Share

Saksi Putus Kekasih di Tengah Jalan

"Kapan kau akan masuk kerja? Kau sudah melebihi masa batas wajar izin sakit." Lynn mengalihkan topik pembicaraan, ditenggaknya kembali sodanya, netranya menatap Steve. Dalam hati, Steve membenarkan ucapan Lynn, atasannya tentu curiga jika Steve menambah masa cuti izinnya lagi. 

"Besok," balas Steve.

"Aku akan menjemputmu besok!" Lynn mengelus punggung tangan Steve. Lagi-lagi Steve hanya menunduk melihat tangan Lynn yang masih mengelus tangannya.

Steve bekerja di salah satu cabang perusahaan multinasional, di divisi administrasi keuangan. Sedangkan Lynn berada di divisi manajemen personalia.

Steve tengah menikmati sarapan paginya bersamaan dengan Lynn yang datang dengan setelan kantornya. Tak ada pembicaraan berlangsung, Steve menenggak habis segelas susu, meraih tanda pengenalnya dan mengalungkannya di lehernya. Lynn duduk di kursi kemudi, Steve memaksa agar dirinya saja yang mengemudi. Namun, Lynn melarangnya, wanita itu masih khawatir dengan kondisi Steve. Tak ada pembicaraan berlangsung hingga Lynn menyodorkan sebotol obat pada Steve.

"Vitamin. Kau butuh itu," jelas Lynn menjawab kebingungan Steve. Lelaki itu hanya mangguk-mangguk, memasukkan satu pil dalam mulutnya. Lynn tersenyum samar.

"Aku akan memanggilmu makan siang nanti!" 

Ucapannya dibalas anggukan, Steve mendudukkan dirinya, menengok sebentar ke arah Lynn yang baru saja berbelok ke arah meja divisinya. Terdengar helaan napas Steve, kemudian membungkuk menekan tombol power CPU-nya. Mengetikkan nama dan password-nya, helaan napasnya kembali terdengar. Kali ini, Steve berusaha memusatkan perhatiannya di monitor dan baru saja Fianne meletakkan beberapa bundel dokumen di hadapannya. Fianne tersenyum menatap Steve entah apa artinya, senyum selamat datang setelah absen lebih seminggu ataukah senyum karena Fianne kini punya teman kerja berbagi bundel yang terlihat menumpuk di atas mejanya. Steve meraih selembar kertas, membacanya sekilas kemudian meregangkan otot-otot jarinya menatap papan ketik.

Kesibukan pagi itu benar-benar mengalihkan pusat pikiran Steve, dia bahkan memilih lembur di malam itu. Lynn sudah beberapa kali melarangnya. Namun Steve dengan keras kepalanya tetap kekeh untuk lembur. Lynn hanya menghela napas pasrah.

"Telepon aku jika sudah selesai, aku akan menjemputmu!" Raut khawatir tercetak jelas di mukanya.

"Aku bisa menyelesaikannya sebelum jam sembilan. Masih banyak taksi di jam tersebut, jangan khawatir. Pulanglah dan istirahatlah, aku justru mengkhawatirkanmu, Lynn." Steve menatap Lynn yang dibalas helaan napas Lynn, kemudian wanita itu mengangguk pelan, berbalik meninggalkan meja Steve. Namun, baru beberapa langkah, Lynn berbalik.

"Kabari aku jika kamu sudah sampai di rumah." Tersirat nada khawatir dalam suara Lynn. Steve mendongak, menatap Lynn dengan senyum kecil sambil mengangguk. Steve memandang punggung Lynn, memastikan bahwa wanita itu benar-benar keluar dari ruang divisi Steve. Lynn benar-benar menaruh perhatian lebih pada Steve, sahabat terbaik Steve yang pernah ada. Senyum samar terhias di wajahnya, tangan Steve terangkat memperbaiki kacamatanya, kembali menatap monitor.

Steve menatap jalan raya, menunggu taksi lewat. Sesekali, melirik jamnya. Angin malam memainkan rambut Steve yang sedikit terlihat berantakan. Sesekali, dia menguap padahal masih jam delapan lewat. Netranya menangkap sepasang kekasih di seberang jalan, Steve lantas membuang muka. Namun, suara berisik sepasang kekasih itu mulai mengusik Steve. Untungnya, sebuah taksi menepi di hadapannya.

"Sekali saja. Kenapa sih kamu tak mau nurut!"

"Jangan membentakku."

