Ini sungguh bulan madu terkonyol yang pernah dijalani oleh Emily. Saat Jason berada di vila milik Tamara yang entah berada di mana, Emily justru menikmati kesendirian di Maldives hanya karena ia tak ingin mengecewakan ayah mertuanya.Charles dan Emma hanya tahu kalau Emily berdua bersama Jason telah tiba di Maldives, karena begitulah yang dikatakan oleh kolega bisnis Charles.Padahal kenyataannya tidak demikian.“Apa? Itu gila, Em! Dan kau tidak mengatakan apa pun pada Jason?” tanya sahabat Emily dari sambungan seberang. Emily menggeleng yang kemudian sadar kalau sahabatnya tak akan bisa melihat apa pun yang ia lakukan saat ini.Ingin, tentu saja ia ingin mengatakan sesuatu. Berada di pulau lain hanya seorang diri di hari bulan madu bukanlah hal yang keren. Emily bahkan ingin sekali menangis saat ini juga, tetapi ia tak bisa. Air matanya seolah telah mengering.“Entahlah, Shila. Aku mungkin sudah gila karena setuju dengan ide ini. Namun, apakah aku salah jika berharap Jason tetap bers
Emily tak tahu apa yang terjadi pada hidupnya yang berubah seketika, sejak Charles memutuskan untuk menjodohkannya dengan Jason. Padahal semula segalanya baik-baik saja.Meski ia tidak dekat dengan Jason, tetapi tak pernah juga terlibat masalah dengan pria itu, karena Emily selalu menghindari apa pun yang akan membawanya pada pertikaian. Bahkan meski ia memiliki ketertarikan terhadap Jared, ia tak berani mengatakan dan berterus terang. Ia sadar diri posisinya di keluarga McKennel.Dan kini, semua seolah runtuh dan jatuh tepat mengenai kepalanya.“Jared, kau tidak seharusnya melakukan ini terhadapku. Kau tahu, aku tak pernah membuat masalah denganmu,” ujar Emily yang sudah berada dalam keputus asaan hidup.Apa yang bisa ia perbuat sekarang?Menjadi istri Jason sudah seperti sebuah kesalahan dan kini sikap Jared membuatnya makin terpojok. Seolah ini semua merupakan kesalahannya.“Apa yang kulakukan, Em? Aku hanya ingin bisa terus bersamamu, apakah itu salah?” Pertanyaan itu tidak terden
Jason tidak dalam keadaan mabuk saat melakukannya. Ia sadar dengan kesadaran penuh, tetapi juga tidak dengan perasaan cinta terhadap Emily. Ia kesal dan marah saat melihat Emily berdansa dengan pria lain, jelas bukan karena dirinya cemburu yang dikarenakan adanya rasa cinta, melainkan ego. Bagaimana pun, meski dirinya tidak mencintai Emily, tetap menyakitkan saat melihat gadis itu ada di antara pria yang berusaha mendekati apalagi ingin memilikinya. Itu sebabnya, ia lakukan hal bodoh beberapa jam lalu. Kini Emily dan Jason berada di dalam kamar mereka, tak bicara sepatah kata pun. Emily enggan memulai, karena sejak awal ia kesal pada pria itu dan masih marah. Sementara itu, Jason juga tak mampu bicara karena ia merasa tidak membutuhkan interaksi dengan gadis yang baru beberapa hari menjadi istrinya itu. “Aku akan ambilkan es batu untuk mengompres lukamu,” ucap Emily, bangkit dan pergi, lalu tak lama kemudian kembali dengan membawa kantung es di tangannya. Perlahan ia mengompres ba
Mata Jason tak juga bisa terpejam. Ia masih terngiang perkataan Tamara yang memutuskan untuk rujuk dengan suaminya karena Jason pun telah menikah. Menurutnya itu adil, tetapi tidak bagi pria yang telah menjalin hubungan dengan wanita bersuami itu selama dua tahun ini. Jason tak pernah menganggap pernikahan ini. Ia tak pernah menginginkannya, bahkan berharap sesuatu terjadi agar ia bisa memutuskan ikatan karena paksaan ini. Jason keluar dari kamar, masih pukul dua pagi dan ia merasa kelaparan. Ia menuju ke dapur dan tak menemukan apa pun di sana, kecuali bahan mentah. Ia mengambil sebuah wortel dan mulai memakannya. “Apa yang kau lakukan di sini, Jase?” tanya Emily. Wortel di tangannya nyaris terjatuh dari tangannya, bahkan hampir ia lemparkan pada Emily, saat tiba-tiba gadis itu sudah ada di belakang Jason. “Fuck! Emily, bisakah kau tidak muncul tiba-tiba seperti itu!?” keluh Jason sembari mengelus dadanya. Ia menyembunyikan benda yang sejak tadi berusaha ia makan. “A–apa yang k
