“Terkutuklah, kau, Setan sialan!” teriak Keira sambil memejamkan mata.
“Enak saja setan, dokter tampan seperti ini tidak pantas di sama-samakan dengan setan manapun. Ternyata kau ini juga penakut rupanya,” ujar sang pelaku yang membuat jantung Keira hampir terpental dari asalnya ini.
Keira langsung menyadarkan diri, lalu melihat siapa pria di hadapannya saat ini. Dan setelah mengenalinya Keira mulai menarik napas jengah, sambil menampakkan muka yang sangat datar.
“Sepertinya aku tidak salah, tuh. Kau kan memang manusia berperilaku seperti setan, mengageti orang seperti itu. Itulah pekerjaan setan, dan kau melakukannya dengan sangat baik.”
Astaga, Keira berusaha setengah mati menahan rasa malunya dan berusaha mengalihkan pembicaraan saat ini. Mengingat tingkahnya yang ketakutan tadi, ia benar-benar menyesal sempat bercerita horror dengan Rega sebelumnya. Karena hal itulah ia jadi merasa lebih was-was terhadap sekitarnya,
Sedari kecil, Keira suka bermain piano. Ia dan kakaknya sering belajar bersama di rumah dan di sebuah toko jual beli alat musik dekat rumahnya, toko Bluestone milik paman Noir. Kakaknya sangat pandai bermain piano saat itu. Namun, sekarang tidak mungkin karena piano yang berada dirumah telah dihancurkan dan dibuang oleh ayahnya ketika ia masih kecil. Tidak banyak yang Keira ingat, yang dia ingat hanyalah amarah ayahnya yang menggebu-gebu melarang mereka untuk bermain piano lagi. Pun kakaknya yang kini sudah tidak berada dirumah. Seperti biasa, hari ini Keira ada kelas di kampusnya. Ia harus mulai bersiap dan berangkat ke sana. Waktu tempuh menuju kampusnya hanya 15 menit dengan berjalan kaki. Setelah Keira sampai di kampus, ia langsung menuju kelasnya dan menempati tempat duduknya. Sekitar lima menit lagi kelasnya akan dimulai. Ruang kelas pun sudah penuh. “Selamat pagi..” ucap dosen yang tiba-tiba masuk, dan kelaspun dimulai seperti biasa. Sek
Keira membuka pintu toko Bluestone yang saat membukanya berbunyi “Tiing..”, karena ada sebuah lonceng kecil yang tergantung di atas pintu. Ia masuk kedalam toko dan langsung menyapa paman Noir. “Selamat sore paman Noir yang paling tampan sejagat alam ghaib serta makhluk-makhluknya!” teriak Keira sambil nyengir kuda. “Astaga Keira, kau kejam sekali mengatai orang tua renta ini dengan sebutan macam itu. Kau ini mau paman sentil retina matanya?” balas paman. “Astaga paman, mohon ampuun… Keira masih ingin melihat wajah tampan jodoh Keira dimasa depan kelak,” ceplos Keira pada paman Noir kesayangannya ini. Paman Noir memang sudah seperti keluarga bagi keira. Sedari kecil paman Noir lah tempat Keira dan kakanya bernaung dari rumahnya. Ia sering sekali mengajari Keira dan kakaknya bermain piano dan juga mengajarkan banyak sekali kebaikan. Mungkin karena pama Noir hidup sendiri sehingga pada saat pertama kali Keira datang bermain kesana paman Noir tampak sang
Pagi hari di akhir pekan ini Keira sudah bersiap untuk pergi ke toko paman Noir. Namun, karena sepagi itu toko belum dibuka, maka Keira pergi ke tempat kakaknya terlebih dahulu. Jika dihari-hari biasa dia pasti datang saat setelah selesai bekerja, namun diakhir pekan Keira datang pagi-pagi sekali untuk bertemu kakaknya. Saat perjalanan menuju rumah sakit di pusat kota yang lumayan dekat dengan rumah Keira, ia menyempatkan untuk membeli bunga di toko bunga langganannya dekat rumah sakit. Toko tersebut memang sudah buka sedari subuh, dan tutup di jam yang sangat larut. Sehingga Keira selalu dapat membeli bunga disana ketika akan menemui kakaknya. Namun, kebiasaan Keira hanya membeli sebatang bunga saja. Yaitu sebatang bunga krisan bewarna ungu. “Permisi!” sapa Keira pada sang penjual yang tampak sedang merangkai beberapa bunga di meja depan toko. “Ahh, seperti biasa nona?” tanya wanita penjual bunga tersebut karena telah hafal dengan apa yang selalu Keira beli
Hari ini adalah hari pertama Keira akan pergi berlatih untuk kontes di yayasan Green Hill. Pagi tadi, paman Moza menghubungi Keira dan memberitahu bahwa orang suruhannya akan menjemput Keira di halte dekat toko pukul enam sore nanti. Halte yang dimaksud memang sangat dekat dengan toko Bluestone, hanya berjarak empat bangunan saja. Halte tersebut berada tepat di depan toko buku yang cukup besar di kota ini. Setelah selesai kuliah, Keira langsung menuju ke toko seperti biasa. Sore ini, ia ingin mulai menyicil untuk mengerjakan tugas mengaransemen lagunya di tempat paman Noir sambil menunggu waktu saat orang yang akan menjemputnya datang. Keira mulai mencoba lagu "Canon" pada bait awal, lalu ia mencoba menekan beberapa tuts untuk sedikit diganti dan ditambah pada barisan melodinya. Beberapa kali ia mengulang bait awal karena dirasa masih belum tepat dan selaras. Kertas partitur Keira pun mulai banyak coretan di barisan paling atasnya. Ia benar-benar ingin membuat aranse
