Bab 3
Satu jam kemudian aku sudah tiba di kampus yang tampak lengang. Mata melirik ke pergelangan tangan kanan, mendengkus saat menyadari bahwa aku sudah terlambat tiga puluh menit.
Akhirnya aku memutuskan untuk nongkrong saja di kantin sembari menunggu jam mata kuliah selanjutnya. Kantin ini letaknya di samping kampus. Beberapa kios berderet rapi dengan aneka ragam cat yang menyolok. Tempat favorit para mahasiswa dan mahasiswi ini tampak cukup ramai. Setelah memilih dan memilah, aku memasuki kios yang menyediakan berbagai makanan ringan.
Setibanya di depan meja kasir, aku memesan kopi susu dan seporsi pisang bakar keju cokelat. Berbalik dan jalan ke sudut kanan ruangan yang tampak ramai. Duduk di kursi paling pojok dan meletakkan tas ransel di atas meja. Meraih ponsel dari dalam tas dan tenggelam di dunia maya.
Tiba-tiba pundakku ditepuk dengan keras dan membuatku spontan menoleh ke belakang dan beradu pandang dengan Ijan Kutilang dan Willy Kuda Nil yang cengengesan.
"Kok kalian ada di sini?" tanyaku.
"Kesiangan, kamu ngapain?" Willy balas bertanya.
"Aku gak kesiangan. Cuma telat doang."
"Sarua' wae eta mah, Jang!" geram Ijan dengan gemas. Dia orang turunan Sunda. Abah dan ambunya yang asli Sunda. (Sama aja itu Jang!)
"Kamu udah pesan?" tanya Willy.
Aku sudah hapal trik liciknya. Dia nanti ikut mesan tetapi aku yang bayar. Menyebalkan!
"Nggak, lagi kere!" tegasku.
Willy cemberut, mungkin kesal karena aku enggak bisa dijebak. Ijan berdiri dan melangkah menuju lemari pendingin. Dia membuka pintu dan mengambil tiga botol kaca berisi air teh kemasan. Tak lupa untuk menutup pintu lemari pendingin sesaat sebelum kembali ke meja. "Nih, aku traktir!" ujarnya sambil meletakkan botol minum ke atas meja.
"Thanks, ya. Tumben nih, lagi kesambet?" candaku.
"Aku baru dapat bayaran ngojek dari Mpok sebelah rumah," jawabnya.
"Oh, yang anaknya cewek SMU itu?"
"Yoih. Kan bisa sekalian aku berangkat ke kampus tiap hari. Kecuali hari ini. Dari kemaren itu cewek nggak masuk sekolah. Lagi sakit kata emaknya," jelas Ijan di sela-sela menyesap minuman.
"Namanya siapa sih?" tanya Willy dengan antusias.
"Anjali. Cakep, yak, namanya?" Ijan terkekeh.
"Kayak nama orang India," tukas Willy sambil mengerutkan dahi.
"Babenya emang turunan India. Mukanya aja kayak Tuan Takur!"
Sejenak kami terdiam. Aku sibuk membayangkan wajah Tuan Takur, tokoh film negeri Bollywood yang selalu digambarkan bengis dan kejam. Kedua sahabatku pun mungkin memikirkan hal serupa karena mereka sama-sama memegangi kumis tipis di wajah masing-masing.
"Kenalin ke aku dong. Lagi jomlo nih," ujar Willy.
"Kamu mah pelit. Tiap pedekate ama cewek pura-pura lupa bawa dompet. Makanya jomlo mulu!" ledekku yang mendapat anggukan persetujuan dari Ijan.
Sementara Willy kembali memasang wajah andalan bila lagi pundung, yaitu menekuk wajah hingga berbentuk trapesium. (pundung = ngambek)
Jam sepuluh lewat tiga puluh menit, kami sudah berada di dalam kelas. Sengaja untuk duduk di deretan belakang. Kami menjahili Sandy yang senewen karena cuma dia yang ikut kuliah dari kelas pertama tadi.
