Pagi ini Gia bersiap lebih pagi dari biasanya. Dia bahkan mau repot-repot menyetel alarm di jam lima pagi. Padahal, biasanya Gia baru bisa bangun karena teriakan Bunda. Semua ini dilakukan Gia demi janji yang terlanjur diucapkannya kepada Gavin. Dia tidak mau membuat kecewa Gavin. Gia memandang pantulan dirinya di cermin. Rambut panjangnya disisir supaya rapi dan dibiarkan terurai begitu saja. Segera Gia meraih tas ransel cokelat yang tergeletak di atas tempat tidurnya, lalu keluar kamar. Bunda sedang masak di dapur saat anak gadisnya muncul. Gia segera menghampiri Bunda dan mencium pipi kanannya sekilas. "Gia ke rumah Om Restu dulu, ya. Sekalian langsung berangkat," pamit Gia. "Iya. Ati-ati, ya, Gi. Di rumah orang jangan bikin malu." Bunda mengingatkan. Pandangannya tetap fokus pada tumis brokoli yang dimasaknya. "Bunda apaan, sih? Masa Gia bikin malu. Gia ini wanita terhormat yang selalu menjaga sopan santun layaknya bangsawan Eropa. Ratu Elisabeth aja berguru sama Gia," protes G
Sebuah tepukan di pundak mengagetkan Gia. "Cieh, dianterin Om Restu. Cieh, senyum-senyum najis," ejek Jessica yang tiba-tiba ada di belakang Gia.Gia terlonjak. Refleks, dicubitnya hidung Jessica pelan. "Ngagetin aja lo! Mau bikin jantung gue keluar dari mulut?" protes Gia gemas."Aduh aduh, sakit, ih," keluh Jessica sambil mengusap-usap hidungnya yang mungil. "Mukanya cerah bener, Neng? Lagi jatuh cinta, ya?" Jessica masih terus menggoda Gia.Gia melotot. "Jatuh cinta apaan?" bantahnya, lalu berjalan memasuki gedung A, mengabaikan Jessica."Keliatan kali orang jatuh cinta, mah. Pipi merah. Mata berbinar. Senyum terkembang. Jantung berdetak lebih cepat. Rahim anget abis dibakar api cinta. Itu yang terjadi sama lo saat liat Om Restu tadi, kan?" Jessica menjelaskan. Dia berjalan cepat sampai berhasil berada di sisi kanan Gia."Ngaco aja lo, Je!" bantah Gia. Padahal, Gia benar merasakan apa yang disebutkan Jessica tadi.Jessica mengamati wajah Gia. "Cieh, malu-malu, tuh. Biasa aja hidungn
Gia menuangkan air panas ke dalam cangkir yang sudah diisi dengan kopi dan gula. Di sampingnya, Restu sedang sibuk memasak nasi goreng seafood pesanan Gavin. Aroma nasi goreng yang gurih dan kopi yang pahit bercampur di dapur Restu. Gia dan Restu sibuk dengan tugasnya masing-masing, sedangkan Gavin duduk manis menanti dengan tenang. "Belum mateng, Om?" tanya Gia sambil mengaduk kopi. Restu menghentikan gerakan tangannya mengaduk nasi goreng di dalam wajan. "Sudah lapar?" Restu balas bertanya. Tidak lupa dia memberikan senyum kepada Gia. "Baunya enak, bikin laper," jawab Gia, lalu tersenyum malu-malu. Entah kenapa debaran jantungnya kacau sejak dia masuk ke rumah ini tadi. "Sebentar lagi matang. Kamu duduk saja," sahut Restu kembali mencampur bumbu dan nasi. Gerakan tangannya cepat. Butiran nasi di dalam wajan perlahan berubah warna menjadi cokelat. Dihiasi potongan udang yang memerah, cumi, serta bakso ikan yang ikut kecokelatan, nasi goreng buatan Restu sungguh menggiurkan. Gia
Matahari mulai condong ke barat, perlahan menjemput senja. Beberapa gumpalan awan putih bergerombol menghalangi bulatan oranye yang panas itu. Kumpulan burung terbang rendah menuju rumah masing-masing. Teriakan pedagang siomai menjajakan dagangannya mengusik sore yang tenang di gang rumah Gia. Gia duduk di pinggir kolam ikan miliknya. Segelas besar susu dingin menemaninya. Sekarang, kolam ikannya terlihat lebih ramai dengan adanya tambahan lima ekor ikan harimau sumatera. Ikan ini ukurannya lebih kecil dari ikan emas koi yang sudah lebih dulu dimiliki Gia. Warna mereka kontras, mempercantik kolam kecil yang dibuatkan Ayah setelah Gia merengek selama satu minggu. Ayah yang tidak sanggup menolak permintaan anak semata wayangnya merombak halaman rumahnya. Sebuah kolam ikan dengan air terjun sederhana berhasil membuat Gia kembali tersenyum. Gia menebar makanan ikan ke dalam kolam. Ikan-ikan yang kelaparan itu langsung berebut melahap makanannya. Mereka saling menabrak dengan mulut terbu