Steve berusaha mengabaikan sepasang kekasih itu. Namun, tubuhnya bereaksi sebaliknya. Alih-alih masuk dalam taksi, Steve justru menyeberang. Steve merasa geram, melihat lelaki itu memperlakukan kasar seorang wanita, mencekal tangannya dan berteriak kasar pada wanita itu. Steve saja tak pernah memperlakukan kasar Rose selama ini, Steve bertutur lembut nan halus pada Rose, bahkan detik-detik perpisahan tragis mereka. Rose lagi! Rose lagi! Lupakan dia, Steve! Batin Steve memperingatkan.

Steve memperlebar langkahnya, melepas cengkeraman lelaki itu. Ditariknya wanita itu ke belakangnya. Sekilas, mata wanita itu sedikit memerah, entah sudah menangis atau karena terlalu marah. Steve menatap tajam lelaki itu namun lelaki itu justru mendengus membalasnya.

"Wow, hebat. Kini kau pandai bermain di belakangku, ya, Jessica!" Itu pernyataan bukan pertanyaan. Lelaki itu bertepuk tangan di depan wajah wanita itu, senyumnya berubah sinis, melontarkan kalimat-kalimat murahan pada wanita yang bernama Jessica itu.

"Kau menyebut dirimu pria sejati namun perlakuanmu padanya tak jauh beda dengan binatang liar, mungkin lebih menjijikkan daripada itu," balas Steve. Tatapannya dingin sedangkan lelaki dihadapannya kian geram.

"Darimana kau mendapatkan sampah ini, Jessica?" olok lelaki itu. Tawanya tertahan di tenggorokan dan kemudian meledak begitu saja. Namun, tiba-tiba lelaki itu mematung mendapat tamparan yang tak disangka-sangkanya.

"Oh ya? Tak lihatkah kau dirimu itu, huh? Kau bahkan lebih busuk dari bangkai," tunjuk Jessica, rahangnya mengeras. Perih di tangannya berdenyut setelah menampar lelaki dihadapannya. Kedua matanya melotot bagai ingin melompat keluar dari tempatnya.

"Kita putus!" lanjut Jessica melepaskan cincin di jari manis kirinya dan menyerahkannya pada lelaki itu.

"Oke. Kita putus!" balas lelaki itu, kemudian melepas juga cincinnya, melempar kedua cincin itu di tengah trotoar. 

Steve sedikit menganga menyaksikan adegan yang tak diduganya. Jessica berbalik menarik tangan Steve, menjauh dari lelaki itu. Steve masih dalam keterkejutannya. Namun melihat Jessica yang tak sedikitpun berwajah murung membuatnya mengerutkan kening.

"Kamu oke, kan?" tanya Steve hati-hati. Keduanya sedang duduk di halte. Jessica mendecih lantas menatap lelaki itu.

"Sangat baik," jelas Jessica, seketika angin malam terasa menenangkan untuk Jessica. Senyum merekah menghiasi wajahnya.

 

"Aku Jessica Nova. Kamu?" tanya Jessica menatap Steve.

"Steve Robinson. Steve!"

 Jessica manggut-manggut.

"Aku meminta maaf atas mantan pacarku mengataimu sampah!" ujar Jessica menekan kata 'mantan pacar'. Steve mengangguk tak mempermasalahkan hal itu. Lalu, sebuah taksi lewat di hadapannya. Jessica merasa tak enak meninggalkan Steve sendiri di halte. Namun, Steve berujar tak apa.

"Terimakasih atas bantuanmu hari ini! Oiya, Ini kartu namaku, kirimi aku nomor rekeningmu, well, hadiah kecil," ujar Jessica sebelum benar-benar masuk tanpa memberi kesempatan Steve untuk membalas ucapannya. Steve membaca sekilas kartu nama itu, menyelipkannya segera di saku celananya kala sebuah taksi berhenti di hadapannya.

"Oh, Steve,  kenapa kau tak mengabariku? Kau tahu, betapa khawatirnya aku?" serang Lynn menatap bola mata Steve sedangkan orang yang ditatapnya hanya terkekeh kecil, menggaruk tengkuk.

"Apa ada yang terjadi?" tanya Lynn menyipitkan mata menyelisik. Seketika Steve memutar bola matanya, sahabatnya ini sungguh terlalu peka.

"Kembalilah ke mejamu. Kau tak akan mau dipanggil bos, kan tahu kalau kau sedang menganggu karyawan divisi lain?"

"Oh, yang benar saja. Apa kau baru saja mengataiku pengganggu? Dasar," ujar Lynn dengan decihan khasnya –bibirnya terangkat sebelah mengatakan cih.

"Kau berhutang cerita padaku makan siang nanti!" Steve hanya mengangguk. Lynn berbalik membawa muka cemberutnya. Steve menggeleng-gelengkan kepalanya, Lynn yang masih berusia 27 tahun terkadang bertingkah sangat bijak, sangat dewasa, dan terkadang pula bertingkah bagai remaja labil yang pubertas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status