Hati dan pikiranku diliputi amarah yang luar biasa. Walaupun begitu, aku tidak bisa menolak Aldo yang menggenggam tanganku dengan sangat erat.
Sepertinya dia lebih marah daripada aku.“Kau mau membawaku kemana?” Tanyaku ketika kami sampai di depan pintu kamar 702.Aldo tetap diam sambil membuka pintu. Dia bersikeras membuatku ikut masuk ke dalam kamarnya.Hanya keheningan yang ada di dalam kamar ini. Aldo tidak banyak bicara, dia hanya duduk menunduk di kursi sofa sambil memegang kepalanya. Keheningan ini membuat semua memori pengkhianatan tadi menyerang pikiranku kembali.Aku ikut-ikutan memegang kepala seperti Aldo.“Benar-benar tidak bisa dipercaya. Tidak hanya mengangkat anak bau kencur menjadi wakil direktur, tapi juga menghapus prestasiku?!” Kataku frustasi.“Berhentilah mondar-mandir. Kau membuatku pusing,” kata Aldo yang sudah berhenti memegang kepalanya.“Dan dia ternyata adalah adikmu??" Aku masih tidak percaya. Secara fisik, mereka memang sangat berbeda. Aldo bertubuh tinggi dan berkulit putih, sedangkan Jasmine tidak begitu tinggi dan berkulit sawo matang."Adik tiri, lebih tepatnya," kata Aldo seolah menjawab pertanyaanku. "Ibuku meninggal sewaktu aku masih kecil dan kemudian Papa menikahi ibunya Jasmine."
"Ah, begitu," aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana dengan pengakuan yang tiba-tiba ini.
“Jadi, ternyata kau bukan orang suruhan Jasmine?” Tanya Aldo sambil berjalan menuju minibar. Kelihatannya emosinya sudah sangat mereda.
“Tentu saja bukan,” jawabku defensif.
“Lalu, kenapa waktu itu kau masuk kesini?” tanyanya sambil memilih-milih minuman dari dalam kulkas.“Waktu itu aku mengatakan yang sebenarnya,” jawabku tidak sabar. "Aku tidak sengaja masuk ke kamar ini." Aku jadi malu kalau mengingat kejadian itu.“Kalau begitu, kita memang dipertemukan oleh takdir,” kata Aldo sambil mengangsurkan sebotol minuman kepadaku.“Apa maksudmu?” Tanyaku kepada Aldo."Aku berencana untuk menghalangi Jasmine mengambil alih perusahaan," kata Aldo setelah meneguk minuman dari botolnya.
Aku berpikir sejenak, "bukankah Kau hanya perlu untuk menjadi anak baik di depan papamu maka kau akan mewarisi perusahaan?"
Aldo menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak semudah itu. Aku tidak berniat menjadi penerus. Aku hanya tidak ingin Jasmine dan ibunya 'menjual' hotel ini ke proyek Lulu Land."
Lulu Land? Aku pernah mendengar tentang itu.
"Mereka mau menjual hotel ini untuk pelepasan tanah pembangunan Lulu Land?" Tanyaku tidak percaya.
"Ya," jawab Aldo getir. "Aku tidak peduli dengan cabang hotel yang lain, tapi aku punya kenangan khusus tentang ibuku di hotel ini," lagi-lagi dia menunduk dengan sedih.
"Maka, cara paling mudah adalah dengan menjadikan hotel ini milikmu," aku menjawab seolah itu adalah jawaban yang sudah pasti.
"Aku tidak mau menjadi seperti mereka. Segala hal dihitung dengan untung dan rugi. Bahkan terhadap keluarga sendiri," kesedihan semakin merayap di antara kami.
"Kau mempersulit dirimu sendiri," kataku, enggan terhanyut dalam kesedihannya.
"Maka dari itu," Aldo beranjak dari bar tempatnya bersandar. "Aku membutuhkanmu."
“Maaf. Bagiku, dikhianati seperti ini saja sudah membuat duniaku jungkir-balik. Aku tidak mau terlibat lebih lanjut dengan konglomerat seperti kalian,” jawabku terdengar ketus bahkan di telingaku sendiri.