"KAK GIA," panggil Gavin dari tengah jalan yang membatasi rumahnya dengan rumah Restu.Gavin memasang tampang cemberut. Wajahnya dilipat sampai terlihat kusut. Keringat sudah menghiasi wajah dan kaus putih tanpa lengan yang dipakainya."Kenapa, Gav?" tanya Gia bingung. Dia memandang Restu yang berdiri di samping Gavin. Restu hanya mengangkat pundaknya sebagai isyarat tidak tahu.Gia segera bangkit dari duduknya. Ditinggalkan kumpulan ikan yang masih berusaha menghabiskan sisa makanan. Dia berlari kecil mendekati Gavin."Kenapa?" tanya Gia lagi, saat sudah berdiri satu langkah di depan Gavin."Gavin capek, tapi Papa nggak ngasih izin buat istirahat," jawab Gavin mengadukan ulah papanya, yang dia anggap jahat. Kedua tangannya yang diselimuti sarung tinju terjulur di samping tubuhnya lemas."Om?" Gia menatap Restu tajam, meminta penjelasan.Restu yang merasa tersudut hanya bisa tersenyun kaku. Tangan kanannya yang dililit hand warp, mengusap tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. Sementa
Mobil Restu menjauh, meninggalkan Gia yang masih belum rela ditinggalkan. Rasanya pagi ini dilewati terlalu cepat.Mendadak Gia tersadar akan sesuatu. Matanya langsung melihat ke sekeliling, mencari hal yang seharusnya tidak dia temui. Saat tidak menemukan yang dia cari, Gia mengembuskan napas lega. Segera dia berlari masuk ke gedung A, berharap bisa bersembunyi di dalam kelas. Setidaknya, ruangan berpendingin itu mampu menyembunyikannya selama satu jam ke depan.Setelah Hugo menyatakan cintanya kemarin, Gia langsung kabur. Dia tidak peduli dengan Hugo yang kemudian ikut mengejar. Gia terus berlari tanpa arah tujuan yang pasti. Sampai akhirnya, Hugo bisa menyusulnya dan menghentikan langkahnya dengan berdiri di hadapan Gia."Lo kenapa, Gi?" tanya Hugo. Mata tajamnya menatap Gia, membuat Gia takut dan memilih memandang deretan mobil yang terparkir di sebelah kiri mereka. Setidaknya, aneka merek mobil itu tidak akan menyakiti hatinya.Gia terdiam lama. Dia sengaja mengabaikan Hugo. Dadan
Suara jam dinding di ruang tamu rumah Restu terdengar jelas sampai ke ruang makan. Rumah dalam kondisi sepi. Restu sedang berada di dalam kamar mandi karena perutnya mendadak mules setelah nekat makan sambal buatan Gia banyak-banyak. Gia sengaja membuat sambal bawang dengan banyak cabai setan untuk pelengkap ayam goreng buatan Restu. Panas cabai langsung mengoyak mulut dan perut Restu yang memang tidak kuat pedas. Dia tidak bisa menahan gejolak dalam perutnya. Sudah lima belas menit, belum ada tanda dia keluar dari kamar mandi, sedangkan Gavin mempersiapkan perlengkapan sekolah di kamarnya.Gia baru saja selesai mencuci perala--[tan makan bekas sarapan mereka bertiga. Dia mengambil tas ransel hitam miliknya dari kursi makan yang tadi ditempatinya, kemudian berlalu menuju ke ruang tamu.Gia memandang ke seluruh sudut ruang tamu. Sebelumnya, dia tidak pernah mengamati rumah Restu sama sekali. Dia tidak peduli dengan apa yang ada di sini. Sekarang, semua mulai terlihat menarik. Gia terta
Gia berjalan menunduk memasuki gedung A. Dia tidak punya semangat untuk kuliah hari ini."GIA," panggil Jessica sambil berlari mendekat.Gia memutar badannya. Melihat Jessica membuat Gia sedikit bersyukur. Walaupun Jessica termasuk teman dengan mulut paling bocor, tapi dia selalu setia menemani Gia. Gia sangat beruntung bisa mengenal Jessica."Kenapa lo?" tanya Jessica saat menyadari Gia sedang muram."Cabut, yuk!" ajak Gia. Sebuah kode bahwa dia ingin bercerita di tempat yang lebih nyaman, selain di kampus.Tanpa perlu menjawab, Jessica langsung menarik tangan Gia. Dia membawa Gia ke tempat parkir, lalu memintanya masuk ke dalam mobil sedan merah miliknya. Gia menurut tanpa protes."Mau ke mana?" tanya Jessica sambil menyalakan mobil."Masih pagi gini enaknya ke mana?" Gia balik bertanya."Ya mana gue tau. Lo yang ngajakin pergi. Harusnya lo yang mikir," sahut Jessica cuek."Serah, deh. Lo mau bawa gue ke asgard juga gue nurut. Asal gue balik masih utuh aja.""Yakin?""Nggak, sih."Je