Clarissa bergegas menuju lobby hotel. Dia menuju meja resepsionis dan bertanya di mana kamar papanya. Setelah mendapat informasi Clarissa naik lift menuju ke lantai di mana papanya menginap.
Dia sengaja tidak memberitahu dia sudah sampai. Dia ingin memberi kejutan pada Arlon. Clarissa bahkan membeli brownies, kesukaan papanya. Makin dekat kamar Arlon, makin berdebaran hati Clarissa. Rasanya ingin cepat berjumpa dan memeluk erat papa tercinta.
Di depan pintu kamar, Clarissa mengetuk beberapa kali. Tidak lama pintu terbuka. Arlon berdiri di sana. Clarissa pun dengan tegak menatap papanya. Sekian tahun, akhirnya mereka bertemu lagi.
Terakhir kali Clarissa bertemu saat dia naik kelas 11. Artinya tiga tahun lalu, bahkan mungkin lebih, Clarissa terakhir bertemu papanya. Wajahnya masih tampan, dengan postur yang gagah.
Arlon juga memandang pada Clarissa. Putrinya bukan gadis remaja lagi. Dia sudah dewasa. Cantik, menarik. Rambutnya ya
Adimasta turun dari mobil. Dia memutar dan membuka pintu untuk Clarissa."Ayo, Putriku yang cantik." Adimasta mengulurkan tangan meminta Clarissa turun. "Kamu apa-apaan, sih?" Clarissa menatap Adimasta. Kesal tapi juga merasa lucu dengan tingkah Adimasta. "Ikut aku, ayuk." Adimasta tidak melepas tangan Clarissa. Dia sedikit memaksa Clarissa mengikuti langkahnya.Lokasi persawahan di depan mata. Adimasta tidak membawa Clarissa ke area kafe, tapi ke persawahan yang hijau dan luas. Matahari cerah, hari mulai terasa panas. Tapi awan berarak indah dan angin semilir berhembus. Cantik sekali. Rasa kesal Clarissa sedikit mereda. Di tengah sawah, memandang pegunungan di sekeliling, makin adem di hati. Clarissa melihat sekitarnya. Memang menakjubkan rasanya menyaksikan alam hijau dan segar. "Sekarang, pejamkan mata kamu." Adimasta melepas tangan Clarissa. Mereka berdiri berhadapan. "Apa? Kamu mau ngapain?" ujar Clarissa.
Adimasta memandang lagi wajahnya di cermin. Dengan frame kacamata pilihan Clarissa, benar juga, dia terlihat lebih keren, trendy, dan kekinian. Kalau ini bisa membuat Clarissa makin membuka hati padanya, Adimasta akan ikuti apa maunya Clarissa. "Wah, aku cakep juga emang." Adimasta tersenyum lebar. "Baru nyadar? Ke mana aja selama ini?" tukas Clarissa. Gadis itu mengeluarkan dompet, mengambil kartu dari dalamnya. "Eh, aku yang bayar. Clarissa ...." Adimasta dengan cepat juga mengeluarkan dompet dari saku celananya. "Nggak. Nurut. Dengar?" Clarissa menatap Adimasta, sedikit melotot. "Tapi ... Clay, itu kacamata aku ....""Mau aku jutek lagi?" Makin tajam nada suara Clarissa. "Ya, terserah, deh." Adimasta garuk-garuk kepala. Pelayan optik itu mesam mesem, menahan tawanya yang sebenarnya ingin meledak melihat tingkah dua sejoli di depannya itu. Ceweknya nyentrik, cowoknya dingin cenderung kaku. Perpaduan yang unik.
Clarissa menatap dengan wajah menyala pada Adimasta dan Yenny. Keduanya tampak gugup. Kemunculan Clarissa yang tiba-tiba membuat mereka sangat terkejut. Sikap itu makin meyakinkan Clarissa ada sesuatu di antara Adimasta dan Yenny."Clay, ini tidak seperti yang kamu lihat. Tolong, kamu jangan salah paham." Yenny berkata dengan wajahnya masih sedikit basah karena air mata."Mataku rabun, makanya yang kulihat tidak sama dengan yang sebenarnya!" sentak Clarissa."Clay, dengarkan aku. Aku dan Adi ga ada apa-apa. Adi cuma ...""Ga usah cari alasan. Pencuri di mana-mana nggak akan ngaku. Ga nyangka aku, kalian punya kelakuan busuk, ga tau adab! Selama ini kalian kuanggap orang baik. Kenyataannya apa? Semua cuma pura-pura! Aku benci kalian!" Dengan marah hingga di ubun-ubun Clarissa meninggalkan Adimasta dan Yenny. Clarissa masuk ke mobilnya dan segera pergi dari situ."Ya Tuhan ... Adi ..." Yenny mendekap dadanya. Masalah bertambah. Clar
Dua puluh menit. Waktu yang tidak bisa dibilang panjang. Bergegas Adimasta meninggalkan rumah dan mencari makanan buat Clarissa. Apa yang kira-kira pasti akan dia sukai kalau pagi? Adimasta menghubungi tapi tidak ada jawaban. Bagaimana kalau nanti dia tidak suka? Situasi begini, Adimasta tidak mau urusan dengan gadis itu makin runyam. "Ah, sudahlah. Kalau dia marah mau apa lagi." Adimasta akhirnya membeli pecel di pinggir jalan yang dia tahu pasti sudah buka. Pecel itu langganan keluarga Adimasta sudah beberapa tahun. Harusnya enak juga buat Clarissa. Pesanan siap, Adimasta kembali meluncur dan secepatnya sebelum waktu dua puluh menit terlewati. Adimasta memarkir motor. Tepat! Dua puluh menit kurang dua detik. Clarissa sudah menunggu dengan muka panjang dan tatapan tajam. Adimasta mendekati Clarissa yang ada di teras, duduk dengan tangan terlipat. Bungkusan yang Adimasta bawa dia letakkan di meja. "Apa ini?" tanya Clarissa. "Pecel. Kamu ga bil
