Alvaro melirik sekilas ke arah Britne lalu melemparkan handuk yang dipakai untuk mengeringkan rambut ke kursi di dekatnya, sengaja mengabaikan keterkejutan wanita itu.
“Bagaimana aku bisa bersamamu?” tanya Britne heran.
“Memangnya siapa yang kamu harapkan bersamamu saat ini, pria brengsek yang ingin melecehkanmu itu?” sindir Alvaro.
“Aku tidak tahu jika dia pria jahat.”
“Tentu saja kamu tidak tahu karena kamu begitu bodoh, mudah tergoda oleh bujuk rayu pria,” geram Alvaro menahan kemarahan tanpa memikirkan apa yang dia katakan.
“Aku tidak …” Britne seketika terdiam tak melanjutkan perkataannya karena percuma saja dia menyangkal, Alvaro tidak akan percaya dengan apa yang dia katakan.
Sambil tertunduk lesu, tangannya meremas bagian depan kemeja yang dipakai. Untuk sekian kali Alvaro meruntuhkan kepercayaan dirinya, membentuk persepsi di alam bawah sadar jika dirinya memang benar-benar bodoh.
Bibir Britne gemetar, dadanya terasa sesak, ingin sekali dia menjauh dari pria itu tetapi ada yang harus dia pastikan terlebih dahulu sebelum dirinya pergi.
“Apa yang terjadi diantara kita tadi malam?” tanya Britne yang membuat Alvaro menatapnya penuh arti.
Pria itu berjalan mendekat dengan hanya menggunakan handuk yang menutup area intim, sedangkan dadanya dibiarkan terbuka begitu saja dan hal tersebut berhasil mengintimidasi Britne.
Nafasnya tercekat, dia melangkah mundur untuk menghindari keberadaan Alvaro, tetapi pria itu dengan cepat meraih dan mencengkram lengannya.
“Apa yang kamu harapkan aku lakukan padamu?” Alvaro balik bertanya dengan nada sinis tak bersahabat.
“A-aku tidak mengharapkan apapun, aku yakin tidak terjadi apa-apa diantara kita hanya saja kenapa pakaianku berganti?”
“Kenapa kamu berpikir tidak terjadi apa-apa diantara kita?”
“Kamu pria terhormat, tidak mungkin melakukan sesuatu yang tidak pantas terhadap wanita yang tidak sadarkan diri.”
“Pria terhormat?” ulang Alvaro sinis. “Kamu pikir aku tidak bisa berubah?”
Mata Britne membulat. “Kamu tidak mungkin melakukannya.”
“Apa yang akan kamu lakukan jika semalam kita benar-benar bercinta?” tanya Alvaro begitu vulgar yang semakin mengejutkan Britne karena dulu sikapnya sangat sopan.
Dengan sekuat tenaga, Britne melepaskan diri dari cengkraman Alvaro, lalu menjaga jarak sejauh mungkin dari pria itu.
“Di-dimana pakaianku? Aku harus pulang sekarang,” ucap Britne gagap menghindari keberadaan Alvaro dan ingin segera pergi dari kamar tersebut.
“Pakaianmu masih di tempat laundry, sebentar lagi pelayan hotel akan mengantarnya.”
“Aku harus pergi sekarang, sebaiknya aku memesan pakaian baru,” balas Britne yang kemudian mengambil ponsel yang ada di dalam tas, berusaha menelepon seseorang.
Alvaro yang melihatnya, segera merebut ponsel itu dan melemparkannya ke atas ranjang. “Apakah kamu takut padaku? Padahal semalam kamu sama sekali tidak takut berduaan dengan pria asing.”
“Aku tidak punya alasan untuk takut padamu,” sanggah Britne.
“Lalu kenapa kamu ingin cepat-cepat pergi dariku?”
“Itu karena …” perkataan Britne tertahan karena dia tidak mungkin berkata jujur tentang perasaannya sehingga tubuhnya selalu bereaksi berlebihan saat mereka berdekatan.
“Karena apa Britne?” desak Alvaro.
“Please Alvaro, aku harus pulang,” mohon Britne dengan suara bergetar tak ingin menanggapi.
