4
Hari ini sepertinya akan menjadi hari keberuntunganku. Saat sedang menunggu
lampu merah berubah menjadi kuning terus ke hijau di langit yang biru, di perempatan jalan menuju kampus, kulihat mobil Aleea terparkir di dekat taman fly over.
Aku bergegas memacu motor untuk menghampiri. Setibanya di dekat mobil, aku celingukan mengecek ke dalam melalui kaca tertutup dengan rasa penasaran setingkat kabupaten.
"Kenzo!" teriak Aleea dari dalam, kemudian kaca sebelah kiri terbuka.
"Hai. Kenapa ngetem di sini? Nyari penumpang?" sapaku sok kenal sok dekat.
"Mobilku tiba-tiba mogok nih. Aku lagi nunggu mobil derek datang. Gak berani nunggu di luar," tunjuknya pada sekumpulan pengamen jalanan yang lagi nongkrong di dekat lampu merah.
"Ya, udah. Kamu ikut aku aja."
"Mobilku gimana?"
Aku terdiam sejenak dan pura-pura berpikir. Akhirnya kuputuskan turun dari motor dan masuk ke mobilnya.
"Loh, kok kamu ikut masuk sih?" tanyanya sambil menyipitkan mata yang makin tampak segaris.
"Di luar panas. Entar minyak rambutku luntur," jelasku asal. Aleea tersenyum simpul, kemudian dia mengalihkan pandangan ke luar mobil. "Eea, aku boleh nanya gak?"
"Aleea! Jangan disingkat atuh!" keluhnya.
"Iya, deh. Aleea, aku boleh nanya gak?" Dia mengangguk mengiakan dan membuat rambut panjangnya bergoyang. "Kamu beneran punya tunangan?"
"Iya."
"Sejak kapan tunangan?"
"Sejak lulus SMU kemarin."
"Dijodohin?"
"Hmm, iya, tapi aku emang suka sih ama doi."
"Emang udah kenal lama?"
"Dari kecil. Dia anak sobatnya Mama. Umurnya empat tahun di atasku."
"Dia udah kerja?"
"Punya restoran sendiri dong," sahutnya tanpa bisa menutupi rasa bangga dalam ucapan.
Aku tafakur menatap jalanan yang ramai. Mendengar penjelasan Aleea barusan, jelas aku kalah telak. Namun, bukan Kenzo namanya kalau mengalah sebelum berperang.
"Ehm. Aleea. Rencana menikahnya kapan?"
Dia terdiam sejenak. "Mungkin setelah aku selesai kuliah."
"Berarti aku masih punya harapan dong, ya?"
"Hah?"
"Sebelum janur ungu terpasang, aku masih bisa berusaha mendapatkan cinta kamu," jelasku dengan semangat membara.
Mata Aleea mengerjap, kemudian makin menyipit seiring dengan tawanya yang renyah bak pangsit di mi ayam komplit.
Tuk, tuk, tuk
Ada orang mengetuk kaca mobil.
Kulihat orang tersebut mengenakan baju seragam. "Ya, Pak?" tanyaku setelah menurunkan kaca.
"Mobilnya mau diderek, ya?" Bapak itu balik bertanya.
Aku dan Aleea serentak mengangguk. Kemudian kami turun dari mobil. Aleea mengobrol sebentar dengan petugas derek. Sementara aku menuju motor dan mengenakan helm. Kemudian dia berjalan ke arahku. Naik ke motor dan memegang ujung jaket. Dikata aku tukang ojek!
Aku melaju dengan kecepatan tinggi. Bukan karena takut ditilang polisi karena Aleea enggak pakai helm, tetapi karena aku kebelet.
***
Siang harinya, aku dan tiga kurcaci sedang asyik mengobrol sambil makan siang di kantin. Tiba-tiba mereka terdiam dan memasang senyum full semuka. Aku yang bingung dengan tingkah mereka, menoleh ke belakang. Ternyata ada Aleea bersama dayang-dayang setianya di sana.
"Hai, aku boleh duduk?" tanya Aleea dengan nada suara yang lembut.
