Share

Tunangan?

Author: Olivia Yoyet
last update Last Updated: 2022-11-01 19:24:41

Bab 2

Setibanya di depan sebuah pagar hitam tinggi, Aleea membunyikan klakson mobilnya. Tak berapa lama kemudian keluarlah sesosok pria paruh baya yang bergegas membukakan pintu pagar rumah. 

Mobil Aleea meluncur masuk dengan pelan, kemudian parkir di belakang sebuah mobil putih yang tampak mewah. Aku mengikuti dari belakang, diiringi tatapan keheranan sang pria pembuka pagar. 

Aleea ke luar dari pintu mobil, begitu pula dengan dayang-dayang setianya. Kemudian dia menoleh dan memberi kode agar aku mengikutinya. Mereka menuju pintu depan rumah yang bercat putih dan berasitektur romawi nan mewah. Tanpa mengetuk pintu Aleea langsung masuk ke rumah. 

Ragu-ragu aku ikut masuk. Membuka sepatu, dan mengucapkan salam di depan pintu yang terbuka. "Assalamualaikum." Hening. Tak ada yang menjawab salamku. Ketiga perempuan muda itu malah saling beradu pandang. "Woiii. Jawab dong kalo orang ngasih salam!" sungutku. "Aku ulangi lagi, ya. Sekali ini kudu dijawab!" Mereka mengangguk serempak. 

"Assalamualaikum." 

"Waalaikumsalam." 

"Nah, gitu dong. Dari tadi kek!" timpalku sembari menggerutu pelan. 

"Udah, sini duduk. Gak usah ngomel-ngomel gitu. Jelek!" ledek Aleea. 

Kuhempaskan tubuh ke atas sofa yang ternyata sangat empuk. Lalu menyender ke bantal sofa dan meluruskan kaki ke lantai. 

"Kamu mau minum apa, Ken?" tanya Aleea.

"Hot cappuccino ice," jawabku.

"Mana ada minuman begitu. Jus mau gak?" 

"Boleh. Jus buah naga." 

"Kamu kata rumahku ini restoran? Pilihannya cuma jus tomat atau wortel atau bayam!" 

"Kamu kata aku suka jus sayur begitu? Ogah!" 

"Jadinya mau minum apa atuh?" Suaranya terdengar kesal. 

"Kopi susu aja. Sama es teh manis," balasku seraya mengulaskan senyuman tipis. 

"Banyak amat?" 

"Aku haus!" 

Aleea memutar bola mata. Tampaknya dia terpesona dengan caraku bersilat lidah. "Nin, tolong pesanin ke bibik gih. Aku males mau ke dapur!" titahnya pada seorang dayang yang bertubuh kecil tetapi montok, yang membalas dengan anggukan dan segera bangun, berlari kecil menuju bagian dalam rumah. 

"Kamu gak ada kuliah, Ken?" tanya Aleea dengan tatapan menyelidik. 

"Hari ini kosong. Emang sengaja nyamperin kamu. Tadinya mau ngajak jalan," jelasku. Tak lupa untuk tetap menampilkan senyuman memikat sukma, yang menjadi andalan untuk memesona perempuan.

"Uhuk, uhuk." Dayang yang satu lagi terbatuk. Matanya mengerling ke arahku. Kedip-kedip kayak orang cacingan. "Hai, aku Maia tanpa Estianti," sapanya memperkenalkan diri. 

"Hai, aku Kenzo. Bukan Ken Arok. Apalagi Ken Dedes," jawabku tak kalah hangat. 

Gadis berkacamata yang bernama Maia terlihat cukup manis. Sekali-sekali dia menyunggingkan senyumnya. Ada gingsul muncul dari sudut bibirnya yang membuat senyumannya bertambah lucu. 

Tak lama kemudian dayang yang bernama Nin, keluar dengan diiringi seorang perempuan dewasa yang membawa nampan berisi beberapa gelas minuman. 

"Ini, Non," ujar Bibi pembawa nampan. 

"Makasih, Bik," jawab Aleea seraya tersenyum. 

Manisnya! Aku mengusap sudut bibir dengan ujung jari karena sempat terpukau pada keelokan paras Aleea.

"Non mau makan sekarang?" 

"Bibik masak apa?" 

"Ada sapo tahu kesukaan Non. Ayam goreng, sambal  dan perkedel." 

"Asyik. Tolong siapin ya, Bik, buat empat orang. Sepertinya teman-temanku juga udah pada lapar," ujar Aleea yang disambut tepuk tangan kami bertiga, para fakir makanan. 