Alvaro berdecak kesal lalu berjalan menjauh, sambil membelakangi Britne dengan santai dia melepas handuk yang dipakai.
Nafas Britne tercekat dengan jantung yang berdetak cepat seperti genderang yang ditabuh, matanya tak berkedip menatap tubuh maskulin Alvaro, tubuh yang mengagumkan yang baru pertama kali dia lihat karena dulu dia terlalu malu untuk menatapnya.
Tak ingin larut dengan keindahan yang menyeretnya dalam gairah, Britne menundukkan kepala pura-pura acuh.
“Semalam tidak terjadi apapun diantara kita. Aku berusaha membuatmu muntah agar obat perangsang yang pria itu berikan tidak berefek padamu. Itulah alasannya kenapa pakaianmu kotor dan aku harus menggantinya,” ucap Alvaro sambil memakai celana.
Britne bernafas lega mendengarnya, dari awal dia sangat yakin jika Alvaro bukanlah pria yang memanfaatkan keadaan yang dapat merugikan orang lain. Meski pria itu kini sudah berubah dingin, namun kebaikannya tetap ada.
Sayang, kelegaannya tidak berlangsung lama ketika Alvaro melanjutkan perkataannya.
“Semalam orang tuamu menelepon, karena tidak ingin membuat mereka khawatir, aku mengangkat panggilannya dan mengatakan jika kamu sudah tidur. Mereka kemudian bertanya kenapa aku yang mengangkat ponselmu, jadi aku mengatakan jika kita sedang bersama di hotel.”
“APA …? kenapa kamu mengatakan kita berada di hotel?” pekik Britne dengan nada tinggi.
“Karena aku tidak ingin berbohong.”
“Aku akan pulang sekarang,” geram Britne sambil beranjak dari tempatnya.
“Apakah kamu akan pulang dengan memakai kemejaku? Tunggu disini! Aku akan mengantarmu,” ucap Alvaro menyelesaikan kancing terakhirnya, lalu berlalu dari hadapan Britne.
*
Tak bisa menolak, Britne akhirnya terpaksa pulang bersama Alvaro. Sepanjang perjalanan, dia merasa kesal karena tahu apa yang orang tuanya pikirkan. Hal itu akan menjadi senjata yang ampuh untuk bisa memaksanya menikah dengan Alvaro.
Dirinya semakin kesal ketika mobil yang dikendarai pria itu masuk ke halaman rumah dan ternyata disana sudah ada orang tuanya yang menyambut. Senyum lebar merekah di bibir papa dan mamanya, dengan binar mata yang sudah bisa ditebak oleh dirinya.
Britne langsung turun dari mobil dan mendekati orang tuanya. “Apa yang terjadi tidak seperti yang kalian pikirkan. Aku dan Alvaro tidak melakukan apapun, dia menolongku dari pria yang ingin melecehkanku,” terangnya berharap orang tuanya mengerti.
“Kami tahu apa yang terjadi,” balas Inggrid menanggapi perkataan putrinya.
“Kalian sudah tahu?” gumam Britne heran sambil menatap Alvaro kesal.
Matanya menyipit tajam karena sadar jika Alvaro sedang mempermainkannya dengan membiarkannya berpikir jika orang tuanya akan mengira mereka tidur bersama.
“Alvaro sudah menjelaskan semuanya semalam, beruntung ada dia di sana. Bagaimana jika tidak ada Alvaro? Kamu pasti sudah menjadi korban pelecehan. Untuk itulah papa selalu bisa mempercayakanmu pada Alvaro karena dia bisa menjaga dan melindungimu,” sambung Axton.
Mengabaikan perkataan papanya, Britne melangkah mendekati Alvaro. “Apakah kamu sedang berusaha mengambil hati orang tuaku dengan berpura-pura sebagai seorang pahlawan?”
Alvaro menaikkan satu alisnya dan membalas tatapan Britne dengan tidak kalah dingin. “Bukankah seharusnya kamu berterima kasih padaku karena aku telah menyelamatkanmu?”
“Hentikan sandiwaramu, Alvaro!”
