Share

Ajakan Keluar

"Kau pecinta seni?" tanya Jessica.

"Hm, sepertinya begitu," jawab Steve. 

Hening kembali mengudara.

"Aku ingin mengajakmu keluar!" ujar Jessica kemudian menatap manik mata Steve 

"Tentu. Kau punya tempat pilihan?" 

Senyum Jessica mengembang mendengar nada antusias Steve.

"Tidak. Terserah saja kemana nantinya kita pergi!" jawab Jessica diakhiri kekehan kecilnya. Steve beranjak berdiri menuju kamarnya meraih jaket dan kunci mobil lalu Jessica menyampirkan tas kecilnya di bahu. Keduanya berjalan beriringan keluar pintu.

"Maaf, tak se-mewah Porsche-mu!" ungkap Steve sembari membukakan pintu mobil untuk Jessica.

"Jangan membandingkan, Steve! Aku tentu tak mempermasalahkan hal itu," ujar Jessica kemudian masuk dalam mobil. Mobil Steve pun melaju menuju alun-alun kota.

"Kenapa kau tak jadi model saja? Postur tubuhmu bagus, wajahmu juga tampan," tanya Jessica lalu menyendok es krimnya. Keduanya mampir di kedai es krim.

"Aku tak suka memamerkan diri," balas Steve.

Jessica hanya manggut-manggut. Hening berlangsung hingga langit yang sedari tadi mendung kini mengurai bendungan airnya. Jessica menatap bening-bening air hujan melalui kaca jendela kedai. Dering ponselnya menyadarkan lamunannya.

"Apa?" ucap Jessica setengah berteriak sontak membuat Steve menatapnya penuh tanya.

"Kenapa bisa? ... Ya, ya, baiklah." sambungan telepon terputus, Jessica menghela napas menatap tak selera es krimnya yang tersisa setengah.

"Ada masalah?" tanya Steve.

"Pemotretanku di undur menjadi hari ini. Kau bisa mengantarku, kan?" 

Steve mengangguk lalu berdiri melepas jaketnya dan membungkus tubuh Jessica yang hanya berpakaian tipis tanpa lengan.

"Makasih," balas Jessica lalu merapatkan jaket Steve di tubuhnya, dihirupnya dalam-dalam aroma maskulin Steve berpadu manis kayu-kayuan. Keduanya lalu melangkah keluar.

Diluar masih gerimis, Steve menggengam tangan Jessica lalu berlari di bawah gerimis. Setibanya dalam mobil, Jessica tertawa kecil menatap ujung-ujung rambut Steve yang mengkristal.

"Alamat studiomu?" tanya Steve.

Jessica sigap menjawabnya kemudian mobil Steve melaju. Waktu jessica tersisa lima belas menit kala tiba di studio dan langsung masuk berganti pakaian. Steve duduk di salah satu kursi menatap para staf yang berlalu lalang. Lalu, netranya menangkap Jessica yang baru saja keluar dari ruang ganti. Jessica melambai ke arah Steve kemudian wanita itu berbalik, berjalan terburu-buru kala fotografernya memanggilnya.

Pemotretan Jessica selesai jam empat sore. Wanita itu berjalan lenggok menuju arah Steve sembari membalas sapaan staf yang berpapasan dengannya.

"Melelahkan," ujar Jessica menyandarkan punggungnya di kursi kayu samping Steve.

"Kau bisa menjemputku, kan nanti malam?" tanya Jessica.

"Pengganti kencan tertunda hari ini," tambah Jessica menjawab kebingungan Steve.

Steve tersenyum manggut-manggut. Kencan? Apa dia baru saja memberiku kode? Pikir Steve. 

Steve mengantar pulang Jessica, sepulangnya dari rumah Jessica. Steve mampir di rumah Lynn.

"Lynn! Lynn!" panggil Steve mengetuk pintu, tapi tak ada sahutan hingga Steve mendorong daun pintu yang ternyata tak terkunci. Steve berjalan masuk lantas memanggil nama Lynn kembali.

"Lynn?!" ujar Steve pelan menyaksikan Lynn yang ternyata masih tertidur siang. Steve menyentuh lengan Lynn, menggoyang-goyangkannya, Lynn menggeliat.

"Hm." Lynn merasa terusik.

"Bangun, Lynn!" ujar Steve sembari mengguncang-guncang lengan Lynn.

"Steve?!" ujar Lynn yang langsung terbangun dan menutup mulutnya yang masih menguap.

"Tumben tidur siang!" ujar Steve.

"Aku lelah membongkar lemari, aku memutuskan untuk menghadiri reuni malam ini!" jawab Lynn. Kemudian matanya mengerjap lalu membulatkan mata.

