Menatap pantulan diriku di cermin, aku merasa berbeda hari ini. Seharian kemarin aku hanya mengenakan kaus kumal milik Harry, sementara kini dress putih tanpa lengan sudah melekat pas di tubuhku. Setelah semalam Harry berucap hal tidak senonoh, aku langsung meninju perut pria itu. Alhasil Harry mengaduh kesakitan. Padahal aku tahu tinjuanku tidaklah seberapa.
Menunggu Harry keluar dari kamarnya, aku pun memutuskan untuk menyiram tanaman di pekarangan depan. Aku melakukan ini bukan karena perintah pria tersebut, bukan. Bisa ku pastikan 'dulu' aku adalah typical orang yang tidak bisa diam, maksudku aku gerah berlama-lama tanpa melakukan apapun.
Aku menoleh ketika unlock mobil milik Harry berbunyi. Setumpuk berkas menggunung di kedua tangannya dan itu membuatnya kewalahan. Aku berpura-pura tidak melihat, dan masih terus terkekeh kareba dia kesusahan sendiri membuka pintu mobil. Rasakan. Ini balasan atas kejahilannya padaku semalam.
"Brittany..." Panggil Harry.
"Apa?" Aku menoleh.
"Apa?" Harry meniruku dan itu sebuah sarkas. "Kau sungguh akan diam saja di sana?"
"Iya, iya."
Aku menghampirinya dengan malas. Ku perhatikan sekilas bahwa dokumen itu adalah dokumen kerjanya, yang artinya... "Kau benar pengacara?"
Harry memutar bola matanya setelah berhasil memasukan semua bawaannya ke dalam mobil. "Kau menemukan baju itu di mana?" Dia bergantian bertanya.
"Lemari kamar tamu." Jawabku. Ia meminjamkan kamar tamunya, sehingga secara tidak sengaja aku menemukan dress ini dari dalam lemari. Apa aku sudah tidak sopan, ya?
Menilikku dari ujung kepala sampai ujung kaki, ia memiringkan kepalanya. Pasti ia menganggapku gadis tak tahu diri, karena sekenanya mengenakan sesuatu yang berasal dari rumahnya tanpa meminta ijin terlebih dahulu. Pergerakannya mendekat seiring jermarinya mengelus rambutku. Bisa ku rasakan jantungku berdetak melebihi batas normal.
"Umm apakah aku terlalu berlebihan?" Tanyaku gugup, berusaha melepaskan tangannya yang mulai membelai ubun kepalaku.
"Sedikit."
Sungguh? Padahal dress ini panjangnya melebihi lututku, bagian dadanya pun tidak rendah. Mungkin saja polesan wajahku? Oh tunggu, aku tidak menggunakan riasan apapun. Lalu apanya yang berlebihan?
"Britt? Kemarilah."
Entah sejak kapan Harry sudah melesat dari hadapanku, sebab kini ia tengah dalam posisi berjongkok guna memetik bunga di bagian pekarangan.
"Semua bunga dan tanaman ini kau yang merawatnya?" Tanyaku heran.
"Ya, ada yang salah?" Pandangan Harry tetap lurus.
"Biasanya pria tidak menyukai berkebun, bercocok tanam, atau semacamnya. Apalagi pria sejenis kau yang selalu marah-marah." Ujarku jujur selagi membantunya menggunting ranting mawar-mawar segar.
"Sejenis aku? Memang aku bagaimana?"
"Umm sedikit pemarah." Jujurku.
"Jangan meremehkanku, Britania Raya." Biasanya ia bertamengkan wajah masam nan menyebalkan. Akan tetapi kini kedua sudut bibirnya terangkat sehingga membentuk seulas senyuman tipis. Tidak begitu tipis rupanya, lantaran aku masih bisa melihat kedua lesung pipinya yang tersungging dalam. "Apa kau bisa merangkai bunga?"
"Ku rasa bisa. Walaupun aku tidak ingat 'dulu' aku adalah perangkai bunga yang buruk atau tidak."
