“Sudah? Mari.. akan segera ku antar kau pulang. Ini sudah larut,” ajak Sean lalu berjalan mendekati Keira dengan gaya sok kerennya.
“Iya.. sebentar,” ucap Keira sambil turun dari ranjang anak-anak dengan sangat perlahan, agar mereka tidak terbangun karena pergerakan Keira.
Mereka berjalan bersama, keluar dari asrama menuju ke parkiran belakang. Untuk pergi ke tempat itu mereka harus melewati sebuah lorong yang sedikit gelap, mungkin karena lampunya ada beberapa yang mati karena rusak. Di yayasan itu di setiap sisinya selalu terang, hanya bagian itu saja yang tergelap.
Saat mereka sudah keluar dari bangunan, tempat itupun juga minim penerangan. Entah mengapa, di tempat seperti ini malah banyak lampu yang rusak. Di sekitar parkiran itu terdapat banyak sekali pepohonan yang mengitari, dan juga semak-semak yang sedikit rimbun.
Tepat sebelum mereka memasuki area parkiran, tiba-tiba ada suara seperti pergerakan seseorang di balik semak-semak dekat mereka. Mereka pun langsung menoleh ke asal suara itu dengan was-was. Mereka tampak sedikit khawatir dan wajah Sean yang tampak menahan rasa takut. Suara itu tiba-tiba makin lama makin keras dan yang terakhir sangat mengagetkan. Sean langsung melompat kaget sambil berteriak,
“YA TUHAN, LINDUNGI KAMI DARI SETAN-SETAN KURANG KERJAAN ITU!!!” teriaknya dengan mata tertutup karena takut akan apa yang sedang mengganggu mereka itu.
Tak lama terdengar suara kucing yang mengeong-ngeong seperti sedang kehausan, karena suaranya terdengar sangat serak.
Keira memandang Sean sambil menahan tawanya yang sangat ingin meledak saat itu juga. Saat Sean membuka matanya, ia pun merasa kaget bahwa yang keluar dari semak-semak ternyata hanyalah seekor kucing. Lalu ia melihat Keira yang terlihat sedang menahan tawa, namun sialanya ia tidak bisa menahannya lagi.
“HAHAHA... astaga kau ini penakut sekali! Itu hanya kucing, kau tahu? Perilakumu sangat bertolak belakang dengan otakmu sepertinya. Kukira orang yang pandai akan bersikap lebih berwibawa dan cool. Ternyata aku salah, HAHAHA...” ucap Keira dengan susah payah karena sambil menahan tawa, bahkan mukanya kini berubah warna menjadi kemerahan karena tawa yang sedang berusaha sangat ia tahan.
Sedangkan Sean hanya memandang Keira tak lama lalu berkata,
“Hei.. orang yang pandai sepertiku ini juga memiliki kekurangan,” kata Sean salah tingkah karena malu akan kelakuannya sendiri di depan Keira tadi.
“Kau sangat lucu, aku sampai kesulitan untuk berhenti tertawa sekarang. Astaga.. bagaimana ini?” ujar Keira yang masih terlihat berusaha menahan tawanya, ia selalu terngiang-ngiang kata Sean yang, “setan kurang kerjaan” itu. Padahal Sean sendiri adalah seorang pengangguran.
“Sudahlah, kau ini. Aku merasa sangat malu jika kau seperti itu.. Tolong berhentilah tertawa,” kata Sean dengan nada menyerah.
“Baiklah-baiklah, ma’afkan aku. Aku akan berhenti tertawa,” kata Keira sambil menetralisir tawanya agar mau berhenti.
Tiba-tiba, kucing yang tadi disangka setan oleh Sean mendekat dengan terus mengeong dengan suara yang semakin serak. Sepertinya ia memang benar-benar sedang kehausan. Keira merasa iba.
“Apakah di sekitar sini ada kran atau semacamnya?” tanya Keira pada Sean.
“Di sebelah sana ada ember berisi air yang biasa digunakan untuk menyiram bunga-bunga kecil milik anak-anak,” jelas Sean sambil menunjuk ke sebuah kebun kecil dekat pintu masuk asrama tadi.
Tak lama Keira langsung berlari kecil menuju kesana, dan entah kenapa kucing tadi juga mengikutinya. Mungkin kucing itu berharap diberi sesuatu untuk dapat melegakan tenggorokannya.
Keira sampai di kebun itu, ia melihat banyak sekali ember-ember berisi air yang ditutup sebuah ember lainnya yang berukuran lebih gepeng. Ia segera mengambil air itu di sebuah gelas pelastik kecil yang berada di sampingnya, dan memberikannya pada kucing tadi yang ternyata telah berada di belakangnya.
