Home / Romansa / Love Breaking Contract / 4. Petir di Siang Bolong

Share

4. Petir di Siang Bolong

Author: La Rêveuse
last update Last Updated: 2022-12-20 22:24:29

Kantung mataku menghitam karena stres dan kurang tidur, walaupun sakit kepala yang kualami kemarin sudah mereda. Aku berterimakasih kepada Aldo karena mengizinkanku menginap di ruang tamu kamar suitenya,  karena ternyata banyak wartawan yang berjaga di halaman depan hotel. Tidak pernah kubayangkan aku akan menjadi incaran para wartawan.

Dan aku juga berterimakasih pada Aldo karena dengan sigap membelikanku obat pereda sakit kepala tanpa kuminta. Sikapnya ternyata sangat manis. Jauh berbeda dengan penampilannya.

Ting tong..

Bunyi bel terdengar pelan dari dalam kamar mandi tempatku bercermin. Apakah itu Aldo? Kenapa dia tidak langsung masuk saja?

Aku bergegas membukakan pintu untuknya.

“Kenapa…” kata-kataku terhenti ketika melihat orang yang ada di balik pintu.

Dua orang pria bertubuh besar dan memakai jas hitam berdiri di depan pintu.

“Harap ikut dengan kami, Nona Fiona,” kata salah seorang berbadan besar itu dengan singkat dan tegas.

Aku sama sekali tidak bisa membantah. Yah, aku bisa apa? Daripada tubuhku dibanting dan diseret dengan paksa.

Sejujurnya, secara mental aku juga merasa sedang tidak mampu berdebat dengan siapapun.

Aku digiring oleh dua pria itu menuju ke lantai teratas hotel. Seketika aku tahu akan dibawa kemana.

Ding!

Suara lift diikuti terbukanya pintu ketika sampai di lantai yang dituju membuatku tersadar.

“Mungkin nasibku akan berakhir di sini,” kataku dalam hati. Dari yang kulihat kemarin, Pak CEO bukanlah orang yang ramah ataupun sabar.

Salah seorang dari mereka membukakan pintu, aku merasa seperti sedang masuk ke ruangan penghakimanku.

Di dalam, Pak CEO sedang berdiri menghadap jendela. Walaupun aku tahu, beliau pasti sudah sadar akan kehadiranku.

“Sudah berapa lama kau dan Aldo berhubungan?” Katanya tiba-tiba tanpa melepaskan pandangan dari jendela.

Baru beberapa hari, pikirku.

Tapi aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya.

“Beberapa lama, Pak CEO,” jawabku akhirnya.

Pria bertubuh tegap walaupun sudah berusia paruh baya tersebut membalikkan badannya untuk menghadapku, melihatku dengan tatapan jijik.

“Anak itu tidak pernah serius berhubungan, apalagi mengakui hubungan di depanku. Apa yang kalian rencanakan?” Tanyanya sambil berjalan menuju singgasananya.

“Saya tidak tahu bagaimana Aldo di mata Anda. Tapi menurut saya, dia orang yang hangat,” jawabku jujur. Walaupun aku baru mengenal Aldo kemarin, tapi aku bisa menilai dia tidak seburuk yang dikira orang-orang.

Pak CEO menghela nafas. Beliau mengaitkan jemarinya seperti sedang berpikir keras. “Kalian mungkin bisa bermain-main, tapi jangan pikir kalian bisa merusak reputasi Luxy Group.”

“Kalau yang Anda maksud adalah soal rumor yang beredar di media sosial dan internet, bukan kami yang menyebarkan semuanya,” jawabku. Ketika Pak CEO hanya diam, aku melanjutkan, “Saya juga sangat dirugikan oleh kejadian ini. Mungkin tidak sebesar kerugian atas Luxy Group milik Anda, tapi ini hidup saya. Dan saya merasa SANGAT dirugikan.”

Merasakan ketegasan dalam perkataanku, Pak CEO akhirnya menatap wajahku, kali ini tanpa pandangan jijik.

“Kau harus bertanggungjawab atas tindakan yang kau lakukan. Bagaimanapun, Aldo adalah penerusku,” katanya sambil menyentuh papan nama yang terletak di meja, bertuliskan ‘Pram Sastrajaya, CEO’.

Mendengar beliau menyebut nama Aldo entah kenapa membuatku sedikit marah. Wajah sedih dan kegetiran dalam suara Aldo ketika bercerita soal ayahnya terlintas di benakku.

