Akhirnya jam menunjukan pukul delapan malam, yang mana itu tandanya jam bimbingan belajar Lara sudah usai. Setelah beberapa saat ngobrol dengan teman-teman satu tempat bimbingan degannya untuk membahas pelajaran, ia pun akhirnya memutuskan untuk pulang. Dan sepertinya hari ini Lara harus pulang naik ojek online lagi, karena dirinya tidak bisa minta jemput Gilang, dikarenakan hari ini Gilang tengah mengantar kakaknya ke luar kota. Lara juga tidak bisa minta jemput kakaknya Dafa karena kebetulan Dafa juga tengah ada rapat kepanitiaan di kampus.
Tidak mau mengulur waktu, Lara yang ingin cepat-cepat sampai rumah pun segera mengeluarkan ponselnya untuk membuka aplikasi ojek online. Tapi sungguh sial, saat dirinya hendak ingin memesan ojek online ponsel Lara malah justru habis baterai. "Eh, eh! Jangan mati dulu dong plis, hape... hape...! Yah... Mati lagi!" Lara mengguncang-guncang ponselnya dan mencoba menekan tombol power- nya berharap ponselnya bisa hidup kembali. "Ya ampun mana aku nggak bawa power bank pula," keluh gadis cantik itu. "Huh! Yaudah deh mau gimana lagi, terpaksa jalan ke depan sana buat naik ojek pangkalan!"
Lara pun berjalan kaki menuju pangkalan ojek, karena jalanan yang dilewatinya untuk menuju pangkalan ojek sepi, Lara pun mempercepat langkah kakinya karena tidak bisa dipungkiri ia jadi takut mengingat kejadian kemarin yang merasa ikuti orang asing. Lara terus berjalan menyusuri jalan, dan saat dirinya tengah berjalan tiba-tiba munculah dari arah belakang seseorang pengendara yang mengenakan jaket hitam dan helm hitam mengendari Motor matic. Lara pun dibuatnya agak merasa was-was, ia pun mencoba menghindari si pengendara berbaju serba hitam itu. Namun bukannya menjauh, justru si pengendara malah semakin memepetkan motornya ke dekat Lara.
"Mau Ngapain?" ujar Lara pada pengendara yang terus berkendara dengan mengiringi dirinya itu.
"Ojek neng?" Kata si pengendara itu dengan suara parau.
"Tunggu, jadi Ma- Masnya itu tukang ojek?"
Sang pengendara motor yang mengaku ojek itu pun mengangguk. "Lah iya emang neng kira saya apa? Begal?"
Meski sudah bilang begitu, Lara tentu saja masih merasa curiga dan malah memperhatikan tampilan si pengendara itu dengan seksama dari bawah ke atas, ia agaknya ragu. Tapi... mengingat dirinya yang ingin sekali segera pulang ke rumah, akhirnya Lara dengan berat hati memutuskan untuk percaya dan naik ojek tersebut. "Mas beneran ojek kan?" Lara memastikan lagi. Sang pengendara motor pun kembali mengangguk. "Iya neng, saya ojek perlu saya kasih ktp saya biar percaya?"
Lara sejenak berpikir. Kayaknya dia beneran tukang ojek deh. "Yaudah kalo gitu mas, sekarang tolong anterin saya ke jalan komplek merpati ya," kata Lara memberi instruksi kepada tukang ojek itu. Tanpa lama-lama sang pengendara itupun langsung tancap gas.
Di sepanjang jalan Lara hanya duduk tenang dibonceng tanpa berkata apa-apa. Tapi dirinya seketika mulai menyadari keanehan terhadap tukang ojek tersebut. Emang tukang ojek jaman now itu selalu wangi banget gini ya? Mana jaketnya juga dari merek mahal pula aneh? Pikir Lara. Setelah ada mungkin sekitar dua puluh menit berjalan, tiba-tiba Lara baru sadar kalau jalan yang dilewatinya saat ini jelas bukanlah jalan menuju ke alamat rumahnya. "Tu- tunggu dulu deh mas, ini jalannya kayaknya salah deh... bukan kesini Mas!" Lara menepuk pundak sang ojek agar berhenti. "Mas, saya bilang ini salah jalan! Bisa berhenti dulu nggak sih!" Sayangnya sang ojek tetap diam dan seolah tak memperdulikan ujaran dan tepukan Lara, sebaliknya pengendara itu malah terus saja melaju. "Mas berenti! Hei Mas!"
