Lalu ingatan Aiko kembali pada kejadian dua hari yang lalu. Perasaannya jadi tidak enak, hal ini ada kaitannya dengan kejadian tersebut.
"Aku akan berusaha menyelesaikannya, semampuku. Permisi," Aiko mengumpulkan semua kertas yang ada di meja tersebut kemudian membawanya ke mejanya. *** "Mic, maaf aku belum bisa pulang. Masih ada beberapa sketch lagi yang harus aku selesaikan. Iya, aku akan menceritakannya nanti. Bye," sambungan telepon Aiko dengan Mic mati, Aiko berusaha tidak membuat Mic khawatir, apalagi membuat wanita itu kembali datang ke kantor. Aiko tetap berusaha menyelesaikan pekerjaan yang diminta oleh Steve. Mata Aiko sudah mulai lelah, Aiko juga sudah melewatkan jam makan malam. Pikiran Aiko berkecamuk, antara menyerah dan melanjutkannya. Tapi jika Aiko menyerah dan dipecat, pasti akan sulit mencari pekerjaan lagi. "Tidak! Aku harus semangat, sisa sedikit lagi. Semangat Ai! Kau pasti bisa," Aiko berusaha menyemangati dirinya sendiri. Karena malam sudah larut, Aiko memutuskan membawa sisa pekerjaannya ke rumah, setidaknya Aiko tidak kesepian karena ada Mic yang menemaninya. Aiko keluar dari ruangan dengan membawa beberapa sketch yang belum selesai. Rasanya cukup ngeri menuju lantai bawah dengan suasana yang sepi seperti ini. Aiko seperti merasa ada yang mengawasinya. Namun tak ada seorangpun di sana. Aiko mengabaikan rasa cemasnya, namun ketika sampai di lantai dasar menuju pintu keluar, Aiko berpapasan dengan Ivander. Aiko memilih untuk tidak memedulikan sekitarnya, Aiko berjalan menuju taksi yang sedang terparkir di dekat kantor. "Apa kau sudah menyelesaikan semua tugas yang Steve berikan?" Ivander berjalan mendekati Aiko. Aiko berusaha tidak terlihat panik, takut atau apapun itu. Aiko mungkin tidak pandai berbohong, tapi Aiko tidak ingin pria ini kembali berlaku tidak baik padanya. Aiko mendengus kasar, kemudian menoleh melihat pria tersebut. "Aku akan melanjutkannya di rumah, masih sisa beberapa sketch saja. Besok pagi akan kuserahkan langsung di meja Pak Steve," Aiko kembali berjalan tanpa menunggu balasan dari Ivander. Ivander mengeram, beberapa kata kata kasar kembali keluar dari mulutnya, dan Aiko berhasil membuatnya terlihat seperti pecundang.***
Jam sudah menunjukkan pukul 08.15 AM dan Aiko sudah berada di kantor. Penampilan Aiko pagi ini cukup berantakan, karena Aiko baru menyelesaikan sisa sketch dari Steve pukul 4 pagi tadi. Jadi Aiko hanya tidur 4 jam saja.
