Bab 2
Setibanya di depan sebuah pagar hitam tinggi, Aleea membunyikan klakson mobilnya. Tak berapa lama kemudian keluarlah sesosok pria paruh baya yang bergegas membukakan pintu pagar rumah.
Mobil Aleea meluncur masuk dengan pelan, kemudian parkir di belakang sebuah mobil putih yang tampak mewah. Aku mengikuti dari belakang, diiringi tatapan keheranan sang pria pembuka pagar.
Aleea ke luar dari pintu mobil, begitu pula dengan dayang-dayang setianya. Kemudian dia menoleh dan memberi kode agar aku mengikutinya. Mereka menuju pintu depan rumah yang bercat putih dan berasitektur romawi nan mewah. Tanpa mengetuk pintu Aleea langsung masuk ke rumah.
Ragu-ragu aku ikut masuk. Membuka sepatu, dan mengucapkan salam di depan pintu yang terbuka. "Assalamualaikum." Hening. Tak ada yang menjawab salamku. Ketiga perempuan muda itu malah saling beradu pandang. "Woiii. Jawab dong kalo orang ngasih salam!" sungutku. "Aku ulangi lagi, ya. Sekali ini kudu dijawab!" Mereka mengangguk serempak.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Nah, gitu dong. Dari tadi kek!" timpalku sembari menggerutu pelan.
"Udah, sini duduk. Gak usah ngomel-ngomel gitu. Jelek!" ledek Aleea.
Kuhempaskan tubuh ke atas sofa yang ternyata sangat empuk. Lalu menyender ke bantal sofa dan meluruskan kaki ke lantai.
"Kamu mau minum apa, Ken?" tanya Aleea.
"Hot cappuccino ice," jawabku.
"Mana ada minuman begitu. Jus mau gak?"
"Boleh. Jus buah naga."
"Kamu kata rumahku ini restoran? Pilihannya cuma jus tomat atau wortel atau bayam!"
"Kamu kata aku suka jus sayur begitu? Ogah!"
"Jadinya mau minum apa atuh?" Suaranya terdengar kesal.
"Kopi susu aja. Sama es teh manis," balasku seraya mengulaskan senyuman tipis.
"Banyak amat?"
"Aku haus!"
Aleea memutar bola mata. Tampaknya dia terpesona dengan caraku bersilat lidah. "Nin, tolong pesanin ke bibik gih. Aku males mau ke dapur!" titahnya pada seorang dayang yang bertubuh kecil tetapi montok, yang membalas dengan anggukan dan segera bangun, berlari kecil menuju bagian dalam rumah.
"Kamu gak ada kuliah, Ken?" tanya Aleea dengan tatapan menyelidik.
"Hari ini kosong. Emang sengaja nyamperin kamu. Tadinya mau ngajak jalan," jelasku. Tak lupa untuk tetap menampilkan senyuman memikat sukma, yang menjadi andalan untuk memesona perempuan.
"Uhuk, uhuk." Dayang yang satu lagi terbatuk. Matanya mengerling ke arahku. Kedip-kedip kayak orang cacingan. "Hai, aku Maia tanpa Estianti," sapanya memperkenalkan diri.
"Hai, aku Kenzo. Bukan Ken Arok. Apalagi Ken Dedes," jawabku tak kalah hangat.
Gadis berkacamata yang bernama Maia terlihat cukup manis. Sekali-sekali dia menyunggingkan senyumnya. Ada gingsul muncul dari sudut bibirnya yang membuat senyumannya bertambah lucu.
Tak lama kemudian dayang yang bernama Nin, keluar dengan diiringi seorang perempuan dewasa yang membawa nampan berisi beberapa gelas minuman.
"Ini, Non," ujar Bibi pembawa nampan.
"Makasih, Bik," jawab Aleea seraya tersenyum.
Manisnya! Aku mengusap sudut bibir dengan ujung jari karena sempat terpukau pada keelokan paras Aleea.
"Non mau makan sekarang?"
"Bibik masak apa?"
