Share

Looking for Happines
Looking for Happines
Penulis: Kitty

Awal Yang Menyakitkan

Deg ... deg ... deg ...

Semuanya terdiam tanpa suara. Mereka menunggu pengumuman yang akan diumumkan oleh wali kelasnya. Tentunya, jantung mereka pun berdebar-debar tak karuan untuk mendengarkan hasilnya.

"Aku pasti lulus," ucap seorang wanita berambut lurus itu.

Wanita itu bernama Chika Aglia Lestari. Dia memiliki paras yang sangat cantik, otaknya cerdas dan memiliki hati yang lembut bak bidadari. Tak heran, jika lelaki terpana melihat keanggunan wanita itu.

"Ibu akan mengumumkan hasilnya sekarang. Kalian sudah siap?" tanya Bu Susi memandangi wajah-wajah anak muridnya.

"Sudah, Bu," jawab para murid kelas XII serentak.

"Baiklah. Alhamdulillah, untuk semua murid yang ada di kelas ini, kalian semua lulus," ucap Bu Susi membuat heboh satu kelas.

"Horeeee," mereka bersorak gembira.

"Alhamdulillah, lulus juga. Mami sama Papi pasti akan bangga mendengarnya," ucap Chika mengucapkan syukur berkali-kali.

Suasana di kelas menjadi rame, karena mereka semua bahagia setelah melewati Ujian, akhirnya mereka pun lulus dengan nilai yang sangat bagus.

"Chika, kamu pasti mau kuliah kan?" tanya Anita, teman sebangkunya dari pertama masuk sekolah SMA Nusa Bangsa.

"Aku masih bingung nih. Kamu mau kuliah?" tanya Chika.

"Enggak," Anita menggeleng. "Darimana aku kuliah, Chika, aku gak punya biaya. Mungkin, aku akan fokus kerja di restaurant tempat aku kerja."

Anita memang sudah bekerja di sebuah restaurant sejak naik kelas XI, dia tak mau menjadi beban kedua orang tuanya. Makanya dia memilih untuk kerja sepulang sekolah. Paginya dia sekolah dan sore sampai malam dia bekerja. Orang tuanya hanyalah orang biasa, tidak seperti Chika yang mempunya orang tua seorang pengusaha.

Walaupun Chika hidup dalam kemewahan, tapi dia tak malu untuk berteman dengan siapa pun tanpa memandang status sosial mereka. Chika memang humble, dia mau berteman dengan siapa saja. Tak heran, semua siswa maupun siswi akan dekat dengannya. Dia tak mempunyai musuh sama sekali di sekolahnya.

"Oh yaa, ada satu hal lagi," kata Bu Susi.

Semua siswa diam.

"Kita akan mengadakan acara perpisahan kelas XII angkatan sekarang minggu depan, jadi kalian bersiap-siap untuk acara perpisahan nanti."

"Bu, boleh bawa orang tua?" tanya salah satu siswi.

"Sangat boleh," jawab Bu Susi dengan ramah.

"Oh yaa Bu, pakai baju apa?"

"Bebas yang penting sopan. Kalau kalian mau kompak memakai apapun, itu terserah, mau pake dress, kebaya atau gamis pun Ibu tak melarang. Asal kalian jangan berpakaian tidak sopan," kata Bu Susi.

Setelah selesai, semua siswa dan siswi bubar dari kelas untuk pulang ke rumah. Begitu pun Chika, dia ingin memberi tahukan kabar baik ini kepada kedua orang tuanya.

"Anita, aku pulang duluan yaa?" ucap Chika.

"Iya, Chika, daaahhh," kata Anita melambaikan tangan.

Sesampainya di rumah, Chika langsung memberi tahukan semuanya kepada orang tuanya. Dia sangat bahagia sekali mempunyai kedua orang tua yang selalu memprioritaskan dirinya.

"Mami, Papi, aku lulus," kata Chika masih berdiri di depan pintu.

Orang tua Chika langsung memeluknya. Mereka bangga kepada anaknya yang lulus dengan nilai tertinggi.

"Mami sangat bangga. Congrats sayang," ucap Mami mencium kening Chika.