Beberapa kali rekan kerja yang lain memerhatikan Aiko yang terus menguap. "Apa kau tidak cukup tidur, Ai?" Ara asisten manager yang ramah tsb menghampiri Aiko. Aiko buru buru berdiri dan berusaha sekuat mungkin untuk melebarkan matanya yang sebentar lagi akan terpejam. "Ah tidak bu! Aku hanya sedikit lelah. Setelah meminum kopi aku pasti akan merasa segar kembali," Ara tersenyum mengangguk dan berjalan meninggalkan Aiko. Bunyi dering telepon meja kembali menyadarkan Aiko sebelum benar benar memejamkan matanya. "Aiko, tolong ke ruanganku sebentar yah," Aiko tidak sadar telah menekan tombol pengeras suara dan melihat ke ruangan Steve sebelum mematikan sambungan dua arah tsb. Aiko berjalan bergegas dan tidak memperhatikan jika sejak tadi seseorang telah mengamatinya. Tok tok tok "Masuk!" terdengar suara dari dalam yang mempersihlakan Aiko masuk. "Jam berapa kau menyelesaikan semua ini?? Apakah kau yakin kau cukup tidur??" Steve melihat Aiko dengan tatapan prihatin. "Aku tetap harus menyelesaikannya walaupun kekurangan tidur Sir, bukankah akan terjadi masalah jika perintah dari Mr. Sempurna tidak sesuai keinginannya?" Aiko berusaha tersenyum walaupun sebenarnya Aiko justru sangat ingin tidur saat ini juga. "Kau memang bisa diandalkan Ai. Terima kasih atas bantuanmu, kau pulanglah. Aku akan memberimu ijin sehari," raut wajah bahagia Aiko tak dapat disembunyikan. "Anda sedang tidak bercanda kan? Aku benar benar bisa pulang dan beristirahat?" Aiko masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Steve. "Tidak! Aku tidak memberinya ijin, dia digaji untuk bekerja, bukan untuk bersantai," pintu ruangan Steve terbuka dan Ivander muncul di sana dengan tatapan tajamnya pada Aiko. Aiko dan Ivander bagaikan tikus dan kucing, selalu saja ada hal yang membuat mereka berargumen, bertengkar. Aiko mencelos, angan angan Aiko untuk tidur nyenyak jadi sirna. Steve dengan pandangan tidak biasa melihat ke arah COO sekaligus teman seangkatannya itu. "Dia bisa sakit jika tidak istirahat. Apa kau akan bertanggung jawab jika Aiko sakit? Kau harus menghargai kerja kerasnya, pekerjaan untuk tiga orang kau berikan pada Aiko dan dia bisa mengerjakannya dalam waktu satu hari," Steve membuka lembaran demi lembaran sketch yang Aiko kerjakan, mencoba memperlihatkannya pada Ivander. Ivander mendelik tidak suka pada perkataan Steve, kemudian mengalihkan pandangannya kembali pada Aiko. Aiko seketika menunduk, dan merutuki dirinya sendiri, kemana rasa percaya dirimu semalam Ai? "Terserah kau saja, aku malas berdebat denganmu. Pastikan semua sketchnya tidak ada kekurangan!" Ivander berjalan keluar dari ruangan Steve tanpa menunggu jawaban temannya tersebut. Setelah Ivander keluar dari ruangan Steve, Aiko juga segera pamit dan kembali ke tempatnya. *** Aiko bisa pulang lebih cepat dan beristirahat karena kemuran hati Steve, Akko tidak bisa membayangkan bagaimana kondisinya di kantor tadi jika Aiko tetap melanjutkan pekerjaan sementara mata dan tubuhnya meminta untuk diistirahatkan. Aiko menghabiskan waktu istirahatnya dengan, menonton serial terbaru di N*****x, dan membaca pesan yang dikirimkan puluhan nomor yang tidak Aiko kenali. Ddrrtt..ddrrtt..ddrrtt Getaran handphone mengehentikan sejenak kegiatan Aiko. Tertera nama Mic di sana. "Ai, aku butuh bantuanmu di kantor sekarang. Bisakah kau ke sini sebentar? Aku berjanji akan mentraktrimu makan malam mewah," Aiko melirik jam dinding di kamarnya. Masih jam tujuh malam dan Aiko rasa istirahat kali ini sudah lebih dari cukup. "Baiklah, aku akan ke sana dalam sepuluh menit," Aiko bergegas merapikan rambut dan pakaiannya lalu bergegas turun dari apartment. Setibanya di kantor, Aiko segera ke ruangan Mic yang tidak begitu