Ketiga cowok muka mesum itu mengangguk dan serentak berdiri. Rebutan memberikan kursi buat Aleea, berlagak sebagai gentleman. Aleea memilih duduk di sebelahku. Nin dan Maia duduk di seberang kami, sedangkan yang lain duduk bersila di lantai dengan tampang yang konyol.
"Ken, thanks, ya buat bantuan kamu tadi pagi," ujar Aleea.
"Sami-sami," jawabku.
"Aku mesti balas gimana nih?"
Wow, kesempatan nih!
"Balas dengan kencan berdua, tanpa dayang-dayang atau penguntit," tunjukku pada yang lainnya.
Aleea melongo. Mulut mungilnya membentuk huruf O kecil. "Ehm. Gak bisa diganti gitu?" tanyanya beberapa saat kemudian.
Aku menggeleng.
"Oke deh," jawabnya dengan pasrah.
Aku mengepalkan tinju di tangan kiri, mendorong ke belakang sambil berbisik, "Yes!"
Sementara ketiga pria yang mengaku sebagai sahabat itu kompak mencebik. Mungkin mereka iri dengan keberuntungan yang tengah memihakku saat ini.
***
Malam ini Aleea terlihat cantik dengan gaun cream gradasi. Rambut sebahunya digerai alami. Tampak sedikit kusut terkena embusan angin.
Saat ini kami duduk berseberangan di sebuah kafe di daerah Kemang. Aku sengaja memilih tempat ini karena nyaman dan tidak terlalu ramai pengunjungnya. Mungkin karena harga di daftar menunya lumayan mahal, apalagi buat para mahasiswa fakir sepertiku.
Akan tetapi, demi kencan yang sukses dengan Aleea, aku rela membobol celengan bentuk ayam yang sudah terisi penuh sejak dua tahun yang lalu. Kalau ketahuan sama Papa sih pasti diomelin, tetapi itu urusan nanti, yang terpenting sekarang aku bisa kencan dengan sang pujaan hati.
"Ken, kamu yakin bisa bayar?" tanya Aleea seraya tersenyum.
"Jangan ngeledek!" desisku.
"Gak. Cuma mau mastiin aja. Kalo gak entar aku yang bayar aja, ya?"
"Diam, ahh. Aku yang ngajak kok jadi kamu yang mau bayar. Tenang, aku punya duit kok!" Aku memasang tampang yakin. Padahal dalam hati kebat kebit ngitung duit.
Tak lama kemudian pesanan kami datang. Aleea makan dengan santai. Sekali-sekali kepalanya bergoyang mengikuti irama lagu dari band yang tampil di cafe.
Aku makan dengan cepat. Kemudian bangun dari kursi dan menghampiri band. Membisikkan judul lagu yang ingin kunyanyikan. Kemudian mulai bergaya bak penyanyi sungguhan.
Lagu lama milik Richard Marx yang sering dinyanyikan Mama bila tengah memasak kulantunkan dengan merdu dan penuh penghayatan. Beberapa tepuk tangan terdengar. Termasuk dari Aleea. Cewek ini sepertinya enggak peka, deh. Aku nyanyi buat dia, ehh malah tepuk tangan kayak acara ulang tahun anak kecil.
"Suara kamu bagus juga," pujinya dengan mata berbinar, sesaat setelah aku kembali ke meja yang kami tempati.
Aku duduk kembali ke kursi di sebelahnya. Lalu menatap wajah cantiknya lekat-lekat. Aku mencoba merekam momen ini dan menyimpannya di sudut hati.
"Aku emang udah jago nyanyi dari masih di dalam rahim Mama. Pas brojol, tangisanku ada nadanya."
"Lebay kamu!"
"Tapi suka kan?"
Dia terdiam. Tersenyum simpul yang maknanya hanya dia sendiri yang paham.
"Aleea!"
Terdengar sapaan bersuara berat dari belakangku. Aleea dan aku sontak menoleh bersamaan. Tampak seorang pria berkulit cukup terang melangkah ke arah kami. Terukir senyuman di wajahnya yang.. ganteng. Sekilas mirip Lee Min Ho. Aktor Korea itu lho!