“Tapi tanpa kau sadari kau sudah terlibat sangat jauh,” kata Aldo sambil memandang botol sparkling water di tangannya.“Bagaimana mungkin? Apa karena aku bicara dengan tidak sopan terhadap CEO?” Tanyaku takut – takut. Walaupun kadang aku menjadi terlalu berani ketika sedang marah, tapi tetap saja aku takut mencari masalah dengan seorang konglomerat.“Bukan.. Tapi karena aku,” jawab Aldo. Kali ini menatapku dengan matanya yang tajam.“Karena sekarang kau adalah pacarku,” lanjut Aldo.“Apa?? Itu kan cuma omong kosong yang kau katakan tadi,” bantahku.
“Kau tahu, hal yang kukatakan pada CEO tadi adalah hal pertama yang kukatakan padanya sejak setengah tahun lalu,” aku bisa merasakan kegetiran dalam suaranya.“Walaupun aku dianggap anak yang gagal, dia tetaplah ayahku yang pasti ingin tahu apa yang aku lakukan,” lanjutnya sambil memainkan botol kosong dengan tangannya. “Apalagi karena aku anak yang diharapkan jadi pewaris, semua gerak-gerikku pasti diawasi agar tidak menghancurkan citra perusahaan.”Aku hanya terdiam mendengar perkataannya.
“Kau mau diam saja diperlakukan seperti itu oleh Jasmine?" Aldo memanfaatkan diamku. “Jujur saja, yang dilakukan Jasmine padamu bukanlah apa-apa untuknya. Dia bisa melakukan hal yang jauh lebih buruk. Dia orang yang jahat."
Jasmine bukan hanya licik, tapi juga jahat?
“Parahnya lagi..,” lanjut Aldo. “Kau telah memprovokasinya di depan CEO. Itu bisa jadi masalah besar. Baginya, dia harus selalu jadi anak yang sempurna di hadapan papa.”Aku memang sangat ingin membalas perbuatan Jasmine padaku. Tapi bagaimana caranya? Aku hanyalah rakyat jelata, sedangkan lawanku adalah putri konglomerat jaringan hotel mewah di negara ini.Aku sedang menimbang-nimbang tawaran Aldo ketika handphone di dalam tasku bergetar – getar tanpa henti.“Maaf, aku mau angkat telfon,” kataku pada Aldo, kemudian berjalan menuju ruang tamu.“Halo..,” sapaku kepada Santi, rekan kerjaku di Jasc EO melalui telfon.“Fiona, kemana saja kau?! Sudah lihat memo di website intern, belum?!” Cecar Santi tanpa membalas sapaanku terlebih dahulu.“Ada apa memangnya?” Tanyaku sedikit dihinggapi perasaan ngeri.“Coba buka web, lalu aku kirim juga link-link yang udah rilis di media. Apa sih yang terjadi??” Temanku itu terdengar sedikit histeris.“Oke, aku cek dulu,” jawabku berusaha tenang.“Pokoknya kau harus tenang, oke? Kalau ada apa-apa telfon aku!” Aku segera menutup telfon dan rupanya Santi sudah mengirim banyak link dan hasil screenshot dari berbagai sosial media.***Aku terduduk di sofa ruang tamu kamar 702 dengan gemetar. Tanganku mencengkeram kepala berharap agar sakit yang menusuk-nusuk yang kurasakan bisa segera menghilang.