"Ada sapo tahu kesukaan Non. Ayam goreng, sambal dan perkedel."
"Asyik. Tolong siapin ya, Bik, buat empat orang. Sepertinya teman-temanku juga udah pada lapar," ujar Aleea yang disambut tepuk tangan kami bertiga, para fakir makanan.
Selesai makan siang dan mengobrol seru selama beberapa jam, akhirnya aku pamit pulang. Kalau kelamaan bertamu nanti aku ditawari nginap. Bahaya, 'kan?
"Besok pulang kuliah jam berapa, Eea?" tanyaku dengan suara merdu.
Aleea mendelik tajam, tetapi kemudian dia menjawab, "Aku pulang jam satu siang."
"Aku jemput, ya? Kebeneran besok aku juga pulang jam satu."
"Kan aku bawa mobil. Kamu ngapain jemput?"
"Mau nebeng mobil kamu. Terus kita kencan!"
Krik, krik, krik. Suasana mendadak hening. Ketiga pasang mata menatapku, kemudian mereka saling beradu pandang dan serentak tertawa.
"Sorry, Ken. Kita temenan aja, ya," tutur Aleea.
"Kenapa? Apa karena aku cuma punya motor?" tanyaku sedikit sinis.
"Bukan. Tapi aku ...."
"Dia udah punya tunangan!" sela Maia sang gadis berkacamata.
Jleb! Aku manggut-manggut. Berusaha mengerti walaupun hati terasa perih. Merasa patah hati di saat baru mulai berjuang.
"Ya udah, aku pulang, yak. Bye!" Aku bangkit berdiri. Melangkah gontai ke luar rumah mewah dengan hati yang tergores luka. Aku memakai helm dengan cepat sambil menaiki motor kesayangan. Kemudian menyalakan mesin dan segera keluar dari halaman rumah tersebut tanpa menghiraukan panggilan Aleea.
Aku memacu motor dengan kecepatan tinggi. Berusaha menenangkan hati yang gundah gulana. Baru kali ini aku pedekate langsung ditolak. Biasanya, ya ... ditolak juga. Ehh, diterima maksudnya.
Tepat di lampu merah perempatan jalan, aku berhenti dan menepikan motor ke pinggir jalan. Berlari ke arah rumah toko di sebelah kiri, dan berteduh bersama beberapa pengendara motor yang bernasib sama denganku. Lupa membawa jas hujan. Nasib!
***
Bulan malam ini bersinar terang. Bentuknya yang nyaris bulat sempurna tampak sangat memukau. Embusan angin membelai raga. Menentramkan jiwa yang gegana.
Aku duduk-duduk di kursi teras rumah, berselimutkan sarung dan memakai topi kupluk, sembari menikmati secangkir susu jahe buatan Mama tersayang.
Sayup-sayup terdengar suara perempuan kesayangan itu yang sedang bernyanyi lagu khas Melayu.Aku tersenyum mendengar lagu yang Mama nyanyikan barusan. Kalau beliau nyanyi lagu itu, tandanya lagi kangen sama keluarga di kampung halamannya.
Aku menatap cangkir susu jahe yang sudah kosong. Rasa hangat dari jahe mulai menjalar ke seluruh tubuh. Sehangat hatiku bila mengingat sang putri keraton jagoan tari jaipong.
Aleea.
Eeaaaaaaaa!
***
Keesokan harinya.
"Abang! Bangun!" teriak Mama dari balik pintu.
Aku membuka mata perlahan. Mengerjap beberapa kali untuk membiasakan diri dengan sinar terang yang menembus dari celah jendela. Kemudian mengusap wajah dengan tangan dan menatap langit-langit kamar sambil mengumpulkan nyawa yang melayang.
"Abang!" Teriakan Mama terdengar kembali.
"Iya, Ma!" sahutku dengan suara serak.
"Ayo, buruan bangun. Kamu gak kuliah apa? Udah jam delapan nih!"
Ha?
Jam delapan?
Mati!