Selesai makan siang dan mengobrol seru selama beberapa jam, akhirnya aku pamit pulang. Kalau kelamaan bertamu nanti aku ditawari nginap. Bahaya, 'kan? 

"Besok pulang kuliah jam berapa, Eea?" tanyaku dengan suara merdu. 

Aleea mendelik tajam, tetapi kemudian dia menjawab, "Aku pulang jam satu siang." 

"Aku jemput, ya? Kebeneran besok aku juga pulang jam satu."

"Kan aku bawa mobil. Kamu ngapain jemput?" 

"Mau nebeng mobil kamu. Terus kita kencan!" 

Krik, krik, krik. Suasana mendadak hening. Ketiga pasang mata menatapku, kemudian mereka saling beradu pandang dan serentak tertawa. 

"Sorry, Ken. Kita temenan aja, ya," tutur Aleea. 

"Kenapa? Apa karena aku cuma punya motor?" tanyaku sedikit sinis. 

"Bukan. Tapi aku ...."

"Dia udah punya tunangan!" sela Maia sang gadis berkacamata. 

Jleb! Aku manggut-manggut. Berusaha mengerti walaupun hati terasa perih. Merasa patah hati di saat baru mulai berjuang. 

"Ya udah, aku pulang, yak. Bye!" Aku bangkit berdiri. Melangkah gontai ke luar rumah mewah dengan hati yang tergores luka. Aku memakai helm dengan cepat sambil menaiki motor kesayangan. Kemudian menyalakan mesin dan segera keluar dari halaman rumah tersebut tanpa menghiraukan panggilan Aleea.

Aku memacu motor dengan kecepatan tinggi. Berusaha menenangkan hati yang gundah gulana. Baru kali ini aku pedekate langsung ditolak. Biasanya, ya ... ditolak juga. Ehh, diterima maksudnya. 

Tepat di lampu merah perempatan jalan, aku berhenti dan menepikan motor ke pinggir jalan. Berlari ke arah rumah toko di sebelah kiri, dan berteduh bersama beberapa pengendara motor yang bernasib sama denganku. Lupa membawa jas hujan. Nasib!

***

Bulan malam ini bersinar terang. Bentuknya yang nyaris bulat sempurna tampak sangat memukau. Embusan angin membelai raga. Menentramkan jiwa yang gegana.

Aku duduk-duduk di kursi teras rumah, berselimutkan sarung dan memakai topi kupluk, sembari menikmati secangkir susu jahe buatan Mama tersayang. 

Sayup-sayup terdengar suara perempuan kesayangan itu yang sedang bernyanyi lagu khas Melayu.Aku tersenyum mendengar lagu yang Mama nyanyikan barusan. Kalau beliau nyanyi lagu itu, tandanya lagi kangen sama keluarga di kampung halamannya. 

Aku menatap cangkir susu jahe yang sudah kosong. Rasa hangat dari jahe mulai menjalar ke seluruh tubuh. Sehangat hatiku bila mengingat sang putri keraton jagoan tari jaipong. 

Aleea. 

Eeaaaaaaaa!

***

Keesokan harinya.

"Abang! Bangun!" teriak Mama dari balik pintu. 

Aku membuka mata perlahan. Mengerjap beberapa kali untuk membiasakan diri dengan sinar terang yang menembus dari celah jendela. Kemudian mengusap wajah dengan tangan dan menatap langit-langit kamar sambil mengumpulkan nyawa yang melayang.

"Abang!" Teriakan Mama terdengar kembali. 

"Iya, Ma!" sahutku dengan suara serak. 

"Ayo, buruan bangun. Kamu gak kuliah apa? Udah jam delapan nih!" 

Ha? 

Jam delapan? 

Mati! 

Aku bergegas bangun, duduk sebentar di pinggir tempat tidur. Bangkit dan berdiri tegak. Kemudian jalan sambil meraih handuk di gantungan belakang pintu. Membuka pintu dan mematung sejenak saat beradu pandang dengan Papa yang sedang duduk di kursi depan meja makan bersama Mama. 

Aku beringsut jalan dengan tubuh rapat pada dinding. Berharap saat ini bisa berubah menjadi bunglon yang bisa menempel di dinding dan berkamuflase. 

"Ngapain, Bang? Nyamar jadi cicak?" tanya Papa. 

"Ngecek dinding, Pa. Kali aja ada intan nempel," jawabku asal. 

"Mana ada intan di dinding? Paling cuma upil yang tadi Papa tempelin," sahut beliau. 

"Ha? Di mana?" tanyaku sambil celingukan. 

