5
Hari ini Mama sibuk di dapur sambil bernyanyi lagu Galaherang. Berulang-ulang kayak compact disc bajakan. Enggak mikir anaknya yang cakep ini jadi tambah sedih mendengar nyanyiannya yang mendayu-dayu dan menyayat kalbu.
Sedih, karena cinta bertepuk sebelah tangan. Niat hati untuk berjuang sepertinya sudah menghilang dan berganti dengan keputusasaan. (lebay)
Sudah dua minggu ini aku menghindar dari Aleea. Daripada tambah perih hati. Mending enggak usah ketemu. Beberapa kali aku ngumpet kala melihatnya berjalan bersama dayang-dayang setianya.
Kadang ngumpet di bawah tangga. Atau di bawah bangku taman. Atau di balik motor. Bahkan ngumpet di dalam loker. Pokoknya sebisa mungkin menghindari ketemu. Seperti hari ini, membolos kuliah dengan alasan lagi batuk parah. Uhuk, uhuk.
"Abang, ngapain ngumpet mulu dalam kamar? Sinilah, temani Mama!"
Suara Mama yang empat oktaf mulai berkumandang. Kadang aku heran, Mama itu enggak pernah sakit tenggorokan, padahal teriak-teriak mulu.
Kata Papa sih, orang seberang pulau emang begitu. Ngomongnya kencang. Mungkin karena zaman dulu jarak antara rumah itu jauh-jauh. Jadi kalau ngomong itu harus teriak-teriak.
Walaupun sebenarnya orang Betawi dan daerah lain juga sama, ya. Ngomongnya kayak pakai toa Masjid. Seperti tetangga sebelah rumah nih. Ngobrol hadap-hadapan tetapi kayak orang ngobrol dengan jarak satu kilometer.
Dengan enggan aku merangkak ke arah tengah rumah. Tempat Mama dan para asisten sedang sibuk membuat kue. Aku duduk bersila di lantai, menatap onggokan kertas tebal yang nantinya akan dibentuk persegi empat.
"Abang. Bantuin lipat dus kue, ya! Hari ini Mama dapat orderan 1000 box. Ntar Mama kasih upah deh!" ujar Mama sembari kedip-kedip merayu.
"Berapa upahnya?" tanyaku.
"100 per box."
"Cuma 10000? Ihhh. Pelit!"
"Kalo gak mau, ya, udah. Bayar uang kuliah sendiri aja!" Tatapannya berubah tajam. Ngeri. Hiii!
Aku beringsut mendekat ke sebelah Mbak Parmi dan mulai melipat dus dengan cekatan. Aku mengerjakan tugas dengan sepenuh hati, terutama sebagai bentuk bakti pada orang tua tersayang.
Suara motor Papa terdengar memasuki halaman rumah. Tak lama kemudian terdengar teriakan adik bungsuku, Khanza, yang baru berusia lima tahun. Gadis cilik duplikat Papa ini baru pulang sekolah. Dia masuk ke rumah sambil menyeret tas sekolah yang bermotif Hello Kitty.
"Mama, Dedek yang cantik pulang!" teriak Khanza dari ruang tamu.
"Assalamualaikum, Cantik Mama. Buka dulu sepatunya. Taro' di rak sepatu, ya, Sayang," ujar Mama seraya berdiri menyambut anak kesayangannya.
Khanza menurut. Dia membuka sepatu dan mencium tangan Mama dengan takzim. Kemudian meletakkan sepatunya di rak.
"Abang, kok gak sekolah?" tanya Khanza yang sudah duduk di sebelahku.
"Salam dulu dengan Abang," jawabku sambil mengulurkan tangan. Khanza mencium tanganku, ditempelkan ke pipi chubby-nya. "Abang lagi batuk. Gak enak badan. Jadi gak sekolah," jelasku seraya mengusap kepalanya yang mungil.
Gadis cilik dengan rambut ala kadarnya itu memandangku dengan penasaran kemudian menempelkan tangan ke dahiku, "Nggak panas tuh," ucapnya.
Aku cuma diam aja, terus melipat box kue dengan cepat.
"Abang, mau kue gak?"
"Kue apa?"
Khanza menarik tas sekolah. Membuka ritsleting dan mengeluarkan sekantong penuh jajanan.
"Ehh. Kamu jajan banyak amat?" Segera kutarik bungkusan penuh jajanan yang menggiurkan itu.
"Ini dari mamanya Devi. Hari ini dia ulang tahun. Tadi tiup lilin dan makan kue ultahnya. Enak," ujar Khanza polos. Jempolnya teracung. Tak ayal membuatku tersenyum.
"Abang minta, ya?"
"Boleh. Tapi gak boleh cokelat, ya. Nanti batuk."