“Ya, saya akan bertanggungjawab atas tindakan saya,” kataku tegas. “Dan saya mohon, Anda juga bertanggungjawab atas tindakan Anda. Termasuk tindakan putri Anda menyebarkan gosip tentang saya dan Aldo.”

Pram Sastrajaya memandangku dengan sedikit terperangah. Mungkin seumur hidupnya beliau tidak pernah merasa ditantang seperti itu.

“Kalau sudah tidak ada yang mau disampaikan, saya undur diri dulu,” kataku sambil berjalan menuju pintu.

Sebelum aku mencapai pintu, seseorang telah membuka handle pintu dari luar.

Crak!

Aldo membuka pintu kantor ayahnya dengan berang, tatapannya lurus ke arah empunya ruangan kantor ini.

Dia tampaknya hendak menumpahkan amarah kepada ayahnya, tapi kemudian tatapan kami bertemu.

“Fi.. Fiona,” Aldo tampak bingung sesaat, namun kembali menatap ayahnya dengan marah.

“Luar biasa..” kata Pak CEO sambil terkekeh. Membuat kami sedikit terkejut. Aku menatap Aldo untuk mencari jawaban, tapi tatapannya masih terpaku pada ayahnya yang duduk di singgasana.

“Baru kali ini kau datang ke kantor Papa dengan kemauanmu sendiri,” lanjut Pram Sastrajaya masih sambil terkekeh. “Sepertinya aku agak meremehkan Nona muda ini.”

“Tolong jangan sembarangan memanggil Fiona ke kantor ini. Dia bukan anak buah yang bisa Papa perlakukan seenaknya,” kata Aldo geram.

“Ha ha ha!!” Kali ini Pram Sastrajaya tertawa terbahak-bahak.

Aku melirik Aldo, kali ini dia sudah mengepalkan tangan.

“Kenapa? Tidak mungkin Papa penasaran dengan siapa aku pacaran, bukan?” Tanya Aldo dengan nada menantang.

Pram Sastrajaya beranjak dari tempat duduknya untuk berjalan mendekati Aldo.

“Papa tidak peduli kau melakukan apa pun asalkan tidak merusak reputasi perusahaan,” katanya setelah cukup dekat dengan kami. “Kau tahu, apa efek dari rumor tentang kalian?” Lanjutnya. “Luxy Group dikenal sebagai perusahaan dengan citra kekeluargaannya. Walaupun mewah, namun Grand Luxy juga menonjolkan suasana hangat keluarga. Kau tahu itu?”

Memang begitulah yang kutahu. Bagi rakyat jelata sepertiku, image 'kekeluargaan' keluarga Sastrajaya pemilik Luxy Group yang selalu ditampilkan melalui iklan televisi memang sangat meyakinkan.

“Entahlah. Kehangatan keluarga itu semacam mitos bagiku,” jawab Aldo sinis.

Pram Sastrajaya mengabaikan jawaban sinis Aldo sambil berbalik. Berjalan pelan dengan tangan di belakang.

“Image itulah yang kalian hancurkan dalam waktu semalam,” Aku hanya diam selama beliau berbicara. Takut dengan suasana tegang di antara ayah dan anak ini. Kemudian beliau melipat tangan di dada, memandang kami seolah-olah enggan dengan apa yang akan diucapkannya.

“Kalian harus segera menikah,” kata Pram Sastrajaya.

Aku yakin mulutku menganga dengan lebarnya mendengar ucapan beliau.

Tetapi Aldo tidak. Dia merespon dengan emosi.

"Apa? Menikah?" Dia berkata sambil mendengus. "Kali ini Papa sangat keterlaluan."

Aldo berjalan ke sisi ruangan sambil berkacak pinggang. Dia seperti sudah kehilangan kata-kata.

"Apa masalahnya? Kalian sudah pacaran, dan aku sudah bosan mendengar rumor mengenai anakku yang playboy," Pak CEO kelihatan lebih rileks. "Dan itu juga bisa menghilangkan rumor yang menyebar baru-baru ini."

Kalau aku dan Aldo memang betul berpacaran, maka kata-katanya memang masuk akal.

Tapi aku baru satu hari 'pacaran' dengan Aldo.

"Dan juga, nona muda ini sudah menyanggupi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya," Pak CEO menatapku dengan licik.