"Tepat di dinding yang kamu senderin itu," tukas Papa sambil tertawa. 

"Hiiii. Jorok, ihh, Papa!" sungutku kesal. 

"Udah buruan mandi sebelum mamamu nyanyi tiga oktaf lagi!" 

Aku cepat-cepat melangkah menuju kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur, tempat di mana asisten Mama yang bernama Mbak Parmi, tengah mengadon kue buat dijual. Mama punya toko kue. Kecil sih, tetapi lumayan ramai deh. Letaknya di deretan ruko depan komplek perumahan kami.  Pelanggannya juga sudah banyak. 

Di kamar mandi aku bertapa dengan serius. Dari arah belakang, terdengar bunyi mesin cuci yang sedang sakit kepala. Saking puyengnya, benda besar itu cuma mutar-mutar sambil berdengung. 

Lima belas menit kemudian, aku ke luar dari kamar mandi sambil bersiul dan jalan berlenggok bak peragawan. Tak peduli saat Mbak Parmi mentertawakan, aku tetap bergaya seperti itu, hingga tak menyadari jika handuk melorot. 

Mbak Sarinah, asisten Mama yang baru tiba, menjerit sekuat tenaga. Namun, kemudian kedua perempuan dewasa itu mengomeliku yang telah mengerjai mereka. Aku berlari masuk ke kamar sembari tertawa terpingkal-pingkal. Puas telah mengerjai mereka. Tenang, aku enggak berpolos ria kok. Ada celana boxer di balik handuk. Mereka aja yang berpikiran kotor terhadapku yang imut ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Love You Aleea    Perpisahan

    Persiapan menuju pernikahan dikebut. Aku mengurus semua surat-surat dengan dibantu Papa dan teman-teman. Mama bekerjasama dengan Mama Anita menyiapkan segala sesuatunya untuk acara akad nikah. Sedangkan untuk resepsi, semuanya diambil alih tim manajemen. Dikarenakan pestanya mendadak dan harus tertutup, akhirnya kami memutuskan acaranya diadakan di resor wilayah Bogor. Tempat itu merupakan area wisata milik rekan bisnis Om Yoga, sekaligus pengusaha senior yang merupakan salah satu penggiat bisnis terkenal. Hari berganti menjadi minggu. Persiapan yang dilakukan hanya dalam waktu empat pekan akhirnya tuntas. Saat ini aku dan rombongan telah tiba di resor. Kami diarahkan pegawai untuk menempati sisi kiri area. Sementara keluarga Aleea akan mengisi sayap kanan. Tim panitia yang dipimpin Mas David sengaja memisahkan kami agar bisa dipingit. Aku tidak bisa memprotes dan terpaksa menerima semua arahan pria berkulit kuning langsat, yang sejak awal kami datang sudah membentuk ekspresi seri

  • Love You Aleea    Berarti Aku Juga ....

    Suasana hening menyelimuti ruang kerja ini. Aku menelan ludah beberapa kali karena gugup. Om Yoga tengah mengobrol dengan seseorang melalui sambungan telepon, dan itu menyebabkanku gelisah karena harus menunggu. Setelah Om Yoga menutup sambungan telepon, kegugupanku kian bertambah seiring dengan tatapan tajam yang beliau arahkan padaku. Meskipun kami sudah cukup akrab, tetap saja dipandangi sedemikian rupa menyebabkan nyaliku menciut. "Lea sudah menceritakan mengenai lamaranmu padanya," ucap pria yang rambutnya dihiasi uban di beberapa tempat. "Kenapa kamu ingin menikah segera, Ken?" tanyanya. Aku terdiam sesaat untuk memaksa otak bekerja cepat. Setelahnya aku mendengkus pelan, kemudian menyahut, "Aku mencintai Lea, Om. Dan kami sudah sangat dekat. Aku juga takut kehilangannya." "Usia kalian masih sangat muda. Saya tidak yakin kalian sanggup meniti rumah tangga," balas Om Yoga. "Begini, Kenzo. Pernikahan tidak hanya tentang cinta. Ke depannya itu sangat berat untuk dilalui. Teruta

  • Love You Aleea    Would You Marry Me?

