LOGIN"Sebenarnya aku tidak berhak marah atau apapun, itu sama sekali bukan hakku. Tapi rasa sukaku padanya tiga tahun ini tidak dapat kuhapus begitu saja. Andai saja menghapus perasaanku padanya semudah membalikkan telapak tangan," Aiko mendesah pelan, rasanya menghapus perasannya pada Ivander begitu sulit.
"Mic, maafkan aku karena masih berlaku kekanakan. Harusnya aku tidak seperti ini." "Ai, waktu tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Aku mengerti itu, tapi aku berharap karena ini adalah kejadian kedua kau melihatnya bersama orang lain, aku ingin kau memutuskan langkahmu kedepannya. Semua keputusan itu ada padamu," Mic menatap Aiko dalam, astaga Aiko memang tidak bisa melepaskan teman sebaik Mic. Aiko mengangguk mendengarkan kata kata Mic, hatinya merasa lega karena Mic selalu ada untuknya. Akhirnya Aiko dan Mic keluar dari toilet dan kembali menuju mejanya. Berbagai bahan kain memenuhi ruangan tersebut. Aiko cukup takjub karena Mic sangat keren dalam melakukan pekerjaannya. Aiko melihat beberapa maneqin di ruangan tersebut dengan berbagai macam kain yang disampirkan. "Apa kau mau kita memesan makan malam di sini saja?" Aiko mengangguk menanggapi ucapan Mic, tidak buruk rasanya makan sambil bekerja seperti ini. Tak berapa lama makanan Aiko dan Mic datang, dan sedikit lagi pekerjaan Mic selesai. Aiko melirik handphonenya dan waktu sudah menunjukkan tengah malam. Dan Aiko tersadar bahwa tak ada ID Card yang menyatu dengan gantungan handphonenya. Aiko meringis membayangkan hal yang tidak tidak, bagaimana jika gantungan itu jatuh di dekat lorong tempatnya berlari tadi? Tamatlah riwayatmu, Aiko. Mic merasakan keresahan Aiko, Aiko tidak bisa diam. "Kenapa kau seperti cacing kepanasan begitu?" "Aku telah menjerumuskan diriku sendiri ke dalam lahar yang panas Mic, ID Cardku jatuh ketika aku berlari tadi. Bagaimana jika Ivander menemukannya? Aku bahkan tidak sanggup membayangkannya," Aiko meremas tangannya panik, bayangan Ivander dengan tatapan tajam dan penuh amarah membuat Aiko bergidik ngeri. "Ayo kita selesaikan ini dan mencarinya, setidaknya kita berusaha sebelum bos sialan itu menemukannya," Aiko bergegas membantu Mic merapikan sisa bahan yang sudah tidak digunakan. Aiko dan Mic mengelilingi area kantor tersebut, masuk ke daam toilet, kemudian keluar kembali. Lalu berjalan menyusuri lorong tempat Aiko berlari, berjalan ke depan ruangan model, dan nihil tak ada apapun di sana. Mic mencoba mencarinya di jalan masuk, sedangkan Aiko kembali ke tempat di mana ruangan model sudah kosong. Aiko mungkin sudah gila karena masuk ke dalam ruangan di mana pria yang menyita perhatiannya selama tiga tahun make out di sana. "Apa kau mencari ini?" Aiko bergidik, bulu kuduknya meremang, Aiko tidak menyangka akan ada hal seperti ini dalam hidupnya. Aiko berusaha menormalkan raut wajahnya dan berbalik melihat sumber suara. "Terima kasih karena telah mengamankannya Mr. Ivander. Karena sudah larut malam, aku harus kembali," Aiko berusaha meraih ID Card tersebut dari tangan Ivander, namun tangannya lebih cepat menghindar dan sebelah tangannya menarik tangan Aiko untuk mendekat padanya. Aroma parfumnya membuat Aiko limbung, Aiko harusnya mendorong Ivander menjauh dari tubuhnya. Bukan menikmati aroma memabukkan pria itu. "Kita selalu terlibat dengan hal hal seperti ini, Aiko?", mata Ivander menatap mata Aiko dalam, dalam temaram cahaya yang samar, Aiko bisa melihat dengan jelas tatapan Ivander padanya, merasakan deru nafas Ivander menerpa wajahnya. "Aiko?? Aiko kau di mana?" Aiko bisa dengan jelas mendengar Mic memanggil namanya. Namun Ivander justru meletakkan jari telunjuknya di bibir Aiko kemudian membisikkan "Hubungi temanmu, katakan padanya bahwa kau akan pulang terlambat karena ada hal penting yang perlu kau urus," Aiko terpaku sejenak