“Aku tidak sedang bermain sandiwara. Sebaiknya aku menemui orang tuamu,” balas Alvaro menghindar lalu pergi meninggalkan Britne begitu saja.
Inggrid yang melihat Alvaro berjalan ke arahnya, segera menyambutnya. “Apakah kamu sudah makan? Aku baru saja masak cukup banyak.”
“Mama …!” protes Britne dari balik punggung Alvaro, merasa keberatan jika Alvaro makan bersama mereka.
“Aku memang belum sempat sarapan karena Britne buru-buru minta pulang,” ucap Alvaro yang dengan senang hati menerima tawaran Inggrid membuat Britne semakin kesal.
Senyum Inggrid terkembang, dia segera menggandeng tangan pria itu lalu menariknya masuk ke rumah. “Kalau begitu, kita sarapan bersama.”
Britne yang mendengar ajakan mamanya hendak melarang, tetapi suaranya menggantung karena semua orang sudah berjalan meninggalkannya sendiri di teras rumah. Dengan menggerutu, Britne menjejakkan kakinya kesal lalu terpaksa ikut masuk ke rumah untuk sarapan bersama Alvaro.
Sesampainya di dalam rumah, Britne segera menyusul mamanya yang sedang sibuk di dapur menyiapkan sarapan tamunya.
“Tidak seharusnya mama mengundang Alvaro makan bersama kita.”
“Memangnya ada yang salah? Dia sudah menolong dan mengantarmu pulang, hanya sekedar memberinya sarapan belum cukup untuk membalas kebaikannya.”
“Mama membuat hubunganku dengan Alvaro semakin rumit.”
“Bukan mama yang membuatnya rumit, tetapi kamu sendiri yang membuatnya.”
“Hubunganku dengan Alvaro sudah tidak seperti dulu lagi.”
“Kalau begitu, perbaikilah hubungan kalian. Paling tidak kalian bisa berteman seperti dulu lagi.”
“Tapi …”
“Mama harus segera menghidangkan ini sebelum dingin,” ucap Inggrid memotong perkataan putrinya.
Dia segera keluar dari dapur hingga Britne lagi-lagi harus terpaksa mengikutinya. Mereka pun duduk melingkar di meja makan, Inggrid duduk di sebelah suaminya sedangkan Britne duduk berhadapan dengan Alvaro.
Britne memilih untuk tidak banyak bicara, sehingga papanya yang lebih banyak mengajak Alvaro bicara.
“Jadi bagaimana keputusanmu?” tanya Axton pada Alvaro yang membuat Britne seketika menghentikan kegiatan makannya.
“Aku menerima perjodohanku dengan Britne, aku harap pernikahan kami bisa membuat hubunganmu dan papaku membaik,” jawab Alvaro sambil melirik sinis ke arah Britne yang tidak disadari oleh Axton dan Inggrid.
Britne hanya diam menahan rasa kesal, sedangkan papanya tertawa begitu senang. Di tengah hal tersebut, tiba-tiba terdengar tangisan Cedric dari dalam kamar, membuat wajah Britne seketika memucat.
Betapa bodoh dirinya tidak menyadari jika Cedric dan Alvaro ada dalam satu atap yang sama, jangan-jangan Alvaro akan menyadari kemiripannya dengan putranya. Tubuhnya membeku dan pikirannya kosong hingga tak mampu bereaksi mendengar tangisan putranya.
“Oh … Cedric pasti sudah bangun, aku akan menenangkannya,” ucap Inggrid yang kemudian beranjak dari tempat duduknya.
Kening Alvaro berkerut mendengar nama Cedric, sepertinya nama itu terasa tidak asing dan dia pernah mendengarnya, tetapi dia lupa dimana tepatnya.
Tak lama kemudian, Inggrid menggendong Cedric keluar dan saat melihat mamanya, Cedric dengan keras memanggil Britne sambil mengulurkan kedua tangannya. “Mama …!”
Alvaro yang terkejut dengan hal itu, tanpa sadar menjatuhkan sendok yang dia pegang. Britne yang menyadari hal tersebut segera berdiri dan mengambil Cedric dari gendongan mamanya.
“Siapa dia?” tanya Alvaro dengan suara sedikit bergetar.