"A.. Aku..," aku gelagapan merespon pernyataan licik dari pria tua itu.

Aldo memandang wajahku dengan tatapan tidak percaya.

Aku tidak bisa berkata apapun, jadi aku hanya menggeleng-gelengkan kepala dan menggoyang-goyangkan telapak tangan tanda sebagai bantahan.

"Jangan bawa-bawa Fiona ke dalam tipu muslihat Papa," Aldo menyimpulkan dengan baik.

"Papa lihat kau sangat menyukai pacarmu," kata pak CEO sambil berjalan menuju mejanya kembali. "Jasmine juga sepertinya sangat mengandalkannya untuk urusan pekerjaan. Itu hal baik. Artinya dia tidak bodoh."

Apa? Dia tidak bodoh? Pria tua itu sedang membicarakanku seolah-olah aku hanya obyek tidak berarti yang sedang dipilih untuk dibeli.

"Maaf, sepertinya saya berhak berpendapat di sini," kataku meredam emosi. "Seharusnya Jasmine lah yang bertanggungjawab atas tindakannya, bukan saya. Kenapa saya yang dipaksa untuk menikah untuk menutupi rumor yang dia sebar?" Aku berharap Pak CEO memahami penjelasanku.

"Sepertinya kau salah mengerti, Nona Fiona," untuk pertama kalinya, Pak CEO menyebutkan namaku. Aku sedikit merinding. "Kau tidak berhak bersuara. Itu konsekuensi bagimu karena berani menjalin hubungan dengan orang yang tidak setara denganmu."

Ini dia. 'Kartu status sosial' sudah dikeluarkan. Aku tidak mampu menjawab lagi.

Di sebrangku, Aldo juga sudah tidak mampu berkata-kata. Dia hanya diam sambil mengepalkan tinjunya erat-erat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Love Breaking Contract   33. Detektif

    "Sudah kubilang, kan, kau tunggu aku di rumah saja?" Aldo menggenggam kedua lenganku, juga menatapku dengan agak terlalu serius. Menurutku.Jujur saja, aku tidak terlalu bisa mengikuti suasana serius ini.Bagaimana tidak? Kami-aku dan Santi-membuntuti Aldo dan Galih dengan gaya detektif, mencurigai Aldo akan melakukan pertemuan rahasia (dan penuh gairah-menurut Santi) dengan mantan pacarnya, itu saja sudah membuatku geli. Belum lagi mengingat betapa cepat kami ketahuan, karena sepertinya Aldo benar-benar jengah dengan pertemuan itu dan malah mengamati semua hal yang ada di dalam restoran kecuali lawan bicaranya.Begitulah kami ketahuan. Ternyata bukan hanya bentuk matanya yang tajam, tapi juga penglihatannya. Walau bagaimanapun juga, kami bersembunyi di balik roster. Siapa coba yang bisa mengenali dua orang perempuan yang sedang mengintai pasangannya, dan sedang mengenakan masker-plus kacamata berbingkai tebal pada salah satunya-, dan bersembunyi di balik susunan balok-balok berluban

  • Love Breaking Contract   32. Orca

    Kami berdua bersantai-santai di akhir pekan untuk pertama kali setelah Aldo menyelesaikan misinya untuk masuk ke manajemen Grand Luxy. Setelah mengetahui bahwa Aldo dapat memenuhi-bahkan melebihi-ekspektasinya, Pram Sastrajaya secara terang-terangan dan tidak tahu malu membangga-banggakan Aldo pada rekan-rekan bisnisnya.“Ini putraku yang punya banyak ide cemerlang,” ujar Pram Sastrajaya dengan suara menggelegar di pesta dua hari lalu.“Kenapa baru sekarang kau tertarik terjun untuk mengelola bisnis, Aldo? Kudengar dulu kau hanya suka bersenang-senang,” ucap seorang bapak-bapak pemilik bisnis A dengan suara tidak kalah menggelegar.Aldo pun menyunggingkan senyum bisnisnya, “Saya ingin membuat istri saya terkesan.”“Kalau begitu, seharusnya kau menikah sejak dulu,” sahut seorang ibu-ibu pemilik bisnis B, diiringi dengan suara tawa yang melengking.Secara tidak terduga ternyata Aldo cocok juga berada di lingkungan para pebisnis berlidah tajam, tidak sedikit pun dia terlihat gugup atau m