Di sebelahku, handphone yang kuletakkan terus-menerus bergetar. Karena notifikasi pesan dan telfon terus bermunculanSeketika, potongan artikel yang kubaca tadi berseliweran di kepalaku.“MENGGODA PUTRA KONGLOMERAT, KARYAWAN JASC EO DIPECAT TIDAK HORMAT”“KENAIKAN PANGKAT BERUBAH JADI PEMECATAN, BUAH AFFAIR DENGAN KAKAK BOS”Selain itu ada pula penggalan rekaman CCTV yang memperlihatkan sosokku yang masuk ke kamar ini beberapa hari lalu. Diedit sedemikian rupa sehingga terlihat aku dan Aldo seperti sedang melakukan hubungan rahasia.“Ada masalah?” Aldo mengikutiku ke ruang tamu. Aku tidak mampu mengangkat kepala.“Apa ini?” Tanyanya, perhatiannya tertuju pada handphoneku yang menyala-nyala karena dibombardir notifikasi.Kurasakan Aldo mengambil handphone yang kuletakkan di sampingku.“Dasar sampah,” aku mendengar Aldo mengumpat dengan geram.“Hei,” Aldo meletakkan tangannya di atas pundakku, seolah berusaha menghentikan kepanikan yang kualami.“Sepertinya kau harus menerima tawaran dariku,” kata Aldo sambil berjongkok di hadapanku. “Berpura-puralah jadi pacarku dan bantu aku menghalangi rencana Jasmine, dan aku akan membantumu membalas perbuatannya kepadamu.”Tawaran Aldo yang sebelumnya terdengar tidak masuk akal, kini terdengar bagai lonceng kapal penyelamat.“Ya, aku mau pura-pura jadi pacarmu,” kataku pada akhirnya.Aldo hanya menatapku mataku sembari terus meremas pundak untuk menenangkanku.
Tatapannya mata dan kehangatan tangannya seolah memberiku keyakinan untuk bertahan dan berjuang.“Percayalah padaku,” kata Aldo, rendah dan tegas."Sudah kubilang, kan, kau tunggu aku di rumah saja?" Aldo menggenggam kedua lenganku, juga menatapku dengan agak terlalu serius. Menurutku.Jujur saja, aku tidak terlalu bisa mengikuti suasana serius ini.Bagaimana tidak? Kami-aku dan Santi-membuntuti Aldo dan Galih dengan gaya detektif, mencurigai Aldo akan melakukan pertemuan rahasia (dan penuh gairah-menurut Santi) dengan mantan pacarnya, itu saja sudah membuatku geli. Belum lagi mengingat betapa cepat kami ketahuan, karena sepertinya Aldo benar-benar jengah dengan pertemuan itu dan malah mengamati semua hal yang ada di dalam restoran kecuali lawan bicaranya.Begitulah kami ketahuan. Ternyata bukan hanya bentuk matanya yang tajam, tapi juga penglihatannya. Walau bagaimanapun juga, kami bersembunyi di balik roster. Siapa coba yang bisa mengenali dua orang perempuan yang sedang mengintai pasangannya, dan sedang mengenakan masker-plus kacamata berbingkai tebal pada salah satunya-, dan bersembunyi di balik susunan balok-balok berluban
Kami berdua bersantai-santai di akhir pekan untuk pertama kali setelah Aldo menyelesaikan misinya untuk masuk ke manajemen Grand Luxy. Setelah mengetahui bahwa Aldo dapat memenuhi-bahkan melebihi-ekspektasinya, Pram Sastrajaya secara terang-terangan dan tidak tahu malu membangga-banggakan Aldo pada rekan-rekan bisnisnya.“Ini putraku yang punya banyak ide cemerlang,” ujar Pram Sastrajaya dengan suara menggelegar di pesta dua hari lalu.“Kenapa baru sekarang kau tertarik terjun untuk mengelola bisnis, Aldo? Kudengar dulu kau hanya suka bersenang-senang,” ucap seorang bapak-bapak pemilik bisnis A dengan suara tidak kalah menggelegar.Aldo pun menyunggingkan senyum bisnisnya, “Saya ingin membuat istri saya terkesan.”“Kalau begitu, seharusnya kau menikah sejak dulu,” sahut seorang ibu-ibu pemilik bisnis B, diiringi dengan suara tawa yang melengking.Secara tidak terduga ternyata Aldo cocok juga berada di lingkungan para pebisnis berlidah tajam, tidak sedikit pun dia terlihat gugup atau m
