Share

3. Tawaran

Hati dan pikiranku diliputi amarah yang luar biasa. Walaupun begitu, aku tidak bisa menolak Aldo yang menggenggam tanganku dengan sangat erat.

Sepertinya dia lebih marah daripada aku.

“Kau mau membawaku kemana?” Tanyaku ketika kami sampai di depan pintu kamar 702.

Aldo tetap diam sambil membuka pintu. Dia bersikeras membuatku ikut masuk ke dalam kamarnya.

Hanya keheningan yang ada di dalam kamar ini. Aldo tidak banyak bicara, dia hanya duduk menunduk di kursi sofa sambil memegang kepalanya. Keheningan ini membuat semua memori pengkhianatan tadi menyerang pikiranku kembali.

Aku ikut-ikutan memegang kepala seperti Aldo.

“Benar-benar tidak bisa dipercaya. Tidak hanya mengangkat anak bau kencur menjadi wakil direktur, tapi juga menghapus prestasiku?!” Kataku frustasi.

“Berhentilah mondar-mandir. Kau membuatku pusing,” kata Aldo yang sudah berhenti memegang kepalanya.

“Dan dia ternyata adalah adikmu??" Aku masih tidak percaya. Secara fisik, mereka memang sangat berbeda. Aldo bertubuh tinggi dan berkulit putih, sedangkan Jasmine tidak begitu tinggi dan berkulit sawo matang.

"Adik tiri, lebih tepatnya," kata Aldo seolah menjawab pertanyaanku. "Ibuku meninggal sewaktu aku masih kecil dan kemudian Papa menikahi ibunya Jasmine."

"Ah, begitu," aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana dengan pengakuan yang tiba-tiba ini.

“Jadi, ternyata kau bukan orang suruhan Jasmine?” Tanya Aldo sambil berjalan menuju minibar. Kelihatannya emosinya sudah sangat mereda.

“Tentu saja bukan,” jawabku defensif.

“Lalu, kenapa waktu itu kau masuk kesini?” tanyanya sambil memilih-milih minuman dari dalam kulkas.

“Waktu itu aku mengatakan yang sebenarnya,” jawabku tidak sabar. "Aku tidak sengaja masuk ke kamar ini." Aku jadi malu kalau mengingat kejadian itu.

“Kalau begitu, kita memang dipertemukan oleh takdir,” kata Aldo sambil mengangsurkan sebotol minuman kepadaku.

“Apa maksudmu?” Tanyaku kepada Aldo.

"Aku berencana untuk menghalangi Jasmine mengambil alih perusahaan," kata Aldo setelah meneguk minuman dari botolnya.

Aku berpikir sejenak, "bukankah Kau hanya perlu untuk menjadi anak baik di depan papamu maka kau akan mewarisi perusahaan?"

Aldo menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak semudah itu. Aku tidak berniat menjadi penerus. Aku hanya tidak ingin Jasmine dan ibunya 'menjual' hotel ini ke proyek Lulu Land."

Lulu Land? Aku pernah mendengar tentang itu.

"Mereka mau menjual hotel ini untuk pelepasan tanah pembangunan Lulu Land?" Tanyaku tidak percaya.

"Ya," jawab Aldo getir. "Aku tidak peduli dengan cabang hotel yang lain, tapi aku punya kenangan khusus tentang ibuku di hotel ini," lagi-lagi dia menunduk dengan sedih.

"Maka, cara paling mudah adalah dengan menjadikan hotel ini milikmu," aku menjawab seolah itu adalah jawaban yang sudah pasti.

"Aku tidak mau menjadi seperti mereka. Segala hal dihitung dengan untung dan rugi. Bahkan terhadap keluarga sendiri," kesedihan semakin merayap di antara kami.

"Kau mempersulit dirimu sendiri," kataku, enggan terhanyut dalam kesedihannya.

"Maka dari itu," Aldo beranjak dari bar tempatnya bersandar. "Aku membutuhkanmu."

“Maaf. Bagiku, dikhianati seperti ini saja sudah membuat duniaku jungkir-balik. Aku tidak mau terlibat lebih lanjut dengan konglomerat seperti kalian,” jawabku terdengar ketus bahkan di telingaku sendiri.

“Tapi tanpa kau sadari kau sudah terlibat sangat jauh,” kata Aldo sambil memandang botol sparkling water di tangannya.

“Bagaimana mungkin? Apa karena aku bicara dengan tidak sopan terhadap CEO?” Tanyaku takut – takut. Walaupun kadang aku menjadi terlalu berani ketika sedang marah, tapi tetap saja aku takut mencari masalah dengan seorang konglomerat.

“Bukan.. Tapi karena aku,” jawab Aldo. Kali ini menatapku dengan matanya yang tajam.

“Karena sekarang kau adalah pacarku,” lanjut Aldo.

