Makan malam hari ini tak lagi hangat seperti sebelumnya. Pria nomor satu di keluarga McKennel itu menikmati makanannya dalam diam, begitu pula Jason. Tak ada suara berbincang seperti yang biasa mereka lakukan di meja makan. Kali ini, hanya denting alat makan yang terdengar mengisi keheningan ruangan yang berisi lima orang itu.
“Untuk pernikahan kalian nanti—“ Ayah Jason tampaknya mulai tak tahan dan ingin memulai obrolan, yang paling ia nantikan sepertinya adalah pernikahan putra kesayangan dengan anak angkatnya yang juga merupakan favoritnya.Sayang sekali, belum selesai sang pemegang otoritas tertinggi itu mengutarakan semua unek-uneknya, Jason sudah memotong pembicaraan.“Ayah, apakah harus sekarang? Tak bisakah kau bicarakan nanti?” tukas Jason, tak suka dengan bahasan yang baru saja dimulai oleh sang ayah.Memangnya apa yang akan mereka lakukan saat pernikahan? Mengapa menjadi topik hangat yang harus dibicarakan di meja makan?Pria paruh baya itu kembali terdiam. Namun, bukan karena ia setuju dengan pendapat putranya, melainkan karena memikirkan hal lain yang harus ia sampaikan. Bagaimana pun, mengenai pernikahan itu, haruslah mewah dan megah.“Kalau kau tak ingin mendengarnya, terserah saja. Aku akan bicarakan ini dengan Emily dan ibumu,” jawab pria yang tak mau terus-menerus disanggah dan dilawan segala keinginannya. Tak boleh ada yang melawan otoritasnya sebagai pemimpin di keluarga McKennel.Bahkan jika itu adalah sang istri, maka ia akan mempertahankan segala pendapatnya dan melawan.“Aku sudah mengundang beberapa kolega. Aku ingin acara yang megah, agar semua tahu kalau putraku sudah pantas untuk menerima jabatan tinggi di Kennel’z Industry.” Ia menambahkan, kemudian kembali menyuapkan makanan dan mengunyahnya sebentar.“Besok akan ada beberapa orang dari butik langganan yang akan datang untuk fitting baju pengantin. Kuharap kau tidak bertingkah, Jason. Atau aku akan mewujudkan ancamanku. Apa kau dengar itu?!”Jason tak memberi jawaban atas pertanyaan dan ultimatum dari sang ayah. Ia tetap melanjutkan makan dan bangkit setelah menghabiskan seporsi steik di piringnya.“Aku masuk dulu. Terserah kalian mau mengaturnya seperti apa, aku akan ikuti kemauan Ayah. Tapi satu hal, jangan pernah menghalangi hubunganku dengan Tamara. Karena kalian tahu, aku setuju untuk menikahi Emily adalah karena paksaan.”Ia memutar tubuh, kemudian berlalu dari ruangan tersebut, meninggalkan lainnya yang berubah bungkam. Kali ini, putra sulung di keluarga itu sepertinya ingin ikut ambil suara untuk menentang keputusan sang ayah.“Ada apa dengan Ayah? Keputusanmu itu sangat tak masuk akal, apakah kau tahu itu? Apakah kau peduli pada perasaan Emily? Apakah kau pernah bertanya?”Emily—yang menjadi bahan pembicaraan dan mungkin hanya sekadar kambing hitam atas sebuah tujuan—hanya diam.Memangnya apa yang bisa ia lakukan selain menerima saja putusan sang ayah angkat sekaligus atasannya di pekerjaan? Adakah pilihan lain untuknya? Ia kemudian bangkit perlahan, membereskan piring yang tersisa, dibantu oleh para asisten rumah tangga.Namun, wanita paruh baya yang merupakan ibu Jason, menyentuh tangan Emily dan memberi isyarat bahwa ia harus meninggalkan semuanya untuk dikerjakan oleh pembantu.