Beranda / Romansa / Love To The End / 6. Mimpi Buruk Menjadi Kenyataan

Share

6. Mimpi Buruk Menjadi Kenyataan

Penulis: Dera Tresna
last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-04 07:48:53

“Kenapa papa belum tidur dan tampak gelisah?” tanya Britne melihat papanya mondar-mandir di ruang tamu padahal malam sudah larut.

“Sudah beberapa hari tidak ada kabar dari Alvaro semenjak sarapan kita pagi itu. Jika terus begini, bagaimana dengan nasibmu?” jawab Axton.

“Aku tidak terkejut dengan hal tersebut, aku tahu bagaimana sifat keluarganya. Di jaman modern ini, hanya keluarganya yang masih memegang teguh sebuah kehormatan. Aku yakin Alvaro tidak akan menikahiku setelah mengetahui jika aku memiliki putra tanpa seorang ayah.”

“Papa akan coba menelponnya untuk mengetahui apa yang terjadi,” balas Axton hendak mengambil ponsel.

“Hentikan hal itu Pa! Kenapa papa masih saja mengharapkan Alvaro untuk mau menikahiku? Dia tidak mungkin menerimaku setelah mengetahui kenyataan jika Cedric adalah putraku,” larang Britne.

“Jika tidak dengan Alvaro, dengan siapa lagi kamu akan menikah?”

Kening Britne mengkerut tidak senang mendengar ucapan papanya. “Serendah itukah papa memandangku sehingga mengira tidak ada pria yang menginginkanku?”

Axton yang menyadari kesalahannya menatap Britne dengan perasaan bersalah. “Bukan seperti itu yang papa maksud. Sejak kecil, kamu tidak banyak bergaul dan teman-temanmu bisa dihitung dengan jari. Hanya Alvaro teman terdekatmu dan papa percaya padanya.”

“Aku tahu papa sangat percaya pada Alvaro dan sangat menginginkannya sebagai menantu, hingga papa menjodohkannya pada Geena dan saat rencana papa gagal, papa menjodohkannya denganku,” sindir Britne.

“Papa tidak mengerti dengan apa yang kamu katakan,” ucap Axton tersinggung dengan perkataan putrinya.

“Meski selama ini aku jauh dari keluarga ini, aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sampai saat ini, papa belum sepenuhnya menerima Mattew sebagai menantu papa bukan? Padahal dia pria yang baik dan bisa membahagiakan Geena.”

“Jangan mengalihkan pembicaraan, kita sedang membicarakanmu dan Alvaro, bukan Geena dan Mattew.”

“Tapi apa yang aku katakan benar bukan? Papa sangat menginginkan Alvaro menjadi menantu papa hingga rela memaksaku menikahinya, mengorbankan perasaanku dan menutup mata atas kepedihan hatiku. Apakah karena Alvaro adalah putra dari sahabat papa, itukah alasannya?”

“Cukup Britne! Jangan menyalahkan papa karena kebodohan yang kamu lakukan di masa lalu!” balas Axton tersulut kemarahan.

“Ya, aku memang bodoh hingga tidur dengan pria sembarangan, hingga aku melahirkan Cedric tanpa tahu siapa papanya. Itukah yang ingin papa katakan padaku?” seru Britne dengan nada tinggi.

“Ada apa ini?” suara Inggrid mengagetkan Britne dan Axton, menghentikan pertengkaran mereka..

“Papa sedang jatuh cinta pada Alvaro, kenapa tidak dia saja yang menikah dengan pria itu,” ucap Britne sinis, lalu pergi ke kamar meninggalkan orang tuanya.

Sepanjang malam, Britne mengunci diri di dalam kamar, sengaja tidak mengajak bicara papa dan mamanya. Meski sudah berbaring cukup lama, namun matanya tak kunjung terpejam. Rasa kantuknya lenyap entah hilang kemana.

Menjelang dini hari, Britne masuk ke alam mimpi. Dirinya kembali ke malam tiga tahun yang lalu, merasakan sentuhan Alvaro yang awalnya terasa begitu menyenangkan. Pria itu membuatnya melayang, memberikan sensasi yang seumur hidup belum pernah dia rasakan.

Suara nafas terdengar saling memburu, jantungnya berdetak kencang apalagi saat Alvaro menciumnya untuk pertama kali.

“Sudah lama aku menginginkanmu, tapi aku menahan diri untuk menjaga kehormatanmu,” perkataan Alvaro masih teringat jelas di kepalanya.

“Jika kamu melakukannya maka kita berdua akan tercemar, kehormatan kita berdua akan hilang.”

“Persetan dengan kehormatan, karena hal itu aku kehilanganmu. Aku menjadi pria pengecut yang tak bisa mengungkapkan perasaanku karena terlalu khawatir dengan kehormatan. Tak bisakah aku memilikimu saat ini? akan aku serahkan tubuh dan hatiku padamu.”