Mama cengengesan. Mbak Parmi dan Mbak Sarni cekikikan. Aku hanya bisa mengangguk pasrah saat Khanza mengulurkan sebungkus biskuit rasa keju. Aku merobek bungkusnya dan mulai mengunyah jajanan ber-MSG ini dengan cepat.
"Ma, tadi ada yang ngasih DP buat nasi box. Katanya kemarin udah ngasih order ke Mama," ujar Papa yang masuk sambil membawa bungkusan dan meletakkannya di atas meja makan.
"Oo, Bu Rita, ya? Yang pake motor Beat kan?" Mama balik bertanya ke Papa.
"Iya. Ini uangnya." Papa menyerahkan sebuah amplop putih. Mama meraih dengan cepat. Lalu membuka amplop dan menghitung uangnya.
"Nanti habis makan, tolong temani Mama ke pasar, ya, Bang!" Mama berdiri, mengambil beberapa mangkok dan menuangkan lauk pauk yang tadi dibeli Papa.
"Kok gak sama Papa?" tanyaku.
"Papa mau ngantar box kue. Habis itu kan mau jemput Kai pulang sekolah." Papa menjawab sambil selonjoran di atas sofa.
Kai, adik keduaku yang berumur tiga belas tahun. Nama lengkapnya Kaidavani. Sering diledek teman-temannya karena keunikan namanya. Untunglah dia tipe anak periang. Cuek aja kalau diledek. Kai ini laki-laki. Wajahnya perpaduan antara Mama dan Papa. Ganteng juga. Akan tetapi lebih ganteng aku pastinya.
***
Suasana pasar di siang hari tidak sepadat di pagi hari. Dengan langkah cepat aku mengikuti gerak gesit Mama. Tubuhnya yang langsing, dengan tinggi sekitar 162cm, membuat gerakannya sangat cepat.
Beberapa kali aku terpaksa berlari untuk mengejarnya.
Pada kedua tangan kami sudah penuh dengan kantong berisi belanjaan. Kami berjalan cepat menuju parkiran. Kemudian Mama berbelok ke toko plastik. Aku nyaris terjungkal saat ada yang meneriakkan namaku. Dengan penasaran berbalik ke arah suara dan seketika membeku.
Aleea terlihat berjalan bersama Bibik dan Bapak penjaga rumahnya. "Hai," sapanya dengan ramah.
"Ha-haii," jawabku terbata secuil.
"Kok gak kuliah? Tadi aku nyariin kamu, tapi kata Sandy, kamu gak masuk."
"I-iya, aku lagi gak enak body."
"Hai, temannya Abang, ya?" Terdengar suara Mama yang baru keluar dari toko plastik. Mama mengulurkan belanjaannya yang segera kugantung di kaitan motor.
"Iya,Tante," jawab Aleea lembut. Dia meraih tangan Mama dan menciumnya dengan takzim.
"Cantiknya. Mirip Kirana Larasati, ya," celoteh Mama sambil memandangi Aleea dengan lekat.
"Makasih,Tante," Aleea tersenyum simpul dengan semburat merah jambu yang meronai pipinya.
"Ayo, main ke rumah. Gak jauh kok dari sini," ajak Mama.
"Boleh, Tante. Aleea juga males mau ikut ke dalam pasar."
Aleea berbisik ke Bibik dan Pak penjaga. Kemudian menarik tangan Mama, menuju parkiran mobil. "Kamu duluan, ya, ntar aku tinggal ngikutin!" teriaknya.
Aku hanya bisa mengangguk lemah. Kemudian aku menyalakan mesin motor, lalu memakai helm. Tak lupa membayar uang parkir ke Mamang tukang parkir gaib, yang tadi entah ke mana, kemudian memacu motor dengan kecepatan sedang.
Dalam hati aku mengumpat. Kenapa harus ketemu dengan Aleea di saat aku lagi kucel bin kumal. Baju kaos oblong yang gambarnya sudah usang. Celana pendek selutut dan badan bau pasar.
Sesampainya di rumah, kami disambut teriakan Khanza. Celotehannya yang lucu disambut Aleea dengan hangat. Obrolan mereka yang absurd terdengar sangat akrab. Khanza bahkan sampai mengeluarkan karung berisi mainannya. Dituang begitu saja isinya di ruang tamu.
Tak lama kemudian Papa dan Kai datang, dan seperti yang kuduga, Papa langsung mengeluarkan jurus-jurus andalannya bila bertemu perempuan cantik. Dasar mantan playboy yang keok sama kerlingan maut Mama. Kai tampak malu-malu menegur Aleea. Adikku yang masih ABG ini sepertinya juga terpesona pada keelokan paras Aleea.