“Kalau begitu aku akan kembali ke kamarku,” ucap Emily berpamitan pada wanita itu yang hanya mengangguk sembari mengulas senyum hangat seolah ingin berkata bahwa semua akan baik-baik saja.Apanya yang baik-baik saja?Apakah hidup dengan pria yang tidak mencintaimu dan tidak kau cintai akan bisa membawa kebahagiaan? Emily mungkin bisa berusaha untuk mencintai Jason, tetapi bagaimana dengan Jason? Apakah ia bersedia mengusahakan hal yang sama?Emily tak ingin menjadi anak tak tahu diri, setelah apa yang dilakukan oleh ayah dan ibu angkat terhadapnya, segala kebaikan dan kasih sayang yang mereka berikan. Apakah pantas jika dirinya lantas menolak apa yang menjadi mandat untuknya?Belum tiba di kamar, Jason menarik lengan Emily dan membawa gadis itu ke dalam kamarnya. Mengimpit gadis itu di dinding dalam kungkungan kedua lengannya.“Apa maumu, Jason, lepaskan aku!” pekik Emily yang langsung dibungkam oleh bekapan tangan Jason.“Jangan berteriak, Em! Atau kau akan menyesal!”“Aku tahu, tapi apa yang akan kau lakukan padaku?”Jason tampak melongok ke luar, lalu kembali menghunjamkan tatapan pada manik hazel milik gadis dalam kungkungannya.“Mengapa kau tidak melakukan sesuatu? Mengapa tidak menolak saat ayah membahas mengenai pernikahan itu, Em? Apa maumu sebenarnya? Apakah kau ingin menguasai harta ayah?” tudingnya, yang hanya dijawab dengan gelengan tak mengerti.Begitu mudah menuduh dirinya berniat menguasai harta milik keluarga McKennel. Padahal mau berbuat seperti apa pun, ia tak akan bisa mencegah perjodohan yang telah diatur oleh sang ayah angkat.“Kau mengenal ayahmu, kan?” jawab Emily, singkat. Ia tak perlu menjelaskan pada Jason tentang bagaimana karakter sang ayah, bukan? Jason pasti sudah tahu.Tok tok tok!“Itu pasti Tamara. Kau diam di sini dan jangan pergi ke mana pun!” titah Jason, kemudian berbalik dan berjalan menuju ke jendela. Ia membuka dan membawa seorang wanita—yang usianya kira-kira beberapa tahun di atas Jason dan sudah menikah—masuk ke dalam kamarnya. Melalui jendela.Luar biasa!“Jase, apa yang kau lakukan? Jika Tuan Mckennel tahu, kau akan—““Diam kau, Emily! Kalau sampai ayah tahu, berarti ini karenamu!”Pria itu kemudian berbalik, menyambut sang kekasih yang pakaiannya bahkan seperti kekurangan bahan, atau bahan yang terlalu murah, karena begitu cekak dan tipis hingga menampakkan bagian dalam tubuh sintalnya.Jason melingkarkan lengan di pinggul wanita yang baru saja menyusup masuk ke kamar, kemudian menariknya mendekat dan memagut bibir ranumnya.Ia berikan ciuman yang lama dan dalam. Mereka seakan lupa kalau ada orang lain di ruangan itu. Atau memang Jason sengaja melakukan itu semua di hadapan Emily?Lalu ... untuk apa Jason membiarkan Emily berada di kamar? Apakah untuk menyaksikan kemesraan itu? Apakah Jason melakukan itu dengan tujuan untuk membuat Emily kesal?Namun, apa untungnya bagi Jason?Emily kemudian berbalik, hendak melangkah ke luar kamar dan kembali ke kamarnya. Untuk apa ia berada di sana dan mematung seakan tengah menyaksikan adegan dalam film biru? Ia bahkan harus menyaksikan Jason yang kini sudah membawa wanita itu berbaring di atas sofa tak jauh dari tempat Emily berdiri.Adegan tak senonoh itu tak seharusnya ia saksikan. Namun, ketika ia hendak mengayun langkah, Jason memanggil namanya.