"Jadi, ceritakan!" tuntut Lynn sembari mengunyah nasi pecel lele-nya. Keduanya memutuskan makan siang di luar, tidak terlalu jauh dari kantornya.
"Setidaknya biarkan aku makan dulu. Aku lapar!" balas Steve membuat wajah Lynn berkali-kali lipat lebih cemberut dibanding paginya.
15 menit terasa lama bagi Lynn, dia menyedot es teh-nya menatap Steve yang masih menyantap makanannya. Steve tak menggubris Lynn yang sedari tadi menuntut penjelasan.
"Ayolah!!" rengek Lynn.
Steve tak habis pikir watak Lynn yang satu itu, terlalu penasaran dengan cerita orang terdekatnya. Bahkan Lynn mendapat julukan dari teman-temannya 'ratu kepo dari Belanda' Lynn memang setengah bule setengah indonesia. Namun, Lynn tak peduli dengan julukan itu, menuntaskan rasa penasarannya lah yang terpenting dari segala hal yang penting. Steve hanya menghela napas, menceritakan segala hal yang terjadi mulai dari menunggu taksi hingga menjadi saksi putusnya sepasang kekasih.
"Sedikit mengerikan dan mengesankan," komentar Lynn sembari melipat tangan di dada.
"Menurutku itu mengerikan," ujar Steve.
Steve membayar santapannya dan Lynn, berjalan berdampingan keluar dari warung tersebut."Lembur?"
"Mungkin tidak," balas Steve.
Lynn melambaikan tangan berjalan keluar menuju ruang divisinya.Steve menunggu Lynn di depan ruangannya. Ya, Steve nebeng kendaraan pada Lynn, tepatnya karena paksaan Lynn. Padahal Steve sudah merasa jauh lebih baik pengecualian hatinya. Hatinya masih dalam keadaan remuk seremuk-remuknya.
"Aku akan ke rumahmu besok!" ujar Lynn.
"Kali ini kau akan menggangguku weekend-ku?"
Lynn hanya terkekeh kecil mendengar penuturan Steve."Salah satunya. Ingat misiku untuk membantumu move on?"
"Kau bercanda?" Steve kira ucapan Lynn beberapa minggu lalu hanya sebatas ucapan penghibur.
"Kau tahu bahwa aku tak pernah bercanda dengan ucapanku," ucap Lynn menatap sekilas Steve. Mobilnya berbelok, arah rumah Steve.
"Ups, lupa, haha ...," ujar Lynn menyadari pintu mobil masih terkunci.
"Sampai ketemu besok!!" ujarnya lagi setelah menurunkan kaca mobilnya. Melambai ke arah Steve yang sedang memegang handle pintu. Lynn tertawa kecil menyadari bahwa Steve tak menggubrisnya. Mobilnya melaju meninggalkan pelataran rumah Steve.
Steve memilih berendam terlebih dahulu, merilekskan tubuh letihnya. Steve tersenyum samar mengingat momen tak terduga minggu lalu.
"Kartunya?" ucap Steve mengingat bahwa Jessica memberikan kartu nama saat itu. Steve buru-buru menyelesaikan ritual berendamnya lantas meraih jubah mandi yang sudah tersedia di rak samping kamar mandi dan mengenakannya.
Steve membuka lemarinya, meraih celana kerjanya, merogoh sakunya dan untungnya kartu nama itu masih ada disana. Steve menghela napas, tulisan kartu nama itu sudah luntur untungnya Steve masih bisa membaca nomor kontaknya.
"Halo?" jawab suara di seberang telepon.
"Apa benar ini nomor Jessica Nova?" tanya Steve pelan."Ya, benar. Saya Jessica Nova. Dengan siapa saya berbicara?"
Steve menjauhkan ponselnya, menghela napas lega dan berdehem membersihkan tenggorokannya, didekatkannya kembali ponselnya.
"Aku Steve Robinson. Ingat?" tampak suara hening di seberang telepon.
"Oh iya, kenapa kau baru menghubungiku, Steve? Aku sedari kemarin menunggu telepon darimu."
Steve hanya terkekeh kecil mendengar nada ceria Jessica. Steve tak mungkin mengatakan bahwa dia lupa menghubungi Jessica terlebih dia sudah mencuci kartu nama itu.
"Maafkan aku. Aku sedang sibuk saat itu!"