"Papi juga sangat bangga. Kamu mau hadiah apa sayang?" tanya Papi mengelus lembut rambut Chika.

"Chika cuman mau Mami sama Papi nanti hadir di acara Perpisahan sekolah angkatan Chika," tutur Chika dengan lembut.

Mereka terdiam.

"Pasti mereka sibuk lagi," ucap Chika dalam hati.

"Oh, tentunya Mami sama Papi akan datang sayang. Iya, kan Mi?" ucap Papi.

"Iya, dong. Kapan acaranya sayang?" tanya Mami.

"Acaranya minggu depan. Mami sama Papi beneran dateng 'kan? Gak sibuk 'kan?" tanya Chika.

"So pasti, sayang," kata Mami.

Chika pergi ke kamar untuk menyimpan tasnya. Lalu, dia pun membersihkan badannya yang sudah dipenuhi oleh keringat.

Di ruang TV, tampak Mami dan Papi-nya yang sedang mengobrol.

"Papi yakin nanti gak sibuk?" tanya Mami tak percaya.

"Papi juga belum tau. Tapi, Papi gak mau liat Chika sedih terus. Setiap ada acara sekolah, kita tak pernah hadir. Dan, untuk kali ini, Papi mau menghadiri acara Chika," kata Papi.

"Hmmm, iya sih Pi. Mami juga gak mau liat Chika sedih terus karena kita sibuk. Tapi, bersyukurnya kita Pi, mempunyai anak yang pengertian seperti Chika. Walaupun dia sering ditinggal ke luar kota atau luar negeri, dia tak pernah marah sama kita, Pi. Hati dia sangat lembut sekali," kata Mami memuji anaknya.

"Itulah kehebatan Chika, Mi. Dia memang tak pernah memarahi kepada kita, tapi apa Mami tau hatinya? Pasti hati Chika juga menangis, tapi dia gak mau memperlihatkannya kepada kita, Mi. Chika memang seperti sudah dewasa sekali," ucap Papi.

"Iya sih, Pi. Kita gak akan pernah tau hati seseorang, termasuk anak kita," ucap Mami.

"Gak ada salahnya 'kan kalau kita buat bahagia Chika untuk kali ini saja?" tanya Papi.

"Yes!"

__________

Seminggu kemudian, Chika sudah rapi dengan dress-nya. Dia memakai dress yang sangat cantik. Dress itu membalut di tubuhnya yang putih. Chika tampak terlihat lebih cantik dan anggun. Dia memoleskan sedikit make-up di wajahnya. Bahkan, tanpa make-up pun, wajah Chika sudah sangat cantik dan manis.

"Mami? Sudah siap?" tanya Chika keluar dari kamarnya.

"Hmmm..."

"Chika sayang, Mami sama Papi nyusul yaa? Mami mau ketemu Client Mami dulu, sebentar aja sayang," ucap Mami.

Chika terlihat sedih.

"Sayang, don't sad. Ini hari yang sangat indah, Mami akan menyusul kamu. Mami hanya satu jam saja bertemu Client sayang," kata Mami.

"Papi juga?" tanya Chika.

"Yes, honey. Tapi, kami akan menyusul kamu secepatnya. Okey? Keep smile yaa?" ucap Papi.

Kedua orang tuanya harus bertemu dengan Client-nya. Chika pun berangkat dengan seorang supir kepercayaan orang tuanya.

Di dalam mobil, tampak wajah Chika begitu sedih dan murung. 

"Selalu aja begitu, tapi aku harap Mami sama Papi kali ini gak bohongin aku. Aku gak mau kejadian 3 tahun lalu terulang kembali," kata Chika mengingat kembali saat Perpisahan sekolah di SMP-nya.

Dulu, kedua orang tuanya pun mengatakan hal yang sama. Tapi, ujung-ujungnya mereka meminta maaf kepada Chika. Hati Chika sangat lembut, sehingga dia memaafkan kedua orang tuanya yang sangat sibuk.

"Tapi, untuk kali ini, aku gak mau kalau sampe Mami sama Papi gak dateng," kata Chika mencari HP-nya.

Lalu, dia mengirim pesan singkat kepada kedua orang tuanya agar memenuhi janjinya.

