Share

3. Pertemuan

“Hei Psiko,” sebuah suara memanggil.

Vinara melihat kearah kiri-kanannya, serta belakangnya.

“Kau memanggilku?” tanya Vinara.

“Emang siapa lagi yang ku panggil jika bukan kau,” kata gadis yang di memanggil Vinara.

“Kau cari ribut denganku?” tanya Vinara sambil memasang wajah sinisnya. “Apa kau tidak ingat, jika aku bisa membuatmu masuk rumah sakit? Apa kau mau seperti dulu?” tanya Vinara. “Coba saja, jika kau ingin kembali ke rumah sakit dengan patah tulang lagi,” kata Vinara sambil berbisik di telinga gadis itu.

Gadis itu hanya terdiam ketika Vinara mengucapkan hal yang membuatnya begitu merinding.

Tidak ada yang tahu pasti, apa yang sebenarnya terjadi pada saat masuk kuliah yang membuat beberapa mahasiswa baru di keluarkan dari kampus.

Sekilas memori Vinara tergambar.

“Ayolah ...” kata seseorang sambil meraih lengan Vinara memasuki sebuah rumah.

DEGH!

Darah bercucuran keluar, dan terciprat ke dinding di dekatnya.

Sinar matahari, masuk melalui jendela kaca di sebuah ruang kamar. Tumpukan buku di atas meja, secangkir kopi, sebuah kacamata, sebuah bingkai foto. Suasana hari itu begitu cerah, kicauan burung pagi bersahut-sahutan.

KRAK!

Suara pintu terbuka.

“Vinara .…” panggil seorang wanita bernama Laura.

DOENG!

Vinara melihat ke arah asal suara tersebut. Rambutnya acak-acakan, bagian bawah matanya, berwarna kecoklatan.

“Oh My God,” pekik Laura melihat keadaan Vinara. “Kau tidak tidur semalaman?” Tanya Laura.

Vinara, hanya menggangguk sambil mengacak rambutnya.

“Ouh… Kau seperti hantu perawan.” Kata Laura melihat Vinara.

“Kau suka baca buku?” Tanya Vinara pada Laura.

“Iya, aku suka novel yang lagi populer. Penulisnya Psiko,” kata Laura. “Aku membeli semua buku terbitannya, kau ingin baca?” Tanya Laura menawarkan. “Aku suka pengambaran karakter dalam novelnya, realistis, seakan dia melakukannya sendiri,” kata Laura. “Kau ingin membacanya?” Tanya Laura lagi. “Jika ingin membacanya, aku akan mengambilkannya untukmu,” kata Laura.

“Tidak,” jawab Vinara dengan nada lemah. “Bagaimana bisa kau menawarkan bukuku sendiri untuk ku baca,” kata Vinara menggumam dalam hatinya.

“Ah. Andai aku bisa bertemu dengan dia, aku ingin mengajaknya berkencan,” kata Laura mengandai-andai sampai membuat Vinara jijik dengan apa yang di katakan oleh Laura. “Melihat karya-karyanya, aku merasa dia seorang pria yang dingin, tampan, dan tidak banyak teman,” kata Laura lagi.

“Ouh… Jijik deh,” kata Vinara mengejek Laura.

“Bagaimana jika dia tidak seperti apa yang kau pikirkan? Dia pria jelek, jerawatan, tonggos, dan culun. Kau ingin mengajaknya berkencan?” Tanya Vinara sambal tertawa.

Laura mengerucutkan bibirnya.

“Kau memang pantas di sebut Psiko, tidak punya rasa perhatian pada sahabatmu ini,” kata Laura menyingung Vinara. “Banyak cowok yang naksir padamu di kampus, bahkan para senior. Tapi, kau terus menolaknya. Cu… cu… cu… Keterlaluan hatimu,” kata Laura menyangkan tindakan sahabatnya itu.

“Lebih baik seperti itu,” kata Vinara.

Laura menatap kearah sahabatnya, tatapan yang sangat dalam. Ada rasa kasihan pada diri sahabatnya itu. Dia bisa mengerti mengapa sikap sahabatnya seperti itu. Bahkan, jika dia di posisi sahabatnya itu, mungkin akan melakukan hal yang sama pula.

