LOGINDari sekian banyak SMS dan chat, Aiko tidak berniat membaca apalagi membalasnya. Aiko tidak jual mahal, Aiko hanya merasa ini adalah efek dari penampilan barunya. Mereka tidak benar benar serius pada Aiko. Aiko sudah menghapus 32 chat pagi ini, dan sepertinya hal ini akan menjadi rutinitas barunya setiap hari.
Drrrtt drrrtt drrrtt.. Getaran handphone yang baru saja Aiko letakkan di meja membuatnya kaget, nama Mic muncul pada layar mini tersebut.
"Ai, apakah kau sibuk malam ini? Mau bergabung denganku ke klab bersama teman teman dari divisi pemasaran?" Aiko mengerutkan keningnya, jarang jarang Mic mengajaknya ke klab.
"Tidak, aku mau di rumah saja. Jangan pulang terlalu larut Mic. Jangan terlalu banyak minum juga," Aiko bersiap menutup telepon sebelum Mic kembali bersuara.
"Baiklah, aku tidak akan pulang larut. Bye!" sambungan terputus dan Aiko kembali dibuat kaget ketika sepasang mata sinis menatapnya.
Ivander berjalan mendekati Aiko dan membuat orang orang disekitar mereka berbisik bisik. Aiko berusaha mengabaikan dan berusaha fokus pada pekerjaan di depannya.
"Saat ini bukan waktunya bersantai, apakah pekerjaanmu kurang?" Aiko berdiri dari tempat duduknya tanpa rasa ragu. Seperti biasa, Ivander sudah memasang wajah arogan dan meremehkan. Berbeda dengan kelakuannya semalam saat mengajak Aiko pulang bersamanya.
"Selamat siang Mr. Ivander, maaf sebelumnya. Aku hanya mengangkat telepon yang bahkan tidak sampai tiga puluh detik. Jika itu dianggap bersantai, aku mohon maaf sekali lagi," Aiko menatap wajah Ivander tersebut tanpa rasa takut. Ivander ingin mengintimidasi Aiko dengan posisinya saat ini. Ditengah banyaknya orang yang memerhatikan mereka.
Beberapa orang mendatangi Aiko dan bertanya terkait sikap Ivander yang dinilai cukup berlebihan dan ini baru pertama kali terjadi.
"Apa kau melakukan kesalahan padanya? Ini hal yang tidak biasa, dia selalu menghindari kontak langsung dengan karyawannya. Tapi kali ini dia hanya datang untuk menegurmu, padahal itu hal yang sama sekali tidak perlu," Rene berjalan ke mejaku sambil mengamati punggung Ivander yang berjalan cepat meninggalkan ruangan tersebut.
Aiko hanya mengedikkan bahu, dan kembali duduk untuk memfokuskan pikirannya.
***
Dua pekan lagi akan ada acara kantor yang rutin diadakan oleh Lemme Fashion jika mendekati bulan lahir perusahaan ini. Acaranya menyenangkan, karena akan ada musisi ternama yang diundang, beberapa model terkenal yang bekerja sama dengan Lemme Fashion, terlebih beberapa petinggi tentu saja akan hadir.
Para wanita siap menampilkan pertunjukan antar divisi, sedangkan para pria siap dengan persaingan beberapa cabang olahraga yang tentu saja akan membuat para wanita berteriak histeris.Aiko bisa kembali menikmati ritme kerjanya seperti biasa, seperti sebelum Aiko bertemu secara 'kebetulan' dengan Ivander. Dan semenjak kejadian teguran Ivander pada Aiko beberapa waktu lalu, Aiko tidak pernah bertemu lagi dengannya.
Sebentar lagi jam istirahat siang dan pekerjaan Aiko sisa sedikit lagi. Tapi lagi lagi panggilan telepon dari Steve membuat Aiko was was. Hal yang sama tidak akan terjadi lagi kan?
Aiko mengangkat panggilannya, suaranya cukup santai untuk sebuah hal yang besar, Aiko bergegas ke ruangannya.
Aiko cukup terkejut ketika masuk dan sudah ada Ivander di sana. Ini lebih mengerikan dari apa yang Aiko bayangkan sebelumnya.
