Share

4. Petir di Siang Bolong

Kantung mataku menghitam karena stres dan kurang tidur, walaupun sakit kepala yang kualami kemarin sudah mereda. Aku berterimakasih kepada Aldo karena mengizinkanku menginap di ruang tamu kamar suitenya,  karena ternyata banyak wartawan yang berjaga di halaman depan hotel. Tidak pernah kubayangkan aku akan menjadi incaran para wartawan.

Dan aku juga berterimakasih pada Aldo karena dengan sigap membelikanku obat pereda sakit kepala tanpa kuminta. Sikapnya ternyata sangat manis. Jauh berbeda dengan penampilannya.

Ting tong..

Bunyi bel terdengar pelan dari dalam kamar mandi tempatku bercermin. Apakah itu Aldo? Kenapa dia tidak langsung masuk saja?

Aku bergegas membukakan pintu untuknya.

“Kenapa…” kata-kataku terhenti ketika melihat orang yang ada di balik pintu.

Dua orang pria bertubuh besar dan memakai jas hitam berdiri di depan pintu.

“Harap ikut dengan kami, Nona Fiona,” kata salah seorang berbadan besar itu dengan singkat dan tegas.

Aku sama sekali tidak bisa membantah. Yah, aku bisa apa? Daripada tubuhku dibanting dan diseret dengan paksa.

Sejujurnya, secara mental aku juga merasa sedang tidak mampu berdebat dengan siapapun.

Aku digiring oleh dua pria itu menuju ke lantai teratas hotel. Seketika aku tahu akan dibawa kemana.

Ding!

Suara lift diikuti terbukanya pintu ketika sampai di lantai yang dituju membuatku tersadar.

“Mungkin nasibku akan berakhir di sini,” kataku dalam hati. Dari yang kulihat kemarin, Pak CEO bukanlah orang yang ramah ataupun sabar.

Salah seorang dari mereka membukakan pintu, aku merasa seperti sedang masuk ke ruangan penghakimanku.

Di dalam, Pak CEO sedang berdiri menghadap jendela. Walaupun aku tahu, beliau pasti sudah sadar akan kehadiranku.

“Sudah berapa lama kau dan Aldo berhubungan?” Katanya tiba-tiba tanpa melepaskan pandangan dari jendela.

Baru beberapa hari, pikirku.

Tapi aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya.

“Beberapa lama, Pak CEO,” jawabku akhirnya.

Pria bertubuh tegap walaupun sudah berusia paruh baya tersebut membalikkan badannya untuk menghadapku, melihatku dengan tatapan jijik.

“Anak itu tidak pernah serius berhubungan, apalagi mengakui hubungan di depanku. Apa yang kalian rencanakan?” Tanyanya sambil berjalan menuju singgasananya.

“Saya tidak tahu bagaimana Aldo di mata Anda. Tapi menurut saya, dia orang yang hangat,” jawabku jujur. Walaupun aku baru mengenal Aldo kemarin, tapi aku bisa menilai dia tidak seburuk yang dikira orang-orang.

Pak CEO menghela nafas. Beliau mengaitkan jemarinya seperti sedang berpikir keras. “Kalian mungkin bisa bermain-main, tapi jangan pikir kalian bisa merusak reputasi Luxy Group.”

“Kalau yang Anda maksud adalah soal rumor yang beredar di media sosial dan internet, bukan kami yang menyebarkan semuanya,” jawabku. Ketika Pak CEO hanya diam, aku melanjutkan, “Saya juga sangat dirugikan oleh kejadian ini. Mungkin tidak sebesar kerugian atas Luxy Group milik Anda, tapi ini hidup saya. Dan saya merasa SANGAT dirugikan.”

Merasakan ketegasan dalam perkataanku, Pak CEO akhirnya menatap wajahku, kali ini tanpa pandangan jijik.

“Kau harus bertanggungjawab atas tindakan yang kau lakukan. Bagaimanapun, Aldo adalah penerusku,” katanya sambil menyentuh papan nama yang terletak di meja, bertuliskan ‘Pram Sastrajaya, CEO’.

Mendengar beliau menyebut nama Aldo entah kenapa membuatku sedikit marah. Wajah sedih dan kegetiran dalam suara Aldo ketika bercerita soal ayahnya terlintas di benakku.

“Ya, saya akan bertanggungjawab atas tindakan saya,” kataku tegas. “Dan saya mohon, Anda juga bertanggungjawab atas tindakan Anda. Termasuk tindakan putri Anda menyebarkan gosip tentang saya dan Aldo.”

Pram Sastrajaya memandangku dengan sedikit terperangah. Mungkin seumur hidupnya beliau tidak pernah merasa ditantang seperti itu.

“Kalau sudah tidak ada yang mau disampaikan, saya undur diri dulu,” kataku sambil berjalan menuju pintu.

Sebelum aku mencapai pintu, seseorang telah membuka handle pintu dari luar.

Crak!

Aldo membuka pintu kantor ayahnya dengan berang, tatapannya lurus ke arah empunya ruangan kantor ini.

Dia tampaknya hendak menumpahkan amarah kepada ayahnya, tapi kemudian tatapan kami bertemu.

