Emily tepekur di kamarnya, seperti orang yang kerasukan. Hanya bengong dan tidak melakukan apa pun. Kejadian yang baru saja ia saksikan beberapa jam lalu sungguh membuat jantungnya seperti akan mencelus, tetapi tak bisa.
Bayangkan saja, ia terpaksa menyaksikan dua sejoli yang tengah memadu kasih, mulai awal hingga akhir. Itu sungguh hal gila yang tak pernah terbayangkan oleh Emily sama sekali.Dan pria yang melakukannya adalah pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Sekujur tubuhnya bahkan masih gemetaran saat ini.Ia bisa saja lari dari ruangan itu, memang. Namun, ia tak tahu mengapa kedua kakinya justru makin menancap kokoh di sana dan tak mampu digerakkan. Meski ia telah memejamkan mata agar tak perlu melihat secara langsung, tetap saja bayangan pergumulan Jason dan perempuan itu masih terus terbayang.Emily masih mendengar desah dan erangan dua sejoli itu, bahkan meski ia sudah menutup kedua telinganya, seolah kejadian itu tengah terjadi saat ini.Ia tak kuasa bertahan, hingga kemudian, tubuhnya melorot ke lantai karena kakinya tak mampu lagi berdiri tegak dan menopang bobot tubuhnya agar tetap tegak.Tok tok tok!Emily nyaris terlompat kala mendengar suara ketukan di pintu yang bisa jadi adalah Jason. Untuk apa lagi pria itu datang menemuinya? Ataukah mungkin itu adalah calon ibu mertuanya?Emily ingin sekali rasanya menghambur saat melihat bahwa yang berdiri di hadapannya adalah memang calon ibu mertuanya. Ia pastilah ingin memberi tahukan mengenai fitting baju pengantin. Dan Emily tak siap untuk itu.Sayangnya, ia akan otomatis berubah menjadi gadis lemah tiap kali berurusan dengan suami istri yang berjasa atas hidupnya.“Emily, sayang ... apakah kau sudah siap? Para perancang busana akan datang dalam sepuluh menit, Nak. Bersiaplah, oke?” ucap wanita paruh baya yang merupakan ibu Jason, sembari mengulas senyum hangat padanya.Emily hanya mengangguk, kemudian bangkit dan menuju meja rias, untuk memoleskan sedikit make up dan menata rambutnya yang mulai memanjang.Ingatannya masih lekat dan terus-menerus memainkan adegan mesum itu di rongga kepalanya. Hingga ia tak bisa lupa akan kejadian menjijikkan yang baru saja ia alami dan saksikan.“Emily, kau tampak pucat. Apakah kau sakit?” tanya wanita itu, sembari membelai kepala gadis yang sudah lama ia didik dan besarkan, kini akan menjadi menantunya.“Tidak, Nyonya McKennel. Aku baik-baik saja.” Gadis itu kemudian bangkit dan menghadap ke arah sang ibu angkatnya. “Aku siap melakukannya, Nyonya McKennel. Aku tak akan mengecewakan kalian.”“Hey ... mengapa kau masih memanggilku seperti itu? Panggil Emma saja, atau ibu. Atau terserah apa pun, asalkan kau senang. Namun, kumohon, jangan memanggilku nyonya, sayang. Sebentar lagi kau secara resmi akan menjadi anggota keluarga McKennel.” Emma kemudian membelai lembut lengan Emily. “Kami tunggu kau di ruang keluarga, oke.”Emily masih tertegun, sepeninggal Emma. Dalam kepalanya terus memikirkan bagaimana caranya menghadapi pertemuan degan Jason, setelah kejadian yang baru saja terjadi. Bisakah ia bersikap biasa dan tidak memandang pria itu dengan tatapan jijik?Atau ... bisakah ia menjalani perannya sebagai istri dari Jason, nantinya? Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika ia tak bisa memenuhi keinginan sang ayah angkat untuk memberikan cucu untuk jadi pewaris keluarga McKennel?Bahkan membayangkan berhadapan dengan Jason saja sudah membuat tempurung lutut Emily gemetaran.