"Selamat siang, ada yang bisa aku bantu?," Aiko berdiri di dekat pintu masuk, rasanya tatapan tajam mata Ivander membuat langkah kaki Aiko menjadi kaku.
"Maaf karena menghubungimu tiba tiba. Aku ingin minta tolong sesuatu Ai. Akan ada pertemuan dengan beberapa brand yang memercayakan design musim dinginnya pada kita. Apakah kau bisa ikut? Aku, kau dan Ivander akan pergi bersama," Aiko masih dengan seksama mencerna kata kata Steve barusan. Kenapa harus Aiko? Kan ada Ara sebagai asisten managernya.
"Maaf kalau aku lancang. Tapi bukankah ini menjadi tanggung jawab Bu Ara? Aku tidak bisa pergi, jika aku harus mengambil alih pekerjaan orang lain," Aiko menolaknya dengan takut takut, astaga harusnya dia tidak perlu ada di ruangan ini.
"Ara sudah memegang project lain, lagipula yang merekomendasikanmu adalah Ara, jadi tidak ada yang perlu kau khawatirkan," Ivander berdiri dari tempat duduknya kemudian berjalan menuju meja Steve dan mengambil beberapa lembar sketch di sana.
Aiko mengangguk patuh mendengar kata kata Ivander, bagaimana Aiko bisa melupakan pria ini jika intensitas pertemuan kami justru meningkat??
"Kita akan pergi dalam dua hari satu malam, aku sudah melakukan reservasi tempat. Jadi sekarang kau pulanglah dan berkemas, bawa beberapa informasi tentang brand ini, aku akan menjemputmu pukul lima sore nanti," Steve memberikan tumpukan lembaran pada Aiko sebagai referensi.
Aiko berjalan keluar meninggalkan ruangan Steve dengan pundak lemas dan tidak bergairah.
Bagaimana semua hal ini terjadi secara beruntutan?Aiko masih duduk di tempatnya lima belas menit sejak kembali dari ruangan Steve, tapi tak ada satupun yang bisa Aiko lakukan selain mencerna apa yang akan terjadi berikutnya.
Kesadaran Aiko kembali saat Ara menepuk pelan pundaknya.
"Aku pikir kau akan pulang untuk berkemas Ai? Steve baru saja menginfokan bahwa kalian akan berangkat sore nanti. Aku pikir kalian akan berangkat besok pagi, mengingat jaraknya yang lumayan jauh. Apa kau tidak apa apa?" Ara menarik kursi di samping Aiko dan duduk menghadapnya."Hm, aku baik baik saja. Terima kasih karena telah mengkhawatirkanku. Apakah Anda memiliki masukan atau saran untuk brand brand yang akan bekerjasama dengan kita nanti?" Aiko mengesampingkan rasa cemasnya untuk hal hal yang akan terjadi nanti. Aiko mengambil notes di lacinya dan mencatat beberapa informasi dari Ara.
***
Aiko sudah menghubungi Mic bahwa dirinya akan ke luar kota bersama Steve dan juga Ivander. Seperti biasa, Mic dengan heboh dan histeris menanggapi telpon dari Aiko.
Aiko sudah selesai mengemasi barangnya dan menunggu Steve untuk menjemputnya, masih ada dua puluh menit menunggu sambil membaca beberapa referensi tentang brand brand yang akan bekerja sama dengan perusahaan mereka.
Handphone Aiko berdering dan nomor baru tertera di sana, awalnya Aiko ragu untuk mengangkatnya. Aiko membiarkan sambungan tersebut dimatikan sepihak. Tidak lama nomor yang sama kembali menghubunginya. Akhirnya dengan ragu Aiko mengangkatnya.
"Aku ada di bawah, cepatlah turun," Aiko tidak perlu bertanya siapa pemilik suara itu.
Aiko segera mengambil komper dan tas kecilnya. Kenapa bisa Ivander yang menjemputnya? Steve juga tidak bilang apa apa padanya. Bagaimana Aiko menikmati perjalanan nanti jika Aiko harus pergi dengan Ivander? Beberapa pertanyaan memenuhi kepalanya. Dicerna bagaimanapun, ini tidak masuk akal.
