Lelaki itu menurunkan tubuh Lara yang dibopongnya ke atas lantai yang beralaskan permadani usang. Lara yang begitu ketakutan pun terus menangis, tubuhnya meringsek kebelakang menjauhi laki-laki yang ada dihadapannya itu. "Tolong, tolong jangan sakitin saya, saya mohon," Lirih gadis belia itu dengan suaranya yang bergetar.
Lelaki itu tertawa geli, "Nyakitin? Lu tenang aja, sakitnya sebentar doang kok cantik, habis itu lu bakal tau rasanya surga dunia." Pria tersebut menyetuh pipi Lara, spontan Lara pun menghalau dan semakin meringsek mundur. Rasa takut yang ditandai dengan keringat dingin yang bercucuran di dahi Lara membuatnya semakin panik. Ekor matanya bergerak ke sekelilingnya guna mencari celah untuk Lara agar bisa kabur atau setidaknya menghentikan laki-laki gila yang ada di hadapannya ini. Mata Lara akhirnya tertuju pada bingkai usang yang ada di dekatnya. Diambilnya bingkai tersebut, lalu ia lemparkan ke arah laki-laki bermasker hitam itu hingga mengenai pelipisnya. Alhasil goresan luka pun muncul di pelipis laki-laki itu. Tapi sayangnya, usaha Lara sepertinya sia-sia, karena san lelaki sama sekali tidak mundur atau berhenti. Pria itu justru berubah semakin mengerikan dan ganas. Pria itu tertawa sambil mengusap darah yang keluar dari pelipisnya yang terluka. "Lu pikir luka receh kayak gini bakal bikin gua tumbang dan lepasin elu? Nggak semudah itu sayang. Lu harus bayar semua yang udah elu perbuat ke gua!"
Lara agaknya bingung dengan ucapan si pria. "Maksud kamu apa, salah saya apa sama kamu, huh?!"
Laki-laki itu lagi-lagi tertawa dengan nada mengejek. "Lu bakal tau nanti. Yang penting sekarang elu ikutin aja mau gua!" Lelaki itu semakin mendekati Lara hingga dirinya tak lagi memiliki celah ruang untuk bergerak. Dirinya disergap, dan Lara pun kini berada didalam genggaman sang pria gila. Lara yang meronta-ronta terus memohon agar dirinya dilepaskan. Namun sayang, iblis sepertinya sudah terlanjur merasuki diri pria bertubuh tegap itu. Laki-laki yang tubuhnya tercium sedikit aroma alkohol itu mengekang pergerakan Lara. Tentu saja Lara semakin sulit untuk berontak dikarenakan tubuhnya kalah jauh dibanding si lelaki baik dari segi postur dan kekuatan. Lara kali ini hanya bisa terus menangis dan berteriak, ia kerap memberontak mencoba melepaskan diri meski seolah mustahil karena hampir seluruh pergerakan tubuhnya telah dikunci oleh laki-laki brengsek itu. "Laki-laki biadab! Lepasin saya!"
"Gua biadab? Heh, gua malah bakal bikin elu tau rasanya di surga tolol!"
"Lepasin saya, saya mohon... saya minta maaf, tolong!" Air mata Lara bercucuran, suaranya pun hampir habis karena tenggorokannya semakin kering.
"Lu, malem ini milik gua!" Ujar sang pria yang kemudian membuka maskernya. Seketika mata Lara pun langsung terbelalak lebar kala dirinya akhirnya melihat jelas wajah pria yang kini mengusai tubuhnya itu. "Kamu!" Emosi Lara kian memuncak dengan suara serak ia langsung memaki laki-laki itu. "Laki-laki brengsek! Kenapa lu lakuin ini sama gue? Biadab jahanamー" Belum selesai memaki, teriakan Lara malah dibungkam laki-laki itu dengan sebuah ciuman paksa yang begitu liar. Lara yang seumur hidupnya tidak pernah berciuman bahkan dengan Gilang sekalipun kaget, ia mencoba melawannya namun dengan entah bagaimana caranya lelaki itu seolah mengambil alih semuanya. Tubuh Lara mulai kelelahan hingga sulit untuk bisa melawan. Lelaki itu pun mulai menggerayangi seluruh area tubuh Lara dengan tangan bibirnya hingga pada akhirnya semua tragedi menyedihkan itu terjadi. Mahkota yang sejatinya Lara jaga untuk suaminya kelak, justru direnggut paksa dengan cara yang begitu hina.
