Hatiku terasa membumbung bahagia karena ayah mertuaku menyetujui konsep rencana Aldo untuk menaikkan pendapatan Grand Luxy. Kami baru saja selesai mempresentasikan konsep tersebut di hadapan beliau, dan beliau menyetujuinya secara langsung. Rasanya aku ingin meloncat sambil berteriak ‘cihuy!’Tapi tidak mungkin aku melakukannya, aku pergi ke kantor CEO sebagai direktur Grayscale, jadi aku harus menjaga martabatku. Maka, kami keluar pintu kantor dengan tenang walaupun hatiku ingin meledak saking gembiranya.Sayangnya, kegembiraan yang kurasakan langsung lenyap ketika aku melihat sosok Rody berpapasan dengan kami, rupanya dia hendak masuk ke kantor CEO.Rody pun juga terlihat sama tidak sukanya melihat kami. Aku hampir melihatnya meludah ketika mata kami bertemu.“Seharusnya kau pergi ke rumah sakit untuk merawat luka di wajahmu,” kata Aldo mengomentari luka pukulan hasil karyanya di wajah Rody. “Bukannya malah pergi menyelinap untuk mengacak-acak rumah orang lain.”Rody berhasil terpan
Aku memaksakan diri membuka mata walaupun kepalaku sangat pusing dan tubuhku sangat lemah.Gelap dan dingin. Aku menyadari bahwa aku terbaring di atas lantai yang dingin. Bukankah terakhir tadi aku sedang ada di depan rumah?Kepalaku semakin pusing ketika berusaha mengingat-ingat apa yang telah terjadi padaku.Ah, orang itu. Apakah dia berpura-pura menjemputku padahal dia mau mencelakaiku? Lalu, siapa dia? Atau, siapa orang yang ada di baliknya?Tidak ada siapa pun di dalam ruangan yang gelap ini yang bisa kutanyai. Setelah sadar sepenuhnya, aku mencoba untuk berteriak. Aku menyadari bahwa seseorang sudah menculikku.“Tolong! Ada orang di luar?!” Aku berteriak sekuat tenagaku yang masih lemah.Aku tidak sepenuhnya merasa takut. Justru aku merasa aneh. Seorang Fiona, anak yatim piatu dari kota kecil yang mencari peruntungan dengan bekerja di kota besar tidak mungkin akan diculik. Seandainya aku tidak terlibat dengan keluarga Sastrajaya.Mungkin inilah yang dikatakan ayah mertuaku, aku
Satu.. Dua.. Tiga..Sudah berapa lantai berhasil kulalui dengan tangga darurat ini? Ah sial, sepatu high heels 9 centimeter Marc Jacobs ini memang sangat cantik, tapi sama sekali tidak membantuku untuk menuruni tangga dengan lebih cepat!Segera kulihat papan nomor akrilik berwarna hijau dekat pintu darurat menunjukkan angka 701-720.Bagus, lantai di mana kamarku berada.Aku harus segera menemukan kamarku karena aku sudah tidak bisa menahan lebih lama lagi. Perutku yang kampungan ini memang tidak bisa mentolelir santapan ikan mentah. Tiga suap raw fish Hors d'eouvres yang dipaksakan oleh atasanku langsung, Direktur Jasc EO, cukup membuat perutku langsung bergejolak. Untung aku masih sempat melihat acara yang kuatur sendiri itu selesai dengan sempurna.Aku terengah-tengah sambil meringis kesakitan menahan sakit di perutku. Tanpa pikir panjang, kubuka pintu kamarku yang ternyata tidak tertutup sempurna karena terganjal linen keset hotel yang tebal.Apakah tadi pagi aku begitu buru-buru s
Tidak.. Tidak mungkin.Aku sudah bekerja dengan sangat keras. Atasanku juga dengan jelas mengatakan untuk menaikkan jabatanku menjadi wakil direktur setelah event besar kali ini.Setelah event selesai, para karyawan yang bertugas berkumpul untuk evaluasi dilanjutkan dengan penunjukkan wakil direktur baru.Coba tebak siapa direktur baru itu? Yang pasti bukan aku, meski sudah melakukan berbagai pekerjaan yang setara dengan pekerjaan direkturku.Tapi Si Anak Baru, yang setahuku masih memiliki pengetahuan yang sangat minim mengenai bisnis EO ini, yang merupakan anak dari pengusaha lain. Bangsat.Benar-benar nepotisme busuk.“Ck.. Benar-benar keterlaluan,” kata sebuah suara yang tidak asing.Aku mendongakkan kepala cukup tinggi agar bisa melihat orang yang ada di depanku. Wajahnya disinari lampu jalan yang temaram.“Bagaimana sekarang kau akan menjelaskan keadaan ini? Pertemuan karena takdir?” Tanya orang itu sambil berdiri di pinggiran trotoar tempatku berhenti setelah berjalan tanpa arah