Sang dosen yang kemayu mulai menjelaskan mata kuliah Bahasa Jepang Mata pelajaran yang paling aku benci. Di antara kami berempat, cuma Willy yang rada pintar di bidang bahasa Ijan jagoan di bidang sejarah dan geografi. Sandy lumayan pintar di bidang bahasa. Sedangkan aku paling menguasai kesenian dan olahraga.
Masing-masing dari kami saling melengkapi alias saling bantu contek-menyontek. Dari hasil kerjasama yang baik itulah kami bisa lulus SMP dan SMU dengan nilai yang lumayan bagus, menurut kami.
Jam satu kurang perkuliahan selesai. Aku segera ke luar kelas dan berlari ke gedung sebelah, tempat di mana Aleea hari ini kuliah.
Aku sudah hapal jadwal kuliah Aleea. Itu hasil mentraktir salah satu teman sekelasnya yang bernama Intan. Perempuan berparas manis yang merupakan salah satu teman sekelas sejak TK.
Tak lama kemudian Aleea keluar dari gerbang kampus Aku menyambutnya dengan senyuman terindah, Andika Pratama saja kalah. Aleea menatapku dan membalas tersenyum. Mendadak aku merasa limbung. Hati berdebar kencang dan lutut seakan-akan lemas. Belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Padahal aku udah sering pacaran.
"Hai, tos lami nunggu na?" tanyanya dengan logat Sunda yang sangat fasih. (Hai, sudah lama menunggunya?)
"Hah?"
"Jawab, baru aja gitu," ujar Ijan yang ternyata sudah ada di belakangku.
"Kamu ngapain ke sini?" tanyaku gusar.
"Aku penasaran lihat kamu lari ngepot. Ehh taunya ngapel si Neng geulis," jawabnya seraya tersenyum-senyum mesum ke arah Nin, yang tertunduk malu di sebelah Aleea.
"Itu teman-temanmu?" tanya Aleea. Tangannya menunjuk Sandy dan Willy yang cengengesan di belakangku.
Okeh, fix. Besok-besok aku ikat aja mereka bertiga di tiang listrik biar enggak ganggu orang lagi pedekate!
"Bukan. Mereka tukang cuci gosok di rumah," jawabku asal yang langsung mendapatkan hadiah jitakan di kepala dari Sandy. Ketiga gadis di depanku kompak cekikikan.
"Kita jadi jalan kan?" tanyaku harap-harap cemas menang undian.
"Lho, emang kemarin aku iyain?" Aleea balik bertanya.
"Nggak sih. Tapi feelingku kamu nggak bakal nolak jalan sama aku!"
"Dih. Ge-er!"
"Iya, kan?"
"Iya deh, tapi kita mau jalan ke mana?"
"Ke mall, yuk!"
"Boleh. Terus mereka ikut? Mobilku nggak muat kalo bertujuh gini."
"Mereka ngikutin pake motor."
"Tega kamu, ya! Dia nebeng di mobil. Kita disuruh pake motor," celetuk Willy.
"Itu kalo mau pada ngikut. Nggak ngikut lebih bagus lagi!" tegasku dengan sedikit kesal.
"Udah, jangan berantem. Ayo, gaes, kita nyusul pake motor aja," ajak Ijan sambil merangkul pundak Willy dan Sandy.
Kami berjalan bersisian menuju tempat parkir. Aleea mengulurkan kunci mobil kepadaku yang langsung menggeleng. "Aku nggak bisa nyetir. Kecuali kalo kamu mau masuk UGD, sini aku setirin," ucapku sedikit malu. Aleea tertawa dengan renyah dan merdu. Semerdu nyanyian di hatiku.
***
Setibanya di pusat perbelanjaan, para gadis sibuk mampir ke sana dan ke sini. Nyaris berhenti di setiap toko yang ada tulisan SALE.
"Kita ke situ, yuk! Aku haus," ajakku ke Aleea.
