Share

Tuan Takur

Author: Olivia Yoyet
last update Last Updated: 2022-11-01 19:25:35

Bab 3

Satu jam kemudian aku sudah tiba di kampus yang tampak lengang. Mata melirik ke pergelangan tangan kanan, mendengkus saat menyadari bahwa aku sudah terlambat tiga puluh menit. 

Akhirnya aku memutuskan untuk nongkrong saja di kantin sembari menunggu jam mata kuliah selanjutnya. Kantin ini letaknya di samping kampus. Beberapa kios berderet rapi dengan aneka ragam cat yang menyolok. Tempat favorit para mahasiswa dan mahasiswi ini tampak cukup ramai. Setelah memilih dan memilah, aku memasuki kios yang menyediakan berbagai makanan ringan. 

Setibanya di depan meja kasir, aku memesan kopi susu dan seporsi pisang bakar keju cokelat. Berbalik dan jalan ke sudut kanan ruangan yang tampak ramai. Duduk di kursi paling pojok dan meletakkan tas ransel di atas meja. Meraih ponsel dari dalam tas dan tenggelam di dunia maya. 

Tiba-tiba pundakku ditepuk dengan keras dan membuatku spontan menoleh ke belakang dan beradu pandang dengan Ijan Kutilang dan Willy Kuda Nil yang cengengesan.

"Kok kalian ada di sini?" tanyaku. 

"Kesiangan, kamu ngapain?" Willy balas bertanya.

"Aku gak kesiangan. Cuma telat doang."

"Sarua' wae eta mah, Jang!" geram Ijan dengan gemas. Dia orang turunan Sunda. Abah dan ambunya yang asli Sunda. (Sama aja itu Jang!) 

"Kamu udah pesan?" tanya Willy. 

Aku sudah hapal trik liciknya. Dia nanti ikut mesan tetapi aku yang bayar. Menyebalkan!

"Nggak, lagi kere!" tegasku. 

Willy cemberut, mungkin kesal karena aku enggak bisa dijebak. Ijan berdiri dan melangkah menuju lemari pendingin. Dia membuka pintu dan mengambil tiga botol kaca berisi air teh kemasan. Tak lupa untuk menutup pintu lemari pendingin sesaat sebelum kembali ke meja. "Nih, aku traktir!" ujarnya sambil meletakkan botol minum ke atas meja. 

"Thanks, ya. Tumben nih, lagi kesambet?" candaku. 

"Aku baru dapat bayaran ngojek dari Mpok sebelah rumah," jawabnya.

"Oh, yang anaknya cewek SMU itu?" 

"Yoih. Kan bisa sekalian aku berangkat ke kampus tiap hari. Kecuali hari ini. Dari kemaren itu cewek nggak masuk sekolah. Lagi sakit kata emaknya," jelas Ijan di sela-sela menyesap minuman.

"Namanya siapa sih?" tanya Willy dengan antusias. 

"Anjali. Cakep, yak, namanya?" Ijan terkekeh. 

"Kayak nama orang India," tukas Willy sambil mengerutkan dahi. 

"Babenya emang turunan India. Mukanya aja kayak Tuan Takur!" 

Sejenak kami terdiam. Aku sibuk membayangkan wajah Tuan Takur, tokoh film negeri Bollywood yang selalu digambarkan bengis dan kejam. Kedua sahabatku pun mungkin memikirkan hal serupa karena mereka sama-sama memegangi kumis tipis di wajah masing-masing.

"Kenalin ke aku dong. Lagi jomlo nih,"  ujar Willy. 

"Kamu mah pelit. Tiap pedekate ama cewek pura-pura lupa bawa dompet. Makanya jomlo mulu!" ledekku yang mendapat anggukan persetujuan dari Ijan. 

Sementara Willy kembali memasang wajah andalan bila lagi pundung, yaitu menekuk wajah hingga berbentuk trapesium. (pundung = ngambek) 

Jam sepuluh lewat tiga puluh menit, kami sudah berada di dalam kelas. Sengaja untuk duduk di deretan belakang. Kami menjahili Sandy yang senewen karena cuma dia yang ikut kuliah dari kelas pertama tadi. 

Sang dosen yang kemayu mulai menjelaskan mata kuliah Bahasa Jepang Mata pelajaran yang paling aku benci. Di antara kami berempat, cuma Willy yang rada pintar di bidang bahasa Ijan jagoan di bidang sejarah dan geografi. Sandy lumayan pintar di bidang bahasa. Sedangkan aku paling menguasai kesenian dan olahraga. 