Emily dan Jason memutuskan untuk kembali ke Eastonville. Lebih cepat dua hari dari perkiraan. Lagi pula untuk apa berlama-lama, toh mereka tak akan menikmati bulan madu seperti pengantin pada umumnya. Tak akan ada sesi jalan-jalan, berfoto untuk mengabadikan momen, apalagi menikmati malam romantis dan panas sebagaimana seharusnya sepasang suami istri. Itu jelas hanya ada dalam angan Emily. Meski Emily mengakui kalau dirinya belum mencintai Jason, tetapi harapan untuk bisa menikmati manis pernikahan tentu sudah terbayang dalam angannya. Meski yang terjadi justru sebaliknya. “Kau sudah mengabarkan ayah dan ibu?” tanya jason, saat mereka masih berada di pesawat. “Atau aku yang harus menghubungi mereka?” “Tidak perlu. Aku sudah mengatakan pada mereka beberapa hari lalu. Dan kurasa nanti kita menggunakan taksi saja. Mereka tidak mungkin akan menjemput kita, dan Tuan McKennel bilang kalau dia masih ada rapat, jadi tak mungkin Andrew akan menjemput kita.” Jason mengangguk, mengerti. Ia
Emily masih ingin tinggal di kediaman keluarga McKennel, tetapi tidak dengan Jason. Ia justru mengajak Emily untuk mulai menempati rumah itu hari ini. Bahkan semalam mereka tak bisa beristirahat dengan tenang karena bersiap, dan keduanya tertidur di atas satu ranjang, dalam keadaan berpelukan. Hal yang tak mungkin terjadi selama beberapa waktu ke belakang, tetapi nyatanya bisa terjadi dalam semalam. Emily masih tak percaya apa yang baru saja ia alami, terlebih Jason tidak merasa canggung, seolah kedekatannya dengan Emily sudah terjalin sekian lama. Memang begitu kenyataannya, tetapi itu hanya sebagai kakak dan adik. Kini, keduanya telah menginjakkan kaki di dalam sebuah bangunan mewah berlantai dua dengan arsitektur modern dengan perabot lengkap. Emily pertama kali menuju ke ruangan favoritnya, dapur, sementara Jason memeriksa kamar dan kamar mandi mereka. “Em, kemarilah. Lihat ini!” Jason melongok ke luar sedikit agar sang istri mendengar suara panggilannya.Emily yang semula ber
Emily mengerjap saat secercah cahaya mentari menyorot langsung mengenai matanya dari tirai jendela. Di sampingnya, Jason masih terlelap dan memeluknya. Ini bukan mimpi. Meski sekujur tubuhnya terasa remuk redam, tetapi ia bahagia. Jason juga tidak terlihat sibuk sendiri seperti biasanya, karena telepon dan kedatangan Tamara. Artinya dia memang sungguh-sungguh ingin membangun pernikahan yang sesungguhnya bersama Emily. Emily bangkit perlahan, menuju ke dapur untuk menyiapkan makanan untuk sarapan mereka berdua. Jason sudah menyarankan agar mereka bisa memiliki pembantu, tetapi Emily menolaknya. Ia masih bisa melakukan semua seperti saat di rumah Charles dan Emma. Meski ia juga disibukkan dengan pekerjaannya sebagai manajer, tetapi ia yakin masih bisa melakukan kewajibannya sebagai istri. “Selamat pagi,” sapa Jason sembari mengecup pipi sang istri sebelum kemudian membuka lemari pendingin dan mengambil sebotol susu. Ia tuangkan ke dalam dua gelas untuknya dan Emily. “Hey, selamat p
Emily tak peduli andai Jason menganggapnya murahan dan terlalu mudah memberikan cinta. Tidak seperti itu kenyataannya. Emily hanya akan memberikannya pada orang yang memang sudah seharusnya menerima cinta dan pengabdiannya. Siapa lagi kalau bukan Jason yang merupakan suaminya? Bahkan kini keduanya masih mematung dan bungkam, tak ada suara yang terucap. Jason jelas sudah mengatakan pada Emily bahwa ia akan mengusahakannya, tetapi tidak juga dengan cara seperti ini. Ini hanya akan jadi beban baginya. Akan jadi keharusan baginya pada akhirnya. “Aku sudah katakan kalau aku akan usahakan, Em. Kau tak perlu meminta, atau bahkan jangan memaksa. Tidak mudah untuk melepaskan seseorang dari hatimu, terlwbih ini baru berapa hari.” Alasan! Bagi Emily, apa yang baru saja diucapkan oleh Jason hanyalah dalih agar ia tak perlu memenuhi apa yang dia katakan sebelumnya. Meski Emily meminta, memang apa salahnya? Bukankah Jason yang menjanjikannya lebih dulu, hingga Emily melambung tinggi ke angkasa?