Tanpa menunggu persetujuan, aku menarik lengannya ke sebuah kafe kecil. Akuenarik kursi di meja paling depan dan mempersilakannya untuk duduk. Kemudian ikut duduk berdampingan dengannya. Nin dan Maia ikut duduk semeja dengan kami. Sedangkan ketiga sobatku duduk di meja sebelah.
"Berani mesan kudu berani bayar!" tegasku kepada tiga cowok unik di meja sebelah.
Ijan mengedip. Sandy mengangguk. Willy membuang muka, setelah itu dia sibuk mencari mukanya yang dibuang tadi. Ketiga gadis masih sibuk berdebat mau memesan apa sambil memegang daftar menu.
Seorang pelayan datang mendekat dan bertanya, "mau pesan apa, Mas?"
"Di sini yang nggak ada itu apa?" Aku balik bertanya dengan sorot mata lugu.
Mbak pelayan menghela napas panjang. Kemudian mengembuskan dengan keras ke Willy yang kebetulan lagi mangap.
"Udah, Mbak. Nggak usah diladenin," ujar Aleea. Wajahnya tampak kesal karena aku menjahili si Mbak. "Saya pesan jus mangga tiga dan jus jeruk yang asem buat mereka berempat," sambungnya lagi.
"Ada tambahan, Mbak?" tanya Mbak pelayan.
"Nasi goreng seafood satu. Nasi goreng spesial satu. Nasi goreng sosis satu. Dan nasi goreng satu biji buat kuda nil," sahutku.
Si mbak pelayan mengangguk sambil terus mencatat pesanan. Willy yang akan melempar asbak ke arahku, ditahan Ijan dan Sandy. Sambil menunggu pesanan datang, kami berempat ngobrol panjang kali lebar kali tinggi. Sekali-sekali ketiga nyamuk di meja sebelah ikut menguing.
"Kamu beneran udah tunangan?" bisikku ke Aleea.
"Iya," jawabnya singkat.
"Ganteng mana sama aku?"
Mata Aleea menyipit. Memperhatikanku dengan saksama. Kepalanya dimiringkan untuk menatapku dari berbagai sisi, yang hati berdebar diperlakukan dengan begitu rupa.
"Gantengan kamu ... dikit."
Senyumanku melebar.
"Gantengan dia banyak," jelasnya lagi.
Senyumanku menghilang. Berganti dengan cibiran dan rahang mengeras. Saat pesanan kami tiba, aku langsung menyantap makanan dengan penuh semangat membara. Kali aja habis makan nanti aku bisa berubah lebih ganteng dari tunangannya itu.
4 Hari ini sepertinya akan menjadi hari keberuntunganku. Saat sedang menunggulampu merah berubah menjadi kuning terus ke hijau di langit yang biru, di perempatan jalan menuju kampus, kulihat mobil Aleea terparkir di dekat taman fly over. Aku bergegas memacu motor untuk menghampiri. Setibanya di dekat mobil, aku celingukan mengecek ke dalam melalui kaca tertutup dengan rasa penasaran setingkat kabupaten. "Kenzo!" teriak Aleea dari dalam, kemudian kaca sebelah kiri terbuka. "Hai. Kenapa ngetem di sini? Nyari penumpang?" sapaku sok kenal sok dekat. "Mobilku tiba-tiba mogok nih. Aku lagi nunggu mobil derek datang. Gak berani nunggu di luar," tunjuknya pada sekumpulan pengamen jalanan yang lagi nongkrong di dekat lampu merah. "Ya, udah. Kamu ikut aku aja." "Mobilku gimana?" Aku terdiam sejenak dan pura-pura berpikir. Akhirnya kuputuskan turun dari motor dan masuk ke mobilnya. "Loh, kok kamu ikut masuk sih?" tanyanya sambil menyipitkan mata yang makin tampak segaris. "Di luar pa
