Share

7. Ayam dan Kentang

Tak terasa waktu sudah menunjuk pukul empat sore. Bel pulang baru saja berbunyi dan orang-orang bergegas untuk beranjak meninggalkan kantor. Aini segera melesat secepat kilat meninggalkan pantry dan menuju lobi supaya tidak perlu mengantre untuk absen pulang.

Sebenarnya aku juga ingin lekas-lekas sampai rumah dan beristirahat mengingat semalam aku sangat kurang tidur. Tetapi, aku harus menunggu Pak Bob selesai berdiskusi dengan Bu Lauren. Aku tak bisa begitu saja mengabaikan perintah Bu Lauren untuk menemani Pak Bob berbelanja dan makan malam di WTC.

Kubasuh wajahku sekali lagi di toilet dan menggerai rambut yang tadinya kugulung serta melepas blazer yang berat. Lumayan, aku jadi tampil lebih segar dan terkesan lebih kasual. Ketika aku kembali ke ruang Manajer Kantor, Bu Lauren dan Pak Bob sudah bersiap-siap hendak keluar ruangan.

“Nah, ini dia Kinasih!” Seru Bu Lauren ketika melihatku. “Kamu jadi temeni Pak Bob, ya, Say. Sorry, aku nggak bisa ikut. Lagi ada urusan.”

Pak Bob memandangku. Aku mengangguk. “Saya ambil tas dulu.”

“Saya sudah periksa tulisan Bu Ambika. Nanti kita bicarakan sambil jalan.”

Astaga. Aku mengumpat dalam hati. Jam kerja sudah habis. Bisa tidak sih dia membiarkanku santai sedikit?

Di parkiran kami berpisah. Bu Lauren berlalu dengan Toyota Yaris merahnya sedangkan aku masuk ke mobil Pajero yang dikemudikan oleh Pak Bob.

“Mau ke mana kita, Pak?” tanyaku ketika kami sudah keluar dari area parkir dan sedang meluncur ke jalan raya.

“Kamu benar-benar nggak ingat saya?” tanya Pak Bob sambil menoleh padaku.

“Maksud Bapak?” Aku balas bertanya dengan berlagak bodoh.

Sejurus kemudian Pak Bob mengambil napas dalam-dalam dan berkonsentrasi menatap jalanan. Aku menimbang-nimbang apakah sebaiknya membuka percakapan mengenai masa SMA kami. Bagaimanapun, aku tidak bisa berpura-pura tak mengenalnya.

“Sebenarnya..”

Tanpa sengaja kami berdua mengucapkan kata yang sama di waktu yang hampir bersamaan. Menyadari hal itu, tawa kami pecah. “Kamu dulu, deh. Ladies first.”

“Sebenarnya, beberapa saat yang lalu saya menemukan fakta bahwa Bapak adalah kakak kelas saya sewaktu SMA,” ujarku berusaha datar.

“Begitu?” Pak Bob menoleh lagi. “Kalau begitu gimana kalau kamu berhenti memanggil saya Bapak?”

“Lalu saya harus panggil apa?”

Pak Bob sedikit memanyunkan bibirnya. “Mmm.. Saya cuma setahun lebih tua dari kamu. Panggil nama aja nggak papa, sih.”

Aku mengangguk setuju. Untung saja dia tak menyuruhku memanggilnya ‘Mas.’

“Jadi, kamu apa kabar Ambika, Si Gadis Hujan?” Bob melemparkan senyuman tipis ketika menanyakan itu. “Tiga belas tahun lho kita nggak ketemu.”

“Mmm…. Saya biasa-biasa aja. Kadang baik, kadang kacau. Hehe. Kamu sendiri ngilang ke mana setelah lulus SMA?”

“Saya kuliah di Singapura. Empat tahun di sana, kuliah sambil kerja.”

“Singapura? Wah, keren, ya, kamu.” Pujiku tulus. “Kamu sekolah di luar negeri dengan beasiswa?”

Bob terkekeh. “Saya nggak sepintar itu, sayangnya. Saya ikut Mama yang pindah ke Singapura setelah pisahan sama Papa.”

“Ups, sorry. Jadi orangtua kamu cerai?” Jujur aku kaget dengan informasi baru itu. Aku memang tak tahu-menahu soal latar belakang keluarga Bob.

“Iya. Mereka memutuskan berpisah begitu aku lulus SMA. Lalu Papa melanjutkan hidupnya di Pulau Jawa.”

Aku memasang wajah menyesal.

“Nggak ada yang salah kok dengan perpisahan. Toh mereka sudah melakukan yang terbaik sebagai orangtua.”

Aku mengangguk-angguk mencoba memahami. “Terus, setelah lulus, kamu ke mana?”

Bob mengedikkan kedua bahu. “Kapan-kapan, deh, saya ceritain. Sekarang giliran kamu, dong, yang cerita.”