  • Love Breaking Contract   31. Mantan

    Aku mencium Aldo dengan cukup panas sehingga kupikir bibirku bisa lecet. Oh tidak. Biasanya tidak ada hal bagus yang terjadi ketika aku membiarkan naluriku mengambil alih. Aldo mengerjapkan matanya dengan bingung ketika aku melepaskan diri secara sepihak. Kupikir dia pasti sangat terhanyut pada momen barusan. Aku mencoba menutup mulutku dengan tangan. Bahkan Mary Phillips pun tidak akan bisa membuat lipstik bertahan di bibirku setelah melahap Aldo dengan ganas tadi. Mukaku pasti sudah tidak karuan. Sarina dan Alysse tidak melepaskan pandangan mereka dariku, meskipun aku sudah menghentikan pertunjukan barusan. "Memalukan..," Sarina berkata lirih. Alysse ternganga dengan takjub. Aku bersumpah sempat mendengarnya menahan tawa Aku merasa terlalu malu untuk mengucapkan apa pun, maka sebelum orang-orang yang menonton pertunjukan barusan mulai bergunjing aku memutar tumit tinggi sepatuku dan berjalan menjauh dari kerumunan. "Sayang..," Aldo mengikutiku seperti terhipnotis. Di

  • Love Breaking Contract   30. Reaksi Tubuh

    "Aku benci padamu!" Teriakku pada Aldo, melalui telfon. Galih menatapku dengan terkejut dan takut menjadi satu. Secara tidak sadar dia menjatuhkan boks yang akan diberikannya padaku. "Maafkan saya, Nyonya.. Tapi saya benar-benar berusaha mengambil pesanan sepatu ini dari toko secepat mungkin," kata Galih sambil mengambil kotak sepatu yang tidak sengaja dia jatuhkan. "Astaga, aku yang harus minta maaf. Aku tidak membentakmu," aku menunjukkan earphone yang menempel di telinga kiriku. Galih tampak lega mendengarnya. "Meskipun begitu aku akan benar-benar marah padamu kalau kita terlambat hadir di acara malam ini," kataku sambil mengambil kotak sepatu itu dari tangan Galih. Galih menyetir dengan tenang menuju Grand Luxy, kami masih punya waktu sekitar setengah jam sebelum pesta pengangkatan CEO baru dimulai. Waktu yang pas karena aku tidak mau terlalu lama berbasa-basi dengan orang-orang di sana. "Hei, Galih," panggilku dari kursi belakang. Galih menjawab sambil melirik dari

  • Love Breaking Contract   29. Kunjungan Nyonya Besar

    Semua berjalan dengan mulus dan lancar. Seperti seorang atlet profesional menggelindingkan bola bowling dan kemudian "Strike!" sepuluh pin bowling pun jatuh bersamaan. Aldo bekerja dengan sangat baik di Grand Luxy, bahkan dapat melebihi ekspektasi Pram Satrajaya. Semua berawal dari idenya untuk meningkatkan citra "feels like home" yang mulai pudar dengan menggaet Ramoda, produsen perabot eksklusif bercita rasa seni tinggi. Yang juga terkenal tidak pernah sudi melakukan hubungan komersial dengan korporat besar mata duitan macam Luxy Group. Terimakasih kepada Genta, yang dapat mengambil hati Ramoda. Kehadirannya sebagai manajer operasional, dan bukan aku sebagai direktur (dan juga menantu Luxy Group) yang datang untuk berunding memberikan kesan bahwa kami memang berniat untuk bekerjasama, bukan untuk membajak image yang dimiliki oleh Ramoda. Begitulah, tidak lama setelah peluncuran kampanye "Gather as Family", Aldo dapat memenangkan tantangan yang diberikan ayahnya. Aku sempat

  • Love Breaking Contract   28. Chihuahua dan Pomeranian

    "Kupikir mereka sudah tidak bertemu selama berminggu-minggu," bisik Santi pada Galih, tapi suaranya masih bisa kudengar. "Tuan Aldo tidak bisa berpisah dari Nyonya sehari saja, apalagi berminggu-minggu. Itu tidak mungkin," balas Galih. Mereka berdua mencondongkan diri satu sama lain agar bisa saling mengata-ngatai kami. Aku dan Aldo jadi tidak bisa fokus membaca buku menu yang kami baca bersama karena di depan kami ada dua orang yang tiba-tiba bisa jadi akrab karena menggosipkan kami berdua. "Aku bisa mendengarmu," kata Aldo menatap tajam ke arah Galih. Galih hanya cuek berpura-pura melihat ke langit sedangkan Santi berpura-pura menekuni buku menunya. "Sudah kubilang tidak usah membawa mereka," Aldo merengut memandang buku menunya. Aku jadi merasa bersalah. "Apa jadwal Aldo setelah dari Wale's?" Tanyaku kepada Galih. "Tidak ada jadwal lain, Nyonya," jawab Galih, jari telunjuknya berhenti menelusuri menu. "Kalau begitu, bawa dia pulang begitu rapatnya selesai," aku meniru