Mama sibuk menyiapkan cemilan. Saat dihidangkan kami langsung berebut memakannya. Kemudian Papa dan Mama pamit ke kamar untuk istirahat. Kai sibuk mengerjakan PR di atas meja makan. Khanza yang kelelahan, tertidur nyenyak di kursi ruang tamu.
"Keluarga kamu seru, ya. Rame," ujar Aleea dengan mata yang berbinar.
"Gitu, deh," timpalku pelan.
"Aku pengen punya keluarga kayak gini. Gak kayak di rumahku, sepi macam kuburan."
Aku menatapnya dengan saksama. Mencoba menahan mulutku untuk tidak mengoceh. Sepertinya Aleea lagi butuh teman mencurahkan hati.
"Emang kamu gak punya sodara?"
"Ada Kakak laki-laki, tapi tinggalnya di Singapura. Papa dan Mama pulang malam terus dan jarang ketemu. Di rumah, ya paling cuma bertiga sama Bibik dan Pak Idim. Makanya aku suka ngajak Nin dan Maia buat nginap. Atau sekadar nemenin aku di rumah."
"Kami udah sobatan dari SMU. Papanya Nin itu karyawan di kantor papiku. Sedangkan kakak Maia yang tertua itu asistennya Mami di kantor. Maia itu sudah yatim piatu. Di sini nge-kost berdua sama kakaknya, Kak Rita. Mami udah pernah ngajak mereka tinggal di rumah. Tapi Kak Rita gak mau. Pengen mandiri katanya."
Aku manggut-manggut mendengar penjelasannya yang nyaris terucap dalam satu tarikan napas.
"Ehh tadi kamu bilang nyariin aku, kenapa?"
"Oo, iya. Itu, kamu dicariin Kang Ryan."
"Ngapain?" Alisku bertaut mengingat sosok tunangannya itu.
"Katanya mau nawarin kamu jadi penyanyi di cafenya. Sebisa kamu aja. Gak terikat, kok. Lumayan kan duitnya bisa ditabung."
Aku berpikir sejenak. Menimbang-nimbang dalam hati. "Ntar aku tanya ke ortu dulu, ya. Kalo diizinin, ya, kuambil."
"Sip, deh. Ntar kalo udah ada keputusan, chat aku, ya. Kita ke cafenya sama-sama."
Aku mengangguk. Aleea tersenyum manis. Semanis madu asli dari lebah pilihan terbaik.
Eeeaaaa.
Persiapan menuju pernikahan dikebut. Aku mengurus semua surat-surat dengan dibantu Papa dan teman-teman. Mama bekerjasama dengan Mama Anita menyiapkan segala sesuatunya untuk acara akad nikah. Sedangkan untuk resepsi, semuanya diambil alih tim manajemen. Dikarenakan pestanya mendadak dan harus tertutup, akhirnya kami memutuskan acaranya diadakan di resor wilayah Bogor. Tempat itu merupakan area wisata milik rekan bisnis Om Yoga, sekaligus pengusaha senior yang merupakan salah satu penggiat bisnis terkenal. Hari berganti menjadi minggu. Persiapan yang dilakukan hanya dalam waktu empat pekan akhirnya tuntas. Saat ini aku dan rombongan telah tiba di resor. Kami diarahkan pegawai untuk menempati sisi kiri area. Sementara keluarga Aleea akan mengisi sayap kanan. Tim panitia yang dipimpin Mas David sengaja memisahkan kami agar bisa dipingit. Aku tidak bisa memprotes dan terpaksa menerima semua arahan pria berkulit kuning langsat, yang sejak awal kami datang sudah membentuk ekspresi seri
Suasana hening menyelimuti ruang kerja ini. Aku menelan ludah beberapa kali karena gugup. Om Yoga tengah mengobrol dengan seseorang melalui sambungan telepon, dan itu menyebabkanku gelisah karena harus menunggu. Setelah Om Yoga menutup sambungan telepon, kegugupanku kian bertambah seiring dengan tatapan tajam yang beliau arahkan padaku. Meskipun kami sudah cukup akrab, tetap saja dipandangi sedemikian rupa menyebabkan nyaliku menciut. "Lea sudah menceritakan mengenai lamaranmu padanya," ucap pria yang rambutnya dihiasi uban di beberapa tempat. "Kenapa kamu ingin menikah segera, Ken?" tanyanya. Aku terdiam sesaat untuk memaksa otak bekerja cepat. Setelahnya aku mendengkus pelan, kemudian menyahut, "Aku mencintai Lea, Om. Dan kami sudah sangat dekat. Aku juga takut kehilangannya." "Usia kalian masih sangat muda. Saya tidak yakin kalian sanggup meniti rumah tangga," balas Om Yoga. "Begini, Kenzo. Pernikahan tidak hanya tentang cinta. Ke depannya itu sangat berat untuk dilalui. Teruta