Tanpa menjawab sepatah kata apapun, sang pengendara motor yang mengaku ojek itu tidak merespon sama sekali apa yang dilakukan Lara. Dirinya malah makin mempercepat laju motornya. Alhasil Lara pun terlihat mulai panik, ia pun berteriak sambil memukul-mukul pundak si pengendara motor itu agar berhenti. "Mas berenti nggak, ini jalannya salah! Mas kalo nggak berhenti saya teriak loh!" Ancam Lara.
Pengendara itu lagi-lagi tak peduli dengan ucapan Lara dan malah membelokan motornya ke arah jalan kecil yang minim rumah penduduk. Lara pun jadi semakin panik, ia benar-bener merasa ketakutan saat ini. "Mas beneran kalo masnya nggak berhenti saya teriakin mas penjahat! Tolong! Tolong!"
Akhirnya si pengendara itu pun berhenti. Tapi bukan berhenti ditepi jalan, melainkan memberhentikan motornya tepat dalam halaman sebuah pavilium tua. Lara dengan cepat turun dari motor dan bersiap ingin kabur. Sialnya dia kalah cepat sehingga tangannya malah lebih dulu disambar dan dicengkeram kuat oleh pengendara misterius itu. "Mau kabur kemana?"
"Ka- kamu mau apa? Lepasin tangan saya!" Lara benar-benar ketakutan kali ini, badannya mulai gemetar melihat laki-laki yang kini sudah membuka helmnya namun setengah wajahnya masih ditutupi masker hitam.
"Kamu siapa?!" Ujar Lara sambil terus berusaha kabur dari cengkeramannya. "Lepasin saya!"
"Diem lu!" Bentak laki-laki itu. Lara semakin bergidik ngeri dibuatnya. "Ka- kamu mau ngapain saya?" ujar Lara dengan suara bernada gemetar.
"Mendingan lu gausah banyak omong, dan diem aja ikutin gua! Tenang aja, gua bakal bawa lu seneng-seneng di dalem!"
Mata Lara terbelalak dan jantungnya berdegub dengan kerasnya. Apa maksud ucapan dia barusan? Seneng-seneng maksudnya apa? Lara pun kembali berteriak minta tolong sambil terus mencoba menarik tangannya dari cengkraman kuat laki-laki itu. "Tolongin saya! Tolong siapapun tolong saya!"
Lelaki itu malah tertawa mengejek mendengar Lara berteriak-teriak. "Dasar tolol! Lu mau teriak sampe tenggorokan lu berdarah juga nggak bakal ada yang dateng. Disini sepi dan ini udah malem!" Lelaki itu tiba-tibamenarik Lara dan membungkam mulut gadis itu dengan tangannya. "Mendingan lu diem dan ikutin aja mau gua!" Lekaki itu seketika langsung membopong Lara dipundaknya dan membawanya masuk ke dalam pavillium tua.
"Lepasin saya! Lepasin! Tolong! Tolong...!" Lara memukuli pundak pria itu dan terus berteriak, mencoba meminta tolong dengan suaranya yang sudah hampir serak karena tenggorokannya mulai kering. Apa yang bakal dia dia lakuin ke aku? Ya Tuhan... Aku takut banget.
🥀🥀🥀
Lara begitu sedih dan hamcur, tak hentinya ia menyalahkan dirinya sendiri dengan semua yang terjadi. "Gue gagal, gue udah gagal jadi anak, gue udah ngecewain Bunda!" Lara melihat ke arah cermin memandangi dirinya yang tampak menyedihkan. Bahkan kata menyedihkan mungkin belum cukup untuk menggambarkan atas betapa nista nestapa yang ia alami saat ini. "Ini semua gara-gara lo dasar cowok brengsek! Biadab!" Maki Lara kemudian dengan marah melempari cermin itu dengan berbagi botol parfumnya.***Hani yang kini masih duduk diatas ranjang untuk menenangkan diri seolah masih syok dan tak percaya mengetahui kenyataan yang terjadi pada putrinya. Bayi cantik yang ia lahirkan dan ia besarkan dan ia jaga dengan penuh cinta dan kasih sayang, nyatanya malah harus mengalami tragedi menyedihkan itu. "Apa yang harus aku lakuin sekarang? Apa aku harus terus menyembunyikannya. Tapi bagaimanapun hal ini tidak bisa terus disembunyikan." Sejatinya Lar
Lara pun pulang ke rumah, dengan tubuh kelelahan mata agak sembab ia berjalan memasuki gerbang rumahnya. Lara sempat berpikir apa mungkin salah satu temannya atau gurunya menghubungi sang bunda terkait dirinya tidak masuk hari ini? Tapi siapa peduli saat ini Lara hanya ingin segera masuk ke kamarnya untuk menenangkan diri. Setelah melepas sepatu dan cuci tangan Lara langsung menaiki anak tangga menuju kamarnya.Namun saat dirinya ingin masuk kamar ia malah justru dikagetkan dengan penampakan sang Bunda yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan memasang wajah serius."Huh? Kok ada Bunda ya apa jangan-jangan Bunda udah tau kalau hari ini aku nggak masuk," ucapnya dalam hati. "Bu- bunda ngapain di depan kamar Lara?"Hani tak menjawab pertanyaan Lara, ia langsung meminta Lara masuk ke kamar bersama dengan dirinya."Ada apa sih Bun? Kok kayaknya muka Bunda serius banget."