Aku menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. “Cerita apaan? Bingung mau mulai darimana. Sudah saya bilang, hidup saya berjalan lurus-lurus aja”

“Sudah lama kamu di Nakula?”

Kuanggukkan kepala mantap. “Delapan tahun. Kalau kamu nggak ada, mungkin saya yang akan menggantikan Bu Lauren sebagai Manajer Kantor.”

Kini giliran Bob yang menyuguhkan ekspresi menyesal di wajahnya. “Maaf, ya, kalau saya sudah mencuri keberuntungan kamu.”

Kami memarkir mobil di basement WTC Batanghari, pusat perbelanjaan di tepi sungai Batanghari, sungai terpanjang di Sumatra yang konon menyimpan sisa-sisa kekayaan Kerajaan Sriwijaya dalam perutnya. Karena Bob perlu untuk beli beberapa kebutuhan sehari-seharinya kami meluncur ke restaurant cepat saji terlebi dulu. Rencananya kami akan berbelanja setelah makan.

Aku memilih gerai ayam goreng untuk makan malam kami yang terlalu awal ketika Bob menawariku beberapa pilihan. Ini adalah gerai ayam goreng dari brand Amerika Serikat yang terkenal dengan lelaki tua berjanggut dan bumbu rahasianya yang melegenda. Aku kangen dengan ayam goreng krispi yang renyah di luar serta lembut dan gurih di dalam. Dan ya, juga supnya yang creamy.

Bob memesan menu yang sama denganku dengan tambahan kentang extra large. Kami makan sambil bercerita soal kehidupan setelah SMA. Kuceritakan bahwa selulusnya aku dari SMA, aku kuliah di kampus swasta di Solo mengambil jurusan Akuntansi, lulus tepat waktu dan langsung pulang kampung dan diterima kerja di Pandawa Company sebagai administrasi HRD. Awal bekerja, aku tidak langsung diangkat sebagai staff tetap, melainkan karyawan kontrak yang hanya berhak atas upah minimum dan THR sebesar satu kali gaji.

Beruntung, satu tahun kemudian ada staff bagian Training yang resign sehingga aku punya kesempatan untuk mengajukan diri menempati posisi tersebut. Sekali lagi Dewi Fortuna berpihak padaku seperti ketika penerimaan siswa baru SMA paling favorit dulu. Aku lulus seleksi tiap tahap ujian dan top management memilihku sebagai pengganti staff Training yang resign.

“Jadi, kamu nggak pernah punya pengalaman kerja di tempat lain? Kalau kepikiran resign pernah nggak?”

“Nggak dan nggak.” Jawabku mantap sambil memasukkan nasi ke dalam mulut. “Saya tipe orang yang nggak suka keluar dari zona nyaman karena malas beradaptasi dan nggak suka tantangan.” Jelasku sejujur-jujurnya.

Bob menatapku serius. “Kok bisa sih kamu nggak ngerasa bosen? Jangan-jangan kamu akan bekerja di Nakula seumur hidup.”

“Apa salahnya?” tantangku.

“Ya, nggak ada yang salah, sih.” Bob mengedikkan kedua bahunya. “Kalau dapat promosi naik jabatan di pabrik lain, kamu mau?”

Aku berpikir sejenak. “Kayaknya enggak. Saya hanya akan keluar dari Nakula kalau sudah pensiun, dan....kalau saya punya mantan di kantor.”

Bob tergelak. “Ada-ada aja. Jadi kamu nggak pernah punya mantan orang Nakula?”

Aku menggeleng tegas.

“Lalu mantan kamu orang mana aja?”

“Ih, kepo!” Jeritku sengaja membuat Bob penasaran. “Udah ah, buruan makan kentangnya. Segini banyaknya kamu sendiri lho yang harus ngabisin. Saya udah kenyang.”

Kusudahi makanku dan menuju wastafel untuk membersihkan tangan. Tak kupedulikan Bob yang masih penasaran dengan jawaban atas pertanyaannya. Ketika aku kembali, Bob baru menghabiskan seperempat kentang goreng yang dipesannya. Mukanya tampak meringis karena kekenyangan.

“Bantuin makan, dong. Nggak kuat, nih.”

“Yee.. Siapa suruh beli yang ekstra besar.” Aku menggerutu tetapi tanganku ikut memasukkan potongan kentang itu ke dalam mulut. Sayang juga kalau dibuang.

Tak lama kemudian kami benar-benar selesai makan dan Bob telah mencuci tangannya di wastafel. Tampaknya dia juga sekalian menambah gel pada rambutnya dan menyemprotkan parfum karena ketika dia kembali, rambutnya terlihat lebih basah dan aroma tubuhnya tercium lebih harum.

Tiba-tiba kurasakan pipiku memanas lagi entah karena apa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status