Sean masih berdiri di tempatnya. Ia memperhatikan semua apa yang dilakukukan oleh Keira. Tak lama setelah Keira memberikan air pada kucing itu, ia berlari kembali menuju Sean untuk segera pulang.
“Ma’af membuatmu menunggu.. Mari kita pulang sekarang,” ajak Keira sambil membersihkan tangannya dari sedikit pasir yang tak sengaja terkena saat mengambilkan air tadi.
“Mari,” kata Sean langsung berjalan menunjukkan jalan menuju motornya.
Motor Sean memang terlihat klasik, namun sepertinya telah banyak dimodifikasi sedemikian rupa hingga terlihat sangat apik. Dan suaranya pun tak terdengar berisik sama sekali, seperti motor matic namun sedikit lebih lembut.
Sean memberikan salah satu helm nya pada Keira, lalu ia segera memakai helm nya sendiri agar bisa segera berangkat. Sebelum Keira naik ke motor, Sean bertanya,
“Rumahmu di mana?”
“Tolong antarkan aku ke rumah sakit di pusat kota saja. Aku akan mengunjungi seseorang disana,” pinta Keira.
“Lalu bagaimana kau akan pulang nanti? Ini sudah larut, dan lagi pula setelah kegiatan hari ini apa kau tidak kelelahan?” tanya Sean yang tiba-tiba merasa khawatir, ia sendiri bingung ada apa dengannya padahal sebelumnya ia tak pernah merasa sekhawatir ini pada orang lain.
“Tak apa. Rumahku dekat dengan rumah sakit itu, aku sangat mengenal daerahnya. Jadi, kau tenang saja. Aku bisa menjaga diri,” jelas Keira.
“Ahh, baiklah..”
Keira pun segera naik ke motor dan mereka pun memulai perjalanan mereka. Mereka melewati gerbang di bagian belakang bangunan itu, seperti yang dikatakan oleh paman Moza saat Keira pertama masuk tadi.
Mereka mulai melewati jalanan besar yang sedikit ramai. Aroma kendaraan dapat mereka hirup saat ini. Anginnya pun terasa sangat dingin karena gerimis yang mengguyur kota sore hingga malam tadi.
Keira merasa sedikit kedinginan karena baju yang dikenakannya tidak terlalu tebal, dan juga bagian lengannya yang terus di biarkannya terbuka karena tragedi kopi panas tadi membuatnya sedikit perih jika tergesek oleh baju.
“Apakah kau kedinginan?” tanya Sean yang melihat Keira melipat tangannya serta menggesekkan telapak tangannya pada lengan bagian atas itu melalui kaca spion.
“Lumayan sih,” jawab Keira sambil mendekatkan kepala pada Sean agar ia dapat mendengar suaranya dan Keirapun dapat mendengar suara Sean dengan jelas juga.
“Sama.. Aku juga kedinginan,” ucap Sean yang memang hanya memakai baju kaos yang sedikit tipis sambil terus fokus menyetir.
“Iya, terus manfaat dari pertanyaanmu itu apa?” tanya Keira.
“Tidak ada sih, aku hanya ingin berbicara padamu. Karena dari tadi kita hanya diam saja, aku bisa mengantuk karena itu, hahaha....”
“Ahh, benarkah? Lalu aku harus bagaimana agar kau tidak mengantuk? Bisa berbahaya kalau sampai kau tertidur di jalan,” tanya Keira bingung karena pernyataan Sean barusan.
“Emm, bagaimanma kalau kau menceritakan sebuah lelucon? Jika aku tertawa dijamin aku tidak akan mengantuk sampai tiba ditempat nanti,” suruh Sean mencoba mengerjai Keira. Karena sebenarnya Sean bukan orang yang mudah mengantuk, sedari tadi ia berbohong pada Keira.
“Aku bukan orang yang bisa membuat lelucon seperti itu. Sepertinya yang bisa melakukan hal seperti itu adalah kau sendiri,” kata Keira.
“Astaga, bagaimana ini aku bisa mengantuk nanti,” ujar Sean sambil menahan tawa dengan melipat bibirnya. Astaga menyenangkan sekali mengerjai gadis itu, batin Sean.
“Tapi aku bisa sedikit bernyanyi, apakah dengan itu bisa menghilangkan kantuk mu?” tanya Keira karena mendapatkan sebuah ide.
“Mungkin. Kau coba saja dulu.”
Lalu Keira mencoba mulai bernyanyi, awalnya ia memang kurang percaya diri dan canggung. Namun setelah beberapa saat, ia menyanyikan lagu kesukaanya waktu kecil bersama kakaknya itu dengan percaya diri. Saat itu ia tak sadar ada sedikit sekali air mata yang mulai merembes di ujung matanya. Karena setiap lirik lagu itu mengingatkannya pada sosok kakaknya saat masih selalu ada untuk keira dan menemaninya dahulu. Ia sudah sering mendengarkan lagu ini, tapi entah kenapa saat ia menyanyikannya kali ini terasa sangat mendalam.