“Oh, ini dia calon mempelai wanitanya!” seru lainnya ketika Emily tiba di ruangan itu dengan senyum yang dipaksakan.Semuanya tampak begitu bahagia, gegap gempita menyambut kedatangan Emily dan terlebih ketika melihat gadis itu dalam balutan contoh gaun indah dengan taburan bebatuan permata yang membuat benda itu tampak mewah dan melekat cantik di tubuh indah Emily.“Kau pasti akan menjadi pengantin wanita paling cantik, Emily ....” Emma membelai wajah Emily di hadapan semua orang dan mengecup keningnya.Sementara itu, tatapan mata Emily terarah pada Jason yang duduk di sudut ruangan dan memerhatikannya dengan tatapan yang tak mampu ia definisikan.Terpesonakah?Kagumkah?Ataukah ... benci yang membuncah?Emily masih memaksa sudut bibirnya agar terus tertarik dan membuat tampilan senyum lebar, seolah ia bahagia akan semua yang ditakdirkan untuk ia lakoni ini. Padahal sesungguhnya, hatinya memberontak dengan berbagai pengandai-andaian yang justru makin menyiksa batinnya.Andaikan pria itu bukan Jason melainkan sang kakak ....Andai saja dirinya dan kakak Jason mendeklarasikan hubungan lebih awal ....Andai ini, andai itu ....Dan berbagai andai-andai yang jelas tak akan pernah mungkin terwujud. Karena sebentar lagi, dalam hitungan hari, bahkan, Emily akan menjadi pengantin dari Jason McKennel. Dan itu tak akan pernah bisa ia hindarkan.“Kau senang, kan?” tuding sebuah suara, Emily tahu siapa yang ada di sana.Gadis itu berbalik dan menemukan seorang pria bertubuh atletis dengan bola mata hazel yang memukau dan selalu berhasil membuat Emily tak mampu tidur dengan nyenyak setiap malam.“Jared ... apa yang kau katakan? Kau tahu kalau aku—“Pria itu mengangkat tangannya ke udara, dengan maksud jelas bahwa ia tak ingin Emily mengatakan apa pun.“Kau tampak tersenyum lebar, jadi kurasa kau memang bahagia.” Pria itu mendengkus. “Jadi begitu? Tak masalah tak mendapatkanku, karena adikku akan lebih menguntungkan secara finansial. Begitukah?”Emily menggeleng lemah. Bukan untuk menunjukkan pada Jared bahwa apa yang ia katakan seratus persen salah, tetapi karena ia tak mampu lagi menjelaskan apa pun pada pria itu.Tak peduli apa yang ia katakan, tak akan pernah bisa menentramkan perasaan Jared yang terlanjur merasa terluka.“Apa yang bisa kulakukan, Jared? Apakah kau bisa memberiku solusi?” Emily akhirnya membela diri.“Kau bisa menolak!”Jared tetap tidak mau tahu. Ia tak lagi ingin mendengar apa yang dikatakan oleh Emily, terlepas apakah itu benar atau salah. Baginya, akan selalu ada pilihan jika saja Emily mau.“Seperti apa? Harus seperti apa penolakanku terhadap orang yang telah menyelamatkan hidupku dan memberi kehidupan lain yang begitu didambakan banyak orang sepertiku, huh? Apakah aku punya pilihan?”Jared mendengkus lagi. Pahit, itu yang sekarang ia rasakan. Ketika dirinya berharap pada Emily, gadis itu justru akan menjadi milik pria lain. Dan lelaki itu adalah adiknya sendiri.“Aku. Apakah menurutmu aku bukan pilihan? Apakah menuruti perkataan ayah adalah pilihan yang lebih baik dibanding aku?”Emily menggeleng. Ia tak tahu bagaimana menjelaskannya pada Jared, bahwa ia juga tak menginginkan ini semua.Ia tidak ingin menjadi istri Jason!