jauh dari ruangannya. Aiko melewati ruangan ruangan yang sudah gelap dan kosong. Aiko mendengar suara suara aneh dari ruangan model di dekatnya, ruangan yang selalu Aiko lewati untuk menuju kantor Mic. Awalnya Aiko ingin mengabaikan suara suara itu, tapi erangan pria dan wanita yang terdengar tak biasa membuatnya mendekati ruangan tersebut. Aiko sontak menutup mulutnha saat melihat pemandangan tidak senonoh di depannya. "Astaga, aku tahu dia brengsek dan kejam tapi kenapa aku harus melihatnya sekarang?!" Aiko membatin. Aiko berlari menuju tempat Mic dan bersembunyi. Mic heran karena melihat Aiko menangis dan kacau. "Hei, apa yang terjadi?" Aiko menarik tangan Mic menuju toilet di ujung ruangannya, Aiko harus menjauh dari lokasi yang bisa membuat Ivander menemukan Aiko. Walau itu tidak akan pernah terjadi. Aiko berusaha menahan tangisanya dan mengolah nafas agar bisa menceritakan kejadian tadi pada Mic. "Aku melihatnya bersama seorang wanita di ruangan model, mereka 'make out' setengah telanjang dan aku tidak bisa Mic, aku masih belum bisa menghapusnya dari sini," Aiko menunjuk dadanya, hatinya sakit. Mic segera memeluk dan menenangkan Aiko. "Maaf Ai, aku tidak tahu kalau masih ada orang di kantor. Aku membutuhkan bantuanmu untuk melihat beberapa bahan yang akan digunakan untuk kebutuhan pameran musim dingin," Mic masih menenangkan Aiko, tapi Aiko masih belum bisa menghapus ingatan tentang Ivander dan entah siapa wanita itu.Ivander berjalan menuju Unit Gawat Darurat, menanyakan keberadaan sang istri pada tenaga medis yang ada di sana. Seorang perawat bertubuh mungil mengantarnya pada bilik kamar dengan tirai biru yang tertutup sepenuhnya. Ivander melihat Aiko yang masih terlelap, bekas air mata jelas tercetak di pipi dan sudut matanya. Ivander meraih tangan Aiko, menggenggamnya, mencium puncak kepalanya. "Sayang, maafkan aku karena tidak menyadari bahwa kau sedang tidak baik baik saja. Aku hampir saja membahayakan dirimu dan calon anak kita. Maafkan aku Ai." Ivander tidak bisa menyembunyikan rasa bersalahnya. Air matanya menetes, suara tangisan lirihnya terdengar. Aiko menggerakkan tangannya, melihat Ivander yang menangis di sampingnya sambil menggenggam tangannya. Aiko tidak mengatakan apapun, hanya mengulurkan tangannya untuk mengusap pelan kepala Ivander. Ivander menyadari pergerakan Aiko, mengangkat kepalanya, melihat tatapan mata sang istri yang sangat dirindukannya. Ivander merapatkan tub
Max telah memarkirkan mobil yang membawa Ivander dan Aiko ke gedung puluhan tingkat milik Aldan Enterprise. Waktu sudah menunjukkan pukul 04.10 kurang lebih 20 menit lagi pertemuan dengan Mr. Aldan akan dilakukan. Ivander meminta Max untuk menunggu di cafe lantai 1 dekat dari lobi. Ivander meraih tangan Aiko, menggenggamnya, berjalan bersama menuju tempat pertemuan diadakan. Ivander menerima kartu setelah melapor pada bagian resepsionis, lalu berjalan menuju lift terdekat menekan tombol 33. Beberapa menit kemudian Aiko dan Ivander telah tiba di lantai 33, luas dan megah. Aiko cukup terpaku dengan interior koridor dan ruang pertemuannya nanti. Peter berdiri menyambut kedatangan Ivander dan Aiko di ruangan tersebut. Belum ada orang lain. Hanya mereka bertiga. Sambil menunggu pihak lain, Peter memperlihatkan beberapa file pendukung yang akan ditampilkan nanti. Tak lama kemudian satu persatu orang memasuki ruang meeting itu. Ruangan yang awalnya sepi berubah menjadi ramai, mereka bersa