Aku bergegas bangun, duduk sebentar di pinggir tempat tidur. Bangkit dan berdiri tegak. Kemudian jalan sambil meraih handuk di gantungan belakang pintu. Membuka pintu dan mematung sejenak saat beradu pandang dengan Papa yang sedang duduk di kursi depan meja makan bersama Mama.
Aku beringsut jalan dengan tubuh rapat pada dinding. Berharap saat ini bisa berubah menjadi bunglon yang bisa menempel di dinding dan berkamuflase.
"Ngapain, Bang? Nyamar jadi cicak?" tanya Papa.
"Ngecek dinding, Pa. Kali aja ada intan nempel," jawabku asal.
"Mana ada intan di dinding? Paling cuma upil yang tadi Papa tempelin," sahut beliau.
"Ha? Di mana?" tanyaku sambil celingukan.
"Tepat di dinding yang kamu senderin itu," tukas Papa sambil tertawa.
"Hiiii. Jorok, ihh, Papa!" sungutku kesal.
"Udah buruan mandi sebelum mamamu nyanyi tiga oktaf lagi!"
Aku cepat-cepat melangkah menuju kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur, tempat di mana asisten Mama yang bernama Mbak Parmi, tengah mengadon kue buat dijual. Mama punya toko kue. Kecil sih, tetapi lumayan ramai deh. Letaknya di deretan ruko depan komplek perumahan kami. Pelanggannya juga sudah banyak.
Di kamar mandi aku bertapa dengan serius. Dari arah belakang, terdengar bunyi mesin cuci yang sedang sakit kepala. Saking puyengnya, benda besar itu cuma mutar-mutar sambil berdengung.
Lima belas menit kemudian, aku ke luar dari kamar mandi sambil bersiul dan jalan berlenggok bak peragawan. Tak peduli saat Mbak Parmi mentertawakan, aku tetap bergaya seperti itu, hingga tak menyadari jika handuk melorot.
Mbak Sarinah, asisten Mama yang baru tiba, menjerit sekuat tenaga. Namun, kemudian kedua perempuan dewasa itu mengomeliku yang telah mengerjai mereka. Aku berlari masuk ke kamar sembari tertawa terpingkal-pingkal. Puas telah mengerjai mereka. Tenang, aku enggak berpolos ria kok. Ada celana boxer di balik handuk. Mereka aja yang berpikiran kotor terhadapku yang imut ini.
Bab 3Satu jam kemudian aku sudah tiba di kampus yang tampak lengang. Mata melirik ke pergelangan tangan kanan, mendengkus saat menyadari bahwa aku sudah terlambat tiga puluh menit. Akhirnya aku memutuskan untuk nongkrong saja di kantin sembari menunggu jam mata kuliah selanjutnya. Kantin ini letaknya di samping kampus. Beberapa kios berderet rapi dengan aneka ragam cat yang menyolok. Tempat favorit para mahasiswa dan mahasiswi ini tampak cukup ramai. Setelah memilih dan memilah, aku memasuki kios yang menyediakan berbagai makanan ringan. Setibanya di depan meja kasir, aku memesan kopi susu dan seporsi pisang bakar keju cokelat. Berbalik dan jalan ke sudut kanan ruangan yang tampak ramai. Duduk di kursi paling pojok dan meletakkan tas ransel di atas meja. Meraih ponsel dari dalam tas dan tenggelam di dunia maya. Tiba-tiba pundakku ditepuk dengan keras dan membuatku spontan menoleh ke belakang dan beradu pandang dengan Ijan Kutilang dan Willy Kuda Nil yang cengengesan."Kok kalian a