Aku mencium Aldo dengan cukup panas sehingga kupikir bibirku bisa lecet. Oh tidak. Biasanya tidak ada hal bagus yang terjadi ketika aku membiarkan naluriku mengambil alih. Aldo mengerjapkan matanya dengan bingung ketika aku melepaskan diri secara sepihak. Kupikir dia pasti sangat terhanyut pada momen barusan. Aku mencoba menutup mulutku dengan tangan. Bahkan Mary Phillips pun tidak akan bisa membuat lipstik bertahan di bibirku setelah melahap Aldo dengan ganas tadi. Mukaku pasti sudah tidak karuan. Sarina dan Alysse tidak melepaskan pandangan mereka dariku, meskipun aku sudah menghentikan pertunjukan barusan. "Memalukan..," Sarina berkata lirih. Alysse ternganga dengan takjub. Aku bersumpah sempat mendengarnya menahan tawa Aku merasa terlalu malu untuk mengucapkan apa pun, maka sebelum orang-orang yang menonton pertunjukan barusan mulai bergunjing aku memutar tumit tinggi sepatuku dan berjalan menjauh dari kerumunan. "Sayang..," Aldo mengikutiku seperti terhipnotis. Di
"Aku benci padamu!" Teriakku pada Aldo, melalui telfon. Galih menatapku dengan terkejut dan takut menjadi satu. Secara tidak sadar dia menjatuhkan boks yang akan diberikannya padaku. "Maafkan saya, Nyonya.. Tapi saya benar-benar berusaha mengambil pesanan sepatu ini dari toko secepat mungkin," kata Galih sambil mengambil kotak sepatu yang tidak sengaja dia jatuhkan. "Astaga, aku yang harus minta maaf. Aku tidak membentakmu," aku menunjukkan earphone yang menempel di telinga kiriku. Galih tampak lega mendengarnya. "Meskipun begitu aku akan benar-benar marah padamu kalau kita terlambat hadir di acara malam ini," kataku sambil mengambil kotak sepatu itu dari tangan Galih. Galih menyetir dengan tenang menuju Grand Luxy, kami masih punya waktu sekitar setengah jam sebelum pesta pengangkatan CEO baru dimulai. Waktu yang pas karena aku tidak mau terlalu lama berbasa-basi dengan orang-orang di sana. "Hei, Galih," panggilku dari kursi belakang. Galih menjawab sambil melirik dari
Semua berjalan dengan mulus dan lancar. Seperti seorang atlet profesional menggelindingkan bola bowling dan kemudian "Strike!" sepuluh pin bowling pun jatuh bersamaan. Aldo bekerja dengan sangat baik di Grand Luxy, bahkan dapat melebihi ekspektasi Pram Satrajaya. Semua berawal dari idenya untuk meningkatkan citra "feels like home" yang mulai pudar dengan menggaet Ramoda, produsen perabot eksklusif bercita rasa seni tinggi. Yang juga terkenal tidak pernah sudi melakukan hubungan komersial dengan korporat besar mata duitan macam Luxy Group. Terimakasih kepada Genta, yang dapat mengambil hati Ramoda. Kehadirannya sebagai manajer operasional, dan bukan aku sebagai direktur (dan juga menantu Luxy Group) yang datang untuk berunding memberikan kesan bahwa kami memang berniat untuk bekerjasama, bukan untuk membajak image yang dimiliki oleh Ramoda. Begitulah, tidak lama setelah peluncuran kampanye "Gather as Family", Aldo dapat memenangkan tantangan yang diberikan ayahnya. Aku sempat