“Emily! Kau tidak boleh keluar dari kamar ini, atau memunggungiku!”Kening Emily berkerut, tak mengerti apa yang Jason inginkan darinya saat ini.“Apa maksudmu?” tanya gadis itu, mulai kesal.“Kau tetap di tempatmu, menghadap padaku!” titah Jason. “Kau tidak boleh berpaling sama sekali dan harus menyaksikan apa yang aku dan Tamara lakukan mulai awal hingga selesai!”INI GILA!Jason dan Emily sedang dalam perjalanan. Di dalam mobil, Emily terus menangis karena tidak menyangka bahwa anaknya masih hidup. Berkali-kali ia menanyakan hal yang sama kepada Jason mengenai Liam dan dijawab dengan jawaban yang sama pula oleh laki-laki itu. Jason mengerti bagaimana keadaan Emily. Dirinya juga rindu dengan Liam, darah dagingnya. Namun, setidaknya ia lega karena Liam sudah berada di tangan yang tepat saat ini. Mobil Jason berhenti di halaman rumah kediaman Charles dan Emma. Langsung saja mereka masuk. Di ruang tamu, semua orang berkumpul. Charles, Emma, Alex, Shila, bahkan Jared—kakaknya ada di sana. Emily lantas menghampiri Emma yang sedang menggendong bayi. Emma yang tahu perasaan Emily pun menyerahkan bayi itu. Dengan perasaan yang sulit dijelaskan serta air mata yang mewakili kebahagiaannya, Emily akhirnya kembali menggendong Liam. Anaknya yang sudah menghilang beberapa waktu. Emily menangis. Shila pun mendekat ke arah sahabatnya dan memeluknya. “Sekarang, Liam
Di tempat yang berbeda, Jason berkali-kali berdecak dan mengumpat karena Alex tidak kunjung datang. Ke mana laki-laki itu, apakah menuntaskan hajat sampai harus bermenit-menit. Jason curiga kalau sebenarnya Alex bukannya ke kamar mandi untuk buang air, tetapi justru bertapa. Jason melihat jam berwarna hitam yang melingkar di tangannya. Jarum panjang jam sudah berganti ke angka empat. Itu artinya sudah lebih dari dua puluh menit laki-laki itu di apartemennya.“Ke mana dia?” gumam Jason.Jason memeriksa ponselnya. Tadi, ponselnya mati jadi tidak bisa digunakan untuk menghubungi Alex. Setelah dicharger di dalam mobil, akhirnya ponselnya menyala. Jason buru-buru mencari kontak nama Alex. Begitu ingin dihubungi, ada tiga pesan muncul dari orang yang ditunggu. Jason membukanya. Ada satu video sedikit panjang di sana. Sedikit curiga, akhirnya Jason memutarnya. Di dalam video itu, ia hanya melihat gambar berwarna putih. Jason mendengus kesal. “Apa yang dilakukan dia sebenarnya.” Baru saja
Jason tidak menghiraukan ucapan Alex. Tadi, di rumah Alex, Jason sempat berdebat sengit dengan pria itu. Shila bahkan sampai harus melerai. Karena ucapan wanita itu, Jason memilih keluar dan pulang ke apartemennya untuk mengambil sesuatu. Dia akan bersiap untuk menemui Jeffry. Siapa yang menyangka kalau ternyata Alex mengikutinya. Hingga akhirnya, laki-laki itu menghadang di depan pintu apartemen miliknya. “Minggir!” ucap Jason yang ke sekian kalinya namun tidak juga mendapatkan respon dari Alex. Alex menggeleng. “Kau mau mendapatkan masalah lain? Kalau sampai terjadi sesuatu pada Jeffry, maka dia bisa saja mengelak atas semua tuduhan,” jelas Alex. Wajah laki-laki itu terlihat sangat serius. “Lalu, kau mau aku hanya diam sementara dia berhasil membuat Emily menjadi korban kekerasan fisik dan seksualnya. Kau mau aku tetap diam dan membiarkan dia terbahak keras di ranjang rumah sakit?!” sorot mata Jason penuh kobaran api amarah.Alex bahkan sampai menunduk karena tidak kuat menatap