4 Hari ini sepertinya akan menjadi hari keberuntunganku. Saat sedang menunggulampu merah berubah menjadi kuning terus ke hijau di langit yang biru, di perempatan jalan menuju kampus, kulihat mobil Aleea terparkir di dekat taman fly over. Aku bergegas memacu motor untuk menghampiri. Setibanya di dekat mobil, aku celingukan mengecek ke dalam melalui kaca tertutup dengan rasa penasaran setingkat kabupaten. "Kenzo!" teriak Aleea dari dalam, kemudian kaca sebelah kiri terbuka. "Hai. Kenapa ngetem di sini? Nyari penumpang?" sapaku sok kenal sok dekat. "Mobilku tiba-tiba mogok nih. Aku lagi nunggu mobil derek datang. Gak berani nunggu di luar," tunjuknya pada sekumpulan pengamen jalanan yang lagi nongkrong di dekat lampu merah. "Ya, udah. Kamu ikut aku aja." "Mobilku gimana?" Aku terdiam sejenak dan pura-pura berpikir. Akhirnya kuputuskan turun dari motor dan masuk ke mobilnya. "Loh, kok kamu ikut masuk sih?" tanyanya sambil menyipitkan mata yang makin tampak segaris. "Di luar pa
5Hari ini Mama sibuk di dapur sambil bernyanyi lagu Galaherang. Berulang-ulang kayak compact disc bajakan. Enggak mikir anaknya yang cakep ini jadi tambah sedih mendengar nyanyiannya yang mendayu-dayu dan menyayat kalbu. Sedih, karena cinta bertepuk sebelah tangan. Niat hati untuk berjuang sepertinya sudah menghilang dan berganti dengan keputusasaan. (lebay)Sudah dua minggu ini aku menghindar dari Aleea. Daripada tambah perih hati. Mending enggak usah ketemu. Beberapa kali aku ngumpet kala melihatnya berjalan bersama dayang-dayang setianya. Kadang ngumpet di bawah tangga. Atau di bawah bangku taman. Atau di balik motor. Bahkan ngumpet di dalam loker. Pokoknya sebisa mungkin menghindari ketemu. Seperti hari ini, membolos kuliah dengan alasan lagi batuk parah. Uhuk, uhuk. "Abang, ngapain ngumpet mulu dalam kamar? Sinilah, temani Mama!" Suara Mama yang empat oktaf mulai berkumandang. Kadang aku heran, Mama itu enggak pernah sakit tenggorokan, padahal teriak-teriak mulu. Kata Papa
06Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku sudah memacu motor kesayangan di jalan raya yang padat bin macet. Hal ini terjadi setiap hari kerja, kalau di penghujung minggu biasanya lebih lengang. Setibanya di kampus, senyumanku mengembang kala melihat mobil sang putri pujaan hati sudah terparkir di tempat biasa. Setelah memasang standar dengan baik dan benar, aku mengunci setang motor sebelum beranjak berdiri dan jalan menjauh. Sembari melepaskan helm dan merapikan rambut, mataku melirik ke sana kemari, berharap bisa menangkap sosok gadis yang kian lama kian melekat dalam hati. Entahlah, sepertinya aku harus pasrah akan terus menyayangi Aleea, meskipun hanya bisa dilakukan dari jauh tanpa punya kesempatan untuk diungkapkan. "Udah sembuh?" tanya Ijan yang tengah berdiri menyandar di dinding kelas, mungkin menyamar jadi cicak. "Hu um," jawabku sembari menaikkan tali ransel yang agak melorot. Alisku terangkat saat menyadari penampilan Ijan yang berbeda dari biasanya. Bila sehari-hari
07Suara lembut milik Linda, teman satu band-ku mengalun lembut di ruangan yang masih kosong ini. Perempuan berambut panjang dan berwajah manis itu tampak sangat menghayati lagu berjudul Love is in the air, milik penyanyi Tarmiga & 2 Bad itu, dengan sesekali mengulaskan senyuman, seakan-akan benar-benar tengah jatuh cinta. Aku yang tengah mengiringi nyanyiannya dengan menggunakan gitar, menatap wajah gadis yang usianya lebih tua dua tahun dariku itu seraya mengulum senyum. Gaya menyanyi Linda sangat berbeda dengan kesehariannya. Bila saat menjadi penyanyi Linda akan sangat anggun, sedangkan dalam kehidupan sehari-hari dia agak tomboi dan humoris, serta sedikit latah, yang menjadikan dirinya sebagai bahan ledekan teman-teman band. Selain aku dan Linda, ada juga Mbak Yeni dan Mas Fabian yang biasa dipanggil Fa. Mereka merupakan pasangan suami istri yang bertemu dan saling jatuh cinta di kafe ini. Mereka pula merupakan anggota band pertama yang dibentuk oleh Ryan, sang bos. Selain it