"Ya Tuhan! Jam berapa ini? Aaakkkkhhhh, tidak ...." Lynn terlonjak kaget lantas melompat dari ranjangnya. Terpekik kaget melihat jam yang menunjukkan hampir pukul enam. 

Steve hanya tertawa kecil menyaksikan kepanikan Lynn. Tanpa disadarinya, Steve meneguk ludah melihat paha putih nan mulus Lynn dengan rambut yang acak-acakan gegara ulah tangan Lynn. Terlebih dengan kaus oblong kebesarannya dengan kerah yang miring di pundaknya, sehingga menampakkan seutas tali bra hitam Lynn. Mata Steve tak teralihkan menatap giur leher jenjang Lynn dan tulang kecil leher Lynn yang nampak menggiurkan. Lynn masih dalam keadaan panik lalu merebut cepat handuknya. Steve menggeleng-gelengkan kepalanya. 

Tak butuh waktu lama, Lynn keluar dari kamar mandi yang hanya mengenakan jubah mandi.

"Aku akan menunggumu diluar," ujar Steve lalu melangkah keluar dari kamar Lynn. Steve kembali menelengkan kepalanya mengusir bayangan tubuh Lynn.

"Bagaimana?" tanya Lynn memamerkan diri lalu berputar di hadapan Steve.

"Cantik," puji Steve menatap tampilan Lynn dengan dress selutut berwarna biru malam, rambut lurusnya dibiarkan tergerai. Kalung hitam tipis melekat di lehernya.

"Ekhem! Kau yakin dengan pakaianmu itu?" tanya Steve lalu memalingkan wajah dari dada Lynn. Bagian atas dress tersebut terbuka menampakkan sedikit belahan dada Lynn.

"Steve, pakaian ini sangat sederhana! Aku bahkan membayangkan tampilan Dein, Molanno, Rolenn, Joanna dan ... aku lupa sebagian, yang justru akan berpakaian lebih terbuka dari ini!" jelas Lynn. 

Steve lalu mengerutkan kening lalu manggut-manggut dua kali. Memang dimana tempat reuni mereka? Pikir Steve.

"Selamat bersenang-senang malam ini. Aku juga harus kembali bersiap-siap."

"Kemana?" tanya Lynn.

"Kencan."

"Jessica? Apa ... apa kalian sudah jadian?" tanya Lynn antusias padahal separuh hatinya menjerit kecewa, tak terima jika hal itu terjadi.

***

"Kenapa reaksimu begitu?"

"A-anu, aku hanya ... kau tahu sendiri, kan aku sangat kepo dengan hal seperti ini," gagu Lynn memaksakan senyum lebar di wajahnya. Apa wajahku tampak jelas sedang cemburu? Batin Lynn.

"Belum," jawab Steve dengan senyum lebar. 

Lynn bernapas lega.

"Aku harus pulang, Lynn. Sampai ketemu besok," ujar Steve seraya berbalik keluar.

Steve menilai penampilannya lalu berjalan bersiul menyampirkan jaket di bahunya. Steve tiba lebih cepat sepuluh menit di depan rumah Jessica. 

Steve menganga di tempat melihat tampilan Jessica. Steve tetap terdiam, tak berkomentar apapun dengan busana kurang bahan Jessica. Pikirnya, memang begitulah gaya pakaian Jessica.

"Pakai mobilku saja," ujar Jessica sembari melemparkan kunci mobilnya ke arah Steve, dengan sigap Steve menangkapnya dengan satu tangan lalu melangkah menuju garasi Jessica. 

Jessica lantas masuk dalam mobil lalu menyebutkan alamat sebuah klub.

"Kupikir, kita akan menuju ke sebuah restoran," ujar Steve lalu melirik Jessica yang mengoleskan lipstik merah di bibirnya yang kini terlihat jauh lebih terang dibanding pakaian ketat merahnya yang hanya sebatas pahanya. Terlebih dengan lubang pakaian di belakangnya mengekspos punggung Jessica. Rambutnya sengaja diikat tinggi memamerkan leher jenjangnya.

"Tentu saja tidak, sayang!" jawab Jessica dengan suara yang sengaja dibuatnya menggoda.

Steve memarkirkan mobilnya lalu membukakan pintu untuk Jessica. Jessica lantas tersenyum lalu menggelayut tangan di lengan kokoh Steve. Steve hanya menghela napas pasrah menyaksikan Jessica bersikap posesif padanya. Keduanya melangkah masuk dalam klub setelah diperiksa dua lelaki bertubuh besar. Sontak tangan Steve mengibas aroma parfum maskulin dan feminim yang menguar, baunya sesak. Jessica masih bergelayut di lengannya lalu duduk di meja depan bartender.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status