Jessica hanya berujar 'oh' di seberang telepon."Jangan lupa kirimkan nomor rekeningmu."
Steve tampak berkerut kening, memorinya berputar mencari kata 'rekening'. Seketika, Steve manggut-manggut."Tak usah! Itu terlalu berlebihan, aku tak membantu banyak bahkan boleh dikatakan hanya ketidaksengajaan," balas Steve.
"Tapi ... aku merasa tidak enak."
"Kau merasa seperti itu?" tanya Steve.
"Selalu."
Steve menerka mungkin Jessica wanita kaya. Ini pertama kalinya Steve membantu wanita yang tak diketahui yang justru ingin mengupahinya uang alih-alih hanya berujar terimakasih."Sudahlah. Kau tak perlu melakukan hal itu. Aku benar-benar tulus membantumu," jelas Steve.
"Benarkah?" Refleks Steve mengangguk yang tentunya tak dilihat Jessica lantas berkata, "Iya!"
Pembicaraan keduanya bertahan hingga satu jam, aneka topik saling tumpah ruah. Steve bahkan tak menyadari lama obrolan mereka, satu hal Steve tahu bahwa Jessica wanita yang menyenangkan. Sambungan telepon berhenti kala Jessica hendak bersiap hang out dengan teman-temannya.
"Hang out jam sepuluh malam?" tanya Steve pada dirinya sendiri. Kemudian mengedikkan bahu. Hang out malam mungkin sudah lumrah adanya, mungkin diriku saja yang masih kolot, pikir Steve.
Steve meraih jubah tidurnya tahu bahwa dia masih mengenakan jubah mandi. Berburu-buru mencari kartu nama tadi telah membuatnya lupa berganti baju dahulu.
Steve menyetel alarm-nya lebih awal dibanding hari kerjanya, bangun pagi-pagi untuk berlari berkeliling taman, kebiasaan weekend-nya.
Lynn sudah mengetuk pintu dan membunyikan bel rumah Steve berkali-kali. Namun tak kunjung dibuka. Pikirnya, Steve masih tertidur pulas bahkan teleponnya tak diangkat. Jadinya, Lynn duduk menunggu Steve membuka pintu yang entah kapan akan dibuka. Lynn memangku dagunya, melirik jam tangannya. Sudah lima belas menit berlalu.
Steve tengah berlari pulang menuju rumahnya, irama lagu pop mengiringi langkahnya. Saat tiba di depan rumah, Steve melihat Lynn tengah duduk lesu bahkan tak menyadari kedatangan Steve.
Lynn menatap ubin hingga sebuah sepatu bertengger di hadapannya. Lynn mendongak menatap Steve yang penuh keringat, rambutnya sedikit basah, dada bidangnya menonjol dibalik kaus putihnya, napasnya masih terengah-engah. Tak sadar Lynn meneguk ludahnya sendiri, matanya masih terpaku pada penampilan Steve. Steve lalu mengibaskan tangannya di depan wajahnya membuyarkan lamunan Lynn. Lynn lantas tersentak kaget lantas membuang muka.
"Darimana?" Lynn merutuki pertanyaan bodohnya, jelas-jelas Steve baru saja berolahraga. Steve hanya terkekeh kecil, mengacak-acak rambut Lynn. Seketika, Lynn memberengut kesal, tangannya terangkat memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan. Namun, tak ayal wajahnya merona.
"Apa itu?" tanya Steve menunjuk kantong kresek di lantai.
"Oh, ya, itu donat!" jawab Lynn meraih kantong tersebut, melangkah masuk setelah Steve membuka kunci pintunya.
"Aku mandi dulu," ujar Steve dibalas anggukan.
Lynn langsung menuju dapur, mengeluarkan boks donat dari kantong itu dan menatanya di piring. Tak lupa, menyeduh teh hangat.Lynn tersenyum melihat Steve bersandar di dinding dapur lantas mengajaknya menikmati donat di meja makan.
"Tahu kenapa donat itu tengahnya bolong?" tanya Lynn sambil mengunyah donat bertabur gula halus.
"Itu karena memang sudah seharusnya begitu."
"Teng, salah!" balas Lynn menyilangkan tangan membentuk huruf X.
"Takdir si donat!"
Sontak Lynn tertawa mendengar jawaban Steve. Lalu, kembali menyilangkan tangan 'salah'."Menyerah, nih?"
Steve hanya menghela napas lalu menyesap teh-nya."Itu karena ...."