“Turunlah, jika selesai mandi,” kata Laura sambil mengacak rambut sahabatnya itu. “Aku yang akan membuat sarapan,” kata Laura lagi.

Vinara masih enggan untuk bangun karena semalam, ia telah melanjutkan novel miliknya.

“Bisakah kau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi?” tanya seorang wartawan.

Petugas kepolisian tidak memberikan pernyataan resmi bagaimana kronologis pembunuhan yang memakan begitu banyak korban dalam kurun waktu 1,5tahun terakhir.

Enam bulan lalu, sejak berhentinya pembunuhan.

“Diana...” kata wanita yang tengah ketakutan.

Pria memakai hodie itu tersenyum sumrigai. Seperti mendengar nama, di ujung kematian seseorang membuatnya mengisi energi kehidupannya.

*JLEB!

“Hihihi…” suara cekikikan terdengar di sertai dengan suara tusukan.

ARGH!

JLEB! JLEB! JLEB!

Mata pria itu membelalak, berusaha untuk mendorong pria yang tengah menusuknya itu. Namun, usahanya sia-sia pisau lebih dulu menembus ke dalam perutnya. Saat itu, hujan turun dengan deras. Darah mengalir, membuat aroma darah menguap lebih cepat.

“Hhhhmm…. Aaahh….” Pria itu menghirup udara disekitarnya yang telah terkontaminasi dengan darah!

Kemudian pria itu meninggalkan korbannya begitu saja tergeletak di sebuah gang kecil.

ANIMUS!

Tanda tangan yang tidak asing lagi bagi mereka yang menemukan mayat. Setiap orang di landai oleh perasaan saling curiga satu sama lain, karena mereka merasakan jika di antara mereka terdapat pembunuh berantai.

Siulan demi siulan menggema di sebuah ruangan. Alunan musik terdengar begitu santai, sebuah senyuman terlihat. Sebuah foto terpampang di sebuah dinding.

Suasana begitu ramai di sebuah sekolah menengah. Tahun ini, Vinara memberanikan diri untuk menghadiri acara reuni. Namun, dia memilih untuk menjauh dari keramaian acara dan sibuk dengan ponselnya.

Beberapa orang terlihat berkelompok-kelompok, saling menyapa satu sama lain. Sesekali terdengar tawa dari mereka.

DRAP! DRAP! DRAP!

Sebuah langkah kaki mendekat ke arah Vinara.

“Lama tidak jumpa,” kata seorang pria sambil membawakan dua gelas minuman.

Vinara melihat ke arah orang tersebut. Sepasang bola mata yang sudah lama tidak di lihatnya, sebuah senyuman yang telah lama hilang dari padangannya, dan sebuah suara sapaan tentunya tidak lagi asing baginya.

Air mata tertahan di pelupuk mata Vinara, namun dia berusaha untuk mengontrol emosi. Terkejut! Itu yang Vinara rasakan, bahkan dia tidak berpikir jika pria itu akan datang di cara reuni.

“Boleh duduk di sini?” Tanya pria itu.

“Silahkan,” jawab Vinara dengan singkat.

“Sudah lama ya,” kata pria itu.

“Iya, sudah lama,” kata Vinara dengan nada tidak beraturan.

Sepasang mata begitu terkejut melihat keadaan yang menurutnya gila itu.

“Yaaaakkkk…. Aufal….” Teriak seorang gadis sambil berlarian ke arah Vinara dan pria yang di panggil dengan sebutan Aufal, gadis itu adalah Laura. “Apa yang sedang kau lakukan disini?” Tanya Laura.

“Mengobrol dengannya,” jawab Aufal dengan santai.

“Hhm. Ayo, Vin. Sebaiknya kita pulang,” kata Laura sambil menarik Vinara untuk kembali.

Pria yang di pangil Aufal itu, hanya bisa terdiam sambil memandangi punggung Vinara dan Laura yang berlalu dari hadapannya. Dia hanya bisa mengempaskan nafasnya saja.

Laura masih saja mengomel tentang keberadaan Aufal yang menghampiri Vinara.

Kehadiran Aufal, rasanya membuat luka lama tergores kembali. Seperti itu yang di rasakan oleh Vinara.