Yesterday – The Beatles.
“Sepertinya aku mengenal lagu ini,” ujar Sean dalam hati.
Mereka tiba di rumah sakit. Keira menuruni motor sambil membuka helm yang dipakainya tadi lalu memberikannya pada Sean. “Terimakasih banyak karena telah mengantarkanku sampai ke sini dengan selamat.” “Sama-sama gadis tomat. Tapi omong-omong suaramu tadi lumayan,” kata Sean sambil menggantungkan helm yang diberikan Keira tadi ke jok bagian depan. “Kau tidak perlu meledekku seperti itu, aku bisa sadar diri kok. Dan ya, untuk sebutan gadis tomat itu, lumayan lucu. Aku hampir saja tertawa lagi karena kau hari ini,” kata Keira dengan ekspresi yang entah, sangat sulit diartikan oleh Sean. “Aku serius, suaramu sama sekali tidak buruk. Dan lagu tadi,.. apa judulnya?” tanya Sean yang penasaran karena merasa seperti pernah mendengarnya sebelumnya. “Terima kasih, judul lagunya Yesterday-The Beatles. Aku pergi dulu,” jawab Keira dengan tersenyum tipis sebelum akhirnya benar-benar melangkah pergi. Keira berjalan masuk menuju dalam rumah sa
“Iya.. sebenarnya ada yang ingin kusampaikan padamu, Kei. Ini tentang orangtuamu,” ucap paman Gio dengan nada serius. Keira sedikit cemas, kenapa paman Gio terlihat sangat serius sekali. Sepertinya ini bukanlah hal yang main-main. “Ada apa dengan orangtuaku paman?” tanya Keira dengan wajah yang terlihat sangat penasaran. “Mereka tidak bisa pulang dulu untuk beberapa bulan, ada proyek di luar kota. Mereka memintaku untuk mengabarimu. Karena mereka tidak sempat pulang hari ini dan harus segera berangkat menuju bandara,” jelas paman Gio. Paman Gio memang bekerja bersama orangtua Keira, di perusahaan yang sama sebagai bawahan papanya. Paman Gio pun juga sering mengirimi pesan pada Keira, untuk mengabari jika orangtuanya sedang akan bertugas selama berbulan-bulan di luar kota. Entah betapa tidak pedulinya orangtua Keira, hingga untuk mengabari anaknya saja selalu diwakilkan oleh orang lain. Keira pun sama sekali tidak ingat kapan terakhir kali ia b
(Sean pov.) Hari ini, Sean akan pergi mencari orang yang ingin ia cari sejak pulang ke negara ini. Ia berencana untuk naik angkutan umum saja, karena daerah itu dekat dengan halte. Mungkin saja, ia akan bertemu dengan mereka saat di perjalanan. Sebelum pergi dari asrama yayasan, Sean meminta ijin dari paman Moza terlebih dahulu agar beliau tidak khawatir bila melihat Sean tidak berada di tempatnya. Tak lama menunggu di halte terdekat dari asrama itu, bus yang menuju ke tujuan Sean telah tiba. Ia segera naik, lalu menggesekkan kartu angkutan umum yang diberikan pamannya pada mesin pembayaran otomatis dan segera mencari duduk di bagian belakang bus ini. Sudah lama sekali rasanya, Sean tidak menumpangi kendaraan umum seperti saat ini. Terlihat banyak sekali yang telah berubah. Semua sudah serba canggih dan terlihat lebih modern dibanding dulu. -------------------- Setelah sampai di sana, Sean langsung turun dan mulai
“Bukankah kau Keira? Aku Noel..” kata pria itu sambil memastikan gadis di depannya ini benar-benar orang dia maksud atau bukan. Keira melihat pria itu berbadan tinggi, memakai kaos warna putih polos yang berukuran lebih besar dari badannya, dan menyelipkan sedikit bagian bawah depan bajunya ke dalam celana yang ia pakai. Memakai sandal selop bewarna hitam dan celana selutut yang juga bewarna hitam. Rahangnya tampak tegas dan memiliki bulu mata serta alis yang lebih tebal dari pada Keira. “Noel? Ma’af, sepertinya aku tidak mengenalmu..” “Benarkah? Tapi kau ini Keira anak jurusan piano, kan? Aku teman sekelasmu,” kata pria itu lagi untuk memastikan. “Benar.. Aku Keira jurusan piano. Tapi aku sama sekali tak mengenalmu,” kata Keira sambil terus memandangi pria di depannya, berharap akan mengingat sesuatu tentang teman sekelasnya ini. “Sepertinya kau memang benar-benar tidak mengenalku. Aku memang jarang aktif sih di kelas, tapi sepertinya kau leb