Axton dan Inggrid saling menatap karena mengira Britne sudah menceritakan Cedric pada Alvaro.
“Dia putraku,” tegas Britne.
“Putramu?” ulang Alvaro seakan tak percaya dengan apa yang dia dengar.
“Ya, dia putraku. Apakah sekarang kamu merasa keberatan dengan perjodohan kita? Bukan hanya kamu yang sudah berubah, aku pun sudah banyak berubah. Aku bukan wanita terhormat yang bisa kamu nikahi,” ujar Britne lalu pergi meninggalkan meja makan dengan suasana yang seketika berubah menjadi hening.
Dia sengaja tidak mengatakan kebenaran tentang Cedric, namun memilih untuk menempatkan diri sebagai wanita yang tercela agar Alvaro menolak perjodohan mereka.
“Kenapa kamu seperti ini?” tanya Anya sambil mengepalkan tangan berusaha untuk tidak memeluk Trevor karena tahu dirinya akan hilang kendali jika menyentuh pria itu.“Aku mencintaimu,” jawab Trevor membuat tubuh Anya membeku untuk sesaat.“Benarkah kamu mencintaiku?” Anya memastikan apa yang dia dengar.“Betapa bodoh diriku yang tidak menyadari betapa aku sangat mencintaimu, rasanya mau gila saat kamu menghilang dengan tiba-tiba, api cemburu membakar ku saat melihatmu bersama Arlo,” terang Trevor.“Apakah kamu masih berpikir aku memiliki hubungan dengan Arlo?” selidik Anya.“Aku tidak peduli lagi dengan hal itu, aku hanya peduli masa depan kita,” ujar Trevor.“Jika begitu, tinggalkan Remy! Berhentilah bekerja sama dengan wanita itu.” Anya memberi syarat.Trevor kemudian memberi jarak pada keberadaan mereka dan menatap Anya serius. “Akan ada waktunya aku meninggalkan Remy, tetapi tidak sekarang karena ada hal yang belum aku selesaikan.”“Apakah tentang kehamilannya?” selidik Anya dengan
Remy tidak langsung menyerah dalam usahanya mengejar Trevor, keesokan harinya dia datang ke kantor pria itu.“Tuan Smith sedang sibuk,” cegat Adam saat melihat kedatangan Remy.“Aku tahu dia tidak sedang sibuk, dari kemarin Trevor sengaja mengabaikanku,” geram Remy sambil mendorong Adam agar menyingkir dari jalannya.“Dia tidak ingin diganggu.” Adam masih berusaha menghalangi Remy.“Menyingkirlah dari jalanku atau aku akan membuat kekacauan di sini,” ancam Remy.Adam memutar bola matanya kesal, lalu bergeser menyingkir dari jalan wanita itu. Tidak ingin kedamaian tempat kerjanya ternoda, dia terpaksa membiarkan Remy masuk menemui atasannya.Trevor sedang sibuk di depan laptop ketika pintu ruangan terbuka keras. Dia mengangkat wajah dan menatap ke arah pintu untuk mengetahui siapa yang mengganggu ketenangannya. Kekesalan menyelimuti hati melihat Remy berjalan mendekat ke arahnya.Segera dia menutup laptop lalu melipat tangan ke atasnya, siap menghadapi wanita menyebalkan tersebut. “Ada
“Ada apa dengan tanganmu? Apakah kamu terluka?” Adam menyipit penuh curiga menatap lengan Trevor yang terbungkus perban.“Hanya tergores,” kilah Trevor tidak mengatakan dengan jujur apa yang terjadi.Dia tahu semenjak Anya meninggalkannya, hubungan Adam dan wanita itu tidak baik. Jika sekarang Adam tahu dirinya terluka karena menolong Anya, temannya itu akan semakin membenci Anya.“Itu bukan goresan biasa, bagaimana kamu bisa mendapatkannya?” Adam belum puas dengan jawaban Trevor.“Lukaku tidak penting, aku lebih penasaran dengan alasanmu repot-repot ke sini tanpa aku menyuruhmu? Bukankah kamu bisa meneleponku jika sekedar mengingatkan agendaku hari ini?” Trevor berusaha mengalihkan perhatian Adam dari lukanya.“Caden menghubungimu, dia ingin kembali bertemu denganmu,” ujar Adam yang membuat tubuh Trevor seketika menegang.“Aku akan menemuinya,” balas Trevor dengan nada dingin.Adam menyipit tidak suka, lalu berjalan mendekati atasannya tersebut. “Ini terakhir kali aku memperingatkanm