Perkataan itu membuat hati Britne luluh, sehingga dengan penuh kepasrahan dia menyerahkan kehormatannya.

Mimpi indah itu menjadi mimpi buruk ketika Alvaro berkata, “Geena, aku mencintaimu.”

Untuk sekian kali rasa sakit itu menghentakkan dirinya dan membuatnya terbangun dari mimpi. Tubuhnya gemetar dan keringat dingin membasahi pakaiannya. Entah sampai kapan dia akan terus hidup dalam rasa bersalah tersebut.

Isak tangis menggema di kamar, dia terduduk sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan, air mata pun terus mengalir tak bisa dihentikan sama persis seperti yang dia alami di dalam mimpi.

Semenjak malam yang dia lewati bersama Alvaro, semua menjadi berubah, hidupnya, keceriaannya, mimpinya dan juga sikapnya.

Dia tidak bisa lagi menjadi wanita normal, kini hanya ada rasa sesal yang tersisa karena dia telah menyerahkan kehormatan pada pria yang mencintai wanita lain dan hanya menjadi pelampiasan dari obsesi pria tersebut.

Seandainya saja dia tidak terlambat menyadari jika Alvaro hanya mencintai saudara kembarnya, maka hari ini mungkin dia telah menemukan pria lain yang bisa mencintainya dengan tulus.

Setelah puas menangis, Britne menghapus air matanya lalu pergi ke kamar mandi, mengunci diri di sana untuk waktu yang cukup lama.

Dia menyalakan air hangat untuk mengguyur tubuhnya, mencari rasa nyaman. Namun yang diperoleh hanya rasa jijik pada dirinya sendiri karena itu dia mengambil banyak sabun lalu menggosokkan pada tubuhnya dengan kuat dan kasar hingga kulitnya memerah.

Sayangnya, hal itu tidak berhasil membersihkan rasa jijik yang dirasakan. Bukan karena sabunnya tidak bagus, tetapi pikirannyalah yang bermasalah sehingga meski selama tiga tahun terakhir setiap kali mandi dia menggosok tubuhnya dengan kuat, tetapi rasa jijik itu tidak pernah bisa hilang.

Selesai mandi, Britne pergi ke kamar Cedric untuk memeriksa putranya. Sepertinya tidur anak itu tidak terlalu nyenyak karena tubuhnya terus bergerak, berguling ke kanan dan ke kiri.

“Ssstttt … ada apa Sayang?” ucapnya pelan lalu membawa Cedric dalam gendongannya.

“Mama, aku mimpi buruk,” gumam Cedric pelan sambil mengucek matanya.

“Kamu baik-baik saja Nak, ada mama disini,” Britne berusaha menenangkan putranya lalu mengayunnya dalam gendongan, berusaha membuat Cedric tidur kembali.

Meski tubuh Cedric sudah berat, tetapi dia tidak pernah merasa lelah menggendong anak itu. Aroma tubuh Cedric selalu bisa membuat dirinya tenang dan kehadiran Cedric memberinya kekuatan baru.

Cedric-lah alasan yang membuatnya bisa bertahan sampai detik ini.

Ayunan pelan Britne berhasil membuat Cedric tidur kembali, anak itu menyembunyikan wajahnya di ceruk leher mamanya yang nyaman dan terlelap.

Masih terus mengayun putranya dalam gendongan, Britne menatap keluar jendela, menatap langit yang begitu cerah dan ladang rumput yang hijau menyegarkan.

“Dulu pemandangan ini begitu indah bagiku, tetapi kenapa sekarang semua tampak membosankan,” batinnya.

Perhatiannya teralihkan ketika matanya menangkap sebuah mobil yang bergerak mendekati rumah. Penasaran dengan tamu yang berkunjung begitu pagi, Britne mendekati jendela untuk mengetahui siapa tamunya.

Dirinya terkejut melihat Alvaro keluar dari mobil yang berhenti di depan teras rumahnya. Raut wajah pria itu begitu dingin dan tak bisa diartikan, seperti ada kemarahan dan rasa cemburu.

“Cemburu …?” gumam Britne sambil menggelengkan kepala menolak pikiran tersebut karena Alvaro tidak memiliki alasan untuk cemburu.

“Untuk apa Alvaro datang ke sini?” Rasa penasaran Britne semakin besar.

Ingin tahu apa yang terjadi, Britne meletakkan Cedric ke atas ranjang dan menidurkannya. Setelah itu dia keluar dari kamar dan berjalan ke ruang tamu.

Dari jauh tawa keras papanya menggema sampai di telinga, semenjak Geena membatalkan pernikahannya, belum pernah papanya tertawa sesenang ini. Hal tersebut menimbulkan kecurigaan dalam diri Britne.