Masing-masing dari kami saling melengkapi alias saling bantu contek-menyontek. Dari hasil kerjasama yang baik itulah kami bisa lulus SMP dan SMU dengan nilai yang lumayan bagus, menurut kami.

Jam satu kurang perkuliahan selesai. Aku segera ke luar kelas dan berlari ke gedung sebelah, tempat di mana Aleea hari ini kuliah. 

Aku sudah hapal jadwal kuliah Aleea. Itu hasil mentraktir salah satu teman sekelasnya yang bernama Intan. Perempuan berparas manis yang merupakan salah satu teman sekelas sejak TK. 

Tak lama kemudian Aleea keluar dari gerbang kampus Aku menyambutnya dengan senyuman terindah, Andika Pratama saja kalah. Aleea menatapku dan membalas tersenyum. Mendadak aku merasa limbung. Hati berdebar kencang dan lutut seakan-akan lemas. Belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Padahal aku udah sering pacaran. 

"Hai, tos lami nunggu na?" tanyanya dengan logat Sunda yang sangat fasih. (Hai, sudah lama menunggunya?) 

"Hah?" 

"Jawab, baru aja gitu," ujar Ijan yang ternyata sudah ada di belakangku. 

"Kamu ngapain ke sini?" tanyaku gusar. 

"Aku penasaran lihat kamu lari ngepot. Ehh taunya ngapel si Neng geulis," jawabnya seraya tersenyum-senyum mesum ke arah Nin, yang tertunduk malu di sebelah Aleea. 

"Itu teman-temanmu?" tanya Aleea. Tangannya menunjuk Sandy dan Willy yang cengengesan di belakangku. 

Okeh, fix. Besok-besok aku ikat aja mereka bertiga di tiang listrik biar enggak ganggu orang lagi pedekate! 

"Bukan. Mereka tukang cuci gosok di rumah," jawabku asal yang langsung mendapatkan hadiah jitakan di kepala dari Sandy. Ketiga gadis di depanku kompak cekikikan. 

"Kita jadi jalan kan?" tanyaku harap-harap cemas menang undian.

"Lho, emang kemarin aku iyain?" Aleea balik bertanya.

"Nggak sih. Tapi feelingku kamu nggak bakal nolak jalan sama aku!" 

"Dih. Ge-er!" 

"Iya, kan?" 

"Iya deh, tapi kita mau jalan ke mana?" 

"Ke mall, yuk!" 

"Boleh. Terus mereka ikut? Mobilku nggak muat kalo bertujuh gini." 

"Mereka ngikutin pake motor." 

"Tega kamu, ya! Dia nebeng di mobil. Kita disuruh pake motor," celetuk Willy. 

"Itu kalo mau pada ngikut. Nggak ngikut lebih bagus lagi!" tegasku dengan sedikit kesal. 

"Udah, jangan berantem. Ayo, gaes, kita nyusul pake motor aja," ajak Ijan sambil merangkul pundak Willy dan Sandy. 

Kami berjalan bersisian menuju tempat parkir. Aleea mengulurkan kunci mobil kepadaku yang langsung menggeleng. "Aku nggak bisa nyetir. Kecuali kalo kamu mau masuk UGD, sini aku setirin," ucapku sedikit malu. Aleea tertawa dengan renyah dan merdu. Semerdu nyanyian di hatiku. 

***

Setibanya di pusat perbelanjaan, para gadis sibuk mampir ke sana dan ke sini. Nyaris berhenti di setiap toko yang ada tulisan SALE. 

"Kita ke situ, yuk! Aku haus," ajakku ke Aleea. 

Tanpa menunggu persetujuan, aku menarik lengannya ke sebuah kafe kecil. Akuenarik kursi di meja paling depan dan mempersilakannya untuk duduk. Kemudian ikut duduk berdampingan dengannya. Nin dan Maia ikut duduk semeja dengan kami. Sedangkan ketiga sobatku duduk di meja sebelah. 

"Berani mesan kudu berani bayar!" tegasku kepada tiga cowok unik di meja sebelah. 

Ijan mengedip. Sandy mengangguk. Willy membuang muka, setelah itu dia sibuk mencari mukanya yang dibuang tadi. Ketiga gadis masih sibuk berdebat mau memesan apa sambil memegang daftar menu. 

Seorang pelayan datang mendekat dan bertanya, "mau pesan apa, Mas?" 

"Di sini yang nggak ada itu apa?" Aku balik bertanya dengan sorot mata lugu.

Mbak pelayan menghela napas panjang. Kemudian mengembuskan dengan keras ke Willy yang kebetulan lagi mangap. 