Sesampainya di depan gerbang sekolah, Chika turun. Disana sudah ada Anita yang menunggunya.

"Chika?" panggil Anita.

"Anita? You're beautiful," puji Chika melihat Anita dari atas sampai bawah.

"Ah, kamu bisa aja. Kamu juga sangat terlihat cantik, sayang," puji Anita.

"Hehe, kita kan perempuan, sudah pasti kita cantik. Iya, 'kan Nit?" tanya Chika.

"Iya, dong. Ayo, kita masuk," ajak Anita.

Ternyata, di dalam sudah ada beberapa orang tua dari setiap murid. Begitu pun dengan Anita, dia membawa kedua orang tuanya untuk hadir di acara Perpisahan sekolah itu.

"Halo, Ibu, Bapak," ucap Chika menyapa orang tua Anita, lalu dia mencium tangannya.

"Halo, Nak."

"Bu, Pak, ini temen aku yang paling cantik dan juga baik, yang sering aku ceritain ke Ibu sama Bapak, namanya Chika," kata Anita memperkenalkan Chika.

"Oh, ini. Sudah cantik, baik pula. Kamu seperti bidadari, Nak," puji Bapaknya.

"Hmmm, Bapak bisa aja," ucap Chika tersenyum.

"Oh yaa? Orang tua kamu mana, Nak Chika?" tanya Ibu.

"Hmmm, orang tua ku masih di perjalanan, Bu. Nanti nyusul," ucap Chika.

Wajahnya seketika berubah menjadi sedih, karena melihat orang tua Anita yang hadir di acara itu.

"Nit, kamu beruntung yaa punya orang tua sebaik mereka. Andai aja Mami sama Papi aku gak sibuk terus, pasti aku akan bahagia," bisik Chika.

"Chika, kamu jangan bilang gitu. Nanti, Mami sama Papi kamu juga pasti akan datang kok. Mereka mungkin sibuk dengan kerjaan yang gak bisa ditinggal, mereka pasti dateng kok," kata Anita.

"Tapi, aku gak kayak kamu. Orang tua kamu selalu ada buat kamu, Nit," ucap Chika berkaca-kaca matanya.

"Hey, jangan sedih. Udah, nanti make-up kamu luntur lho. Masa udah di make-up mahal, kamu mau nangis awal? Nanti aja nangisnya yaaa?" ucap Anita menghibur.

"Hmmm, kamu bisa aja, Nit."

Jam 08.00 acara pembukaan dimulai. Semua murid beserta orang tua sudah duduk di kursinya masing-masing. Chika dan Anita selalu duduk berdampingan.

Chika melihat ke arah kanan-kiri, depan-belakang, berharap kedua orang tuanya akan datang saat dia diberi piagam nanti.

"Duh, Mami Papi kemana sih? Hmmm, katanya satu jam, ini sudah hampir dua jam belum dateng," kata Chika melihat jam di tangannya.

Anita yang melihat Chika resah berusaha untuk menghiburnya.

"Chika, liat deh itu kan kelas X yang suaranya bagus itu," kata Anita.

"Oh iya, kenapa gak ikut ajang pencarian bakat aja yaa?" kata Chika melihat ke arah panggung.

"Belum mungkin, Chik. Suaranya bener-bener bagus dan merdu yaaa," kata Anita.

Kini, semua guru sudah di atas panggung untuk memberikan piagam kepada para siswa dan siswi yang lulus. Satu per satu para siswa dan siswi naik ke atas panggung untuk menerima piagam itu dan memeluk gurunya sebagai tanda perpisahan.

****

Pak Beni, Papi Chika sudah selesai bertemu dengan Client-nya. Beliau langsung menjemput Ibu Indira, Mami Chika.

"Mi, cepetan," ucap Papi dengan tergesa-gesa.

"Iya, Pi."

Mereka langsung menuju ke acara sekolahnya Chika.

"Duh, tiga jam kita Mi, kita telat," ucap Papi.

"Iya, Pi. Mami juga kasihan sama Chika, pasti dia nunggu kedatangan kita."

"Oke, Papi akan ngebut."

"Jangan, Pi. Yang penting kita sampe dengan selamat," kata Mami.

