"Apa kabar, Rose?"
Rose melirik ke arah Steve sebelum dia menjawab, "Lebih buruk!"
Dia merasa lebih buruk, dia baru saja mendapat ingatannya dan Lynn menemuinya di hari itu juga. Sebut saja jackpot sialan.
"Maaf, aku baru menemuimu hari ini ...." Kalimat Lynn tercekat. Dia akui dirinya seperti pengecut. Terlalu takut dan malu menemui Rose.
Rose melirik Steve dan pria di seberang kursi. Steve mengangguk kecil memahami arti tersirat tatapan Rose. Wanita itu ingin berempat mata saja dengan Lynn.
Steve beranjak dari duduknya, merangkul Jeff meninggalkan ruangan itu. Sebelum Jeff benar-benar pergi, dia melirik Lynn seolah meyakinkan wanita itu akan baik-baik saja.Roe mengatur napasnya, berpindah duduk di samping Lynn yang duduk di kursi roda.
"Aku menyesal," lirih Lynn menatap Rose dan menunduk lagu.
Rose memaksakan senyum tipisnya. Jika dia mau, dia bisa membalas perbuatan Lynn. Namun, dia enggan. Melihat kondisi Lynn yang cacat sep
Lynn terduduk termangu, memandang kosong air mancur di halaman belakang rumahnya. Airnya berkilau seiring gemerlap lampu yang menyinari. Biasanya air mancur itu akan menenangkannya, deru airnya yang mengalun layaknya melodi yang indah, tapi kali ini tidak. Lynn tak merasakan ketenangan secuil pun.Jeff muncul dengan mug di tangan. Dadanya berdesir cemas melihat orang yang dicintainya masih terpuruk duka. Dia tahu betul bagaimana Lynn yang kini merasa hidup dalam bayang-bayang dosanya. Wanita itu belum memaafkan dirinya atas apa yang telah diperbuatnya."Kamu tak kedinginan?" Jeff memaksakan senyum tipisnya, dia menyodorkan mug berisi cokelat panas.Lynn membalas senyum Jeff kikuk. Dia menerima gelas itu, menghirup aroma manis dan wangi, tapi dia tak meminumnya. Dia hanya menggenggam mug itu, menatap kepulan kecil yang mengudara."Kamu tak boleh terus menerus seperti ini, Lynn. Bagaimanapun, kamu tetap harus melanjutkan hidup setelah—""Pantas
[Aku di perjalanan menuju rumahmu sekarang.]Lynn membaca pesan masuk dari Rose. Senyumnya terukir, senang rasanya bisa dimaafkan walau dia masih bisa belum bisa memaafkan dirinya seutuhnya.Lynn meletakkan ponsel di pangkuannya. Akhir-akhir ini, halaman belakang menjadi tempat favoritnya terlebih saat menjelang sore. Di dalam rumah hanya makan dan tidur saja, sisanya dia habiskan di taman, memandang air mancur lekat-lekat, atau hanya memejamkan mata menikmati semilir angin yang tak menenangkan gundahnya sedikitpun.Suara bel pintu terdengar. Rose sudah tiba.[Aku di halaman belakang.]Lynn mengirim pesan. Selang beberapa menit, Rose muncul. Kemeja kedodorannya berkibar-kibar seiring langkah besar-besarnya. Rambut pirangnya dikuncir rendah, nampak berkilau saat mentari sore menyoroti.Rose tersenyum lebar. "Hai!" Dia beralih duduk di bangku panjang depan Lynn. Kotak yang ditentengnya tadi dibuka dari kantongnya."Apa kabarmu?" tanyanya
Sore itu, Rose memutuskan tak langsung pulang ke rumah. Mobilnya berbelok memasuki kawasan kompleks perumahan Steve."Hai," sapa Rose saat pintu terbuka. Pria itu hanya tersenyum lebar, tapi Rose tahu sesuatu tengah menjanggal pikiran kekasihnya.Rose membalas tersenyum seraya menyelonong masuk rumah Steve."Ada apa kemari?" tanya Steve sedikit kikuk."Ada apa kemari?" ulang Rose. "Apa salah jika seorang pacarmu mendatangi rumahmu?"Steve menggelar tawa kecil sesaat sambil menekan pangkal hidungnya. "Bukan itu maksudku—""Terus?" Rose memangku dagu, tersenyum geli mendapati wajah kejut Steve.Sejenak kemudian, Steve memutar bola mata, sedang Rose sudah tertawa menyisakan garis lurus di matanya. Rose berpindah duduk di samping Steve. Menatap sejenak iris mata Steve, lalu menghembuskan napas."Kapan kamu akan mene
[Tepati ucapanmu semalam]Steve membaca pesan masuk. Dia tersenyum tipis. Dia pun menggeletakkan kembali ponselnya tanpa membalas pesan Rose.Steve mengatur napas, menatap pantulan dirinya di cermin. Hanya mengenakan pakaian kasual agar memberinya kesan santai, tapi wajahnya kendati demikian nampak tegang.Meraih kunci mobil di nakas, mengayun-ayunkannya di telunjuknya, ponsel yang hanya diselipkan di saku. Tak lama ponselnya ikut bergetar. Tertera nama Rose di sana.[Kamu akan berangkat, kan?]"Kau mengira aku ini apa? Tentu saja aku menepati omonganku. Namun ...."[Apa ada masalah, Steve?]Helaan napas berat lolos di bibir Steve."Kau benar-benar tak ingin menemaniku?"Rose menggigit pelan bibir bawahnya, dia bisa saja terlena dengan suara lesu Steve, tapi dia berusaha menahan diri.[Bukankah lebih baik jika kalian mengobrol empat mata?]Lagi dan lagi, Rose mendengar helaan napas di seberang.