Setelah mendekat, dia mengulurkan tangan dan meraih pundak Aleea. Menunduk dan mencium pipi kanan dan kiri dengan penuh rasa sayang.
"Tumben ke sini? Mau jemput Akang?" tanyanya lembut sambil menarik kursi dan duduk di sebelah kanan Aleea.
"Gak, Kang. Ini lagi ditraktir teman," jawab Aleea dengan wajah bahagia.
"Ooo, yang tadi kamu ceritain lewat chat itu, ya."
Aleea mengangguk. Pria itu menatapku dan mengulurkan tangannya seraya tersenyum lebar yang kujabat dengan tegas.
"Hai, perkenalkan. Saya Ryan. Tunangannya Aleea," ujarnya santai.
Jleb!
Hatiku terasa tertusuk. Luka mulai menganga. Bagaimana tidak?
Pria di depanku ini tampan, wangi dan ... kaya.
Aku ... kalah ... telak!
Persiapan menuju pernikahan dikebut. Aku mengurus semua surat-surat dengan dibantu Papa dan teman-teman. Mama bekerjasama dengan Mama Anita menyiapkan segala sesuatunya untuk acara akad nikah. Sedangkan untuk resepsi, semuanya diambil alih tim manajemen. Dikarenakan pestanya mendadak dan harus tertutup, akhirnya kami memutuskan acaranya diadakan di resor wilayah Bogor. Tempat itu merupakan area wisata milik rekan bisnis Om Yoga, sekaligus pengusaha senior yang merupakan salah satu penggiat bisnis terkenal. Hari berganti menjadi minggu. Persiapan yang dilakukan hanya dalam waktu empat pekan akhirnya tuntas. Saat ini aku dan rombongan telah tiba di resor. Kami diarahkan pegawai untuk menempati sisi kiri area. Sementara keluarga Aleea akan mengisi sayap kanan. Tim panitia yang dipimpin Mas David sengaja memisahkan kami agar bisa dipingit. Aku tidak bisa memprotes dan terpaksa menerima semua arahan pria berkulit kuning langsat, yang sejak awal kami datang sudah membentuk ekspresi seri
Suasana hening menyelimuti ruang kerja ini. Aku menelan ludah beberapa kali karena gugup. Om Yoga tengah mengobrol dengan seseorang melalui sambungan telepon, dan itu menyebabkanku gelisah karena harus menunggu. Setelah Om Yoga menutup sambungan telepon, kegugupanku kian bertambah seiring dengan tatapan tajam yang beliau arahkan padaku. Meskipun kami sudah cukup akrab, tetap saja dipandangi sedemikian rupa menyebabkan nyaliku menciut. "Lea sudah menceritakan mengenai lamaranmu padanya," ucap pria yang rambutnya dihiasi uban di beberapa tempat. "Kenapa kamu ingin menikah segera, Ken?" tanyanya. Aku terdiam sesaat untuk memaksa otak bekerja cepat. Setelahnya aku mendengkus pelan, kemudian menyahut, "Aku mencintai Lea, Om. Dan kami sudah sangat dekat. Aku juga takut kehilangannya." "Usia kalian masih sangat muda. Saya tidak yakin kalian sanggup meniti rumah tangga," balas Om Yoga. "Begini, Kenzo. Pernikahan tidak hanya tentang cinta. Ke depannya itu sangat berat untuk dilalui. Teruta
Detik terjalin menjadi menit. Putaran waktu terus melaju tanpa bisa ditahan oleh siapa pun. Musim hujan bergeser ke musim kemarau. Jalanan mulai berdebu karena jarang tersiram air dari langit.Makin mendekati hari keberangkatan Aleea ke London, aku makin gelisah. Bila kami tengah menghabiskan waktu bersama, aku kesulitan mengalihkan pandangan darinya karena aku ingin menyimpan setiap detail dari dirinya yang indah. Seperti hari ini, kami memiliki kesempatan untuk berkencan di Minggu malam. Mas Fa mengizinkanku tidak bekerja seharian karena aku sudah merengek meminta istirahat setelah sebulan penuh bekerja. Aleea tampak begitu cantik dan anggun. Gaun biru tua mengilat yang digunakannya memperjelas kulit putihnya yang bersih. Wajahnya yang sudah cantik, dirias tidak tebal yang membuatnya kian memesona. Rambut panjangnya dijepit sirkam di sisi kanan dan kiri, sisanya dibiarkan tergerai ke belakang. Aku nyaris tidak bisa mengalihkan pandangan dan terus-menerus mengamatinya. Rasa cinta