"Udah, Mbak. Nggak usah diladenin," ujar Aleea. Wajahnya tampak kesal karena aku menjahili si Mbak. "Saya pesan jus mangga tiga dan jus jeruk yang asem buat mereka berempat," sambungnya lagi. 

"Ada tambahan, Mbak?" tanya Mbak pelayan. 

"Nasi goreng seafood satu. Nasi goreng spesial satu. Nasi goreng sosis satu. Dan nasi goreng satu biji buat kuda nil," sahutku. 

Si mbak pelayan mengangguk sambil terus mencatat pesanan. Willy yang akan melempar asbak ke arahku, ditahan Ijan dan Sandy. Sambil menunggu pesanan datang, kami berempat ngobrol panjang kali lebar kali tinggi. Sekali-sekali ketiga nyamuk di meja sebelah ikut menguing.

"Kamu beneran udah tunangan?" bisikku ke Aleea. 

"Iya," jawabnya singkat. 

"Ganteng mana sama aku?" 

Mata Aleea menyipit. Memperhatikanku dengan saksama. Kepalanya dimiringkan untuk menatapku dari berbagai sisi, yang hati berdebar diperlakukan dengan begitu rupa.

"Gantengan kamu ... dikit." 

Senyumanku melebar. 

"Gantengan dia banyak," jelasnya lagi. 

Senyumanku menghilang. Berganti dengan cibiran dan rahang mengeras. Saat pesanan kami tiba, aku langsung menyantap makanan dengan penuh semangat membara. Kali aja habis makan nanti aku bisa berubah lebih ganteng dari tunangannya itu. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Love You Aleea    Perpisahan

    Persiapan menuju pernikahan dikebut. Aku mengurus semua surat-surat dengan dibantu Papa dan teman-teman. Mama bekerjasama dengan Mama Anita menyiapkan segala sesuatunya untuk acara akad nikah. Sedangkan untuk resepsi, semuanya diambil alih tim manajemen. Dikarenakan pestanya mendadak dan harus tertutup, akhirnya kami memutuskan acaranya diadakan di resor wilayah Bogor. Tempat itu merupakan area wisata milik rekan bisnis Om Yoga, sekaligus pengusaha senior yang merupakan salah satu penggiat bisnis terkenal. Hari berganti menjadi minggu. Persiapan yang dilakukan hanya dalam waktu empat pekan akhirnya tuntas. Saat ini aku dan rombongan telah tiba di resor. Kami diarahkan pegawai untuk menempati sisi kiri area. Sementara keluarga Aleea akan mengisi sayap kanan. Tim panitia yang dipimpin Mas David sengaja memisahkan kami agar bisa dipingit. Aku tidak bisa memprotes dan terpaksa menerima semua arahan pria berkulit kuning langsat, yang sejak awal kami datang sudah membentuk ekspresi seri

  • Love You Aleea    Berarti Aku Juga ....

    Suasana hening menyelimuti ruang kerja ini. Aku menelan ludah beberapa kali karena gugup. Om Yoga tengah mengobrol dengan seseorang melalui sambungan telepon, dan itu menyebabkanku gelisah karena harus menunggu. Setelah Om Yoga menutup sambungan telepon, kegugupanku kian bertambah seiring dengan tatapan tajam yang beliau arahkan padaku. Meskipun kami sudah cukup akrab, tetap saja dipandangi sedemikian rupa menyebabkan nyaliku menciut. "Lea sudah menceritakan mengenai lamaranmu padanya," ucap pria yang rambutnya dihiasi uban di beberapa tempat. "Kenapa kamu ingin menikah segera, Ken?" tanyanya. Aku terdiam sesaat untuk memaksa otak bekerja cepat. Setelahnya aku mendengkus pelan, kemudian menyahut, "Aku mencintai Lea, Om. Dan kami sudah sangat dekat. Aku juga takut kehilangannya." "Usia kalian masih sangat muda. Saya tidak yakin kalian sanggup meniti rumah tangga," balas Om Yoga. "Begini, Kenzo. Pernikahan tidak hanya tentang cinta. Ke depannya itu sangat berat untuk dilalui. Teruta

  • Love You Aleea    Would You Marry Me?