“Apakah ada yang aku lewatkan?” tanya Britne yang membuat tawa Axton seketika berhenti.

“Kemarilah Sayang,” ujar Axton sambil melambaikan tangan mengajak putrinya mendekat.

Dengan patuh Britne berjalan mendekati papanya, sekaligus memperpendek jarak antara dirinya dengan Alvaro yang duduk di depan papanya.

“Apa yang terjadi?” rasa penasaran mencengkram hati Britne.

“Kamu tidak perlu khawatir lagi. Alvaro bersedia menikah denganmu dan akan menerima Cedric seperti putranya sendiri. Dia berjanji pada papa jika akan menyayangi Cedric dengan tulus.”

Tubuh Britne seketika membeku, wajahnya memucat mendengar hal tersebut. Bagaimana papanya bisa bilang untuk tidak khawatir, sedangkan menikah dengan Alvaro adalah kekhawatiran terbesar dalam hidupnya.

“Bukankah kita sudah membicarakannya jika aku tidak ingin …”

“Hanya Alvaro yang papa percaya untuk bisa membahagiakanmu. Papa tidak menerima penolakan lagi darimu karena papa sudah sangat bersabar padamu selama tiga tahun ini. Oh ya satu hal lagi, kalian akan menikah akhir bulan ini,” ujar Axton memotong perkataan putrinya dan tidak ingin didebat lagi terkait keputusannya.

Tubuh Britne seketika merasa lemas, seakan dirinya baru saja menerima hukuman mati. Pernikahan yang dia hindari itu sekarang ada di depan mata dan dirinya tak bisa lagi melarikan diri seperti yang sudah dia lakukan sebelumnya.

Tatapan nanar yang tertuju pada papanya, tak mampu meluluhkan hati pria paruh baya itu. Mimpi buruknya semalam, seketika menjadi kenyataan hingga membuat tubuhnya menggigil dan gemetar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Love To The End   79. Pedang Bermata Dua

    “Kenapa kamu seperti ini?” tanya Anya sambil mengepalkan tangan berusaha untuk tidak memeluk Trevor karena tahu dirinya akan hilang kendali jika menyentuh pria itu.“Aku mencintaimu,” jawab Trevor membuat tubuh Anya membeku untuk sesaat.“Benarkah kamu mencintaiku?” Anya memastikan apa yang dia dengar.“Betapa bodoh diriku yang tidak menyadari betapa aku sangat mencintaimu, rasanya mau gila saat kamu menghilang dengan tiba-tiba, api cemburu membakar ku saat melihatmu bersama Arlo,” terang Trevor.“Apakah kamu masih berpikir aku memiliki hubungan dengan Arlo?” selidik Anya.“Aku tidak peduli lagi dengan hal itu, aku hanya peduli masa depan kita,” ujar Trevor.“Jika begitu, tinggalkan Remy! Berhentilah bekerja sama dengan wanita itu.” Anya memberi syarat.Trevor kemudian memberi jarak pada keberadaan mereka dan menatap Anya serius. “Akan ada waktunya aku meninggalkan Remy, tetapi tidak sekarang karena ada hal yang belum aku selesaikan.”“Apakah tentang kehamilannya?” selidik Anya dengan

  • Love To The End   78. Membutuhkanmu

    Remy tidak langsung menyerah dalam usahanya mengejar Trevor, keesokan harinya dia datang ke kantor pria itu.“Tuan Smith sedang sibuk,” cegat Adam saat melihat kedatangan Remy.“Aku tahu dia tidak sedang sibuk, dari kemarin Trevor sengaja mengabaikanku,” geram Remy sambil mendorong Adam agar menyingkir dari jalannya.“Dia tidak ingin diganggu.” Adam masih berusaha menghalangi Remy.“Menyingkirlah dari jalanku atau aku akan membuat kekacauan di sini,” ancam Remy.Adam memutar bola matanya kesal, lalu bergeser menyingkir dari jalan wanita itu. Tidak ingin kedamaian tempat kerjanya ternoda, dia terpaksa membiarkan Remy masuk menemui atasannya.Trevor sedang sibuk di depan laptop ketika pintu ruangan terbuka keras. Dia mengangkat wajah dan menatap ke arah pintu untuk mengetahui siapa yang mengganggu ketenangannya. Kekesalan menyelimuti hati melihat Remy berjalan mendekat ke arahnya.Segera dia menutup laptop lalu melipat tangan ke atasnya, siap menghadapi wanita menyebalkan tersebut. “Ada