Mami langsung mengirim pesan kepada Chika untuk memberitahu kepada Chika bahwa mereka akan ke tempat acara perpisahannya.

Seolah tak mendengar, Papi melajukan mobilnya dengan kecepatan yang sangat tinggi.

"AWAAASSS PIIIII," teriak Mami ketika melihat truk yang berhenti mendadak di depan.

Papi berusaha mengendalikan mobilnya. Tapi, semuanya terlambat.

BRAAAKKKKK!!!!!!

Mobilnya menabrak truk yang berhenti mendadak itu. 

BRUUUUKKK!!!!!

Bis dari belakang menghantam mobil yang dibawa oleh Mami Papinya Chika.

Kecelakaan itu terjadi. Kedua orang tua Chika mengalami kecelakaan yang sangat hebat.

Warga sekitar langsung menolong korban dan membawanya ke rumah sakit.

****

Kini tiba, giliran Chika yang dipanggil untuk menerima piagam penghargaan.

"Chika Aglia Lestari!" ucap MC.

Chika berdiri, lalu berjalan sambil menengok ke segala arah, berharap orang tuanya akan datang. Tapi, sampai dia naik ke atas panggung pun, tidak ada orang tuanya.

"Chika, selamat yaa? Kamu menjadi siswi yang memiliki nilai UN tertinggi," kata Bu Guru memberikan selamat.

Chika langsung mencium tangan gurunya satu-satu dan memeluk sebagai tanda perpisahan.

Tak terasa, air matanya menetes di pipinya. Chika sedih karena dia akan meninggalkan sekolah yang sangat istimewa, guru-guru yang sangat baik dan juga para teman di sekolah itu yang sudah baik kepadanya. Di sisi lain, Chika sangat terpukul karena kedua orang tuanya tidak hadir dalam acara itu.

Chika duduk di samping Anita yang sudah memegang piagam juga. Anita melihat kesedihan di wajah Chika yang sangat dalam, Anita pun tau pasti Chika menunggu kedatangan kedua orang tuanya. Tapi, sayang mereka tidak datang di acara perpisahan sekolahnya.

Dengan wajah yang sedih, Chika mengelap air matanya dengan tissue. Dia tak mau dianggap cengeng oleh orang lain.

Acara pun telah selesai, Anita dan kedua orang tuanya duduk di halte sekolah untuk menemani Chika yang menunggu jemputan.

"Chika, kamu jangan sedih yaa? Pasti orang tua kamu ingin melakukan yang terbaik buat kamu," kata Anita mengelus bahu Chika.

"Iya, Anita."

Tak lama kemudian, supirnya sudah datang menjemput. Chika berpamitan kepada Anita dan kedua orang tuanya.

"Non," ucap Supir mendekati Chika.

"Iya, Pak? Sebentar, ini aku lagi pamitan dulu," kata Chika.

"Non, ada info penting," kata Supir.

"Info apa, Pak?"

"Mami sama Papi, Non..." ucap Supirnya terbata-bata tak melanjutkan pembicaraannya.

"Kenapa? Mereka tidak datang disini, dan mereka pasti menyuruh Pak Udin untuk menyampaikan maaf mereka? Iya, Pak saya faham," kata Chika seolah sudah terbiasa dengan orang tuanya.

"Bu...bu...kan, Non. Tapi..."

"Tapi, apa Pak? Bicaralah," kata Chika penasaran.

"Mami sama Papi Non kecelakaan tadi menuju kesini," ucap Pak Udin.

"HAAAHHH? APAA?!!! teriak Chika.

Anita dan kedua orang tuanya juga kaget mendengar berita itu.

"Terus, Mami sama Papi dimana? Anterin aku, Pak, cepetan," ucap Chika panik dan menangis.

"Ada di rumah sakit, ayoo, Non," kata Pak Udin.

"Chika, aku ikut yaa?" kata Anita.

Chika mengangguk. Anita pun sudah meminta izin kepada orang tuanya untuk menemani Chika ke rumah sakit, orang tuanya mengizinkan.

Anita langsung masuk ke dalam mobil Chika. Dia berusaha menenangkan Chika yang sangat sedih dan terpukul.