08 Waktu terus bergulir. Hari berubah menjadi minggu tanpa sanggup dihentikan. Aku masih disibukkan dengan berbagai aktivitas sehari-hari yang sangat menyita waktu. Tibalah masa-masa paling mendebarkan bagi mahasiswa, terutama yang kesulitan mengatur waktu seperti aku. Sudah dua bulan berlalu aku kejar-kejaran dengan hitungan jam antara kuliah dengan kerja. Kadang sukses, kadang juga terlambat bangun dan akhirnya absen di kampus. Sebab itulah sekarang hatiku kebat-kebit enggak karuan, terutama karena mata ujian pertama adalah satu-satunya yang paling tidak dikuasai. Udah pada tahu kan maksudku? Akhirnya dengan terpaksa aku melakukan cara licik, yaitu menghitung kancing kemeja motif abstrak yang biasanya menjadi baju pembawa kabar baik alias keberuntungan untukku. Berharap kali ini baju tersebut kembali membawa inspirasi mengarang bebas di saat mengerjakan soal-soal esai. Namun, sepertinya kekuatan sakti baju ini telah berakhir. Sampai waktu ujian selesai, aku hanya bisa menyelesa
09Peristiwa kemarin malam masih terbayang di benak. Sama sekali tidak menyangka bila sosok yang sangat dibanggakan oleh Aleea ternyata telah mengkhianati gadis itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksinya bila tahu tentang perselingkuhan sang tunangan.Aku mengalami dilema. Perdebatan hati yang membuatku makin gundah gulana bak para penanam modal yang ternyata dibohongi pihak pengelola arisan atau multi level marketing. Apalagi saat bertemu Aleea kala aku dan ketiga sahabat tengah menikmati bakso di kantin kampus siang ini. Aleea dan kedua dayang-dayang menyapa kami terlebih dahulu sebelum menduduki kursi di meja sebelah kiri. Bakso yang tengah ditelan seakan-akan menyangkut dan membuatku nyaris tersedak. Ijan bergerak cepat menepuk punggungku hingga bakso itu akhirnya meluncur mulus memasuki lambung tanpa dikunyah halus. "Kenapa sih? Kayaknya kamu grogi gitu," tanya Ijan dengan suara yang pelan. "Nggak apa-apa, cuma agak kaget aja," jawabku sambil mengambil botol minuman
10Hari ini seharusnya aku bisa bangun siang. Akan tetapi, sepertinya Mama tidak mau membiarkanku menikmati liburan dan berusaha sedapat mungkin untuk membuatku sibuk. Mulai dari menemaninya ke pasar, bantu menyiapkan kotak-kotak berisi pesanan pelanggannya, hingga mengantarkan puluhan kotak itu bersama dengan Kai. Berboncengan dengan hati-hati menuju komplek perumahan yang sebetulnya tidak terlalu jauh dari rumah, tetapi karena aku tidak diperkenankan untuk mengebut, jarak pendek yang ditempuh itu seakan-akan sangat jauh. Kompleks yang kami tuju ini merupakan cluster baru yang ternyata belum terlalu banyak penghuninya. Saat kami tiba di alamat tujuan, aku dan Humaira sama-sama melongo, sebelum kemudian tertawa tanpa alasan yang jelas. "Ini rumahmu?" tunjukku pada bangunan dua lantai yang sepertinya baru selesai direnovasi itu. Karena bangunannya sudah sangat berbeda dari rumah di sekitar. "Iya, aku baru pindah seminggu di sini, Ken," jawab gadis berjilbab putih itu seraya mengula