“Paman, kita mau ke mana? Sepertinya sedari tadi kita berjalan tapi tak kunjung sampai, seberapa jauh lagi tempat tujuan kita?” tanya Keira gelisah. “Kita akan ke asrama anak-anak, kei. Letaknya memang di bagian belakang dari bangunan ini. Kita akan pergi berlatih di sana. Sebenarnya, seharusnya kau memang tidak turun dari parkiran depan tadi, akan tetapi melalui jalan memutar lewat gerbang belakang. Namun karena kakek Jo membawa barang-barang untuk persiapan kontes maka kakek Jo harus menaruhnya di aula utama yang berada di samping perpustakaan yang kita lewati tadi. Disanalah sanalah tempat kita akan mengadakan kontes besok,” ujar paman Moza menjelaskan pada Keira. “Ahh jadi begitu, paman. Aku sempat khawatir kita akan tersesat di tempat sebesar ini karena tak kunjung sampai, dan juga tempat ini kenapa terlihat sangat sepi sekali paman?” “Hahahaha.. tidak mungkin lah, Kei. Aku saja sudah hampir dua puluh tahun mengurus tempat ini, tidak mungkin kita tersesa
“Apakah aku perlu meminjamkan mataku agar kau dapat melihat dengan jelas? Lihatlah apa yang kau lakukan!” teriak Keira karena sedikit kaget dan menahan panasnya kopi yang mengenai tangan serta kakinya. Pria itu juga terlihat sangat kaget, lantas langsung menarik tangan Keira menuju kamar mandi untuk membantunya segera menyiram luka dari panasnya kopi yang ia bawa tadi sambil berkata, “Maafkan aku. Aku benar-benar tidak sengaja. Sekali lagi maafkan aku” Keira tak menjawab, ia masih sibuk menyingkap lengan bajunya agar kulitnya segera tersiram dengan air mengalir di kamar mandi. Wajah pria itu tampak khawatir, dengan hati-hati ia membantu Keira untuk menyiram kulitnya dibagian yang terkena kopi dengan air. Untung saja jari-jari Keira selamat, tak terluka sama sekali. Hanya sedikit punggung tangan serta bagian lengannya saja. Bagian kakinya hanya sedikit sekali yang terkena hingga tidak menimbulkan luka berarti. Tiba-tiba paman Moza datan
Paman Moza yang sedari tadi duduk mengawasi latihan mereka bangkit menghampiri. “Hari ini sudah cukup bagus. Kalian hanya harus menguatkan permainan masing-masing dahulu, lalu nanti tinggal menggabungkan dan menyelaraskan permainan kalian saja. Untuk hari ini mari kita akhiri dahulu,” ujar paman Moza dengan senyuman yang menandakan cukup puas akan latihan hari ini. “Baik, paman..” jawab Keira dan Ellish bersamaan. “Permainan mu bagus sekali, Ell. Kau dapat dengan cepat beradaptasi denganku, aku saja cukup kesulitan tadi. Tapi kau malah terlihat sangat rileks dan santai.” “Dulu aku memang sudah terbiasa berkolaborasi dengan paman Moza. Tapi permainan mu tadi juga tidak buruk, kak..” kata Ellish. “Keira, kau ikutlah makan malam bersama kami sekalian di sini. Kau pasti juga lapar karena belum makan malam, kan?” ajak paman Moza pada Keira. “Baiklah, paman. Terimakasih,” ucap Keira yang memang belum makan malam dan merasa bahwa cacing
“Sudah? Mari.. akan segera ku antar kau pulang. Ini sudah larut,” ajak Sean lalu berjalan mendekati Keira dengan gaya sok kerennya. “Iya.. sebentar,” ucap Keira sambil turun dari ranjang anak-anak dengan sangat perlahan, agar mereka tidak terbangun karena pergerakan Keira. Mereka berjalan bersama, keluar dari asrama menuju ke parkiran belakang. Untuk pergi ke tempat itu mereka harus melewati sebuah lorong yang sedikit gelap, mungkin karena lampunya ada beberapa yang mati karena rusak. Di yayasan itu di setiap sisinya selalu terang, hanya bagian itu saja yang tergelap. Saat mereka sudah keluar dari bangunan, tempat itupun juga minim penerangan. Entah mengapa, di tempat seperti ini malah banyak lampu yang rusak. Di sekitar parkiran itu terdapat banyak sekali pepohonan yang mengitari, dan juga semak-semak yang sedikit rimbun. Tepat sebelum mereka memasuki area parkiran, tiba-tiba ada suara seperti pergerakan seseorang di balik semak-semak dekat mereka. M