5Hari ini Mama sibuk di dapur sambil bernyanyi lagu Galaherang. Berulang-ulang kayak compact disc bajakan. Enggak mikir anaknya yang cakep ini jadi tambah sedih mendengar nyanyiannya yang mendayu-dayu dan menyayat kalbu. Sedih, karena cinta bertepuk sebelah tangan. Niat hati untuk berjuang sepertinya sudah menghilang dan berganti dengan keputusasaan. (lebay)Sudah dua minggu ini aku menghindar dari Aleea. Daripada tambah perih hati. Mending enggak usah ketemu. Beberapa kali aku ngumpet kala melihatnya berjalan bersama dayang-dayang setianya. Kadang ngumpet di bawah tangga. Atau di bawah bangku taman. Atau di balik motor. Bahkan ngumpet di dalam loker. Pokoknya sebisa mungkin menghindari ketemu. Seperti hari ini, membolos kuliah dengan alasan lagi batuk parah. Uhuk, uhuk. "Abang, ngapain ngumpet mulu dalam kamar? Sinilah, temani Mama!" Suara Mama yang empat oktaf mulai berkumandang. Kadang aku heran, Mama itu enggak pernah sakit tenggorokan, padahal teriak-teriak mulu. Kata Papa
06Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku sudah memacu motor kesayangan di jalan raya yang padat bin macet. Hal ini terjadi setiap hari kerja, kalau di penghujung minggu biasanya lebih lengang. Setibanya di kampus, senyumanku mengembang kala melihat mobil sang putri pujaan hati sudah terparkir di tempat biasa. Setelah memasang standar dengan baik dan benar, aku mengunci setang motor sebelum beranjak berdiri dan jalan menjauh. Sembari melepaskan helm dan merapikan rambut, mataku melirik ke sana kemari, berharap bisa menangkap sosok gadis yang kian lama kian melekat dalam hati. Entahlah, sepertinya aku harus pasrah akan terus menyayangi Aleea, meskipun hanya bisa dilakukan dari jauh tanpa punya kesempatan untuk diungkapkan. "Udah sembuh?" tanya Ijan yang tengah berdiri menyandar di dinding kelas, mungkin menyamar jadi cicak. "Hu um," jawabku sembari menaikkan tali ransel yang agak melorot. Alisku terangkat saat menyadari penampilan Ijan yang berbeda dari biasanya. Bila sehari-hari
07Suara lembut milik Linda, teman satu band-ku mengalun lembut di ruangan yang masih kosong ini. Perempuan berambut panjang dan berwajah manis itu tampak sangat menghayati lagu berjudul Love is in the air, milik penyanyi Tarmiga & 2 Bad itu, dengan sesekali mengulaskan senyuman, seakan-akan benar-benar tengah jatuh cinta. Aku yang tengah mengiringi nyanyiannya dengan menggunakan gitar, menatap wajah gadis yang usianya lebih tua dua tahun dariku itu seraya mengulum senyum. Gaya menyanyi Linda sangat berbeda dengan kesehariannya. Bila saat menjadi penyanyi Linda akan sangat anggun, sedangkan dalam kehidupan sehari-hari dia agak tomboi dan humoris, serta sedikit latah, yang menjadikan dirinya sebagai bahan ledekan teman-teman band. Selain aku dan Linda, ada juga Mbak Yeni dan Mas Fabian yang biasa dipanggil Fa. Mereka merupakan pasangan suami istri yang bertemu dan saling jatuh cinta di kafe ini. Mereka pula merupakan anggota band pertama yang dibentuk oleh Ryan, sang bos. Selain it
08 Waktu terus bergulir. Hari berubah menjadi minggu tanpa sanggup dihentikan. Aku masih disibukkan dengan berbagai aktivitas sehari-hari yang sangat menyita waktu. Tibalah masa-masa paling mendebarkan bagi mahasiswa, terutama yang kesulitan mengatur waktu seperti aku. Sudah dua bulan berlalu aku kejar-kejaran dengan hitungan jam antara kuliah dengan kerja. Kadang sukses, kadang juga terlambat bangun dan akhirnya absen di kampus. Sebab itulah sekarang hatiku kebat-kebit enggak karuan, terutama karena mata ujian pertama adalah satu-satunya yang paling tidak dikuasai. Udah pada tahu kan maksudku? Akhirnya dengan terpaksa aku melakukan cara licik, yaitu menghitung kancing kemeja motif abstrak yang biasanya menjadi baju pembawa kabar baik alias keberuntungan untukku. Berharap kali ini baju tersebut kembali membawa inspirasi mengarang bebas di saat mengerjakan soal-soal esai. Namun, sepertinya kekuatan sakti baju ini telah berakhir. Sampai waktu ujian selesai, aku hanya bisa menyelesa
