Bella membuka matanya dengan cepat, ketika suara alarm dari jam kecil di atas nakas terus berdering. Setelah mematikan suara mengganggu di pagi hari itu, ia meregangkan tubuhnya yang terasa pegal. Bella menggaruk tengkuknya sembari menguap kecil, ia menginjakkan kakinya di karpet usang kamarnya. Kemudian Bella berdiri dan keluar dari sana, matanya memandang sekeliling ruangan yang terlihat sama seperti malam tadi. Piring-piring kotor yang masih menyisakan makanan, bau menyengat yang tercampur dari masakan membuat ia mengerutkan hidungnya.
Suasana yang sepi dengan keadaan ruangan yang masih sama seolah memperjelas bahwa Ed belum kembali ke rumah, Bella menghela napas panjang. Ia mengingat rambutnya dengan asal, lalu menghampiri meja kecil di sana dan mulai membereskan kekacauan yang dibuatnya sendiri. Begitu piring terakhir selesai dicuci, Bella melirik jam dinding. Waktu masih menunjukkan pukul sebelas, sudah terlalu siang untuk memulai sarapan. Bella memutuskan untuk mandi,Detak jam dinding di dalam ruangan itu terdengar nyaring, suara keyboard yang biasanya terdengar, kini teronggok di meja dengan layar laptop yang menyala. Dokumen-dokumen itu bahkan terabaikan oleh si pemilik, Dave terus menatap pemandangan gedung-gedung pencakar langit di kota Seoul dari balik kaca ruang kerjanya. Sudah sebulan berlalu, tetapi perempuan itu tak kunjung pergi dalam pikirannya. Dave mengacak surainya kasar, “Aku tidak bisa seperti ini terus.” Ya, tentu saja Dave tidak akan bangkrut hanya dengan mengabaikan satu atau dua dokumen. Namun, dirinya adalah seorang profesional. Merenung dan memikirkan seorang wanita bukanlah gayanya, hanya saja Bella bisa menjadi pengecualian. Entah apa yang dilakukan perempuan bermanik coklat itu, Dave seperti orang bodoh ketika terus mengingat Bella. Dave mendengus, meskipun dia sering berjumpa dengan wanita yang beberapa kali lipat lebih cantik dari Bella. Tetapi Dave mengakui kalau tidak ada yang seperti Bella, sebenarnya apa ya
“Antar aku ke rumah,” titah Dave seraya mendudukkan dirinya di kursi belakang mobil. Theo menoleh, “Duduk di depan. Aku bukan sopirmu.” Dave menatapnya tajam, sontak saja membuat Theo gelagapan dan segera menyalakan mesin mobil. Perjalanan itu diisi dengan rasa penasaran Theo, pria itu melirik bingung pada wajah cerah Dave lewat kaca spion. “Apa sesuatu yang menyenangkan terjadi?” tanyanya. “Fokus saja pada jalan, jangan sampai mobil ini lecet!” ujar Dave tegas. Theo mendengus, “Kenapa kau hobi sekali marah-marah. Aku kan cuma bertanya.” “Pertanyaanmu yang aneh, hal menyenangkan apa yang akan terjadi di pertemuan bisnis dengan pria setengah baya. Jangan membuatku tertawa,” ucap Dave. Theo tersenyum lebar, “Aku rasa tebakanku benar. Seorang Dave tidak mungkin membalas perkataan anehku, tetapi kali ini kau menjelaskannya dengan panjang. Sesuatu benar-benar terjadi, hm?” Dave mengalihkan pandangannya ke luar kaca, pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang dilewati sepertin
Dave mendongak saat telinganya menangkap langkah seseorang yang mendekat, Bella tampak canggung saat menghampirinya. Dave tidak berniat membantu Bella yang masih terlihat lemah itu berjalan, dia lebih senang memperhatikan ekspresi yang ditampilkan perempuan itu. Dave meraih cangkir berisi kopi, kemudian meneguknya sambil terus memandang Bella. Perempuan itu tampak manis dengan kaos kebesaran miliknya, tentu bukan Dave yang mengganti. Namun, pria itu terlihat menyukainya. “Pa.. pagi,” sapa Bella. Dave rasanya ingin tertawa, mendengar nada gugup perempuan itu. Dia berdeham seraya meletakkan cangkir itu kembali, Dave menatap Bella. “Kau terbangun?” tanyanya. Bella tersenyum kaku, “Maaf. Aku menggunakan tempat tidurmu.” Dave mengernyit, “Kau dapat melanjutkan tidurmu.” Bella menggeleng cepat, “Tidak. Aku sudah cukup beristirahat, lagi pula akan sangat merepotkan bila aku hanya tidur.” “Dave, terima kasih telah menolongku. Maaf merepotkanmu,” ujar Bella seraya memainkan j