mendengarkan perintah Ivander padanya. Aiko lalu merogoh saku jaket yang dikenakannya, kemudian menghubungi Mic yang masih mencarinya di luar sana. "Mic, pulanglah duluan, aku ada urusan mendadak. Aku akan menghubungimu lagi nanti. Hati hati di jalan," Aiko mematikan sambungannya dengan Mic, dan mendengar langkah Mic berjalan menjauhinya. "Aku seharusnya bisa pergi bersama temanku, tapi apa tujuan Anda menahanku di sini?" Aiko berusaha melepaskan dirinya dari genggaman Ivander, dan dengan santai dia melepaskannya. "Kau selalu mengganggu pikiranku, maksudku kau tidak sepenting itu untuk bisa mengusikku. Apa kau mengikutiku? Atau kau punya mata mata untuk mengawasiku?" Aiko terhenyak mendengar kata kata Ivander, mengikuti? Mengawasi? Seorang Aiko? Aku?Aiko tersenyum tipis menanggapi kata kata Ivander, bukannya takut.
"Tuan Ivander Yang Terhormat, Anda mungkin bisa berlaku apa saja sesuka Anda, tapi tidak denganku. Walaupun aku sesuka itu pada Anda, tapi aku tidak berhak melakukan hal itu. Semua yang terjadi antara kita hanya kebetulan," Aiko berusaha dengan sangat tenang mengatakannya. Aiko mengatakannya dengan tidak melepaskan pandangannya dari Ivander. Pun hal yang sama dilakukan oleh Ivander. "Jadi kau menyukaiku nona Aiko? Terima kasih atas pernyataanmu, tapi kau bukan tipeku," mendengarnya mengatakan langsung hal tersebut tidak membuat Aiko begitu kaget. "Terima kasih. Dan karena aku sudah selesai. Aku permisi duluan," Aiko baru akan berbalik meninggalkan Ivander, namun tangannya menahan Aiko. "Kau yakin bisa pulang sendiri? Ini sudah larut malam dan kau tahu banyak pria mabuk di luar sana," Aiko melirik handphonenya, sekarang sudah jam satu malam. Jujur, Aiko takut. Tapi Aiko tidak mungkin mengatakannya. "Terima kasih karena sudah peduli pada karyawan Anda, tapi aku bisa pulang sendiri," Aiko benar benar berjalan meninggalkan Ivander. Dan Ivander dengan santai berjalan mengikuti Aiko dari belakang. Saat sampai di lantai dasar, tak ada satupun taksi. Jam operasional bus juga sudah berakhir sejak jam dua belas tadi. Ivander dengan santai bersandar pada pintu mobilnya, Aiko sesekali melirik Ivander yang masih betah mengawasinya dari belakang. "Aku hanya akan menawarimu sekali lagi, jika kau bersedia, kita bisa pulang bersama," Ivander sudah bersiap masuk ke mobilnya dan Aiko dengan cepat berjalan menujunya. "Aku ikut," Aiko lalu naik ke mobil menyusul Ivander. "Tambahkan alamatmu," Aiko segera mengetik alamatnya pada layar kecil di depannya. Situasi ini benar benar di luar nalar, Aiko benar benar tidak habis pikir bisa satu mobil seperti ini dengan Ivander. Aiko keringat dingin, Aiko bukannya takut, lebih tepatnya tegang, Aiko tidak terbiasa dengan situasi seperti ini. "Apa kau kedinginan? Kau gemetar," Ivander melirik sekilas melihat Aiko. "Ah tidak, aku tidak apa-apa." Kurang lebih dua puluh menit perjalanan, akhirnya Aiko dan Ivander telah sampai di depan apartment Aiko. "Terima kasih karena kebaikan Anda, saya harap Anda tiba di rumah dengan selamat. Hati hati di jalan," Ivander hanya membalas Aiko dengan deheman. Kemudian menjalankan mobilnya meninggalkannya. Saat sampai di apart, Mic tidak berhenti mencecari Aiko dengan berbagai macam pertanyaan. Karena tidak bisa berbohong, akhirnya Aiko menceritakan semuanya pada Mic. "Luar biasa Ai, aku bahkan mengira dia akan membawamu ke rumahnya," Mic terkekeh membayangkan hal itu. Aiko hanya menanggapinya dengan memukul pelan lengan Mic. Membuat Mic berpura pura meringis kesakitan. "Tapi dia cukup baik karena mau mengantarmu pulang, aku rasa dia tidak seburuk itu Ai. Yah, walaupun selama ini kata katanya tidak pernah dibenarkan karena terlalu kasar," Aiko hanya terdiam menanggapi kata kata Mic.Aiko benar benar harus menata kembali hatinya untuk tidak bisa menghadapi situasi apapun kedepannya.