keira membantu paman Noir untuk meunutup toko, ia membereskan barang-barang yang berserakan lalu menyapu lantai. Hari ini Keira akan mengunjungi kakaknya dengan membawa buah pemberian nenek Madu tadi siang. Ada beberapa apel dan juga buah naga ungu kesukaan kakaknya. “Selamat beristirahat paman,” kata Keira sambil memakai tas di punggungnya. “Kau juga, Kei.” Keira pergi keluar dari toko tersebut dan segera berjalan menuju rumah sakit. Seperti biasa ia akan membeli bunga krisan terlebih dahulu di toko dekat rumah sakit. Setelah sampai di kamar Rega, Keira langsung duduk di sebelahnya dan mengambil piring di atas nakas. “Kak, aku membawakan buah kesukaanmu. Buah Naga!” kata Keira sambil menujukkan kantung buah di tangannya. “Dari nenek Madu?” tanya Rega sambil menoel-noel kantung buah tersebut. “Tepat sekali. Tunggu sebentar aku akan mencuci tangan terlebih dahulu.” Keira berjalan menuju wastafel di dalam kamar tersebut l
“Mari kita berangkat tuan pengangguran,” kata Keira sambil menaiki motor Sean dengan senyum penuh kemenangan. Sean memejamkan mata sambil menghembuskan napas lelah. Gadis di depannya ini jauh lebih licik dari yang ia kira. Tak lama setelahnya, Sean langsung menjalankan motornya untuk segera berangkat. Sesekali Keira mengingatkan Sean agar tidak mengantuk saat di perjalanan. “Hei, jangan mengantuk!” kata Keira sambil menepuk bahu Sean. Beberapa kali ia mengucapkan kata-kata tersebut dan hanya dijawab dengan dehaman saja oleh Sean. Sampai akhirnya mereka tiba di parkiran asrama, dengan sigap Keira melepas helm nya dan memberikannya pada pria di depannya ini. “Terima kasih.” Setelah mengatakan itu Keira langsung pergi meninggalkan Sean yang masih sibuk menaruh helm yang dipakai Keira lalu mencopot helm yang dipakainya sendiri. Baru saja masuk ke dalam asrama, Keira langsung diserang oleh tiga anak kecil yang berlari menuju
“Ayolah. Ada yang ingin sekalian kubicarakan padamu. Ini sangat penting bagiku,” ucap Sean dengan nada memohon. “Kau kan bisa langsung bicara saja tanpa harus membawaku ke sini.” Sean menatap Keira dengan tatapan yang sangat sulit diartikan. Keira membalas tatapan Sean dengan raut garang, namun sepertinya ia gagal karena malah terlihat menggemaskan. Tanpa banyak bicara lagi, akhirnya Sean memutuskan untuk langsung menarik tangan Keira menuju ke ruko tujuannya. Mungkin meski terlihat sedikit kasar, namun sebenarnya Sean tidak menariknya dengan keras. Keira tersentak kaget, namun tidak memberontak. Ia tak melepaskan genggaman tangan Sean. Ia terus menatap tangannya yang sedang ditarik lembut oleh seorang pria di depannya ini. Entah mengapa, terasa sangat... hangat. Tess... Tiba-tiba air mata Keira jatuh dari mata bagian kanannya. Tess.. tess.. Dalam waktu sepersekian detik, kedua matanya terus mengeluarkan a
Pagi ini, Keira duduk di depan cermin sambil beberapa kali memejamkan mata. Sejak bangun tidur tadi ia merasa pusing dan sedikit lemas. Ia memijat kepalanya pelan, lalu mengoleskan minyak angin super panas di titik-titik kepala yang terasa berdenyut. Namun sepertinya ia masih bisa berangkat ke kampus, karena tidak begitu terasa parah. Ia segera bersiap dan berangkat seperti biasa. Tak lupa ia memakai outer rajut yang lebih tebal dari biasa karena merasa sedikit kedinginan. --------------- Sampai di kelas, Keira langsung duduk di bangkunya dan membenamkan kepala di lipatan tangannya di atas meja. Karena dengan begitu ia merasa lebih baikan. “Pagi, Kei!” Suara Noel terdengar menyapa. Keira hanya menolehkan kepala saja karena terlalu malas untuk mengangkatnya. “Hmm..” “Kau kenapa? Suaramu terdengar lemas,” tanya Noel sambil mengambil kursi di sampingnya yang masih kosong. “Aku baik-baik saja, aku.. kurang tidur, mu