Dave kembali menghembuskan napas kasar, matanya tak pernah berpindah ke objek lain. Bella mengusapkan kedua telapak tangannya untuk sekedar memberikan kehangatan, angin malam ini masih berembus kencang. Ia mengeratkan mantel usang di tubuhnya, Bella tidak tahu apa yang dilakukannya. Ia mana mungkin kembali ke apartemen Dave, pria itu sudah sangat baik telah menolongnya ketika sakit. Dan Bella tidak mungkin merepotkan pria itu lebih jauh, ia tidak ingin Dave merasakan hal seperti Ed ketika bersamanya. Bella termenung, sebulan sudah berlalu sejak kepergian Ed. Hingga saat ini Bella tidak mengetahui ke mana Ed pergi, pria itu telah membawa seluruh hatinya. Bella mendongak ketika merasakan seseorang berdiri di depannya, sosok menjulang tinggi itu terlihat di matanya. Ia harus mengernyit untuk menghalau sinar matahari, Bella tidak dapat menebak siapa gerangan sosok itu. “Kau bodoh?” hardik suara tersebut. Bella berdiri, ia mengenal suara tersebut. Pria yang beberapa jam lalu men
~ Dave menyeruput secangkir kopi yang telah dibuatkan Bella, dari aromanya saja dia sudah yakin dengan rasa kopi tersebut. Dave meletakkan cangkir itu kembali, matanya memandang bingung pada Bella yang telah rapi. “Kau akan pergi?” tanya Dave. Dia tidak dapat menahan rasa penasaran, perempuan itu selalu berhasil membuat sisi lain dirinya muncul.Bella menoleh, “Aku akan mencari pekerjaan.” Dave mengernyit, “Pekerjaan?” Bella mengangguk, “Ya. Aku baru kehilangan pekerjaan di restoran, Madam Choo telah menemukan pengganti karena itu sekarang aku mencari kerja.” Ah, Dave ingat sekarang. Bella sudah tidak bekerja selama sebulan waktu itu, tentu saja pemilik restoran tidak ingin rugi dengan terus memperkerjakan karyawan yang menghilang tanpa kabar. “Ke mana kau akan mencarinya?” Bella mengangkat bahunya, “Aku masih belum tahu. Tetapi biasanya mudah menemukan pekerjaan sebagai pelayan di restoran-restoran kecil pinggir jalan.”, Dave menatapnya serius, “Apa kau tidak ing
“Kita akan kembali ke Seoul besok,” ucapan Dave sontak mengejutkannya. Bella menghentikan kegiatan mencuci piringnya, ia menoleh cepat pada Dave yang tengah mengerjakan pekerjaan di dalam laptop. “Kita?” Bella mencoba memperjelas ucapan Dave. Pria itu menghentikan ketikan tangannya, dia ikut menoleh pada Bella. “Ya, aku tidak mungkin memberikanmu gaji bila terus bekerja di apartemen kosong. Kau tentu harus ikut denganku ke mana pun aku pergi,” ujarnya. Bella terdiam, ia kembali berbalik menghadap wastafel dan melanjutkan mencuci piringnya. Ke Seoul, ya? Entahlah, terlalu sulit menjabarkan perasaannya saat ini.Bella merasa enggan pergi ke kota itu, lagi pula ia tidak bisa meninggalkan tempat yang menyimpan banyak kenangan indah dengan Ed. Lalu bagaimana jika Ed kembali ke rumah, sedangkan ia tengah berada di Seoul. Gerakan tangannya yang tengah mengelap piring otomatis terhenti, Bella tidak dapat berpikir jernih saat ini. Ia dengan cepat menyelesaikan p
“Jadi, perempuan ini yang menjadi alasan kau pergi ke Busan meskipun tidak ada pekerjaan di sana? Dia yang membuatmu mengabaikan pesan ibu?” nada tak suka terdengar jelas dari wanita dengan pakaian elegan itu. Bella menunduk, entah mengapa ia merasa tidak nyaman. “Ibu, berhenti mengatakan hal itu. Aku lelah,” balas Dave acuh. Dia menarik tangan Bella memasuki rumah mewah itu, mereka telah tiba di Seoul satu jam yang lalu. Dave sengaja membawa Bella ke kediaman keluarga Lay, hal itu dirinya lakukan karena ada dokumen penting yang tertinggal di kediaman Lay. Tetapi dia harus segera membawa Bella ke rumah miliknya, karena Dave tidak bisa membiarkan orang-orang mengusik Bella. “Dave! Ibu belum selesai bicara!” suara wanita itu terdengar kembali. Bella melirik takut-takut ke arah Dave, pria itu terus menariknya ke lantai dua. Dia bahkan mengabaikan seruan ibunya, Bella menggigit bibir bawahnya. Ia bingung harus melakukan apa, memang seharusnya Bella tid
“Kau tidak pusing terus melakukannya?” tanya Dave. Pasalnya Bella tidak kunjung berhenti mondar-mandir, kini mereka tengah berada di dalam kamar yang ditempati Bella. Perempuan itu sungguh dibuat pusing oleh kejadian di meja makan, bagaimana bisa pria itu mengucapkan hal tanpa mempertimbangkan semuanya. “Kenapa kau mengatakan itu di depan ibumu? Calon istri? Aku bahkan tidak pernah membalas lamaranmu.” Dave menatap datar, “Belum pernah. Bukan tidak pernah, Bella. Jangan mengatakan sesuatu seolah-olah kau memang ingin menolakku.” Bella memandang Dave tidak percaya, “Apa kau tahu arti pernikahan itu apa? Jangan bermain-main dengan hal itu, apa alasanmu melamarku?” Dave melipat tangannya di depan dada, dia memiringkan kepalanya sedikit. “Apakah perlu alasan?” tanyanya. Bella menghela napas pelan, “Tentu. Kau tidak bisa melamar seorang perempuan secara tiba-tiba, bahkan kita baru mengenal kurang lebih lima bulan.” Kedua alis Dave bertautan,