"Donatnya ...." Lynn memang sengaja menggantungkan kalimatnya membuat mata Steve terpaku padanya, benar-benar diliput penasaran.
"Ayolah, jangan membuatku lebih penasaran," sebal Steve.
"Itu karena donatnya gagal move on, hatinya sudah lebur jadi abu. Makanya bolong," jelas Lynn dalam satu tarikan napas.Wajah Steve langsung cengo, gigitan donat dalam mulutnya hampir jatuh. "Teori macam apa itu?" sanggah Steve. "Teori Lynn ulala yang membahanalah!" ujar Lynn dalam satu tarikan kecepatan penuh. "Kau baru saja menyindirku?" Steve menyipitkan mata. "Baguslah kalau kau merasa tersindir," jawab Lynn sambil lalu membawa cangkir teh kosong miliknya dan milik Steve. Steve memandang punggung Lynn yang tengah mencuci cangkir itu lalu meletakkannya di rak samping wastafel. Lynn mengeringkan tangannya kemudian mendekat ke arah meja. "Berikan ponselmu!"Steve melihat Lynn bergantian dengan tangannya yang kini menadah meminta ponsel. "Apa yang ingin kau lakukan?" tanya Steve membuat bola mata Lynn berputar 360 derajat.
"Tragedi putus!!!"Lynn lantas berujar 'oh' mengingat Jessica adalah tokoh utama dalam cerita Steve kemarin. Wajar saja Lynn lupa, Lynn memang kategori pendengar yang tak menaruh minat pada nama seseorang yang tak dikenalnya. "Jadi, kapan?" tanya Lynn mengambil donat rasa coklat dan mengunyahnya pelan. "Aku akan menceritakannya saat makan siang nanti!" balas Steve sembari berbalik meninggalkan meja Lynn dengan cekikikan melihat wajah cemberut Lynn. Netra Steve kembali fokus dengan layar monitornya, kesibukan kerja mengalihkan pusat pikiran Steve. Beberapa kali, Fianne berbalik ke arahnya untuk berbagi tugas mengerjakan laporan bulanan. "Jadi?" Steve dan Lynn baru saja menyelesaikan makan siangnya, Steve kembali memesan dua cappucino. "Kami sepakat bertemu di malam minggu," jawab Steve lalu menyesap cappucino-nya.
"Karena aku sudah memakai lipstik, maka kamu harus ...." Lynn berjinjit di hadapan Steve, melupakan sambungan ucapannya. Sedangkan, Steve mematung di tempat mendapati Lynn tengah menyapu kuas lipgloss di bibir bawah Steve. Jarak keduanya hanya tersisa beberapa senti saja, seorang pelanggan yang lewat di hadapan Steve sontak kaget, Steve menduga bahwa pelanggan itu mendapat perspektif pandang yang salah, mengira Steve dan Lynn tengah berciuman. "Wuah!" puji Lynn menatap warna softpink lipstik itu di bibir Steve. Lynn lantas mengambil lipstik baru yang sama. Steve masih dalam diamnnya sembari mengusap bibirnya, menghapus warna lipstik tadi. "Aku lapar," ujar Lynn lantas menarik tangan Steve menuju restoran mal di lantai tiga. Lynn memang tampak terlihat biasa saja. Namun jantungnya sudah berdegup kencang, Lynn juga tak mengerti darimana dia mendapatkan keberanian untuk melakukan hal tadi, Lynn meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilakukannya
Steve menyaksikan punggung Jessica yang berlalu dan mulai menerka-nerka yang mana mobil Jessica.Steve menganga di tempat melihat Jessica dengan mobil Porsche putihnya, sangat kontras di malam yang pekat. Steve tersadar kala Jessica membunyikan klakson untuknya, tangan Steve terangkat melambai ke arah Jessica. Steve berbalik menuju mobilnya yang masih berdecak mengagumi mobil Jessica. Dalam hati, Steve merasa tidak sepadan dengan Jessica jelas bahwa perbedaan gaya kehidupan dan selera keduanya. Steve memang berasal dari kalangan atas. Namun Steve tak memegang prinsip untuk memamerkan hartanya. Steve lebih menyimpan uangnya yang menurutnya akan berguna untuk masa depan. Rumah Steve bahkan bisa dibilang sederhana dengan gaya interior klasik. Ayah Steve pernah menyuruh Steve mengubah gaya rumahnya, tapi Steve menolaknya mentah-mentah, selain menghamburkan uang, Steve juga sudah merasa nyaman dengan rumahnya. Berbeda dengan rumah orang tuanya yang glamor.