    Detik terjalin menjadi menit. Putaran waktu terus melaju tanpa bisa ditahan oleh siapa pun. Musim hujan bergeser ke musim kemarau. Jalanan mulai berdebu karena jarang tersiram air dari langit.Makin mendekati hari keberangkatan Aleea ke London, aku makin gelisah. Bila kami tengah menghabiskan waktu bersama, aku kesulitan mengalihkan pandangan darinya karena aku ingin menyimpan setiap detail dari dirinya yang indah. Seperti hari ini, kami memiliki kesempatan untuk berkencan di Minggu malam. Mas Fa mengizinkanku tidak bekerja seharian karena aku sudah merengek meminta istirahat setelah sebulan penuh bekerja. Aleea tampak begitu cantik dan anggun. Gaun biru tua mengilat yang digunakannya memperjelas kulit putihnya yang bersih. Wajahnya yang sudah cantik, dirias tidak tebal yang membuatnya kian memesona. Rambut panjangnya dijepit sirkam di sisi kanan dan kiri, sisanya dibiarkan tergerai ke belakang. Aku nyaris tidak bisa mengalihkan pandangan dan terus-menerus mengamatinya. Rasa cinta

  • Love You Aleea    Band Bersaudara

    Saat paling mendebarkan pun tiba. Aku duduk di kursi bersama ketiga sahabat sembari menyatukan telapak tangan di ujung lutut. Ekspresi kami nyaris sama, yakni tegang. Pintu besar hitam di seberang seolah-olah seperti pintu menuju ruang penyiksaan. Kami masih menunggu giliran untuk masuk dan dicecar para dosen penguji. Kala namaku dipanggil petugas, kaki seketika terasa berat untuk dilangkahkan. Dengan menahan degup jantung yang menggila, aku mengayunkan tungkai menuju pintu dan membukanya. Setelah masuk dan menutup pintu kembali, aku meneruskan langkah hingga tiba di kursi tunggu di mana kedua teman sekelas tengah menunggu giliran masuk ke ruang penguji. Tiba waktunya aku menjalankan pengujian. Keringat dingin meluncur turun dari kepala hingga punggung. Aku yang sudah terbiasa menghadapi banyak orang. Namun, kali ini tetap gemetaran dan jantung pun jumpalitan. Seusai menyapa ketiga penguji, aku memulai memaparkan isi tugas akhir. Rasa percaya diri yang sempat lenyap saat masuk ke r

  • Love You Aleea    Bisa Sekalian Cariin Calonnya?

    Waktu terus bergulir dengan kecepatan maksimal. Tidak ada apa pun atau siapa pun yang sanggup menghentikan perputaran masa. Semuanya melesat tidak terbatas dan membuat setiap insan berlomba-lomba menguasai waktu. Hingga semua rutinitas berlangsung runut dan lancar. Demikian pula denganku. Hal serupa seperti masa awal kuliah dijalani dengan sungguh-sungguh. Aku benar-benar berusaha memanfaatkan setiap menitnya agar penyelesaian bab demi bab skripsi bisa berjalan tertib dan berhasil diselesaikan tepat waktu. Waktu cuti dari label musik hanya satu semester, artinya cuma enam bulan aku bisa mengerjakan tugas akhir dengan fokus maksimal. Lewat dari waktu itu, aku sudah harus berjibaku dengan melakukan rekaman album kedua, sekaligus masih terus mempromosikan album pertama. Tiba di penghujung minggu. Akhirnya aku bisa melepas penat dan menghabiskan waktu bersama kekasih tercinta. Tentu saja kami tidak pergi berdua saja, readers. Trio kwek-kwek dan kedua adikku juga turut serta. Demikian

  • Love You Aleea    Maksa Biar Kamu Jadi Jodohku

    "Hasil album pertamamu sudah lumayan naiknya. Walau nggak langsung hits, kamu harus tetap semangat, Ken," ujar Pak Daud sembari menepuk pundak kiriku. "Ya, Pak. Jujur, bisa nyampe di titik ini aku udah bahagia banget. Tanpa bantuan bapak-bapak di sini, mungkin selamanya aku hanya menjadi penyanyi kafe," tuturku sembari mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Kami hanya membantu sedikit. Selebihnya usahamu yang sudah maksimal yang menjadikanmu cukup terkenal," cakap Pak Salim yang berada di kursi seberang. "Setelah kamu beres skripsi, kita langsung kerjakan penggarapan album kedua," ungkap Mas Benigno yang kubalas dengan anggukan. "Ya, Mas," jawabku. "Moga-moga nggak ada halangan dalam pembuatan skripsi," lanjutku. "Kapan dimulainya?" tanya Mas David. "Dua minggu lagi," paparku. "Berarti tampil di akhir pekan aja. Senin sampai Kamis fokus ke urusan kuliah." Aku mengangguk mengiakan. "Mas Fa udah nyetop semua jadwal panggung. Terakhir minggu ini." "Lebih baik memang beg

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status