  • Love Breaking Contract   27. Santi

    Orang itu ternyata adalah seorang perempuan berparas cantik. Aku mengingatnya sebagai orang yang memiliki wajah imut yang tidak sejalan dengan sifatnya yang meledak-ledak. "Berikan pekerjaan padaku," katanya lagi, dengan nafas memburu. "Apa-ah, tenang dulu," aku memberikan kode kepada Meylia untuk melepaskan cengkraman tangannya, lalu menyuruhnya keluar, demi keamanan dirinya sendiri. Bagaimanapun, orang itu memiliki sabuk hitam taekwondo. "Apa yang kau lakukan di sini?!" Semburku pada Santi, orang tidak waras yang barusan menyerbu ruangan kantorku. "Aku orang yang loyal, kau tahu itu bukan?" Matanya masih menyala-nyala karena emosi. "Mm.. Oke?" Kataku lambat-lambat. "Aku sudah begitu bersabar menghadapi Jasmine, tapi kali ini aku sudah tidak bisa toleransi lagi," rambutnya yang dipotong bob pendek bergoyang-goyang ketika dia berbicara dengan penuh semangat. Agak sulit menganggap serius ledakan amarah dari seorang perempuan bertubuh mungil dan memiliki wajah imut yang ti

  • Love Breaking Contract   26. Kembali ke Realita

    Tidak kusangka hari ini kami sudah harus meninggalkan vila ini. Tempat yang awalnya terasa menyebalkan karena tidak sesuai dengan ekspektasiku-aku mengharapkan vila di pegunungan yang dingin-tapi malah terasa seperti rumah ketika kami sudah hendak pergi. Kemarin, melalui Galih, Pram Sastrajaya menyuruh kami segera kembali. Karena berita tentang kejadian waktu itu sudah mereda, dan karena Aldo harus segera kembali bekerja. Aku pun sudah merindukan Grayscale. Walaupun bukan perusahaan besar, tapi aku menyukai atmosfer di sana. Walaupun aku belum bisa membayangkan harus bersikap seperti apa jika bertemu dengan Rody nanti-dan aku tidak mau membayangkan barang secuil wajahnya-aku harus tetap berani melangkahkan kakiku. Setidaknya, itu yang harus kulakukan untuk mengatasi mimpi buruk yang belakangan kualami. Mimpi buruk yang, untungnya, seringkali terlupakan berkat sentuhan-sentuhan Aldo. Walau mungkin kurang tepat menyebutnya dengan 'sentuhan'. Aku mengamati baju tidur baruku

  • Love Breaking Contract   25. Aftertaste

    Benar kata Aldo, dia memang tidak segan-segan. Dia melakukan hal-hal yang tidak pernah kubayangkan-atau kulakukan-sebelumnya. Dan, melakukan 'itu' di meja dapur adalah salah satunya. Tentu bukan hanya di situ saja Aldo menunjukkan ketidak-seganannya. Setelah membuat punggungku sakit karena berbaring di atas meja kayu jati yang keras, dia membopongku masuk ke dalam kamarnya. Saat kupikir kami seharusnya tidur, dia melanjutkan aksinya.Seharusnya dia menunjukkan belas kasih mengingat semalam adalah pertama kali kami melakukannya. Benar-benar deh. Bagaimana dia bisa menahannya selama ini? Aku berguling menjauhinya. Matahari sudah mulai tinggi dan aku ingin menutup tirai untuk mengurangi cahaya yang masuk melalui kaca jendela. "Mau ke mana?" Tanya Aldo setengah terpejam. "Sudah siang, memangnya kau tidak harus kerja?" Tanyaku sambil menyingkirkan tangannya dari atas perutku. Tapi dia malah semakin melingkarkan tangannya. "Tidak. Aku kan sedang bulan madu," katanya dengan wa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status