**
Di kediamannya Rizal mondar mandir, wajahnya tampak gelisah dan was was. Khawatir tatkala ia melihat jam dinding menunjukan pukul sebelas malam namun putrinya tak kunjung kembali kerumah.
"Gimana Bun, udah telepon temen-temenn Lara?" Tanya Ayah pada Bunda yang baru saja selesai telepon.
"Udah Yah, tapi kata temen-temennya, Lara sejak pulang sekolah ya ke tempat bimbingan belajar. Bunda juga udah telepon guru bimbelnya tapi katanya udah pulang sejak jam delapan. Ayah, bunda takut banget terjadi hal buruk sama Lara!"
"Bunda, bunda harus tetap tenang ya."
"Ayah, Bunda, gimana, Lara udah ketemu?" Tanya Dafa yang baru saja pulang setelah dikabari kalau adiknya itu belum juga pulang.
"Maafin Dafa ya, gara-gara Dafa nggak bisa jemput Lara, jadinya gini."
"Udah Dafa jangan salahin diri kamu, mendingan sekarang Ayah sama Dafa cepet cari Lara ya, Bunda khawatir banget soalnya," pinta Hani yang semakin khawatir dengan keadaan putrinya.
"Yaudah kalo gitu ayah sama Dafa cari Lara, Bunda dirumah terus pantau hape ya..." Ucap Ayah yang kemudian segera pergi bersama Dafa mencari Lara.
"Lara... semoga kamu baik-baik aja ya Nak," lirih Bu Hani dengn mata berkaca-kaca.
Sandra yang ternyata berdiri sejak tadi menguping di dekat tangga, ikut mencemaskan kakak perempuannya itu. "Kak Lara... Kakak dimana sekarang? Kakak cepet pulang dong, Sandra kangen."
**
Lara terkulai lemas diatas lantai, tubuhnya seperti tidak lagi memiliki tenaga. Sambil memegangi bagian bawah perutnya yang sakit dan nyeri, air mata itu jatuh berlinang di wajah cantiknya yang kini tampak begitu kelelahan. Laki-laki itu kembali mengenakan jaketnya, ia tertawa dengan penuh kepuasan memandangi Lara yang kini hanya menangis dan tampak tak berdaya. "Ngapain lu nangis! Kan gue dah ajak lu ke surga dunia, ngapain lu nangis! Kalo nggak mau sakit makanya nurut aja apa kata gua!"
Mata gadis itu menajam menatap dengan penuh rasa jijik dan marah. "Laki-laki bangsat! Apa salah gue sama lo!"
Lelaki itu tersenyum simpul ia mendekatkan wajahnya ke wajah Lara, mendongakan kepala gadis itu dengan mencubit dagu sang gadis dengan jemarinya. "Lu lupa, apa pura-pura lupa? Eh cewek bangsat! Lu nggak inget apa yang udah lu lakuin ke gua di salah satu kafe waktu itu, huh? Lu itu udah bikin gua malu di depan banyak orang dan lu ngerasa nggak bersalah?!" Andra melepaskan tangannya dari dagu Lara dengan kasar.
"Lu itu bukan manusia, lu itu iblis! Elo ngelakuin ini ke gue hanya karena lu dendam masalah kejadian kayak gitu. Dasar iblis!"
Andra berteriak dihadapan Lara "Berisik! Buat gue, siapapun orang yang udah bikin harga diri gua jatuh atau mengusik gua itu tandanya dia harus hancur, dan lo salah satu yang harus gua ancurin!" Andra memebelai pipi Lara namun Lara langsung mengahalau jijik. "Lu itu cantik, manis dan gue suka itu, andai waktu itu elu nggak belagu sama gua mungkin gua nggak bakal lakuin hal ini ke elu. Tapi sayang, lu itu cewek nggak tau diri, lu permaluin gua dengan keangkuhan lu di depan banyak orang waktu itu, dan gua nggak terima itu, jadi lu terima aja pembalasan gua!"