Detik terjalin menjadi menit. Putaran waktu terus melaju tanpa bisa ditahan oleh siapa pun. Musim hujan bergeser ke musim kemarau. Jalanan mulai berdebu karena jarang tersiram air dari langit.Makin mendekati hari keberangkatan Aleea ke London, aku makin gelisah. Bila kami tengah menghabiskan waktu bersama, aku kesulitan mengalihkan pandangan darinya karena aku ingin menyimpan setiap detail dari dirinya yang indah. Seperti hari ini, kami memiliki kesempatan untuk berkencan di Minggu malam. Mas Fa mengizinkanku tidak bekerja seharian karena aku sudah merengek meminta istirahat setelah sebulan penuh bekerja. Aleea tampak begitu cantik dan anggun. Gaun biru tua mengilat yang digunakannya memperjelas kulit putihnya yang bersih. Wajahnya yang sudah cantik, dirias tidak tebal yang membuatnya kian memesona. Rambut panjangnya dijepit sirkam di sisi kanan dan kiri, sisanya dibiarkan tergerai ke belakang. Aku nyaris tidak bisa mengalihkan pandangan dan terus-menerus mengamatinya. Rasa cinta
Saat paling mendebarkan pun tiba. Aku duduk di kursi bersama ketiga sahabat sembari menyatukan telapak tangan di ujung lutut. Ekspresi kami nyaris sama, yakni tegang. Pintu besar hitam di seberang seolah-olah seperti pintu menuju ruang penyiksaan. Kami masih menunggu giliran untuk masuk dan dicecar para dosen penguji. Kala namaku dipanggil petugas, kaki seketika terasa berat untuk dilangkahkan. Dengan menahan degup jantung yang menggila, aku mengayunkan tungkai menuju pintu dan membukanya. Setelah masuk dan menutup pintu kembali, aku meneruskan langkah hingga tiba di kursi tunggu di mana kedua teman sekelas tengah menunggu giliran masuk ke ruang penguji. Tiba waktunya aku menjalankan pengujian. Keringat dingin meluncur turun dari kepala hingga punggung. Aku yang sudah terbiasa menghadapi banyak orang. Namun, kali ini tetap gemetaran dan jantung pun jumpalitan. Seusai menyapa ketiga penguji, aku memulai memaparkan isi tugas akhir. Rasa percaya diri yang sempat lenyap saat masuk ke r
Waktu terus bergulir dengan kecepatan maksimal. Tidak ada apa pun atau siapa pun yang sanggup menghentikan perputaran masa. Semuanya melesat tidak terbatas dan membuat setiap insan berlomba-lomba menguasai waktu. Hingga semua rutinitas berlangsung runut dan lancar. Demikian pula denganku. Hal serupa seperti masa awal kuliah dijalani dengan sungguh-sungguh. Aku benar-benar berusaha memanfaatkan setiap menitnya agar penyelesaian bab demi bab skripsi bisa berjalan tertib dan berhasil diselesaikan tepat waktu. Waktu cuti dari label musik hanya satu semester, artinya cuma enam bulan aku bisa mengerjakan tugas akhir dengan fokus maksimal. Lewat dari waktu itu, aku sudah harus berjibaku dengan melakukan rekaman album kedua, sekaligus masih terus mempromosikan album pertama. Tiba di penghujung minggu. Akhirnya aku bisa melepas penat dan menghabiskan waktu bersama kekasih tercinta. Tentu saja kami tidak pergi berdua saja, readers. Trio kwek-kwek dan kedua adikku juga turut serta. Demikian
"Hasil album pertamamu sudah lumayan naiknya. Walau nggak langsung hits, kamu harus tetap semangat, Ken," ujar Pak Daud sembari menepuk pundak kiriku. "Ya, Pak. Jujur, bisa nyampe di titik ini aku udah bahagia banget. Tanpa bantuan bapak-bapak di sini, mungkin selamanya aku hanya menjadi penyanyi kafe," tuturku sembari mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Kami hanya membantu sedikit. Selebihnya usahamu yang sudah maksimal yang menjadikanmu cukup terkenal," cakap Pak Salim yang berada di kursi seberang. "Setelah kamu beres skripsi, kita langsung kerjakan penggarapan album kedua," ungkap Mas Benigno yang kubalas dengan anggukan. "Ya, Mas," jawabku. "Moga-moga nggak ada halangan dalam pembuatan skripsi," lanjutku. "Kapan dimulainya?" tanya Mas David. "Dua minggu lagi," paparku. "Berarti tampil di akhir pekan aja. Senin sampai Kamis fokus ke urusan kuliah." Aku mengangguk mengiakan. "Mas Fa udah nyetop semua jadwal panggung. Terakhir minggu ini." "Lebih baik memang beg