Share

2. Telepon

Erickson mengemudikan mobilnya dengan kecepatan normal. Pria itu kini telah melewati dua jembatan yang menandakan dirinya sudah hampir sampai di tempat tujuan. Tidak ada kemacetan yang mengganggunya sepanjang jalan, mungkin karena jam yang masih menunjukkan pukul empat dini hari. Untung saja ia tak ikut minum semalam, jika tidak ia tak akan mengemudi seperti ini dan terpaksa memanggil Arthur.

Telepon yang datang padanya tiga puluh menit yang lalu lah yang menjadi sebab ia menyusuri jalanan yang masih cukup sepi.

Wanita dalam telepon itu berbicara dengan nada yang lemah lembut, berlawanan dengan alasan dia menelepon pagi-pagi buta.

Ayahnya Erickson terlibat kecelakaan saat saat mengemudi bersama ibu tirinya —yang tadi meneleponnya—. Ia dilarikan ke rumah sakit dan sedang berada di UGD. Meski sang ibu telah mengatakan bahwa itu bukanlah kecelakaan yang parah, tapi ia minta Erickson untuk datang karena ayahnya tidak sadarkan diri.

Ia menghentikan mobilnya di parkiran sebuah rumah sakit besar di New York. Melangkah pasti tanpa ada keragu-raguan di tiap langkahnya, menuju sebuah ruangan nomor 307. Tanpa mengetuk terlebih dahulu, Erickson segera masuk yang disambut dengan raut wajah lega dari wanita paruh baya yang familiar itu.

"Apa kata dokter?" Erickson berjalan mendekat ke ranjang dimana terdapat sang ayah yang tidak sadarkan diri.

"Sudah tidak apa-apa. Katanya cuma luka ringan." Ibunya duduk di salah satu kursi di samping tempat tidur itu.

"Kenapa belum sadar?" Erickson menatap jendela, tak ingin menatap salah satu dari orang di dalam kamar itu.

"Hanya shock. Dokter juga berkata ia akan segera sadar." Wanita tua itu menggosok-gosok kedua tangannya gugup. "Sudah lama kita tidak bertemu. Bagaimana jika kau tinggal di sini sampai ayahmu sadar?"

"Saya harus bekerja. Saya cuma mampir sebentar." Erickson melirik jam tangannya, sudah pukul lima pagi. Keinginannya adalah segera pergi dari tempat itu sebelum ada ucapan yang tidak dia sukai terdengar.

Terlihat wanita itu berpikir sejenak. "Tunggulah sebentar lagi." Ia tersenyum meski tahu lawan bicaranya saat itu tidak menatap matanya.

Saat itu Erickson tahu bahwa ada seseorang yang mungkin akan datang sepersekian detik kemudian. Seseorang yang sengaja dipanggil oleh ibu tirinya. Seseorang yang selama ini berusaha ia hindari. Tangannya mengepal. Lagi-lagi begini. Taktik yang begitu licik itu sejak awal sudah diduganya. Jika ada kesempatan, ibu tirinya selalu berusaha mempertemukan mereka.

Terlihat kini raut muka Erickson telah berubah. Rahangnya mengeras, matanya menatap tajam wanita yang sejak tadi berusaha tak ia lirik. Menarik napas dalam, ia bangkit dari duduknya. Sebelum emosinya bertambah, ia harus segera pergi.

"Saya pergi dulu." Erickson berbalik. Tangannya masih mengepal menahan emosi. Seandainya ia tak datang, tak perlu ia mendengar ucapan dan ekspresi menjijikkan yang sudah lama tak ia lihat. Terdengar suara yang berusaha memanggil namanya dari belakang tepat sebelum ia menutup pintu. Andai ayahnya sadar, wanita itu pasti sudah meminta tolong untuk membujuk dirinya agar tak pergi —seperti yang selama ini selalu terjadi— dan pada akhirnya pertengkaran anak dan ayah tak terhindari. Itulah mengapa Erickson memutuskan tidak lagi tinggal bersama keluarga segera setelah ia menyelesaikan pendidikannya. Bahkan perusahaan game yang sekarang miliknya adalah hasil kerja kerasnya sendiri tanpa campur tangan keluarganya sedikitpun.

Erickson berdesis pelan. Sungguh ia berharap kehidupannya damai tanpa banyak gangguan lagi. Sudah cukup dunianya hanya berfokus pada pekerjaannya, namun tetap saja banyak sekali yang berusaha menghancurkan kedamaiannya dengan berbagai cara. Entah sampai kapan dirinya bisa bersabar.

***

Erickson menghempaskan tubuhnya seketika setelah melihat sofa di ruang kantornya. Belum lama memulai hari, ia harus berhadapan dengan hal-hal merepotkan. Arthur berdiri tak jauh darinya, sepertinya Erickson tak menyadari asistennya itu telah memanggilnya sejak tadi.

"Apa sesuatu terjadi?" Arthur menaruh beberapa berkas yang harus diperiksa oleh Erickson.

"Hanya beberapa hal merepotkan," balas Erickson malas. Ia tak menjelaskan apapun sepanjang perjalanan mereka dan Arthur sendiri juga tak menanyakan Erickson secara terang-terangan namun ia tahu pasti sekretarisnya itu dilanda keingintahuan.

"Haruskah saya jadwalkan ulang schedule anda hari ini?" tawar Arthur. Karena Erickson terlihat tak mau membahasnya, jadi Arthur pun segera mengalihkan pembicaraan mereka.

"Tidak apa-apa. Tak perlu berlebihan." Erickson mengambil berkas di meja dan mulai membacanya dengan teliti. Ia fokus pada lembar demi lembar isi dari kertas-kertas tersebut.

Untunglah hari ini tak ada wanita aneh yang datang menemuinya di kantor. Jika tidak, ia mungkin akan langsung mengusir mereka tanpa sempat berbicara. Dalam seminggu setidaknya dua wanita berbeda akan datang padanya, mereka adalah anak dari berbagai pemegang saham di perusahaan Erickson. Ada juga yg merupakan wanita yang dijodohkan ayahnya padanya. Sebenarnya ia sudah menolak tindakan ayahnya itu namun para wanita itu sendiri yang datang menemuinya langsung.

Bosan. Hanya itu yang ia rasakan setelah melihat para wanita itu. Mereka semua memiliki tatapan yang tak ada bedanya, penuh ambisi dan berbangga diri, penuh kepura-puraan dalam tindakannya. Melelahkan.

Meskipun ia mau tidur dengan wanita, itu haruslah wanita yang dipilihnya, bukan wanita yang mendatanginya dan melebarkan kakinya dengan mudahnya tanpa memastikan apakah dirinya bersedia. Baginya semua wanita yang menghabiskan malam bersamanya tidak boleh wanita yang mendambakan cintanya. Karena hal bernama cinta hanyalah hal yang paling tidak berguna dan hanya membuang-buang waktu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status