Saat tiba di basement apartment, Aiko bisa melihat Ivander sedang memainkan tablet di tangannya, terlihat serius.
Aiko memasukkan kopernya ke bagasi mobil Ivander, kemudian duduk di sampingnya.
"Maaf jika membuat Anda menunggu, bukannya yang akan menjemputku adalah Steve? Apa sesuatu yang buruk terjadi padanya dan tidak bisa menjemputku?" Ivander mendelik tidak suka dengan berbagai rentetan pertanyaan yang Aiko ajukan.
"Dia terlambat, tunangannya masuk rumah sakit, bisa jadi bahkan dia tidak akan ikut jika kondisi tunangannya tidak memungkinkan," Aiko menciut di kursinya. Ini akan menjadi bumerang untuknya, bagaimana bisa Aiko dan Ivander hanya pergi berdua saja?
"Semoga Steve bisa menyusul," ucap Aiko lirih, Aiko tidak berharap Ivander bisa mendengar suaranya, karena saat ini Aiko harus berpikir bagaimana dirinya harus bersikap kedepannya.
Usia kehamilan Aiko sudah memasuki pekan ke 20 dan semakin hari nafsu makan Aiko mulai meningkat. Pipinya terlihat mulai berisi, perutnya terlihat semakin membesar, dan hal itu membuat Ivander selalu gemas padanya. Aiko menikmati harinya dengan memulai rutinitas baru, walaupun hanya di rumah saja, Aiko berusaha mengatur waktunya dengan sebaik mungkin. Sekarang sudah pukul 10, dan Ivander sudah berangkat ke kantor sejak 2 jam yang lalu. Aiko keluar dari kamarnya, membawa handphone, iPad dan sebuah buku sketch menuju ke ruang kerja Ivander. Di ruangan itulah Aiko menikmati kegiatannya, menghabiskan waktunya berjam jam untuk mengeluarkan beberapa design yang saat ini berkutat di pikirannya. Ketukan pelan membuyarkan fokus Aiko yang mulai menorehkan garis garis yang akhirnya membentuk sebuah design yang memukau nantinya. "Nyonya, ini camilan buah untuk Anda. Dan pesan dari Tuan , jangan duduk terlalu lama, Anda harus sesekali bergerak, dan banyak minum air putih." Aiko tertawa pe
Ivander menjemput Aiko untuk datang ke kantor sore ini bersamanya. Aiko sudah sepekan tidak pernah ke kantor karena Ivander melarangnya, dan semua pekerjaannya sebelumnya sudah diserahkan kepada Peter. "Apa yang akan kita lakukan di kantor di jam saat ini sayang? Kau juga memintaku mengenakan gaun yang cukup mewah, apakah ada acara khusus?" Aiko yang sejak tadi tidak menerima jawaban pasti dari Ivander terlihat sangat menggemaskan, pipinya menggembung, wajahnya cemberut.Ivander meraih leher Aiko dan melumat bibirnya, rasa pelembab bibir stroberi melingkupi sekitar bibir Ivander."Manis dan lembab." Ivander membersihkan bibirnya dari bekas pelembab bibir Aiko, namun akhirnya menerima pukulan yang tidak begitu keras di dadanya."Kau selalu saja menggodaku! Jadi kau tidak akan memberitahukan padaku apa tujuan kita ke kantor sore ini? Kalau begitu, baiklah, aku akan mogok bicara. Jadi jangan mengajakku bicara." Aiko menggeser duduknya menjauh dari Ivander, namun Ivander justru lebih sig
Ivander melepaskan celana dalam Aiko dan membuangnya ke sisi lain tempat tidur. Ivander tidak menghiraukan Aiko yang sejak tadi mengerang karena Ivander tidak bisa menjauhkan bibirnya dari lembah kenikmatan Aiko, aroma dan rasanya sangat memabukkan. "Nggh, jangan menjilatnya terus. Lakukan hal yang lain." Aiko terdengar putus asa dan meremas pelan rambut Ivander. "Kau ingin aku melakukan hal lain apa sayang?" Pertanyaan yang dilontarkan Ivander membuat Aiko memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Senyum kecil tercetak jelas di sudut bibir Ivander, Aiko mengalihkan pandangannya ke arah lain, wajahnya terasa memerah sampai ke telinga. "Hmm, tidak. Lakukan apapun yang ingin kau lakukan pada tubuhku. Tapi kau harus berjanji akan melakukannya dengan hati hati. Aku tahu sudah mengatakan hal ini berulang kali, tapi aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya." Aiko mengelus pelan perutnya yang terlihat mulai membuncit. Ivander lalu melepaskan pegangan tangannya pad