Adimasta melihat lebih jelas pada postingan salah satu teman kuliahnya. Itu di sebuah kafe yang tidak jauh dari tempat kos Clarissa. Di foto yang dipajang di sana, tampak Clarissa sedang duduk bersama beberapa teman cowok. Mereka tertawa lepas sambil memegang gelas minuman. Bukan air mineral, yang jelas. Dari gelas yang mereka angkat ke atas, Adimasta tahu, apa yang mereka lakukan di sana. "Ya Tuhan, Clarissa ..." Adimasta menepok jidatnya. Jadi Clarissa pergi ke kafe bertemu dengan teman-teman dan perpesta bersama? Pasti karena dia suntuk makanya dia ke sana. Adimasta memperhatikan lagi foto yang lain. Salah satu cowok berpelukan dengan Clarissa. Dan itu bukan teman mereka. Adimasta tidak mengenal cowok itu. Adimasta merasa galau jadinya. Kenapa Clarissa makin aneh-aneh? Adimasta mengembuskan nafas berat. "Clay ... kamu kenapa makin kayak gini? Kamu masih di sana atau sudah pulang?" Adimasta bicara sendiri. Adimasta mencoba menelpon Clarissa. Beberap
"Cuma minum. Ga mau makan? Aku ambilkan mau?" Adimasta menepuk lengan Clarissa. "Ga, malas." Clarissa menjawab pendek, dingin. Dia tarik tangannya menjauh dari Adimasta. "Clay, kita perlu bicara. Please, beri aku waktu. Mungkin ini bukan saat yang tepat, tapi sekarang kita bisa duduk bersama." Adimasta memandang Clarissa. "Ga ada yang perlu diomongin. Paling kamu cuma mau membela diri. Klise." Clarissa mengangkat gelasnya dan meneguk sirup rasa jeruk. "Oke, terserah kamu mau percaya atau tidak, aku akan cerita saja. Supaya kamu bisa berpikir yang aku katakan ini hanya kebohongan atau yang sebenarnya." Adimasta masih membujuk Clarissa. "Semua laki-laki itu sama. Semaunya, seenaknya. Ga ngerti perasaan wanita. Mau menang sendiri," tukas Clarissa ketus. "Semua?" Adimasta jadi heran, kenapa Clarissa ngomong seperti ini. Dan keluarlah semua uneg-uneg Clarissa. Kekecewaan demi kekewaan yang bertubi-tubi datang padanya karena makhluk
Minggu itu Adimasta sibuk membantu persiapan pernikahan kakaknya. Ada saja yang mamanya minta dia bereskan. Tapi bagus juga, Adimasta jadi paham seperti apa persiapan pernikahan itu. Ribet, tidak semudah yang tampak di film. Komunikasi dia dengan Clarissa hampir terhenti. Clarissa tidak menghubungi dia. Kalau Adimasta tanya kabar atau dia lagi apa, jawabannya akan datang lama dan dingin. Situasi ini masih juga belum terurai. Adimasta sangat berharap kalau Clarissa benar-benar bisa diajak bicara, lalu mau datang ke rumah dan berkenalan dengan orang tuanya juga kakaknya. Mau bagaimana lagi, cewek itu memang kayak belut. Susah dipegang, semaunya sendiri. Selesai mengantar mamanya membeli beberapa perlengkapan sore itu, Adimasta masuk ke kamarnya. Dia sudah berniat akan menonton film bagus, rekomendasi dari group kelas. Biasa, teman-teman suka kasih info kalau ada film bagus bisa dilihat online. Adimasta penasaran saja seperti apa. "Wah, bener, seru banget, nih f
Mobil Adimasta melaju lambat. Cowok itu masih berpikir harus bagaimana menghadapi Clarissa. Dia belum memutuskan akan mengantar Clarissa ke mana. "Uuh ... perutku .... uuweeekk ..." Clarissa mulai mual-mual. Terlalu banyak dia minum. "Ahh ... mau ga mau, bawa ke rumah." Adimasta tidak punya pilihan. Dia bawa Clarissa pulang ke rumahnya. Pasti akan heboh, dia tahu itu. Tapi daripada tidak tahu ke mana. Clarissa juga butuh cepat ke kamar kecil sekarang. Adimasta bergegas, melaju kencang sekarang ke rumahnya. Seluruh isi rumah mungkin sudah tidur. Dia akan membangunkan Bu Marti saja, pembantu rumah tangga yang tinggal bersama keluarga Adimasta. Turun dari mobil Adimasta membantu Clarissa masuk ke dalam rumah. "Uuuweekk ..." Clarissa kembali mual. Kuatir muntah di lantai, Adimasta sedikit menyeret Clarissa agar masuk kamar mandi di dekat ruang tengah, yang juga menghubungkan ke ruang makan dan dapur. Begitu masuk di kamar mandi, Clar