09Peristiwa kemarin malam masih terbayang di benak. Sama sekali tidak menyangka bila sosok yang sangat dibanggakan oleh Aleea ternyata telah mengkhianati gadis itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksinya bila tahu tentang perselingkuhan sang tunangan.Aku mengalami dilema. Perdebatan hati yang membuatku makin gundah gulana bak para penanam modal yang ternyata dibohongi pihak pengelola arisan atau multi level marketing. Apalagi saat bertemu Aleea kala aku dan ketiga sahabat tengah menikmati bakso di kantin kampus siang ini. Aleea dan kedua dayang-dayang menyapa kami terlebih dahulu sebelum menduduki kursi di meja sebelah kiri. Bakso yang tengah ditelan seakan-akan menyangkut dan membuatku nyaris tersedak. Ijan bergerak cepat menepuk punggungku hingga bakso itu akhirnya meluncur mulus memasuki lambung tanpa dikunyah halus. "Kenapa sih? Kayaknya kamu grogi gitu," tanya Ijan dengan suara yang pelan. "Nggak apa-apa, cuma agak kaget aja," jawabku sambil mengambil botol minuman
10Hari ini seharusnya aku bisa bangun siang. Akan tetapi, sepertinya Mama tidak mau membiarkanku menikmati liburan dan berusaha sedapat mungkin untuk membuatku sibuk. Mulai dari menemaninya ke pasar, bantu menyiapkan kotak-kotak berisi pesanan pelanggannya, hingga mengantarkan puluhan kotak itu bersama dengan Kai. Berboncengan dengan hati-hati menuju komplek perumahan yang sebetulnya tidak terlalu jauh dari rumah, tetapi karena aku tidak diperkenankan untuk mengebut, jarak pendek yang ditempuh itu seakan-akan sangat jauh. Kompleks yang kami tuju ini merupakan cluster baru yang ternyata belum terlalu banyak penghuninya. Saat kami tiba di alamat tujuan, aku dan Humaira sama-sama melongo, sebelum kemudian tertawa tanpa alasan yang jelas. "Ini rumahmu?" tunjukku pada bangunan dua lantai yang sepertinya baru selesai direnovasi itu. Karena bangunannya sudah sangat berbeda dari rumah di sekitar. "Iya, aku baru pindah seminggu di sini, Ken," jawab gadis berjilbab putih itu seraya mengula
11"Dasar pembohong! Udah ketahuan juga masih ngeles aja!" pekik Aleea sambil menunjuk wajah Rian yang tampak pucat. "Kamu salah paham, Sayang. Denger dulu penjelasan Akang," pinta pria berpakaian rapi sembari memegangi pundak Aleea yang seketika ditepis oleh gadis itu. Adegan berikutnya membuatku tercengang. Tiba-tiba saja tubuh Rian sudah tersungkur dengan posisi tubuh menekuk bak janin dalam kandungan dan tangan memegangi perut. Tanpa sadar mulutku membuka, demikian pula dengan Kai. Setelah berhasil mengatasi rasa keterkejutan, aku bergegas menghampiri kedua orang tersebut dan memegangi Aleea yang sudah bersiap untuk memukul Rian lagi."Lea, stop!" seruku. Aleea memberontak dan hendak berbalik memukul, tetapi kemudian dia tersadar dan menghentikan gerakan tangan yang sudah terangkat ke atas dan membentuk tinjuan. "Kenzo?" tanyanya sambil melebarkan mata. "Iya." Aku menariknya hingga menjauh dari Rian. Sementara Kai membantu pria itu berdiri dan menyandar ke pintu mobil. "Lep