Saat paling mendebarkan pun tiba. Aku duduk di kursi bersama ketiga sahabat sembari menyatukan telapak tangan di ujung lutut. Ekspresi kami nyaris sama, yakni tegang. Pintu besar hitam di seberang seolah-olah seperti pintu menuju ruang penyiksaan. Kami masih menunggu giliran untuk masuk dan dicecar para dosen penguji. Kala namaku dipanggil petugas, kaki seketika terasa berat untuk dilangkahkan. Dengan menahan degup jantung yang menggila, aku mengayunkan tungkai menuju pintu dan membukanya. Setelah masuk dan menutup pintu kembali, aku meneruskan langkah hingga tiba di kursi tunggu di mana kedua teman sekelas tengah menunggu giliran masuk ke ruang penguji. Tiba waktunya aku menjalankan pengujian. Keringat dingin meluncur turun dari kepala hingga punggung. Aku yang sudah terbiasa menghadapi banyak orang. Namun, kali ini tetap gemetaran dan jantung pun jumpalitan. Seusai menyapa ketiga penguji, aku memulai memaparkan isi tugas akhir. Rasa percaya diri yang sempat lenyap saat masuk ke r
Waktu terus bergulir dengan kecepatan maksimal. Tidak ada apa pun atau siapa pun yang sanggup menghentikan perputaran masa. Semuanya melesat tidak terbatas dan membuat setiap insan berlomba-lomba menguasai waktu. Hingga semua rutinitas berlangsung runut dan lancar. Demikian pula denganku. Hal serupa seperti masa awal kuliah dijalani dengan sungguh-sungguh. Aku benar-benar berusaha memanfaatkan setiap menitnya agar penyelesaian bab demi bab skripsi bisa berjalan tertib dan berhasil diselesaikan tepat waktu. Waktu cuti dari label musik hanya satu semester, artinya cuma enam bulan aku bisa mengerjakan tugas akhir dengan fokus maksimal. Lewat dari waktu itu, aku sudah harus berjibaku dengan melakukan rekaman album kedua, sekaligus masih terus mempromosikan album pertama. Tiba di penghujung minggu. Akhirnya aku bisa melepas penat dan menghabiskan waktu bersama kekasih tercinta. Tentu saja kami tidak pergi berdua saja, readers. Trio kwek-kwek dan kedua adikku juga turut serta. Demikian
"Hasil album pertamamu sudah lumayan naiknya. Walau nggak langsung hits, kamu harus tetap semangat, Ken," ujar Pak Daud sembari menepuk pundak kiriku. "Ya, Pak. Jujur, bisa nyampe di titik ini aku udah bahagia banget. Tanpa bantuan bapak-bapak di sini, mungkin selamanya aku hanya menjadi penyanyi kafe," tuturku sembari mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Kami hanya membantu sedikit. Selebihnya usahamu yang sudah maksimal yang menjadikanmu cukup terkenal," cakap Pak Salim yang berada di kursi seberang. "Setelah kamu beres skripsi, kita langsung kerjakan penggarapan album kedua," ungkap Mas Benigno yang kubalas dengan anggukan. "Ya, Mas," jawabku. "Moga-moga nggak ada halangan dalam pembuatan skripsi," lanjutku. "Kapan dimulainya?" tanya Mas David. "Dua minggu lagi," paparku. "Berarti tampil di akhir pekan aja. Senin sampai Kamis fokus ke urusan kuliah." Aku mengangguk mengiakan. "Mas Fa udah nyetop semua jadwal panggung. Terakhir minggu ini." "Lebih baik memang beg