Ivander merasa sangat lega ketika melihat Aiko melahap makanan yang telah dipesannya di rumah makan Thailand yang sebelumnya disebutkan olehnya. Beberapa jenis makanan yang Ivander pesan hampir dihabiskan sendiri oleh Aiko. Rasanya cukup takjub melihat sang istri makan sebanyak itu, berbanding terbalik dengan beberapa pekan lalu, bahkan untuk mencium aroma makanan pun membuat dirinya merasa mual.Ivander menyodorkan es krim kesukaan Aiko sebagai pencuci mulut. Mata Aiko terlihat berbinar lalu meraih es krim dengan rasa bluberry pisang yang telah sedikit meleleh dibagian pinggirnya. Aiko menyendokkan dan merasakan bagaimana rasa manis, dingin dan lembut es krim tersebut menyatu di mulutnya. Kakinya mengayun, ekspresi bahagia yang dirasakannya."Apakah rasanya seenak itu?" Ivander tidak tahan melihat tingkah lucu istrinya. Aiko menganggukkan kepalanya menanggapi pertanyaan Ivander. Aiko kembali memusatkan perhatiannya pada mangkuk yang isinya sudah habis setengahnya."Makan pelan pelan
Ivander berjalan menuju Unit Gawat Darurat, menanyakan keberadaan sang istri pada tenaga medis yang ada di sana. Seorang perawat bertubuh mungil mengantarnya pada bilik kamar dengan tirai biru yang tertutup sepenuhnya. Ivander melihat Aiko yang masih terlelap, bekas air mata jelas tercetak di pipi dan sudut matanya. Ivander meraih tangan Aiko, menggenggamnya, mencium puncak kepalanya. "Sayang, maafkan aku karena tidak menyadari bahwa kau sedang tidak baik baik saja. Aku hampir saja membahayakan dirimu dan calon anak kita. Maafkan aku Ai." Ivander tidak bisa menyembunyikan rasa bersalahnya. Air matanya menetes, suara tangisan lirihnya terdengar. Aiko menggerakkan tangannya, melihat Ivander yang menangis di sampingnya sambil menggenggam tangannya. Aiko tidak mengatakan apapun, hanya mengulurkan tangannya untuk mengusap pelan kepala Ivander. Ivander menyadari pergerakan Aiko, mengangkat kepalanya, melihat tatapan mata sang istri yang sangat dirindukannya. Ivander merapatkan tub
Max telah memarkirkan mobil yang membawa Ivander dan Aiko ke gedung puluhan tingkat milik Aldan Enterprise. Waktu sudah menunjukkan pukul 04.10 kurang lebih 20 menit lagi pertemuan dengan Mr. Aldan akan dilakukan. Ivander meminta Max untuk menunggu di cafe lantai 1 dekat dari lobi. Ivander meraih tangan Aiko, menggenggamnya, berjalan bersama menuju tempat pertemuan diadakan. Ivander menerima kartu setelah melapor pada bagian resepsionis, lalu berjalan menuju lift terdekat menekan tombol 33. Beberapa menit kemudian Aiko dan Ivander telah tiba di lantai 33, luas dan megah. Aiko cukup terpaku dengan interior koridor dan ruang pertemuannya nanti. Peter berdiri menyambut kedatangan Ivander dan Aiko di ruangan tersebut. Belum ada orang lain. Hanya mereka bertiga. Sambil menunggu pihak lain, Peter memperlihatkan beberapa file pendukung yang akan ditampilkan nanti. Tak lama kemudian satu persatu orang memasuki ruang meeting itu. Ruangan yang awalnya sepi berubah menjadi ramai, mereka bersa