Harry terkekeh, dan aku hanya mampu menunduk untuk menyembunyikan gelak tawaku. Akan aneh jika kami tertawa bersama.
Harry adalah pria yang mudah tersulut emosinya, namun di sisi lain ia menyukai bunga. Menurutku itu adalah dua hal yang bersebrangan. Bagaimana tidak, merawat bunga hingga kelopaknya tumbuh mekar dan menjadi indah, dibutuhkan kesabaran yang luar biasa. Seharusnya kesabaran itu tidak dimiliki oleh pribadi seperti dirinya.
"Tidakkah ini terlalu banyak untuk dijadikan satu ikatan?" Tanyaku ragu, melihat wadah yang dipegangnya telah penuh dengan tumpukan bunga.
"Memang. Kita akan membuat dua buah. Mawar kuning untuk Lia dan mawar merah untuk kekasihku."
Kekasih? Harry memiliki kekasih?
Mendengar itu tanpa sadar aku meremas mawar merah yang tengah ku genggam. Aku tidak mengerti perasaan macam apa yang mengganjal. Aku memang tidak pandai mendeskripsikan sesuatu, akan tetapi rasanya seperti ada sesuatu yang mengoyak hatiku kuat-kuat.
"Fuck, Brittany! Kenapa kau senang melukai dirimu sendiri?!" Aku tersentak dari lamunanku karena bentakan kerasnya. Ia berlari ke dalam rumah, dan kembali dengan kotak P3K. "Kau ini kenapa sebenarnya? Menjaga diri sendiri saja kau begitu payah!"
Aku merentangkan permukaan tangan kiriku, mengamati plester bergambar panda yang menutupi lukaku. Tangan kananku meraih buket bunga merah yang sudah terikat cantik hasil rangkaian Harry. Sekalipun buket bunga ini bukan untukku, aku senang melihatnya. Mendekatkan plester dan bunga tersebut secara bersamaan, aku tersenyum akan fakta bahwa pria di sampingku ternyata memiliki sisi lembut. Sisi lembut yang tersembunyi dan hanya pada orang-orang tertentu dia tunjukkan.
Harry, bolehkah aku mengenal dirimu lebih jauh?
----
Ashley adalah gadis yang sempurna.
Itu adalah kalimat pertama yang terlintas begitu melihat sosoknya. Bentuk tubuhnya tinggi semampai, pipi tirus, mata yang besar dan berambut coklat. Harry menyuruhku pindah ke jok belakang setibanya kami di rumah kekasihnya tersebut. Mereka berciuman mesra, layaknya aku tidak ada ditengah-tengah mereka.
"Baby, kau membawa siapa?" Ujar Ashley pada Harry ketika menyadari bahwa mereka tidak hanya berdua di dalam mobil. "Is she your maid?"
Harry terdiam sebelum menghela nafas. "Ya. Menangani beberapa kasus membuatku harus sering ke pengadilan, sehingga aku tidak ada waktu untuk membereskan rumah."
Mendengar perkataan Harry, Aku menggigit bibir bawahku tak karuan. Mataku pun mendadak panas. Oke. Aku hanya seorang pembantu. Tidak lebih. Jangan berharap lebih.
"Tapi kenapa dia harus ikut?" Ashley kembali bertanya dengan perubahan nada satu oktaf lebih tinggi. Masih tidak terima bahwa aku mengganggu kebersamaan mereka.
"Lia yang memintanya."
"Tapi----"
"Kita bisa bicarakan nanti. Sekarang biarkan aku berkonsentrasi menyetir." Sergah Harry cepat, memotong pembicaraan Ashley yang seakan tidak berujung. Kekasihnya itu hanya menggedikkan bahunya tak peduli, kemudian mengeluarkan ponselnya.
Ekor mataku menangkap bahwa Harry berkali-kali memperhatikanku dari kaca spion. Sorotnya secara tidak langsung seakan mengartikan sebuah permintaan maaf. Aku membuang muka. Setelahnya aku memainkan ujung dressku di tengah batinku yang berkecamuk.
