terlebih dahulu."

"Aku setuju."

Menghabiskan makanan, setelahnya kami memutuskan cuddle di sofa dengan menonton film a moment to remember. Aku berada di dekapan Harry dengan selimut beludru yang menutupi tubuh kami berdua. Terlebih di luar rintik-rintik hujan turun. Benar-benar weekend yang sempurna.

"Kau mau coklat panas?" Tawar Harry.

Aku mengangguk semangat, "Terdengar enak." Saat ia bangkit, aku iseng melingkarkan tangan di lehernya sebelum memberikan kecupan di bibir pria itu. "Aku bersedia melakukan ini seumur hidupku."

"Menciumku?"

"Nope, bermalas-malasan."

Harry langsung mencium agresif bibirku hingga aku kewalahan. Sampai bel rumah berbunyi kami pun akhirnya baru berhenti. Aku berjalan ke arah pintu depan, sementara Harry menyisir ke arah dapur guna membuat coklat panas untuk masing-masing kami.

Senyum mengembangku seketika hilang begitu menyadari siapa yang bertamu. Lebih dari itu, sosok anak laki-laki yang turut hadir menjadikanku terkesiap, lalu mundur sebanyak satu langkah.

"Mom! Aku merindukanmu!"

---

NOTE:

WAAAA BRITTANY UDAH PUNYA ANAK GES!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status