"Chik, aku ikut sedih denger berita ini," kata Anita merangkul bahu Chika.

"Makasih, Nit."

"Aku yakin, pasti Mami sama Papi kamu gak kenapa-napa," kata Anita.

"Thank you, Anita. You're my best friend," kata Chika memeluknya.

Chika merasa bersalah, karena dia telah menyuruh orang tuanya agar segera datang. Kalau kejadiannya akan seperti itu, mungkin lebih baik orang tuanya tidak hadir sama sekali.

"Mi, Pi, maafin Chika," batinnya.

Tak lama kemudian, Chika dan Anita sudah sampai di Rumah Sakit. Mereka langsung turun dan berlari untuk menemui orang tua Chika.

"Sus, Mami sama Papi saya dimana?" tanya Chika begitu sampai di bagian Informasi.

"Atas nama siapa?"

"Korban kecelakaan tadi siang sekitar jam 14.00," kata Pak Udin dari belakang.

"Oh, itu masih dalam penanganan Dokter. Masih ada di ruangan UGD di sebelah sana," kata Suster mengarahkan.

Chika pun ingin masuk ke dalam ruangan, tapi tidak diperbolehkan.

"Mi, Pi," panggil Chika.

"Kamu yang tenang. Aku yakin, mereka akan baik-baik aja. Dokter pasti melakukan yang terbaik untuk Mami sama Papi kamu," kata Anita.

"Non yang sabar yaa?"

"Tapi, gimana keadaan Mami Papi? Aku gak bisa di luar terus, aku mau tau keadaan Mami sama Papi," ucap Chika dengan sedih.

"Non berdo'a, supaya Mami Papi Non segera pulih kembali," kata Pak Udin.

"Mi, Pi, Chika gapapa kok kalau Mami sama Papi gak dateng. Ini salah Chika!" kata Chika memukul dirinya sendiri.

Dokter keluar.

"Dok gimana keadaan Mami sama Papi aku?" tanya Chika langsung menghampiri Dokter yang baru saja keluar.

Pak Udin dan Anita juga menghampiri Dokter.

"Mohon maaf, orang tua kamu gak bisa diselamatkan. Kecelakaan itu membuatnya kehilangan banyak darah. Saya sudah melakukan semaksimal mungkin. Tapi, Tuhan berkata lain," ucap Dokter.

Brug! Seketika tubuh Chika langsung jatuh ke lantai. Dia menangis sejadi-jadinya, meluapkan segala emosinya.

"Non, yang sabar," kata Pak Udin.

"Chika, tabah yaaa?" kata Anita menopang tubuh Chika yang sudah sangat lemas.

Chika tak bisa berkata apa-apa lagi. Semuanya seperti mimpi, tapi itulah kenyataan. Chika langsung masuk ke dalam ruangan. Terlihat, jasad Mami dan Papinya yang sudah ditutupi oleh sehelai kain putih.

"Mami, Papi, banguuuunnnn," teriak Chika sambil memeluk mereka.

Kini, Chika telah ditinggal sendiri oleh kedua orang tuanya. Seharusnya, hari itu adalah hari bahagia untuk Chika. Tapi, ternyata takdir berkata lain. Mampu atau tidak mampu, Chika harus menjalani hidupnya sendiri. Mungkin, Chika sudah terbiasa hidup sendiri di rumahnya, karena kedua orang tuanya selalu sibuk di luar kota. Tapi, Chika selalu menantikan kehadiran kedua orang tuanya pulang.

"Mi, Pi, maafin Chika. Chika gak seharusnya memaksa Mami dan Papi. Kalau Chika gak paksa Mami sama Papi, mungkin Mami sama Papi masih ada," ucap Chika menangis tersedu-sedu.

Bruk! Tubuh Chika terjatuh, dia pingsan. Lalu, tubuh Chika dibawa keluar dan Anita senantiasa ada di samping Chika. Anita sudah meminta izin untuk tidak kerja pada hari itu, dia ingin menemani Chika.