Di jalan Lara terus kepikiran tentang kenyataan jika dirinya saat ini tengah mengandung. Sungguh hal tak pernah terpikirkan oleh Lara setidaknya dia tidak pernah membayangkan bahwa dirinya akan mengandung di umurnya yang masih tijuh belas tahun."Udah sampe Dek," ucap driver taksi online, namun sepertinya Lara yang masih melamun tak mendengarnya. "Dek, dek udah sampe sekolah.""Eh iya udah sampe, sorry ya Pak saya nggak tau.""Iya Dek nggak apa-apa."Lara pun akhirnya turun dari taksi online tersebut. Ia melihat gerbang sekolah yang membentang di hadapannya, baginya kini memasuki gerbang sekolah terasa mengerikan sekali ribuan pertanyaan menghantui isi kepala Lara. Gimana kalau orang-orang disekolah tau gue hamil? Gimana kalo gue terpaksa dikeluarin dari sekolah karna hamil? Gimana kalo gue nggak bisa lulus karena hamil? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sungguh membuatnya
Setibanya di rumah Lara langsung pergi ke kamarnya dan menguncinya rapat-rapat dari dalam. Gadis itu mengatur napasnya yang tersengal-sengal dan hatinya yang berdetak kencang. Lara mengeluarkan alat tes kehamilan yang dibelinya tadi dari dalam tasnya. Takut! Hal itu yang dirasakan oleh Lara, namun ia tetap harus melakukannya. Dengan tekat yang kuat ia pun bergegas masuk ke kamar mandi. Setelah beberapa saat selesai melakukan test dengan urinnya, Lara masih belum berani untuk melihat hasilnya. Dirinya belum siap jika hasilnya benar-benar positif kalau dirinya hamil. Ya Tuhan aku takut, apa aku bisa kuat nerima kenyataan kalau beneran aku hamil. Sadar tidak bisa terus terkurung dengan rasa penasaran yang semakin memuncak, Lara pada akhirnya memberanikan diri untuk mengetahui hasilnya. Ia mengangkat alat kehamilan tersebut ke hadapan matanya, perlahan Lara membuka matanya. "Du- dua garis?" Seketika tubuhnya lemas dan Lara pun jatuh terkulai diatas lantai sambil ma
Di sekolah Lara terlihat tengah berada di kantin bersama kedua sahabatnya Chika da Tara. Ia terlihat tengah menyantap semangkuk bakso dengan lahapnya, saking lahapnya sampai-sampai kedua temannya itu dibuat menelan ludah. "Lara, lo kelaperan ya?" Ujar Chika yang bahkan sampai merasa sudah merasa kenyang duluan dengan hanya melihat Lara makan."Iya Ra, lo tumben banget deh makan selahap itu, biasanya lo kan yang paling lama makannya diantara kita bertiga," imbuh Tara.Lara kemudian menelan makanan dimulutnya, "Masa sih?""Lah lo emang nggak ngerasa?"Lara hanya menggeleng sambil terus melanjutkan makannya. Lara sepertinya memang tidak sadar kalau akhir-akhir ini nafsu makannya sangat tinggi.Setelah beberapa saat mereka bertiga pun selesai menghabiskan makan siang mereka, dengan Lara yang tanpa sadar hari ini makan dua porsi bakso."Gila lo Ra, hari ini lo mukbang keknya ya?" Ledek Chika mengetahui Lara makan bakso sampai dua mangkuk. Lara pu
"Lara!" Bunda mengetuk dan memanggil Lara dari luar kamarnya. Mendengar sang ibu datang, Lara yang menangis pun segera mengusap air matanya dan membukakan pintu sang ibu."Eh Bunda, kenapa?"Bunda memperhatikan Lara sejenak lalu bertanya, "kamu baik-baik aja kan sayang? Soalnya tadi Bunda lihat muka kamu tiba-tiba pucet terus pergi ke kamar.""Lara baik-baik aja kok Bun," jawab Lara yang tidak ingin sang ibu mengkhawatirkannya.Tapi sayang, sepertinya sang ibu tidak yakin dengan perkataan putrinya itu. Ia justru terlihat memicingkan matanya sambil memperhatikan mata Lara yang nampak sembab. "Kamu habis nangis ya?""Eh- Um— ini aku enggak nangis kok, cuma habis lihat trailer drama yang sedih banget aja makanya nangis deh, hehe...""Yakin kamu?" Bunda meraba kening dan leher Lara memastikan kalau putrinya itu tidak demam atau sejenisnya."Yakin kok Bund, percaya deh sama Lara."Hani menghela napas, sejujurnya ia tidak perca