Usia kehamilan Aiko sudah memasuki pekan ke 20 dan semakin hari nafsu makan Aiko mulai meningkat. Pipinya terlihat mulai berisi, perutnya terlihat semakin membesar, dan hal itu membuat Ivander selalu gemas padanya. Aiko menikmati harinya dengan memulai rutinitas baru, walaupun hanya di rumah saja, Aiko berusaha mengatur waktunya dengan sebaik mungkin. Sekarang sudah pukul 10, dan Ivander sudah berangkat ke kantor sejak 2 jam yang lalu. Aiko keluar dari kamarnya, membawa handphone, iPad dan sebuah buku sketch menuju ke ruang kerja Ivander. Di ruangan itulah Aiko menikmati kegiatannya, menghabiskan waktunya berjam jam untuk mengeluarkan beberapa design yang saat ini berkutat di pikirannya. Ketukan pelan membuyarkan fokus Aiko yang mulai menorehkan garis garis yang akhirnya membentuk sebuah design yang memukau nantinya. "Nyonya, ini camilan buah untuk Anda. Dan pesan dari Tuan , jangan duduk terlalu lama, Anda harus sesekali bergerak, dan banyak minum air putih." Aiko tertawa pe
Ivander menjemput Aiko untuk datang ke kantor sore ini bersamanya. Aiko sudah sepekan tidak pernah ke kantor karena Ivander melarangnya, dan semua pekerjaannya sebelumnya sudah diserahkan kepada Peter. "Apa yang akan kita lakukan di kantor di jam saat ini sayang? Kau juga memintaku mengenakan gaun yang cukup mewah, apakah ada acara khusus?" Aiko yang sejak tadi tidak menerima jawaban pasti dari Ivander terlihat sangat menggemaskan, pipinya menggembung, wajahnya cemberut.Ivander meraih leher Aiko dan melumat bibirnya, rasa pelembab bibir stroberi melingkupi sekitar bibir Ivander."Manis dan lembab." Ivander membersihkan bibirnya dari bekas pelembab bibir Aiko, namun akhirnya menerima pukulan yang tidak begitu keras di dadanya."Kau selalu saja menggodaku! Jadi kau tidak akan memberitahukan padaku apa tujuan kita ke kantor sore ini? Kalau begitu, baiklah, aku akan mogok bicara. Jadi jangan mengajakku bicara." Aiko menggeser duduknya menjauh dari Ivander, namun Ivander justru lebih sig
Ivander melepaskan celana dalam Aiko dan membuangnya ke sisi lain tempat tidur. Ivander tidak menghiraukan Aiko yang sejak tadi mengerang karena Ivander tidak bisa menjauhkan bibirnya dari lembah kenikmatan Aiko, aroma dan rasanya sangat memabukkan. "Nggh, jangan menjilatnya terus. Lakukan hal yang lain." Aiko terdengar putus asa dan meremas pelan rambut Ivander. "Kau ingin aku melakukan hal lain apa sayang?" Pertanyaan yang dilontarkan Ivander membuat Aiko memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Senyum kecil tercetak jelas di sudut bibir Ivander, Aiko mengalihkan pandangannya ke arah lain, wajahnya terasa memerah sampai ke telinga. "Hmm, tidak. Lakukan apapun yang ingin kau lakukan pada tubuhku. Tapi kau harus berjanji akan melakukannya dengan hati hati. Aku tahu sudah mengatakan hal ini berulang kali, tapi aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya." Aiko mengelus pelan perutnya yang terlihat mulai membuncit. Ivander lalu melepaskan pegangan tangannya pad