“Andai kau tahu aku pun ingin lari dari semua ini. Namun, aku tidak bisa. Ada banyak hal yang menghalangi langkahku setiap kali aku berniat untuk pergi. Aku merasa seperti manusia tidak tahu diri, tidak tahu terima kasih jika sampai melakukan itu.” Emily menjeda kalimatnya sesaat.“Ayah dan ibumu yang memberiku kehidupan, Jared. Saat semua orang membuangku, aku nyaris kehilangan nyawa, dan mereka membesarkanku dengan kasih sayang yang sama besar dengan yang mereka berikan pada kalian. Bisakah aku bertindak begitu kurang ajar dengan menentang keinginan mereka dan pergi?” lanjutnya.Jared terdiam untuk sesaat, sebelum kemudian menjawab setiap tanya yang tersirat dalam ucapan Emily.“Apakah kau tak bisa pergi karena itu? Karena kau merasa tak berdaya? Baiklah ... kalau begitu semua hutang-hutangmu pada ayah, akan kubayar. Menikahlah denganku, kita akan pergi sejauh mungkin dan hidup bahagia bersama.”Jason dan Emily sedang dalam perjalanan. Di dalam mobil, Emily terus menangis karena tidak menyangka bahwa anaknya masih hidup. Berkali-kali ia menanyakan hal yang sama kepada Jason mengenai Liam dan dijawab dengan jawaban yang sama pula oleh laki-laki itu. Jason mengerti bagaimana keadaan Emily. Dirinya juga rindu dengan Liam, darah dagingnya. Namun, setidaknya ia lega karena Liam sudah berada di tangan yang tepat saat ini. Mobil Jason berhenti di halaman rumah kediaman Charles dan Emma. Langsung saja mereka masuk. Di ruang tamu, semua orang berkumpul. Charles, Emma, Alex, Shila, bahkan Jared—kakaknya ada di sana. Emily lantas menghampiri Emma yang sedang menggendong bayi. Emma yang tahu perasaan Emily pun menyerahkan bayi itu. Dengan perasaan yang sulit dijelaskan serta air mata yang mewakili kebahagiaannya, Emily akhirnya kembali menggendong Liam. Anaknya yang sudah menghilang beberapa waktu. Emily menangis. Shila pun mendekat ke arah sahabatnya dan memeluknya. “Sekarang, Liam
Di tempat yang berbeda, Jason berkali-kali berdecak dan mengumpat karena Alex tidak kunjung datang. Ke mana laki-laki itu, apakah menuntaskan hajat sampai harus bermenit-menit. Jason curiga kalau sebenarnya Alex bukannya ke kamar mandi untuk buang air, tetapi justru bertapa. Jason melihat jam berwarna hitam yang melingkar di tangannya. Jarum panjang jam sudah berganti ke angka empat. Itu artinya sudah lebih dari dua puluh menit laki-laki itu di apartemennya.“Ke mana dia?” gumam Jason.Jason memeriksa ponselnya. Tadi, ponselnya mati jadi tidak bisa digunakan untuk menghubungi Alex. Setelah dicharger di dalam mobil, akhirnya ponselnya menyala. Jason buru-buru mencari kontak nama Alex. Begitu ingin dihubungi, ada tiga pesan muncul dari orang yang ditunggu. Jason membukanya. Ada satu video sedikit panjang di sana. Sedikit curiga, akhirnya Jason memutarnya. Di dalam video itu, ia hanya melihat gambar berwarna putih. Jason mendengus kesal. “Apa yang dilakukan dia sebenarnya.” Baru saja
Jason tidak menghiraukan ucapan Alex. Tadi, di rumah Alex, Jason sempat berdebat sengit dengan pria itu. Shila bahkan sampai harus melerai. Karena ucapan wanita itu, Jason memilih keluar dan pulang ke apartemennya untuk mengambil sesuatu. Dia akan bersiap untuk menemui Jeffry. Siapa yang menyangka kalau ternyata Alex mengikutinya. Hingga akhirnya, laki-laki itu menghadang di depan pintu apartemen miliknya. “Minggir!” ucap Jason yang ke sekian kalinya namun tidak juga mendapatkan respon dari Alex. Alex menggeleng. “Kau mau mendapatkan masalah lain? Kalau sampai terjadi sesuatu pada Jeffry, maka dia bisa saja mengelak atas semua tuduhan,” jelas Alex. Wajah laki-laki itu terlihat sangat serius. “Lalu, kau mau aku hanya diam sementara dia berhasil membuat Emily menjadi korban kekerasan fisik dan seksualnya. Kau mau aku tetap diam dan membiarkan dia terbahak keras di ranjang rumah sakit?!” sorot mata Jason penuh kobaran api amarah.Alex bahkan sampai menunduk karena tidak kuat menatap