“Fi.. Fiona,” Aldo tampak bingung sesaat, namun kembali menatap ayahnya dengan marah.

“Luar biasa..” kata Pak CEO sambil terkekeh. Membuat kami sedikit terkejut. Aku menatap Aldo untuk mencari jawaban, tapi tatapannya masih terpaku pada ayahnya yang duduk di singgasana.

“Baru kali ini kau datang ke kantor Papa dengan kemauanmu sendiri,” lanjut Pram Sastrajaya masih sambil terkekeh. “Sepertinya aku agak meremehkan Nona muda ini.”

“Tolong jangan sembarangan memanggil Fiona ke kantor ini. Dia bukan anak buah yang bisa Papa perlakukan seenaknya,” kata Aldo geram.

“Ha ha ha!!” Kali ini Pram Sastrajaya tertawa terbahak-bahak.

Aku melirik Aldo, kali ini dia sudah mengepalkan tangan.

“Kenapa? Tidak mungkin Papa penasaran dengan siapa aku pacaran, bukan?” Tanya Aldo dengan nada menantang.

Pram Sastrajaya beranjak dari tempat duduknya untuk berjalan mendekati Aldo.

“Papa tidak peduli kau melakukan apa pun asalkan tidak merusak reputasi perusahaan,” katanya setelah cukup dekat dengan kami. “Kau tahu, apa efek dari rumor tentang kalian?” Lanjutnya. “Luxy Group dikenal sebagai perusahaan dengan citra kekeluargaannya. Walaupun mewah, namun Grand Luxy juga menonjolkan suasana hangat keluarga. Kau tahu itu?”

Memang begitulah yang kutahu. Bagi rakyat jelata sepertiku, image 'kekeluargaan' keluarga Sastrajaya pemilik Luxy Group yang selalu ditampilkan melalui iklan televisi memang sangat meyakinkan.

“Entahlah. Kehangatan keluarga itu semacam mitos bagiku,” jawab Aldo sinis.

Pram Sastrajaya mengabaikan jawaban sinis Aldo sambil berbalik. Berjalan pelan dengan tangan di belakang.

“Image itulah yang kalian hancurkan dalam waktu semalam,” Aku hanya diam selama beliau berbicara. Takut dengan suasana tegang di antara ayah dan anak ini. Kemudian beliau melipat tangan di dada, memandang kami seolah-olah enggan dengan apa yang akan diucapkannya.

“Kalian harus segera menikah,” kata Pram Sastrajaya.

Aku yakin mulutku menganga dengan lebarnya mendengar ucapan beliau.

Tetapi Aldo tidak. Dia merespon dengan emosi.

"Apa? Menikah?" Dia berkata sambil mendengus. "Kali ini Papa sangat keterlaluan."

Aldo berjalan ke sisi ruangan sambil berkacak pinggang. Dia seperti sudah kehilangan kata-kata.

"Apa masalahnya? Kalian sudah pacaran, dan aku sudah bosan mendengar rumor mengenai anakku yang playboy," Pak CEO kelihatan lebih rileks. "Dan itu juga bisa menghilangkan rumor yang menyebar baru-baru ini."

Kalau aku dan Aldo memang betul berpacaran, maka kata-katanya memang masuk akal.

Tapi aku baru satu hari 'pacaran' dengan Aldo.

"Dan juga, nona muda ini sudah menyanggupi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya," Pak CEO menatapku dengan licik.

"A.. Aku..," aku gelagapan merespon pernyataan licik dari pria tua itu.

Aldo memandang wajahku dengan tatapan tidak percaya.

Aku tidak bisa berkata apapun, jadi aku hanya menggeleng-gelengkan kepala dan menggoyang-goyangkan telapak tangan tanda sebagai bantahan.

"Jangan bawa-bawa Fiona ke dalam tipu muslihat Papa," Aldo menyimpulkan dengan baik.

"Papa lihat kau sangat menyukai pacarmu," kata pak CEO sambil berjalan menuju mejanya kembali. "Jasmine juga sepertinya sangat mengandalkannya untuk urusan pekerjaan. Itu hal baik. Artinya dia tidak bodoh."

Apa? Dia tidak bodoh? Pria tua itu sedang membicarakanku seolah-olah aku hanya obyek tidak berarti yang sedang dipilih untuk dibeli.

"Maaf, sepertinya saya berhak berpendapat di sini," kataku meredam emosi. "Seharusnya Jasmine lah yang bertanggungjawab atas tindakannya, bukan saya. Kenapa saya yang dipaksa untuk menikah untuk menutupi rumor yang dia sebar?" Aku berharap Pak CEO memahami penjelasanku.

"Sepertinya kau salah mengerti, Nona Fiona," untuk pertama kalinya, Pak CEO menyebutkan namaku. Aku sedikit merinding. "Kau tidak berhak bersuara. Itu konsekuensi bagimu karena berani menjalin hubungan dengan orang yang tidak setara denganmu."

Ini dia. 'Kartu status sosial' sudah dikeluarkan. Aku tidak mampu menjawab lagi.

Di sebrangku, Aldo juga sudah tidak mampu berkata-kata. Dia hanya diam sambil mengepalkan tinjunya erat-erat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status