***

Jenazah kedua orang tua Chika sudah ada di rumah. Semua orang melayat dan berduka atas kepergian orang tua Chika. Chika senantiasa ada di samping jenazah kedua orang tuanya. Dia terus berdo'a dan berharap semuanya hanya mimpi. Tapi, itu semua kenyataan. Kini, Chika harus menerima semua takdir yang Tuhan berikan.

Setelah dishalati, jenazah kedua orang tua Chika segera dibawa ke pemakaman umum untuk disemayamkan. Chika semakin menangis karena dia harus kehilangan dua orang yang sangat berharga dalam hidupnya.

Sesampainya di pemakaman, jenazah langsung dikuburkan dan dido'akan oleh warga yang ikut serta mengantar. Setelah berdo'a semuanya pulang, kecuali Chika dan Anita. Anita terus menemani Chika yang sedang sedih dan sangat terpukul atas kepergian kedua orang tuanya.

Chika terus memeluk makan Papi dan Maminya. 

"Mi, Pi, I still hope that you will accompany me until I succeed," tutur Chika di depan makam orang tuanya.

"Chika, kamu sekarang hanya bisa berdo'a buat kedua orang tua kamu. Kamu pasti bisa melewati ini semua," kata Anita mengelus punggung Chika.

"But, none of this is fair to me, Nit. Aku gak bisa hidup tanpa mereka. Kalau boleh memilih, aku ingin ikut dengan kedua orang tuaku," ucap Chika terus menangis.

"Chika, kamu pasti bisa. Kamu jangan bilang itu, aku yakin Tuhan akan memberi yang terbaik buat hidup kamu."

"Ya, tapi semua ini sungguh menyakitkan, Nit. Aku gak bisa hidup sendiri, aku butuh kedua orang tuaku. Kenapa Tuhan mengambil kedua orang tuaku? Kenapa gak aku saja?" teriak Chika dengan nada tinggi.

"Chik, aku akan terus ada buat kamu disaat kamu butuh. Aku akan selalu menemani kamu," kata Anita.

"Nit, aku gak bisa bayangin hidup aku ke depannya akan seperti apa," ucap Chika dengan sendu.

"Hidup kamu akan lebih baik. Aku yakin itu, Chik. Kamu harus optimis, kamu harus bisa tunjukkin kepada orang tua kamu. Pasti mereka melihat kamu dan bangga sama kamu. Memang, mereka sudah tidak ada di dunia ini, tapi mereka akan ada di dalam ini selamanya," ucap Anita memegang ke arah hati.

Kini, Chika sudah sedikit tenang dan dia akan mencoba mengikhlaskan kepergian kedua orang tuanya, walau sulit baginya. Anita membujuk Chika untuk pulang, karena hari akan berganti malam.

Sesampainya di rumah, Chika duduk dan termenung meratapi nasibnya. Melihat Chika masih dalam keadaan bersedih, Anita membuatkan teh hangat untuknya.

"Chik, ini minum dulu," ucap Anita menyodorkan segelas teh hangat.

"Makasih, Nit."

Chika meneguk air teh-nya. Dia langsung ke kamar untuk menunaikan shalat Maghrib. Tak lupa, dia berdo'a untuk kedua orang tua yang sangat dia cinta.

"Ya Allah, semoga Mami dan Papi akan tenang di Surga-Mu. Aku mohon, ringankanlah siksa kuburnya, terangilah kuburnya dan jangan Engkau memasukkan orang tua aku ke dalam neraka. Semoga aku bisa menjalani hidup ini, aku yakin akan kuasa-Mu."

Selesai berdo'a, Chika langsung keluar untuk menemui Anita yang juga sudah shalat.

"Nit, udah malem, kamu nginep disini 'kan?" kata Chika dengan mata sembab karena terus menangis.

"Chika, aku akan ada di samping kamu, untuk menemani kamu," kata Anita.

"Thank you, Anita. Kamu memang sahabat aku yang paling baik," kata Chika.

"Kamu sekarang hanya bisa berdo'a dan kamu harus mengikhlaskan kepergian orang tua kamu yaa, Chik?"

"Insya Allah aku akan melakukannya. Aku akan mengikhlaskan kepergian Mami sama Papi aku, walau ini berat bagi aku. Tapi, aku kini hanya bisa berdo'a," tutur Chika.