Apa yang salah dengan perasaanku?
Acara penyerahan ijin praktek Lia sebagai dokter baru saja usai. Rekan-rekannya terus berdatangan guna memberikan ucapan selamat. Mereka berbincang akrab, dan sesekali gelak tawa terdengar ketika salah satunya menyinggung mengenai masa-masa sekolah. Terlihat menyenangkan.Berjalan menjauh dari kerumunan, aku memilih menuju koridor belakang gedung. Setelah mengambil segelas minuman, tubuhku membeku mendapati Harry tengah berciuman panas dengan Ashley di sudut ruangan. Melingkarkan kedua kaki jenjangnya pada pinggang Harry, gadis itu seakan tidak masalah mempertontonkan apa yang ada dibalik dress ketatnya."Brittany? Bukannya kau sedang bersama Lia?"Harry menyapaku seraya menarik tangannya dari bokong Ashley. Ku amati Ashley memberikan jari tengahnya padaku.
Hal pertama yang kulihat saat membuka mata adalah sosok Dylan yang sedang mengganti kantung cairan infusku. Jas putih khas dokternya menyadarkanku bahwa Dylan memiliki profesi yang sama dengan Lia. Jariku pun bergerak, seiring aku mengerang merasakan kepalaku kembali berdenyut nyeri."Akhirnya kau sadar, Brittany." Dylan buka suara selagi menarik kursi di pinggir ranjang tidurku. "Kau berada di rumah sakit. Tenang saja.""Apa kau yang menemukanku?" Lirihku. Saat Dylan membenarkan, ada rasa kecewa menyusup batinku. Bukan dia yang ku harapkan."Terima kasih." Tuturku."Tidak perlu sungkan. Tak ku kira pertemuan kedua kita akan seperti ini." Ia mengusap pangkal hidungnya, tersenyum. "Apa yang kau lakukan tadi di jalanan tadi? Itu berbaha
Aku menikmati udara pagi di pekarangan rumah sakit bersama Lia. Ia sebelumnya muncul di kamarku tepat di saat aku tengah memandangi wajah Harry yang masih tertidur pulas. Ketika itu aku langsung salah tingkah, dan Lia hanya bisa menahan senyum. Ku yakin pipiku masih bersemu merah hingga kini."Jadi, bagaimana?" Tanya Lia sesaat kami telah duduk."Aku baik. Bahkan kau seharusnya tidak perlu mengkhawatirkanku seperti ini.""Maksudku bagaimana mengenai adikku? Apa kau menyukainya?" Aku mematung, dan Lia mengacak-acak rambutku seakan ia adalah kakakku. "Tidak perlu ada yang dirahasiakan, honey. Katakanlah.""Tidak mungkin aku menyukai pria yang sudah memiliki kekasih." Sahutku."Nothing impossible, apalagi untuk hal semacam ini.""Semacam... ini?" Tanyaku ragu."Kau jauh lebih baik dibandingkan kekasih Harry. Ia tentu nantinya sadar, gadis mana yang terbaik untuk dirinya kelak.""Aku memang amnesia, Lia. Namun aku
Harry's POV"Mengapa kau menghina Brittany?!"Selepas aku membawa Ashley keluar dari gedung pengadilan, amarahku langsung berkoar. Mengingat bagaimana kasarnya ia memperlakukan Brittany benar-benar tidak bisa ku tolerir lagi. Ashley terlihat geram atas bentakkanku, sehingga ia membanting tasnya sembarangan. "Kau kekasihku! Aku berhak mengaturmu, Harry! Dia dekat-dekat denganmu hanya berusaha untuk menggodamu! Aku tidak suka hal itu!" "Tapi bagaimana jika aku suka?!" Ujarku."What?..." Ashley menggeleng tak percaya."Ia tak pernah menggodaku! Justru akulah y