“Apa?? Itu kan cuma omong kosong yang kau katakan tadi,” bantahku.

“Kau tahu, hal yang kukatakan pada CEO tadi adalah hal pertama yang kukatakan padanya sejak setengah tahun lalu,” aku bisa merasakan kegetiran dalam suaranya.

“Walaupun aku dianggap anak yang gagal, dia tetaplah ayahku yang pasti ingin tahu apa yang aku lakukan,” lanjutnya sambil memainkan botol kosong dengan tangannya. “Apalagi karena aku anak yang diharapkan jadi pewaris, semua gerak-gerikku pasti diawasi agar tidak menghancurkan citra perusahaan.”

Aku hanya terdiam mendengar perkataannya.

“Kau mau diam saja diperlakukan seperti itu oleh Jasmine?" Aldo memanfaatkan diamku. “Jujur saja, yang dilakukan Jasmine padamu bukanlah apa-apa untuknya. Dia bisa melakukan hal yang jauh lebih buruk. Dia orang yang jahat."

Jasmine bukan hanya licik, tapi juga jahat?

“Parahnya lagi..,” lanjut Aldo. “Kau telah memprovokasinya di depan CEO. Itu bisa jadi masalah besar. Baginya, dia harus selalu jadi anak yang sempurna di hadapan papa.”

Aku memang sangat ingin membalas perbuatan Jasmine padaku. Tapi bagaimana caranya? Aku hanyalah rakyat jelata, sedangkan lawanku adalah putri konglomerat jaringan hotel mewah di negara ini.

Aku sedang menimbang-nimbang tawaran Aldo ketika handphone di dalam tasku bergetar – getar tanpa henti.

“Maaf, aku mau angkat telfon,” kataku pada Aldo, kemudian berjalan menuju ruang tamu.

“Halo..,” sapaku kepada Santi, rekan kerjaku di Jasc EO melalui telfon.

“Fiona, kemana saja kau?! Sudah lihat memo di website intern, belum?!” Cecar Santi tanpa membalas sapaanku terlebih dahulu.

“Ada apa memangnya?” Tanyaku sedikit dihinggapi perasaan ngeri.

“Coba buka web, lalu aku kirim juga link-link yang udah rilis di media. Apa sih yang terjadi??” Temanku itu terdengar sedikit histeris.

“Oke, aku cek dulu,” jawabku berusaha tenang.

“Pokoknya kau harus tenang, oke? Kalau ada apa-apa telfon aku!” Aku segera menutup telfon dan rupanya Santi sudah mengirim banyak link dan hasil screenshot dari berbagai sosial media.

***

Aku terduduk di sofa ruang tamu kamar 702 dengan gemetar. Tanganku mencengkeram kepala berharap agar sakit yang menusuk-nusuk yang kurasakan bisa segera menghilang.

Di sebelahku, handphone yang kuletakkan terus-menerus bergetar. Karena notifikasi pesan dan telfon terus bermunculan

Seketika, potongan artikel yang kubaca tadi berseliweran di kepalaku.

“MENGGODA PUTRA KONGLOMERAT, KARYAWAN JASC EO DIPECAT TIDAK HORMAT”

“KENAIKAN PANGKAT BERUBAH JADI PEMECATAN, BUAH AFFAIR DENGAN KAKAK BOS”

Selain itu ada pula penggalan rekaman CCTV yang memperlihatkan sosokku yang masuk ke kamar ini beberapa hari lalu. Diedit sedemikian rupa sehingga terlihat aku dan Aldo seperti sedang melakukan hubungan rahasia.

“Ada masalah?” Aldo mengikutiku ke ruang tamu. Aku tidak mampu mengangkat kepala.

“Apa ini?” Tanyanya, perhatiannya tertuju pada handphoneku yang menyala-nyala karena dibombardir notifikasi.

Kurasakan Aldo mengambil handphone yang kuletakkan di sampingku.

“Dasar sampah,” aku mendengar Aldo mengumpat dengan geram.

“Hei,” Aldo meletakkan tangannya di atas pundakku, seolah berusaha menghentikan kepanikan yang kualami.

“Sepertinya kau harus menerima tawaran dariku,” kata Aldo sambil berjongkok di hadapanku. “Berpura-puralah jadi pacarku dan bantu aku menghalangi rencana Jasmine, dan aku akan membantumu membalas perbuatannya kepadamu.”

Tawaran Aldo yang sebelumnya terdengar tidak masuk akal, kini terdengar bagai lonceng kapal penyelamat.

“Ya, aku mau pura-pura jadi pacarmu,” kataku pada akhirnya.

Aldo hanya menatapku mataku sembari terus meremas pundak untuk menenangkanku.

Tatapannya mata dan kehangatan tangannya seolah memberiku keyakinan untuk bertahan dan berjuang.

“Percayalah padaku,” kata Aldo, rendah dan tegas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status