"Lynn baik-baik saja, kan?" tanya Leiss kala mendapati Steve yang tengah melangkah masuk ruangannya. Steve hanya mengangguk sekilas dan tersenyum ke arah Leiss. Wanita itu langsung mengelus dada disertai helaan napas lega. "Aku tentunya akan menyalahkan diriku sendiri telah membiarkan Lynn pulang mengemudi sendiri. Syukurlah kalau dia baik-baik saja!. Aku terlalu khawatir saat melihatnya mual tadi pagi," jelas Leiss kemudian berbalik menuju mejanya. Steve menatap kursi kosong Lynn lalu menghela napas berat. Fianne yang cukup peka dengan situasi tak bertanya apapun pada Steve. Padahal, wanita itu biasanya tak berhenti mencerocos. Getaran di saku jas Steve mengintrupsinya, Steve merogoh sakunya mendapati pesan singkat dari Jessica. [Hai! Apa kabar?] Steve meletakkan ponselnya di meja tanpa niat membalasnya. Matanya berfokus di layar moni
"Kau pecinta seni?" tanya Jessica. "Hm, sepertinya begitu," jawab Steve.Hening kembali mengudara. "Aku ingin mengajakmu keluar!" ujar Jessica kemudian menatap manik mata Steve "Tentu. Kau punya tempat pilihan?" Senyum Jessica mengembang mendengar nada antusias Steve. "Tidak. Terserah saja kemana nantinya kita pergi!" jawab Jessica diakhiri kekehan kecilnya. Steve beranjak berdiri menuju kamarnya meraih jaket dan kunci mobil lalu Jessica menyampirkan tas kecilnya di bahu. Keduanya berjalan beriringan keluar pintu. "Maaf, tak se-mewah Porsche-mu!" ungkap Steve sembari membukakan pintu mobil untuk Jessica. "Jangan membandingkan, Steve! Aku tentu tak mempermasalahkan hal itu," ujar Jessica kemudian masuk dalam mobil. Mobil Steve pun melaju menuju alun-alun kota. "Kenapa kau tak ja
"Dua gelas wine," ujar Jessica. Steve menatap sekitar menyaksikan sekumpulan orang berjoget kesetanan, dentuman lagu terasa memecahkan kepala. Lalu, Steve bergeleng-geleng kepala melihat beberapa pasangan yang berhubungan intim secara buka-bukaan. Jessica menyodorkan segelas wine. Steve menatap bergantian wajah Jessica dan wine di tangannya. Jessica menatap balik Steve seolah menyiratkan kalimat, 'Ambillah!'. Steve mengambil wine tersebut. Steve meneguknya dan langsung berkecut muka. Dua hal yang paling dibenci Steve, klub malam dan kepopuleran. Namun, malam ini Steve terpaksa menginjakkan kaki di tempat laknat ini demi Jessica. "Pertama kalinya?" tanya Jessica lantas menenggak habis wine-nya. Steve mengerutkan kening tak dapat menangkap ucapan Jessica akibat ributnya suara musik. Jessica tertawa kecil lalu menjulurkan badannya ke arah Steve, mengalungkan kedua len
"Entahlah ... terkadang. Aku tak memahami Jessica, sebentar-sebentar dia tampak bagai wanita yang memang kuidamkan. Namun dia kadang bertingkah sebaliknya, wanita yang liar. Terkadang, aku jatuh hati padanya, terkadang pula aku merasa menyesal mendekatinya," jelas Steve. "Aku bahkan ragu akan perasaanku padanya," tambah Steve. Lynn menatap Steve, jelas sudah raut kebingungan di wajah Steve. Lynn hanya menghela napas, merasa lega dan gusar sekaligus. Dia bagai pecundang. "Kau sudah bertemu dengannya?"Steve hanya menatap Lynn tanpa membalasnya. "Belum. Dia hanya menelponku semalam, nada bicaranya sedikit marah."Lynn mengerutkan kening lalu tertawa. "Wanita siapa yang tak marah jika ditinggal sendiri di klub tanpa pamit?" sindir Lynn. Dalam hati, Lynn bersorak senang. Steve lebih memedulikan dirinya dibanding Jessica. "Ya