Aku memang seorang amnesia. Namun bolehkan aku menggumamkan syukur akan hal tersebut? Aku tahu, tidak semestinya aku membenarkan pemikiran semacam itu. Tapi setidaknya, di dunia baruku ini aku bisa mengetahui satu hal, yaitu; Harry adalah ciuman pertamaku. Dan ku pastikan agar otak payahku untuk selalu mengingat hal tersebut."Britt? Apa kau sudah siap?" Seketika aku panik mendengar ketukan pintu kamar. Itu suara Harry. Dadaku bergemuruh lantaran yang kembali terbayang ialah bagaimana bibir lembut miliknya terbentuk sempurna. Sudah dua minggu kami resmi berpacaran, dan aku masih malu-malu. "Kau tidak melupakan dinner kita, kan?"Oh Tuhan. Aku benar-benar lupa ajakan makan malamnya. "A-aku tadi tertidur. Tidak masalah menunggu sekitar sepuluh menit?""Tidak usah terbur
Waktu sesaat terhenti. Riuh suara instrumen musik dan godaan dari para pengunjung hilang. Suasana disekitarku senyap, seiring pikiranku yang berhasil mengenyahkan bayang pria misterius itu.Harry yang masih dalam posisi berlutut, kembali menanyakan hal yang sama mengenai kesediaanku menjadi satu-satunya wanita di hidupnya. Gugup terlihat jelas dari gesture wajah dan tubuhnya. Ia sesekali melirikku sebelum menjatuhkan pandangannya ke lantai. Dan hal itu terus berulang beberapa kali. Dengan perasaan yang kacau, aku memutuskan menutup kotak berisikan cincin berhiaskan permata tersebut."M-maaf, Harry. Aku tidak bisa."Air mataku pun jatuh. Persis perempuan bodoh yang hanya mementingkan diri sendiri, aku berlari meninggalkan Harry. Meninggalkannya yang diam terpaku di kerumunan banya
Aku membersihkan luka Harry dengan hati-hati. Sementara pria itu hanya diam membisu semenjak perseteruan dirinya dengan Chris berakhir beberapa waktu lalu. Walau aku tidak tahu mana kenyataan yang benar, maksudku antara pembelaan Harry maupun Chris yang jauh berkebalikan, bagaimanapun juga hatiku condong pada Harry. Aku memercayai dia melebihi orang-orang di sekitarku. Aku yakin dia selalu berkata jujur."Ini sudah malam. Beristirahat--"Tiba-tiba Harry meraih pergelangan tanganku usai aku selesai mengobatinya dan hendak beranjak dari kamarnya. Hijau Harry menatapku datar, tak ada emosi apapun yang mampu ku baca. "Apa... kau akan pergi? Kau tidak memercayaiku?"Pun aku tersenyum tipis sambil menyentuh wajahnya. "Kau kekasihku, tentu aku percaya. Sekarang tidurlah."
Sudah nyaris 1 jam aku bersembunyi di dalam kamar. Apa yang barusan terjadi membuatku terkejut. Seorang anak menyebutku 'mom' dengan senyum yang merekah lebar. Itu semakin memperkuat ucapan Chris yang ku kira sebatas kebohongan belaka. Tentang aku yang merupakan istrinya, juga tentang kami yang sudah memiliki seorang anak lelaki bernama Alex --ya dia adalah anak itu.Pintu kamar pun diketuk. Lantas cepat-cepat aku menghapus air mataku. "Sebentar, Harry. Aku akan kelu... ar." Suaraku menipis begitu tersadar sosok yang masuk bukanlah Harry, melainkan Chris. Mengapa Harry bisa membiarkan dia kemari? "A-apa yang kau lakukan? Pergi!""Berikan aku kesempatan bicara." Chris berjalan mendekat, namun aku langsung melemparinya dengan berbagai barang disekitarku. Aku enggan mendengar satu kata pun dari mulutnya. Aku belum siap, atau lebih tepatnya