Mereka langsung mengunci semua pintu rumah Chika, dan langsung ke kamar untuk tidur.

Anita terlihat langsung terlelap, mungkin dia kecapean karena banyak acara pada hari ini.

"Mi, Pi, aku kangeeen," ucap Chika meneteskan air matanya lagi.

Chika hanya bisa melihat wajah orang tuanya lewat foto. Dia tak bisa menggenggam, bahkan memeluknya lagi. Chika harus merelakan semua takdir ini.

"Mi, Pi, andai kalian tau, Chika sangat sayang dan cinta sama Mami dan Papi. Kenapa secepat ini kalian ninggalin Chika? Chika harus gimana? Chika gak tau harus berbuat apa lagi, Mi, Pi," kata Chika menatap wajah keduanya di foto.

Anita terbangun, tapi dia diam dan pura-pura tidur. Dia tak mau mengganggu kerinduan Chika pada kedua orang tuanya.

"Kasihan Chika, harusnya dia berbahagia. Tapi, dia harus mengalami semua ini, orang tuanya harus pergi dengan cara tragis seperti itu. Bahkan, Chika harus bisa menerima kenyataan itu semua. Ya Allah, semoga Chika kuat menghadapi kenyataan pahit ini," kata Anita dalam hati.

_______

Pagi itu, Anita sudah bangun. Dia menatap ke arah Chika yang sedang melaksanakan Shalat Subuh. Anita segera bangkit dan ke kamar mandi untuk melaksanakan kewajibannya juga.

Do'a Chika masih sama, dia hanya ingin kedua orang tuanya tenang di Surga. Chika berharap akan dipertemukan kembali dengan kedua orang tuanya, walaupun itu cuman mimpi.

Selesai shalat, Anita ke dapur untuk memasak sarapan pagi. Chika pun menghampiri Anita.

"Nita?" ucap Chika.

"Eh, Chika."

"Kamu jago masak yaaa?"

"Enggak kok, Chika. Aku baru belajar masak aja."

Chika membantu Anita memasak. Selesai memasak, keduanya langsung duduk di ruang makan.

Air mata Chika kembali menetes saat dia menyuapkan makanannya ke dalam mulut. Dia teringat akan kebersamaan dengan Mami dan Papinya. Chika rindu keduanya, walaupun mereka jarang di rumah.

"Mi, Pi, sekarang aku gak ada harapan lagi untuk menunggu kalian pulang. Kalian tidak akan pulang lagi ke rumah ini," kata Chika dengan pelan.

Anita mendekati Chika.

"Chika, aku tau ini berat. Tapi, kamu wanita kuat, aku yakin kamu akan terbiasa dengan semuanya."

Setelah sarapan, Anita pamit untuk pulang kepada Chika. Dia harus bekerja pada hari itu. Karena, Anita sudah bilang kalau dia akan bekerja fulltime setelah lulus sekolah.

"Kalau kamu ada apa-apa, kamu hubungin aku yaaa?" ucap Anita.

"Iya, Nit. Terima kasih kamu udah nemenin aku. Nanti aku pasti hubungin kamu," kata Chika.

Chika mengantar Anita sampai ke depan rumah. Lalu, Anita memesan g*jek.

"Daaahhh," Anita melambaikan tangan dan dibalas oleh Chika dengan lambaian tangan juga.

Chika berbalik badan, dia sangat berat untuk melangkah masuk ke dalam rumah. Kini, Chika benar-benar sendiri.

Mau tidak mau, Chika harus bisa melewati itu semua. Chika duduk dan kenangan itu kembali menari di dalam otaknya.

"Dulu, Mami sama Papi sibuk kerja untuk aku, aku selalu menelpon Mami sama Papi dan meminta kalian untuk pulang. Tapi, sekarang? Aku gak tau harus mengadu semua keluh kesah aku kepada siapa? Aku seperti hilanga arah tanpa kalian," kata Chika bersender di dekat kamar orang tuanya.

Chika membuka kamar orang tuanya, lalu masuk ke dalamnya.

"Setiap kalian pulang, pasti aku tidur disini, bersama kalian, Mi, Pi. Tapi, sekarang aku sendiri di rumah ini, tidak ada siapa-siapa lagi. Aku bener-bener sendiri," ucap Chika kembali meneteskan air matanya lagi.