Hati dan pikiranku diliputi amarah yang luar biasa. Walaupun begitu, aku tidak bisa menolak Aldo yang menggenggam tanganku dengan sangat erat.Sepertinya dia lebih marah daripada aku.“Kau mau membawaku kemana?” Tanyaku ketika kami sampai di depan pintu kamar 702.Aldo tetap diam sambil membuka pintu. Dia bersikeras membuatku ikut masuk ke dalam kamarnya.Hanya keheningan yang ada di dalam kamar ini. Aldo tidak banyak bicara, dia hanya duduk menunduk di kursi sofa sambil memegang kepalanya. Keheningan ini membuat semua memori pengkhianatan tadi menyerang pikiranku kembali.Aku ikut-ikutan memegang kepala seperti Aldo.“Benar-benar tidak bisa dipercaya. Tidak hanya mengangkat anak bau kencur menjadi wakil direktur, tapi juga menghapus prestasiku?!” Kataku frustasi.“Berhentilah mondar-mandir. Kau membuatku pusing,” kata Aldo yang sudah berhenti memegang kepalanya.“Dan dia ternyata adalah adikmu??" Aku masih tidak percaya. Secara fisik, mereka memang sangat berbeda. Aldo bertubuh tinggi
Kantung mataku menghitam karena stres dan kurang tidur, walaupun sakit kepala yang kualami kemarin sudah mereda. Aku berterimakasih kepada Aldo karena mengizinkanku menginap di ruang tamu kamar suitenya, karena ternyata banyak wartawan yang berjaga di halaman depan hotel. Tidak pernah kubayangkan aku akan menjadi incaran para wartawan.Dan aku juga berterimakasih pada Aldo karena dengan sigap membelikanku obat pereda sakit kepala tanpa kuminta. Sikapnya ternyata sangat manis. Jauh berbeda dengan penampilannya.Ting tong..Bunyi bel terdengar pelan dari dalam kamar mandi tempatku bercermin. Apakah itu Aldo? Kenapa dia tidak langsung masuk saja?Aku bergegas membukakan pintu untuknya.“Kenapa…” kata-kataku terhenti ketika melihat orang yang ada di balik pintu.Dua orang pria bertubuh besar dan memakai jas hitam berdiri di depan pintu.“Harap ikut dengan kami, Nona Fiona,” kata salah seorang berbadan besar itu dengan singkat dan tegas.Aku sama sekali tidak bisa membantah. Yah, aku bisa
Aldo mengantarku ke kamarnya kemudian dia sendiri pergi entah kemana.Terdengar bunyi gebrakan dari pintu.Siapa lagi yang datang sekarang? Aku benar-benar lelah secara fisik dan emosi. Aku tidak sanggup menghadapi kejutan lagi.Aku sedikit membuka pintu untuk mengintip siapa yang menggedor pintu dengan sangat tidak sopan.Ternyata bukan pria kekar berjas hitam lagi seperti dugaanku, melainkan orang yang beberapa hari ini membuat hari-hariku serasa ada di neraka.Jasmine mendorong pintu hingga terbuka lebar, membuatku terhuyung ke belakang.“Wanita murahan..” gumam Jasmine dengan gigi gemeretak. “Sudah kuduga kau ada di sini,” lanjutnya, menatapku dengan mata nyalang.Ekspresi wajahnya, tatapan matanya, hingga nadanya dalam berbicara sungguh berbeda dengan sosok direktur Jasmine yang aku kenal selama ini. Dia bisanya bertutur kata halus dan bersorot mata lemah lembut.Hal itu membuatku terpaku. Seperti ada orang gila yang mau menyerangku.Tangannya tiba-tiba menjangkau tubuhku. Apakah
Angin sepoi-sepoi menyapu wajahku dengan lembut. Di kejauhan sana tampak langit bewarna semburat jingga tanda sang kala akan segera beristirhat.Sangat menyenangkan.“Hei, masukkan kepalamu dan tutup jendelanya,” kata Aldo merusak suasana. “Kau jadi mirip Stella jika menjulurkan lidahmu sedikit saja.”“Siapa Stella?” Tanyaku curiga. Apakah di hari pernikahan kami ini dia sudah berani menyebut nama perempuan lain? Walaupun pernikahan kami tidak berlandaskan cinta, tapi tetap saja. “Apa dia perempuan sintal yang tempo hari kutemukan hanya terbalut sprei di kamarmu?”Sopir kami terbatuk-batuk tidak karuan mendengar omonganku. Ah, aku sungguh belum terbiasa dengan minimnya privasi para konglomerat ini. Mereka selalu saja ditemani oleh asisten atau pelayan kemana-mana.“Jangan menguping pembicaraan kami, Galih,” kata Aldo pada orang yang bertugas mengantar kami kembali ke rumah. Dan dia menjawab dengan anggukan kepala. “Perempuan waktu itu adalah teman Jasmine yang tidak waras. Dia mengeja