Shila menggigit bibir dan meremas jemarinya. Jantungnya berdetak kencang karena sejak tadi dua orang yang ia tunggu tidak kunjung keluar daei bangunan megah itu. “Mereka sebenarnya sedang mencari apa? Kenapa lama sekali? Apakah jangan-jangan mereka ketahuan lagi?”Pikiran buruk mengenai dua sahabatnya langsung terbayang. Namun, Shila segera menepis pikiran buruk itu agar tak menjadi sugesti baginya.Jantungnya nyaris mencelus ketika mendengar suara berisik di sampingnya. Ia mengira salah seorang pengawal berhasil mengetahui keberadaannya. Namun, jauh dari dugaan karena Jason dan Alex-lah yang datang. Shila yang semula tak berani bergerak dan hanya mematung di tenpat, menghampiri dua lelaki itu setelah memastikan bahwa mereka adalah kawan-kawannya. “Apakah kalian baik-baik saja? Kalian berhasil?”Jason mengangguk. “Sepertinya keberuntungan sedang berpihak. Kita berhasil mendapatkan rekamannya.” Jason mengambil flashdisk yang ia simpan dan menunjukkannya pada Shila. Wanita itu menghel
Tiga orang yang baru saja datang dipersilakan duduk oleh seorang pria yang mengenakan jas berwarna hitam. Pria yang berumur sekitar empat puluhan itu tampak masih bugar, walau rambutnya memutih di beberapa bagian.“Jadi, apa rencanamu?” celetuk Jason sembari melihat-lihat dokumen di hadapaannya. “Kau belum mengenalkan mereka padaku.” timpal Mark yang bergantian menatap Alex dan Shila. "Kuharap kalian tidak tersinggung. Aku tidak bisa mengatakan langkahku pada orang asing, karena ijni menyangkut nyawa seseorang. Bukan begitu?""Kau benar. Perkenalkan, aku Alexander Danison, sahabat Emily."Mark menyambut jabatan tangan itu ramah dengan senyum terkembang. "Oh, Tuan Danison. Bagaimana mungkin aku tidak mengenalimu. Seorang pengusaha besar dan selevel dengan Jeffry Allen. Kuharap aku tidak salah.""Kau terlalu berlebihan, Tuan Jefferson." Alex membalas sambutan Mark dengan sikapnya yang rendah hati. Ia lantas menoleh pada Shila. "Ini Shila Andreas. Ia juga sahabat Emily." "Hmm ... aku j
Ide yang Jason lontarkan lantas membuat ketiga orang menaruh perhatian penuh pada Tamara. Mulai sekarang, Jason yang akan mengambil alih penyelidikan wanita itu. Sementara, Alex dan Shila akan mencari sesuatu soal Jeffry. Keduanya bertekat akan membuat laki-laki itu membayar atas apa yang dilakukan pada sahabatnya. “Aku akan pulang ke rumah,” ucap Jason setelah merancang rencana di kepalanya“Untuk apa?” kening Shila berkerut. “Bagaimana dengan Tamara? Bukankah kau mau menyelidikinya sendiri?” “Memang. Tapi, aku akan minta bantuan orang tuaku untuk menghubungi detektif Jefferson. Kemarin aku belum sempat bertemu dengan mereka.” “Baiklah. Pulang saja, kita berdua nanti akan mencari informasi soal Jeffry.”“Bagus. Kalau begitu, aku akan mengunjungi kwdua orang tuaku. Kalian urus dengan baik dan kabari aku perkembangannya.” Alex dan Shila mengangguk sebagai respon atas ucapan Jason yang layaknya seorang pimpinan. Jason pamit dan segera menuju ke kediaman orang tuanya. Ia tak sempat