Kepergian Pria itu membuat kehidupan Vinara berubah. Ada dendam dalam hatinya, yang tidak bisa di ungkapkan olehnya atau di luapkan dengan amarah. Karena baginya itu hanya sebuah masa lalu, dan aib bagi dirinya sendiri.

Siapa yang akan menyadari jika waktu telah berlalu sangat cepat. Rasanya, Vinara masih pada zona nyaman dengan berdiam diri di dalam kamar. Bukan menulis naskah baru, tapi memilih menonton drama korea.

Pakaiannya, rambutnya, kamarnya, sampah berserakan di mana-mana terlihat. Entah apa yang membuatnya menjadi sejorok itu.

“Astaga… senyaman itu, di kamar sekotor ini,” kata Laura ketika membuka pintu kamar Vinara dan melihat begitu kotornya kamar yang tidak layak untuk di katakan kamar.

“Kapan kau akan membersihkan kamar ini?” Tanya Laura sambil melemparkan bantal ke arah Vinara.

“Sebentar, aku selesaikan dulu drama ini,” kata Vinara.

“Kau sudah mengatakannya padaku beberapa hari lalu. Cepat bersihkan kamar ini sekarang juga,” teriak Laura pada Vinara.

Vinara, menyadari jika Laura tidak bersikap seperti biasanya.

“Ada masalah?” Tanya Vinara sambil mencoba merapikan tempat tidurnya.

“Beberapa hari ini, dia tidak mengupload satupun foto,” kata Laura.

“Siapa?” Tanya Vinara penasaran.

“Penulis yang kusuka,” kata Laura.

Vinara hanya bisa menahan tawanya. Tapi, dia tidak bisa mengatakan pada temannya itu jika sebenarnya dia adalah penulis yang sahabatnya kagumi. Bukan karena dia tidak mempercayai sahabatnya itu. Tapi, karena sahabatnya sendiri yang tidak mempercayainya jika dia mengatakan hal yang sebenarnya.

Sebuah sekolah begitu ramai, beberapa anak keluar dari pintu gerbang sekolahnya. Seorang anak tengah berjalan sendiri, seperti dia tengah di jauhi oleh teman-temannya. Di telinganya terpasang sebuah headset, di tangannya tengah membawa sebuah payung hitam.

Seseorang mengajaknya berbicara, gadis itu membalasnya dengan mengunakan Bahasa isyarat. Dia gadis bisu, tinggal bersama ibunya. Beberapa waktu lalu, ibunya mati terbunuh.

Dari kejauhan, seorang pria memperhatikan gadis itu dari kejauhan. Wajahnya merona ketika melihat gadis itu tersenyum. Tampaknya, pria itu jatuh cinta pada gadis bisu tersebut.

Sejenak, pikiran untuk membunuh tidak ada. Emosi untuk membunuh seketika hilang. Ketika mengingat perkataan terakhir wanita yang telah di bunuhnya bukanlah untuk membalas dendam pada gadis yang di sebutnya. Namun, wanita itu menyebut nama putrinya. Raut wajah serta permohonan untuk di biarkan hidup di saat-saat terakhir adalah permohonan seorang ibu agar tetap bisa bersama putrinya.

Siapa yang menyangka, seorang pembunuh bersimpati dengan gadis bisu. Mungkin, dia berpikir jika dirinya sama dengan gadis itu. Sama-sama tidak memiliki siapapun yang menemani.

Enam bulan, dia telah mengikuti gadis itu sepanjang hari. Ketika dia tidak bisa berbuat apapun saat melihat gadis yang di sukainya itu di perkosa dan membuat gadis itu memilih untuk bunuh diri.

Dendam dan benci pada mereka, membuatnya kembali membunuh siapapun yang bersikap jahat pada gadis di sukainya.

JLEB! JLEB! JLEB!

Satu demi satu, dia telah membalaskan dendam gadis pujaannya.

Ketika dia membunuh pria terakhir di kantor polisi, rasa bersalah menggorogotinya.

“Maaf…”

Penyesalan adalah hal paling terakhir dari sebuah kisah. Bahkan, seorang pembunuh pun akan merasakan penyelesalan ketika dia menemukan tujuannya untuk bahagia

.

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status