Hari Senin yang cerah, Aiko bersiap kembali ke kantor sebagai seorang sekertaris untuk suaminya. Rasanya cukup canggung karena hampir 1 bulan semua pekerjaannya dihandle oleh Peter. Aiko memaksa Ivander untuk mengijinkannya pergi kerja karena dirinya akan merasa bosan jika Ivander tidak bersamanya. Ivander yang melihat wajah antusias sang istri tidak dapat menyembunyikan senyum di wajahnya. Aiko sangat menantikan untuk masuk bekerja kembali untuk bertemu dengan beberapa kenalannya. "Apa tidak ada lagi yang ketinggalan?" Ivander berjalan menghampiri Aiko yang memasukkan vitaminnya ke dalam tas kecilnya. "Hm, semuanya sudah ada. Ayo!" Ivander membiarkan Aiko berjalan di depannya, membawa barang bawaan sang istri. Keluar dari kamar, Aiko disambut oleh beberapa pelayan dan tentu saja Rita. Di tangannya sudah ada tas bekal dengan berbagai jenis makanan dan camilan. "Nyonya, kami menyiapkan beberapa jenis makanan yang beberapa waktu ini menjadi kesukaan Anda. Ada camilan juga, k
Aiko tidak bisa tidur karena gugup untuk pemeriksaannya besok pagi. Sekarang masih menunjukkan pukul 11 malam. Ivander yang sejak tadi terlelap sudah mengeluarkan dengkuran halus dan Aiko menikmati suara tersebut. Perlahan Aiko turun dari tempat tidur, berusaha agar gerakannya tidak mengganggu tidur Ivander. Aiko berjalan menuju walk in closet dan mengambil coat rajut panjangnya. Aiko ingin keluar sebentar dan menghirup udara segar, dan sedikit es kirm sepertinya bisa sedikit menghilangkan rasa gugupnya. Lampu lampu kabinet di berbagai sudut rumah sudah dinyalakan, membuat pencahayaan di rumah tersebut tidak begitu terang. Aiko berjalan pelan menuju dapur dan membuka kulkas, es krim yang berada dalam wadah berukuran sedang seolah memanggilnya dengan antusias. Aiko dengan senyum kecilnya mengambil es krim tersebut, lalu berjalan menuju ruang tamu untuk menuju taman belakang. Aiko memilih duduk di taman yang dekat dengan pancuran air dan kolam ikan. Aiko menikmati waktunya seoran
Ivander merasa lega karena pagi hari ini Aiko bisa memakan semua makanannya tanpa drama mual dan muntah. Entah bagaimana mendeskripsikan perasannya, namun sudut hatinya merasa bahagia. Beberapa waktu belakangan ini morning sickeness membuat Aiko tidak bisa makan seperti biasanya. Dan hal itu membuatnya khawatir. Ivander selalu berkomunikasi dengan Cass di belakang Aiko. Setiap hal yang terjadi pada Aiko tak luput dari monitoring Cass. Siang ini Aiko secara khusus meminta es krim bluberry pisang pada Rita. Padahal vanilla adalah es krim kesukaannya, namun kehamilan ini mengubah beberapa makanan kesukaannya. Mic sudah berjanji akan datang sore nanti untuk membuatkan makanan untuk Aiko. Semoga saja tidak ada drama mual ketika mencium aroma masakan yang sedang dimasak nanti. Ivander mendekati Aiko yang berada di halaman sambil menikmati es krimnya. Senandung kecil terdengar kala Ivander berada tepat di belakang Aiko. "Apakah es krim buatan Rita seenak itu?" Aiko memastikan asal
Ivander membaringkan Aiko di kasur lalu menyelimutinya. Setelah itu Ivander kembali ke kamar mandi untuk menyelesaikan mandinya. Aiko merasakan kenyamanan saat meringkuk di dalam selimut dengan aroma Ivander di sekelilingnya. Aiko akan menunggu Ivander selesai mandi dan meminta maaf dengan benar. Bagaimana bisa dirinya melontarkan pertanyaan yang sangat jahat seperti tadi. Rasa malu dan rasa bersalah menguasai dirinya. Apakah Ivander akan marah padanya? Membayangkannya saja membuat hati Aiko sakit. Aiko mengalihkan pikirannya dengan mengelus lembut perutnya, desiran aneh di hatinya membuatnya terharu. Apakah dirinya bisa menjadi ibu yang baik? Apakah Ivander bisa menjadi ayah yang baik? Apakah mereka akan memiliki keluarga yang harmonis? Pertanyaan pertanyaan tersebut berputar di kepala Aiko. Banyak hal yang harus dipelajarinya, banyak hal yang harus dipersiapkan. Aiko tidak menyadari bahwa Ivander telah keluar dari kamar mandi dan memerhatikannya sejak tadi. Setelah berpakaian, Iv