Lara kembali ke rumah dengan keadaan lesu. Ia berjalan menuju ke kamarnya dan tak lama sang bunda muncul lalu menghampirinya. "Loh Kak, kok kamu udah pulang?"Lara melihat ke arah bundanya dan tersenyum kecil. "Lara tiba-tiba masuk angin Bund, makanya Lara pulang.""Tuhkan, kamu sih Bunda bilangin tadi sarapan dulu malah ngeyel, gini kan jadinya. Nggak nurut sih dikasih tau sama orang tua," omel Bunda ikuti rasa cemas."Maaf Bun, yaudah kalo gitu Lara istirahat di kamar dulu ya.""Yaudah, nanti Bunda bawain makanan ke kamar kamu ya."**Selang beberapa saat akhirnya Bunda pun datang ke kamar Lara sambil membawakannya semangkuk bubur.Tok Tok!Lara beranjak lalu membukakan pintu."Nak ini Bunda buatin bubur, kamu makan ya...," pinta sang Bunda pada putrinya itu.Melihat bubur tersebut entah kenapa Lara jadi merasa sangat lapar. Bunda pun meletakan nampan makanan itu diatas nakas, dan meminta Lara agar segera memaka
Waktu terus berjalan, hari-hari pun dilewati Lara pasca dirinya putus dengan Gilang tiga minggu lalu. Sejauh ini berjalan cukup baik, Lara menjalani kehidupan di sekolah dengan normal dan dihabiskan dengan banyak ke perpustakaan dibanding ngobrol bersama sahabatnya. Bahkan saat jam istirahatpun Lara lebih sering ke perpustakaan dibanding kantin. Hingga lama kelamaan kedua sahabatnya Chika dan Tara merasa Lara agak berubah, dia tidak seceria dulu dan lebih sendiri. Akhirnya mereka berdua pun berencana mengajak Lara nongkrong di kafe sepulang sekolah.KRING...! Jam belajar pun usai, guru pengajar pun keluar kelas diikuti murid-murid yang keluar kelas silih berganti. Lara yang masih terlihat membereskan tasnya pun dihampiri oleh Chika. "Ra!""Eh iya kenapa Chik, belom balik lo?" Tanya Lara sambil terus membereskan buku-bukunya ke dalam tas."Um, kita nongki dulu yuk ke kafe biasa sebelum balik? Tara punya voucher potongan harga loh kan lumayan."Sayangnya La
Percakapan Gilang dan Lara berakhir dengan akhir yang tidak baik bagi Gilang, laki-laki itu sungguh masih menyimpan rasa cinta dan harapan untuk bisa kembali dengan Lara, tapi semuanya sudah terlambat, hubungan Lara dan Gilang pada akhirnya harus kandas. Ketika kesedihan menyelimuti Gilang, hal berbeda justru dirasa oleh Cindy yang diam-diam ternyata menguntit percakapan Lara dan Gilang. Cindy yang ditemani sabahatnya Inez tampak senang sekali melihat Gilang yang telah putus dari Lara. Bahkan tak segan ia menampilkan senyum penuh kemenangan."Cin, jadi Gilang beneran udah putus sama Lara?" Tanya Inez yang juga agak belum percaya semua ini."Ya lo bisa lihat sendiri kan?" Cindy terkekeh senang. "Akhirnya, tanpa harus capek-capek cari cara misahin Gilang dari si cewek munafik itu, mereka putus juga.""Tapi Cin, lihat deh tuh... Kayaknya yang sedih banget malah si Gilang." Inez merujuk ekspresi Gilang yang dilihatnya dari jauh."Apaan sih! Lihat aja nanti pa