"Kupikir mereka sudah tidak bertemu selama berminggu-minggu," bisik Santi pada Galih, tapi suaranya masih bisa kudengar. "Tuan Aldo tidak bisa berpisah dari Nyonya sehari saja, apalagi berminggu-minggu. Itu tidak mungkin," balas Galih. Mereka berdua mencondongkan diri satu sama lain agar bisa saling mengata-ngatai kami. Aku dan Aldo jadi tidak bisa fokus membaca buku menu yang kami baca bersama karena di depan kami ada dua orang yang tiba-tiba bisa jadi akrab karena menggosipkan kami berdua. "Aku bisa mendengarmu," kata Aldo menatap tajam ke arah Galih. Galih hanya cuek berpura-pura melihat ke langit sedangkan Santi berpura-pura menekuni buku menunya. "Sudah kubilang tidak usah membawa mereka," Aldo merengut memandang buku menunya. Aku jadi merasa bersalah. "Apa jadwal Aldo setelah dari Wale's?" Tanyaku kepada Galih. "Tidak ada jadwal lain, Nyonya," jawab Galih, jari telunjuknya berhenti menelusuri menu. "Kalau begitu, bawa dia pulang begitu rapatnya selesai," aku meniru
Orang itu ternyata adalah seorang perempuan berparas cantik. Aku mengingatnya sebagai orang yang memiliki wajah imut yang tidak sejalan dengan sifatnya yang meledak-ledak. "Berikan pekerjaan padaku," katanya lagi, dengan nafas memburu. "Apa-ah, tenang dulu," aku memberikan kode kepada Meylia untuk melepaskan cengkraman tangannya, lalu menyuruhnya keluar, demi keamanan dirinya sendiri. Bagaimanapun, orang itu memiliki sabuk hitam taekwondo. "Apa yang kau lakukan di sini?!" Semburku pada Santi, orang tidak waras yang barusan menyerbu ruangan kantorku. "Aku orang yang loyal, kau tahu itu bukan?" Matanya masih menyala-nyala karena emosi. "Mm.. Oke?" Kataku lambat-lambat. "Aku sudah begitu bersabar menghadapi Jasmine, tapi kali ini aku sudah tidak bisa toleransi lagi," rambutnya yang dipotong bob pendek bergoyang-goyang ketika dia berbicara dengan penuh semangat. Agak sulit menganggap serius ledakan amarah dari seorang perempuan bertubuh mungil dan memiliki wajah imut yang ti
Tidak kusangka hari ini kami sudah harus meninggalkan vila ini. Tempat yang awalnya terasa menyebalkan karena tidak sesuai dengan ekspektasiku-aku mengharapkan vila di pegunungan yang dingin-tapi malah terasa seperti rumah ketika kami sudah hendak pergi. Kemarin, melalui Galih, Pram Sastrajaya menyuruh kami segera kembali. Karena berita tentang kejadian waktu itu sudah mereda, dan karena Aldo harus segera kembali bekerja. Aku pun sudah merindukan Grayscale. Walaupun bukan perusahaan besar, tapi aku menyukai atmosfer di sana. Walaupun aku belum bisa membayangkan harus bersikap seperti apa jika bertemu dengan Rody nanti-dan aku tidak mau membayangkan barang secuil wajahnya-aku harus tetap berani melangkahkan kakiku. Setidaknya, itu yang harus kulakukan untuk mengatasi mimpi buruk yang belakangan kualami. Mimpi buruk yang, untungnya, seringkali terlupakan berkat sentuhan-sentuhan Aldo. Walau mungkin kurang tepat menyebutnya dengan 'sentuhan'. Aku mengamati baju tidur baruku
Benar kata Aldo, dia memang tidak segan-segan. Dia melakukan hal-hal yang tidak pernah kubayangkan-atau kulakukan-sebelumnya. Dan, melakukan 'itu' di meja dapur adalah salah satunya. Tentu bukan hanya di situ saja Aldo menunjukkan ketidak-seganannya. Setelah membuat punggungku sakit karena berbaring di atas meja kayu jati yang keras, dia membopongku masuk ke dalam kamarnya. Saat kupikir kami seharusnya tidur, dia melanjutkan aksinya.Seharusnya dia menunjukkan belas kasih mengingat semalam adalah pertama kali kami melakukannya. Benar-benar deh. Bagaimana dia bisa menahannya selama ini? Aku berguling menjauhinya. Matahari sudah mulai tinggi dan aku ingin menutup tirai untuk mengurangi cahaya yang masuk melalui kaca jendela. "Mau ke mana?" Tanya Aldo setengah terpejam. "Sudah siang, memangnya kau tidak harus kerja?" Tanyaku sambil menyingkirkan tangannya dari atas perutku. Tapi dia malah semakin melingkarkan tangannya. "Tidak. Aku kan sedang bulan madu," katanya dengan wa