“Auuuw …” rintih Trevor saat Anya mengobati lukanya.Anya melirik selintas menatap wajah pria itu lalu kembali berkonsentrasi dengan luka yang sedang dia obati.“Katanya tergores sedikit, kenapa sekarang jadi manja dan meringis kesakitan,” gumam Anya seolah sedang bicara pada dirinya sendiri.Trevor tersenyum masam menanggapi sindiran Anya. “Jika kamu bersikap sedikit lebih lembut, aku tidak akan merasa kesakitan.”Bukannya bersikap lembut, Anya malah sengaja menekan luka Trevor hingga pria itu berteriak kesakitan, menarik tangannya lalu menghindari Anya.“Ini sangat menyakitkan, aku tahu kamu sengaja melakukannya,” gerutunya tanpa rasa marah.Anya kembali menarik tangan pria itu lalu kini benar-benar mengobatinya dengan hati-hati. “Ini bukan luka ringan dengan sedikit goresan seperti yang kamu katakan. Lukamu cukup parah dan terus mengeluarkan darah, besok kamu harus periksa ke rumah sakit.”Trevor terdiam sambil memperhatikan Anya yang sedang mengobati lukanya. Sebenarnya dokter sud
“Sudah cukup, aku tidak mampu memakan semua ini,” kata Anya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil mengusap perutnya yang kekenyangan, mengabaikan sopan santun di hadapan Trevor.“Kamu harus makan banyak, aku melihatmu terlihat sangat kurus dan kantung matamu tidak bisa kamu sembunyikan dari make up tebal,” ujar Trevor seakan tahu kondisi Anya.Anya kembali menegakkan tubuh dan mengusap wajahnya. “Sekarang kita bisa membahas pekerjaan,” ujarnya lalu mengeluarkan dokumen untuk menghindari Trevor banyak bicara.“Kenapa buru-buru, aku masih ingin bersamamu.”“Cukup, Trevor! Bersikaplah profesional. Kita di sini untuk urusan pekerjaan dan aku tidak ingin terlibat denganmu lebih dari ini.” Anya menekankan hubungan mereka saat ini.Dengan buru-buru Anya membuka dokumen yang dibawa lalu membacakan pasal-pasal yang mereka sepakati. Trevor yang muak dengan sikap Anya, merebut dokumen tersebut lalu menutupnya.“Aku ingin bicara denganmu soal Remy,” terang Trevor.“Aku tidak ada urusan den
“Apa yang kamu dapatkan dari penyelidikan Remy?” tanya Trevor pada Adam.“Ada berita bagus yang bisa membuatmu keluar dari jerat wanita itu?” jawab Adam sambil menyerahkan hasil penemuannya pada Trevor.Trevor menaikkan satu alis dengan senyum sinis terkembang di ujung bibir membaca dokumen yang Adam berikan padanya.“Jadi wanita itu tidak hamil? Selama ini dia sedang bermain-main denganku dan berbohong padaku?” ujar Trevor.“Dia tidak mungkin hamil darimu karena kamu tidak bercinta dengannya,” kata Adam.“Jadi kamu percaya padaku sekarang?” Trevor menyombongkan diri menyindir ketidakpercayaan Adam padanya.“Aku tidak sepenuhnya percaya dengan perkataanmu, aku hanya percaya pada data yang aku dapatkan.” Adam langsung mematahkan kesombongan Trevor.“Data apa yang kamu dapatkan?”“Apakah kamu ingat saat kamu melakukan tes darah saat itu?” Adam mengingatkan.“Ah … ya … sehari setelah aku mabuk aku merasa tidak enak badan sehingga aku memutuskan ke rumah sakit untuk memeriksakan kesehatan