"Aku menolak."Rahang Steve terbuka. Apa yang baru saja dia dengar? Sebuah penolakan? Hell no."Kamu ...."Rose tersenyum kecil, kening Steve berkerut dibuatnya. Gelak tawanya terasa ingin meledak."Aku menolak menikahi pria lain selain Steve Robinson."Seketika tawa Rose meledak. Wajah cengo Steve jauh lebih buruk dibanding ekspresi kagetnya sebelumnya.Rose menepuk pipi Steve pelan, menyadarkan keterkejutannya. "Steve!""Maksudmu?"Ucapan Steve spontan membuat Rose memutar bola mata, merasa gemas dengan Steve."You look like an idiot. Just give me a propose, that is all you should do. Right now, in here!"(Kamu terlihat seperti idiot. Lamarlah aku, satu hal yang harus kamu lakukan sekarang.)Mata Steve berkilat-kilat. Diraihnya jemari Rose, menggenggamnya erat, lalu menciumi punggung tangannya lembut.Steve mengatur napasnya. "Roseletta Lee, menikahlah denganku."Sudut bibir Rose kian tertar
Roseletta Lee, wanita yang berkebangsaan Ukraina yang mengikuti program pertukaran pelajar internasional lima tahun lalu. Sebuah kesialan yang membawa keberuntungan. Indonesia bukan negara yang ingin ditujunya namun karena paksaan orang tuanya –yang memiliki mitra bisnis yang cukup banyak yang berasal dari Indonesia. Rose terpaksa menurut saja. Lynn Meinen menjadi teman pertama Rose di universitas tersebut, keduanya menjadi lebih akrab. Awalnya, Rose merasa tak yakin bisa berteman dengan Lynn. Perawakan Lynn tampak bagai mahasiswi nakal, rambut berwarna-warni yang digonta-ganti tiap akhir bulan. Tampak mengerikan. Namun, nyatanya Lynn benar-benar gadis yang hangat, ceria, dan paling mudah mencairkan suasana canggung. Sebuah kesalahan fatal Lynn yang memperkenalkan Rose pada Steve. Apa yang terjadi? Steve jatuh cinta pada pandang pertama dengan Rose, bukan karena perawakan cantik Rose melainkan apa yang ada dalam diri Rose memenuhi
"Kapan kau akan masuk kerja? Kau sudah melebihi masa batas wajar izin sakit." Lynn mengalihkan topik pembicaraan, ditenggaknya kembali sodanya, netranya menatap Steve. Dalam hati, Steve membenarkan ucapan Lynn, atasannya tentu curiga jika Steve menambah masa cuti izinnya lagi. "Besok," balas Steve. "Aku akan menjemputmu besok!" Lynn mengelus punggung tangan Steve. Lagi-lagi Steve hanya menunduk melihat tangan Lynn yang masih mengelus tangannya. Steve bekerja di salah satu cabang perusahaan multinasional, di divisi administrasi keuangan. Sedangkan Lynn berada di divisi manajemen personalia. Steve tengah menikmati sarapan paginya bersamaan dengan Lynn yang datang dengan setelan kantornya. Tak ada pembicaraan berlangsung, Steve menenggak habis segelas susu, meraih tanda pengenalnya dan mengalungkannya di lehernya. Lynn duduk di kursi kemudi, Steve memaksa agar dirinya sa
Steve meraih kacamata di laci yang selalu dipakainya saat bekerja. Netranya mulai fokus menatap di layar monitor. "Jadi, ceritakan!" tuntut Lynn sembari mengunyah nasi pecel lele-nya. Keduanya memutuskan makan siang di luar, tidak terlalu jauh dari kantornya. "Setidaknya biarkan aku makan dulu. Aku lapar!" balas Steve membuat wajah Lynn berkali-kali lipat lebih cemberut dibanding paginya. 15 menit terasa lama bagi Lynn, dia menyedot es teh-nya menatap Steve yang masih menyantap makanannya. Steve tak menggubris Lynn yang sedari tadi menuntut penjelasan. "Ayolah!!" rengek Lynn. Steve tak habis pikir watak Lynn yang satu itu, terlalu penasaran dengan cerita orang terdekatnya. Bahkan Lynn mendapat julukan dari teman-temannya 'ratu kepo dari Belanda' Lynn memang setengah bule setengah indonesia. Namun, Lynn tak peduli dengan julukan itu, menuntaskan rasa penasarann