Shila menggigit bibir dan meremas jemarinya. Jantungnya berdetak kencang karena sejak tadi dua orang yang ia tunggu tidak kunjung keluar daei bangunan megah itu. “Mereka sebenarnya sedang mencari apa? Kenapa lama sekali? Apakah jangan-jangan mereka ketahuan lagi?”Pikiran buruk mengenai dua sahabatnya langsung terbayang. Namun, Shila segera menepis pikiran buruk itu agar tak menjadi sugesti baginya.Jantungnya nyaris mencelus ketika mendengar suara berisik di sampingnya. Ia mengira salah seorang pengawal berhasil mengetahui keberadaannya. Namun, jauh dari dugaan karena Jason dan Alex-lah yang datang. Shila yang semula tak berani bergerak dan hanya mematung di tenpat, menghampiri dua lelaki itu setelah memastikan bahwa mereka adalah kawan-kawannya. “Apakah kalian baik-baik saja? Kalian berhasil?”Jason mengangguk. “Sepertinya keberuntungan sedang berpihak. Kita berhasil mendapatkan rekamannya.” Jason mengambil flashdisk yang ia simpan dan menunjukkannya pada Shila. Wanita itu menghel
Tiga orang yang baru saja datang dipersilakan duduk oleh seorang pria yang mengenakan jas berwarna hitam. Pria yang berumur sekitar empat puluhan itu tampak masih bugar, walau rambutnya memutih di beberapa bagian.“Jadi, apa rencanamu?” celetuk Jason sembari melihat-lihat dokumen di hadapaannya. “Kau belum mengenalkan mereka padaku.” timpal Mark yang bergantian menatap Alex dan Shila. "Kuharap kalian tidak tersinggung. Aku tidak bisa mengatakan langkahku pada orang asing, karena ijni menyangkut nyawa seseorang. Bukan begitu?""Kau benar. Perkenalkan, aku Alexander Danison, sahabat Emily."Mark menyambut jabatan tangan itu ramah dengan senyum terkembang. "Oh, Tuan Danison. Bagaimana mungkin aku tidak mengenalimu. Seorang pengusaha besar dan selevel dengan Jeffry Allen. Kuharap aku tidak salah.""Kau terlalu berlebihan, Tuan Jefferson." Alex membalas sambutan Mark dengan sikapnya yang rendah hati. Ia lantas menoleh pada Shila. "Ini Shila Andreas. Ia juga sahabat Emily." "Hmm ... aku j
Ide yang Jason lontarkan lantas membuat ketiga orang menaruh perhatian penuh pada Tamara. Mulai sekarang, Jason yang akan mengambil alih penyelidikan wanita itu. Sementara, Alex dan Shila akan mencari sesuatu soal Jeffry. Keduanya bertekat akan membuat laki-laki itu membayar atas apa yang dilakukan pada sahabatnya. “Aku akan pulang ke rumah,” ucap Jason setelah merancang rencana di kepalanya“Untuk apa?” kening Shila berkerut. “Bagaimana dengan Tamara? Bukankah kau mau menyelidikinya sendiri?” “Memang. Tapi, aku akan minta bantuan orang tuaku untuk menghubungi detektif Jefferson. Kemarin aku belum sempat bertemu dengan mereka.” “Baiklah. Pulang saja, kita berdua nanti akan mencari informasi soal Jeffry.”“Bagus. Kalau begitu, aku akan mengunjungi kwdua orang tuaku. Kalian urus dengan baik dan kabari aku perkembangannya.” Alex dan Shila mengangguk sebagai respon atas ucapan Jason yang layaknya seorang pimpinan. Jason pamit dan segera menuju ke kediaman orang tuanya. Ia tak sempat