  • Love To The End   77. Kelicikan

    “Ada apa dengan tanganmu? Apakah kamu terluka?” Adam menyipit penuh curiga menatap lengan Trevor yang terbungkus perban.“Hanya tergores,” kilah Trevor tidak mengatakan dengan jujur apa yang terjadi.Dia tahu semenjak Anya meninggalkannya, hubungan Adam dan wanita itu tidak baik. Jika sekarang Adam tahu dirinya terluka karena menolong Anya, temannya itu akan semakin membenci Anya.“Itu bukan goresan biasa, bagaimana kamu bisa mendapatkannya?” Adam belum puas dengan jawaban Trevor.“Lukaku tidak penting, aku lebih penasaran dengan alasanmu repot-repot ke sini tanpa aku menyuruhmu? Bukankah kamu bisa meneleponku jika sekedar mengingatkan agendaku hari ini?” Trevor berusaha mengalihkan perhatian Adam dari lukanya.“Caden menghubungimu, dia ingin kembali bertemu denganmu,” ujar Adam yang membuat tubuh Trevor seketika menegang.“Aku akan menemuinya,” balas Trevor dengan nada dingin.Adam menyipit tidak suka, lalu berjalan mendekati atasannya tersebut. “Ini terakhir kali aku memperingatkanm

  • Love To The End   76. Tidak Bisa Melepaskanmu

    “Auuuw …” rintih Trevor saat Anya mengobati lukanya.Anya melirik selintas menatap wajah pria itu lalu kembali berkonsentrasi dengan luka yang sedang dia obati.“Katanya tergores sedikit, kenapa sekarang jadi manja dan meringis kesakitan,” gumam Anya seolah sedang bicara pada dirinya sendiri.Trevor tersenyum masam menanggapi sindiran Anya. “Jika kamu bersikap sedikit lebih lembut, aku tidak akan merasa kesakitan.”Bukannya bersikap lembut, Anya malah sengaja menekan luka Trevor hingga pria itu berteriak kesakitan, menarik tangannya lalu menghindari Anya.“Ini sangat menyakitkan, aku tahu kamu sengaja melakukannya,” gerutunya tanpa rasa marah.Anya kembali menarik tangan pria itu lalu kini benar-benar mengobatinya dengan hati-hati. “Ini bukan luka ringan dengan sedikit goresan seperti yang kamu katakan. Lukamu cukup parah dan terus mengeluarkan darah, besok kamu harus periksa ke rumah sakit.”Trevor terdiam sambil memperhatikan Anya yang sedang mengobati lukanya. Sebenarnya dokter sud

  • Love To The End   75. Insiden

    “Sudah cukup, aku tidak mampu memakan semua ini,” kata Anya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil mengusap perutnya yang kekenyangan, mengabaikan sopan santun di hadapan Trevor.“Kamu harus makan banyak, aku melihatmu terlihat sangat kurus dan kantung matamu tidak bisa kamu sembunyikan dari make up tebal,” ujar Trevor seakan tahu kondisi Anya.Anya kembali menegakkan tubuh dan mengusap wajahnya. “Sekarang kita bisa membahas pekerjaan,” ujarnya lalu mengeluarkan dokumen untuk menghindari Trevor banyak bicara.“Kenapa buru-buru, aku masih ingin bersamamu.”“Cukup, Trevor! Bersikaplah profesional. Kita di sini untuk urusan pekerjaan dan aku tidak ingin terlibat denganmu lebih dari ini.” Anya menekankan hubungan mereka saat ini.Dengan buru-buru Anya membuka dokumen yang dibawa lalu membacakan pasal-pasal yang mereka sepakati. Trevor yang muak dengan sikap Anya, merebut dokumen tersebut lalu menutupnya.“Aku ingin bicara denganmu soal Remy,” terang Trevor.“Aku tidak ada urusan den

  • Love To The End   74. Usaha Mendekati

    “Apa yang kamu dapatkan dari penyelidikan Remy?” tanya Trevor pada Adam.“Ada berita bagus yang bisa membuatmu keluar dari jerat wanita itu?” jawab Adam sambil menyerahkan hasil penemuannya pada Trevor.Trevor menaikkan satu alis dengan senyum sinis terkembang di ujung bibir membaca dokumen yang Adam berikan padanya.“Jadi wanita itu tidak hamil? Selama ini dia sedang bermain-main denganku dan berbohong padaku?” ujar Trevor.“Dia tidak mungkin hamil darimu karena kamu tidak bercinta dengannya,” kata Adam.“Jadi kamu percaya padaku sekarang?” Trevor menyombongkan diri menyindir ketidakpercayaan Adam padanya.“Aku tidak sepenuhnya percaya dengan perkataanmu, aku hanya percaya pada data yang aku dapatkan.” Adam langsung mematahkan kesombongan Trevor.“Data apa yang kamu dapatkan?”“Apakah kamu ingat saat kamu melakukan tes darah saat itu?” Adam mengingatkan.“Ah … ya … sehari setelah aku mabuk aku merasa tidak enak badan sehingga aku memutuskan ke rumah sakit untuk memeriksakan kesehatan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status