Lara terus menangis sambil menahan nyeri di sekujur tubuhnya. Ia ingin sekali memaki Andra bahkan meninju wajah pria itu tapi tubuhnya terlalu lelah saat ini. "Laki-laki bajingan, kamu pasti bakal dapet karma!" Ujarnya dengan suara serak.
Pria itu tertawa mengejek "Karma? Cih, persetan sama karma!"
Andra mendekati Lara dan kembali mencium bibir gadis itu dengan singkat. "Thanks buat malam yang indah ini ya sayang, someday kalo kita ketemu lagi..." Andra terdiam sejenak. "Ah udahlah, gue yakin kita juga nggak bakal ketemu lagi. Gue pergi duluan ya baby... ciao!" Andra akhirnya pergi meninggalkan Lara sendirian di pavilium tua itu. Sungguh malam yang mengerikan, semua keindahan yang telah disimpan dengan baik sebagai bekal memori dimasa depan semua hancur dalam satu malam.
🥀🥀🥀
Lara begitu sedih dan hamcur, tak hentinya ia menyalahkan dirinya sendiri dengan semua yang terjadi. "Gue gagal, gue udah gagal jadi anak, gue udah ngecewain Bunda!" Lara melihat ke arah cermin memandangi dirinya yang tampak menyedihkan. Bahkan kata menyedihkan mungkin belum cukup untuk menggambarkan atas betapa nista nestapa yang ia alami saat ini. "Ini semua gara-gara lo dasar cowok brengsek! Biadab!" Maki Lara kemudian dengan marah melempari cermin itu dengan berbagi botol parfumnya.***Hani yang kini masih duduk diatas ranjang untuk menenangkan diri seolah masih syok dan tak percaya mengetahui kenyataan yang terjadi pada putrinya. Bayi cantik yang ia lahirkan dan ia besarkan dan ia jaga dengan penuh cinta dan kasih sayang, nyatanya malah harus mengalami tragedi menyedihkan itu. "Apa yang harus aku lakuin sekarang? Apa aku harus terus menyembunyikannya. Tapi bagaimanapun hal ini tidak bisa terus disembunyikan." Sejatinya Lar
Lara pun pulang ke rumah, dengan tubuh kelelahan mata agak sembab ia berjalan memasuki gerbang rumahnya. Lara sempat berpikir apa mungkin salah satu temannya atau gurunya menghubungi sang bunda terkait dirinya tidak masuk hari ini? Tapi siapa peduli saat ini Lara hanya ingin segera masuk ke kamarnya untuk menenangkan diri. Setelah melepas sepatu dan cuci tangan Lara langsung menaiki anak tangga menuju kamarnya.Namun saat dirinya ingin masuk kamar ia malah justru dikagetkan dengan penampakan sang Bunda yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan memasang wajah serius."Huh? Kok ada Bunda ya apa jangan-jangan Bunda udah tau kalau hari ini aku nggak masuk," ucapnya dalam hati. "Bu- bunda ngapain di depan kamar Lara?"Hani tak menjawab pertanyaan Lara, ia langsung meminta Lara masuk ke kamar bersama dengan dirinya."Ada apa sih Bun? Kok kayaknya muka Bunda serius banget."