    Detik terjalin menjadi menit. Putaran waktu terus melaju tanpa bisa ditahan oleh siapa pun. Musim hujan bergeser ke musim kemarau. Jalanan mulai berdebu karena jarang tersiram air dari langit.Makin mendekati hari keberangkatan Aleea ke London, aku makin gelisah. Bila kami tengah menghabiskan waktu bersama, aku kesulitan mengalihkan pandangan darinya karena aku ingin menyimpan setiap detail dari dirinya yang indah. Seperti hari ini, kami memiliki kesempatan untuk berkencan di Minggu malam. Mas Fa mengizinkanku tidak bekerja seharian karena aku sudah merengek meminta istirahat setelah sebulan penuh bekerja. Aleea tampak begitu cantik dan anggun. Gaun biru tua mengilat yang digunakannya memperjelas kulit putihnya yang bersih. Wajahnya yang sudah cantik, dirias tidak tebal yang membuatnya kian memesona. Rambut panjangnya dijepit sirkam di sisi kanan dan kiri, sisanya dibiarkan tergerai ke belakang. Aku nyaris tidak bisa mengalihkan pandangan dan terus-menerus mengamatinya. Rasa cinta

  • Love You Aleea    Band Bersaudara

    Saat paling mendebarkan pun tiba. Aku duduk di kursi bersama ketiga sahabat sembari menyatukan telapak tangan di ujung lutut. Ekspresi kami nyaris sama, yakni tegang. Pintu besar hitam di seberang seolah-olah seperti pintu menuju ruang penyiksaan. Kami masih menunggu giliran untuk masuk dan dicecar para dosen penguji. Kala namaku dipanggil petugas, kaki seketika terasa berat untuk dilangkahkan. Dengan menahan degup jantung yang menggila, aku mengayunkan tungkai menuju pintu dan membukanya. Setelah masuk dan menutup pintu kembali, aku meneruskan langkah hingga tiba di kursi tunggu di mana kedua teman sekelas tengah menunggu giliran masuk ke ruang penguji. Tiba waktunya aku menjalankan pengujian. Keringat dingin meluncur turun dari kepala hingga punggung. Aku yang sudah terbiasa menghadapi banyak orang. Namun, kali ini tetap gemetaran dan jantung pun jumpalitan. Seusai menyapa ketiga penguji, aku memulai memaparkan isi tugas akhir. Rasa percaya diri yang sempat lenyap saat masuk ke r

  • Love You Aleea    Bisa Sekalian Cariin Calonnya?

    Waktu terus bergulir dengan kecepatan maksimal. Tidak ada apa pun atau siapa pun yang sanggup menghentikan perputaran masa. Semuanya melesat tidak terbatas dan membuat setiap insan berlomba-lomba menguasai waktu. Hingga semua rutinitas berlangsung runut dan lancar. Demikian pula denganku. Hal serupa seperti masa awal kuliah dijalani dengan sungguh-sungguh. Aku benar-benar berusaha memanfaatkan setiap menitnya agar penyelesaian bab demi bab skripsi bisa berjalan tertib dan berhasil diselesaikan tepat waktu. Waktu cuti dari label musik hanya satu semester, artinya cuma enam bulan aku bisa mengerjakan tugas akhir dengan fokus maksimal. Lewat dari waktu itu, aku sudah harus berjibaku dengan melakukan rekaman album kedua, sekaligus masih terus mempromosikan album pertama. Tiba di penghujung minggu. Akhirnya aku bisa melepas penat dan menghabiskan waktu bersama kekasih tercinta. Tentu saja kami tidak pergi berdua saja, readers. Trio kwek-kwek dan kedua adikku juga turut serta. Demikian

  • Love You Aleea    Maksa Biar Kamu Jadi Jodohku

    "Hasil album pertamamu sudah lumayan naiknya. Walau nggak langsung hits, kamu harus tetap semangat, Ken," ujar Pak Daud sembari menepuk pundak kiriku. "Ya, Pak. Jujur, bisa nyampe di titik ini aku udah bahagia banget. Tanpa bantuan bapak-bapak di sini, mungkin selamanya aku hanya menjadi penyanyi kafe," tuturku sembari mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Kami hanya membantu sedikit. Selebihnya usahamu yang sudah maksimal yang menjadikanmu cukup terkenal," cakap Pak Salim yang berada di kursi seberang. "Setelah kamu beres skripsi, kita langsung kerjakan penggarapan album kedua," ungkap Mas Benigno yang kubalas dengan anggukan. "Ya, Mas," jawabku. "Moga-moga nggak ada halangan dalam pembuatan skripsi," lanjutku. "Kapan dimulainya?" tanya Mas David. "Dua minggu lagi," paparku. "Berarti tampil di akhir pekan aja. Senin sampai Kamis fokus ke urusan kuliah." Aku mengangguk mengiakan. "Mas Fa udah nyetop semua jadwal panggung. Terakhir minggu ini." "Lebih baik memang beg

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status