Ivander merasa sangat lega ketika melihat Aiko melahap makanan yang telah dipesannya di rumah makan Thailand yang sebelumnya disebutkan olehnya. Beberapa jenis makanan yang Ivander pesan hampir dihabiskan sendiri oleh Aiko. Rasanya cukup takjub melihat sang istri makan sebanyak itu, berbanding terbalik dengan beberapa pekan lalu, bahkan untuk mencium aroma makanan pun membuat dirinya merasa mual.Ivander menyodorkan es krim kesukaan Aiko sebagai pencuci mulut. Mata Aiko terlihat berbinar lalu meraih es krim dengan rasa bluberry pisang yang telah sedikit meleleh dibagian pinggirnya. Aiko menyendokkan dan merasakan bagaimana rasa manis, dingin dan lembut es krim tersebut menyatu di mulutnya. Kakinya mengayun, ekspresi bahagia yang dirasakannya."Apakah rasanya seenak itu?" Ivander tidak tahan melihat tingkah lucu istrinya. Aiko menganggukkan kepalanya menanggapi pertanyaan Ivander. Aiko kembali memusatkan perhatiannya pada mangkuk yang isinya sudah habis setengahnya."Makan pelan pelan
Ivander berjalan menuju Unit Gawat Darurat, menanyakan keberadaan sang istri pada tenaga medis yang ada di sana. Seorang perawat bertubuh mungil mengantarnya pada bilik kamar dengan tirai biru yang tertutup sepenuhnya. Ivander melihat Aiko yang masih terlelap, bekas air mata jelas tercetak di pipi dan sudut matanya. Ivander meraih tangan Aiko, menggenggamnya, mencium puncak kepalanya. "Sayang, maafkan aku karena tidak menyadari bahwa kau sedang tidak baik baik saja. Aku hampir saja membahayakan dirimu dan calon anak kita. Maafkan aku Ai." Ivander tidak bisa menyembunyikan rasa bersalahnya. Air matanya menetes, suara tangisan lirihnya terdengar. Aiko menggerakkan tangannya, melihat Ivander yang menangis di sampingnya sambil menggenggam tangannya. Aiko tidak mengatakan apapun, hanya mengulurkan tangannya untuk mengusap pelan kepala Ivander. Ivander menyadari pergerakan Aiko, mengangkat kepalanya, melihat tatapan mata sang istri yang sangat dirindukannya. Ivander merapatkan tub
Max telah memarkirkan mobil yang membawa Ivander dan Aiko ke gedung puluhan tingkat milik Aldan Enterprise. Waktu sudah menunjukkan pukul 04.10 kurang lebih 20 menit lagi pertemuan dengan Mr. Aldan akan dilakukan. Ivander meminta Max untuk menunggu di cafe lantai 1 dekat dari lobi. Ivander meraih tangan Aiko, menggenggamnya, berjalan bersama menuju tempat pertemuan diadakan. Ivander menerima kartu setelah melapor pada bagian resepsionis, lalu berjalan menuju lift terdekat menekan tombol 33. Beberapa menit kemudian Aiko dan Ivander telah tiba di lantai 33, luas dan megah. Aiko cukup terpaku dengan interior koridor dan ruang pertemuannya nanti. Peter berdiri menyambut kedatangan Ivander dan Aiko di ruangan tersebut. Belum ada orang lain. Hanya mereka bertiga. Sambil menunggu pihak lain, Peter memperlihatkan beberapa file pendukung yang akan ditampilkan nanti. Tak lama kemudian satu persatu orang memasuki ruang meeting itu. Ruangan yang awalnya sepi berubah menjadi ramai, mereka bersa