Di jalan Lara terus kepikiran tentang kenyataan jika dirinya saat ini tengah mengandung. Sungguh hal tak pernah terpikirkan oleh Lara setidaknya dia tidak pernah membayangkan bahwa dirinya akan mengandung di umurnya yang masih tijuh belas tahun."Udah sampe Dek," ucap driver taksi online, namun sepertinya Lara yang masih melamun tak mendengarnya. "Dek, dek udah sampe sekolah.""Eh iya udah sampe, sorry ya Pak saya nggak tau.""Iya Dek nggak apa-apa."Lara pun akhirnya turun dari taksi online tersebut. Ia melihat gerbang sekolah yang membentang di hadapannya, baginya kini memasuki gerbang sekolah terasa mengerikan sekali ribuan pertanyaan menghantui isi kepala Lara. Gimana kalau orang-orang disekolah tau gue hamil? Gimana kalo gue terpaksa dikeluarin dari sekolah karna hamil? Gimana kalo gue nggak bisa lulus karena hamil? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sungguh membuatnya
Setibanya di rumah Lara langsung pergi ke kamarnya dan menguncinya rapat-rapat dari dalam. Gadis itu mengatur napasnya yang tersengal-sengal dan hatinya yang berdetak kencang. Lara mengeluarkan alat tes kehamilan yang dibelinya tadi dari dalam tasnya. Takut! Hal itu yang dirasakan oleh Lara, namun ia tetap harus melakukannya. Dengan tekat yang kuat ia pun bergegas masuk ke kamar mandi. Setelah beberapa saat selesai melakukan test dengan urinnya, Lara masih belum berani untuk melihat hasilnya. Dirinya belum siap jika hasilnya benar-benar positif kalau dirinya hamil. Ya Tuhan aku takut, apa aku bisa kuat nerima kenyataan kalau beneran aku hamil. Sadar tidak bisa terus terkurung dengan rasa penasaran yang semakin memuncak, Lara pada akhirnya memberanikan diri untuk mengetahui hasilnya. Ia mengangkat alat kehamilan tersebut ke hadapan matanya, perlahan Lara membuka matanya. "Du- dua garis?" Seketika tubuhnya lemas dan Lara pun jatuh terkulai diatas lantai sambil ma
Di sekolah Lara terlihat tengah berada di kantin bersama kedua sahabatnya Chika da Tara. Ia terlihat tengah menyantap semangkuk bakso dengan lahapnya, saking lahapnya sampai-sampai kedua temannya itu dibuat menelan ludah. "Lara, lo kelaperan ya?" Ujar Chika yang bahkan sampai merasa sudah merasa kenyang duluan dengan hanya melihat Lara makan."Iya Ra, lo tumben banget deh makan selahap itu, biasanya lo kan yang paling lama makannya diantara kita bertiga," imbuh Tara.Lara kemudian menelan makanan dimulutnya, "Masa sih?""Lah lo emang nggak ngerasa?"Lara hanya menggeleng sambil terus melanjutkan makannya. Lara sepertinya memang tidak sadar kalau akhir-akhir ini nafsu makannya sangat tinggi.Setelah beberapa saat mereka bertiga pun selesai menghabiskan makan siang mereka, dengan Lara yang tanpa sadar hari ini makan dua porsi bakso."Gila lo Ra, hari ini lo mukbang keknya ya?" Ledek Chika mengetahui Lara makan bakso sampai dua mangkuk. Lara pu
"Lara!" Bunda mengetuk dan memanggil Lara dari luar kamarnya. Mendengar sang ibu datang, Lara yang menangis pun segera mengusap air matanya dan membukakan pintu sang ibu."Eh Bunda, kenapa?"Bunda memperhatikan Lara sejenak lalu bertanya, "kamu baik-baik aja kan sayang? Soalnya tadi Bunda lihat muka kamu tiba-tiba pucet terus pergi ke kamar.""Lara baik-baik aja kok Bun," jawab Lara yang tidak ingin sang ibu mengkhawatirkannya.Tapi sayang, sepertinya sang ibu tidak yakin dengan perkataan putrinya itu. Ia justru terlihat memicingkan matanya sambil memperhatikan mata Lara yang nampak sembab. "Kamu habis nangis ya?""Eh- Um— ini aku enggak nangis kok, cuma habis lihat trailer drama yang sedih banget aja makanya nangis deh, hehe...""Yakin kamu?" Bunda meraba kening dan leher Lara memastikan kalau putrinya itu tidak demam atau sejenisnya."Yakin kok Bund, percaya deh sama Lara."Hani menghela napas, sejujurnya ia tidak perca