Kenangan-kenangan indah bersama orang tuanya terlintas dalam fikirannya. Terlalu banyak kenangan yang dia buat bersama kedua orang tuanya. Chika gak akan mampu untuk melupakan semuanya. Chika pun harus terbiasa dengan keadaan itu, keadaan yang sangat berubah drastis 180 derajat.

Tok...Tok...Tok...

Chika langsung berjalan dan membukakan pintu.

"Apa ini benar dengan rumah Ibu Indira?" tanya seorang pria.

"Iya, betul. Mami baru saja meninggal," kata Chika.

"Innalillahi, saya turut berduka atas meninggalnya Bu Indira. Tapi, ada hal yang harus saya sampaikan," ucap Pria itu.

"Silahkan, Bapak masuk," ajak Chika.

Mereka duduk di sofa ruang tamu. Pria itu menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke rumah itu.

"Berapa utang Mami saya?" tanya Chika.

"Utang Ibu Indira 100 juta," jawab pria itu.

Kanaya kaget karena tak menyangka Maminya punya utang ke perusahaan lain sebanyak itu.

"Baiklah, tunggu sebentar," ucap Chika.

Chika langsung masuk ke dalam kamar orang tuanya. Dia membuka berangkas, dimana orang tuanya selalu menyimpan uang disana. Chika mengambil uang 100 juta untuk membayar kepada orang itu.

"Ini, Pak. Silahkan dihitung," kata Chika menyodorkan beberapa lembar uang ratusan ribu.

Pria itu langsung menghitung uangnya.

"Udah pas. Terima kasih banyak," kata Pria itu.

Lalu, pria pergi dan bersalaman dengan Chika.

Chika kembali memeriksa brangkas. Dia menghitung uangnya. 

"Ini gak akan bisa cukupin hidup aku. Aku harus bagaimana?" ucap Chika.

Lalu, Chika pun menelpon sahabat Papinya untuk meminta bertemu dengannya.

Beberapa menit kemudian, sahabat Papinya langsung datang ke rumah. Orang itu adalah orang kepercayaan Papinya di kantor.

"Saya turut berduka cita atas meninggalnya Ibu Indira dan Pak Beny," ucap Pak Temi.

"Terima kasih, Pak. Aku mau nanya, perusahaan Papi ku itu gimana, Pak?" tanya Chika.

"Mungkin ini saatnya saya sampaikan ini pada kamu."

Pak Temi langsung menceritakan semuanya. Perusahaan Papinya sudah di ujung tanduk dan tak akan mungkin bisa terselamatkan lagi.

"Jadi, perusahaan Papi gak berjalan dengan lancar, Pak?" tanya Chika kaget.

"Iya, betul. Bahkan, perusahaan sudah digadaikan oleh Pak Beny untuk menutupi semua utang piutangnya dan juga untuk menggaji semua karyawan. Kemungkinan besar, perusahaan Pak Beny akan disita. Karena, Pak Beny tak mampu bayar semua utangnya, apalagi sekarang beliau sudah tiada," kata Pak Temi.

"Aku serahkan semuanya pada Bapak. Aku gak bisa berbuat apa-apa, Pak. Saya hanya ingin Papi dan Mami saya tenang, tanpa ada utang di dunia ini lagi," ucap Chika pasrah.

"Baiklah. Saya akan mengurus utang piutang semuanya dan perusahaan itu akan disita lusa karena Pak Beny tak mampu membayar utangnya," kata Pak Temi.

Chika mengangguk seolah ngerti. Padahal, dirinya tak pernah tau kalau Papinya punya hutang sebanyak itu. Selama ini, kecukupan Chika sangat tercukupi dan tak pernah ada kekurangan.

"Aku gak ngerti, Pi. Tapi, aku mau Papi dan Mami tenang disana, tanpa ada urusan apapun di dunia ini yang menyangkutpautkan kalian," ucap Chika dalam hati.

Gimana cerita ini? Ini baru awal yaa? Jangan lupa like dan komentar di cerita ini. Ditunggu kritik dan sarannya juga yaaa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status