Share

2. Telepon

Penulis: Juya Luc
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-22 20:43:20

Erickson mengemudikan mobilnya dengan kecepatan normal. Pria itu kini telah melewati dua jembatan yang menandakan dirinya sudah hampir sampai di tempat tujuan. Tidak ada kemacetan yang mengganggunya sepanjang jalan, mungkin karena jam yang masih menunjukkan pukul empat dini hari. Untung saja ia tak ikut minum semalam, jika tidak ia tak akan mengemudi seperti ini dan terpaksa memanggil Arthur.

Telepon yang datang padanya tiga puluh menit yang lalu lah yang menjadi sebab ia menyusuri jalanan yang masih cukup sepi.

Wanita dalam telepon itu berbicara dengan nada yang lemah lembut, berlawanan dengan alasan dia menelepon pagi-pagi buta.

Ayahnya Erickson terlibat kecelakaan saat saat mengemudi bersama ibu tirinya —yang tadi meneleponnya—. Ia dilarikan ke rumah sakit dan sedang berada di UGD. Meski sang ibu telah mengatakan bahwa itu bukanlah kecelakaan yang parah, tapi ia minta Erickson untuk datang karena ayahnya tidak sadarkan diri.

Ia menghentikan mobilnya di parkiran sebuah rumah sakit besar di New York. Melangkah pasti tanpa ada keragu-raguan di tiap langkahnya, menuju sebuah ruangan nomor 307. Tanpa mengetuk terlebih dahulu, Erickson segera masuk yang disambut dengan raut wajah lega dari wanita paruh baya yang familiar itu.

"Apa kata dokter?" Erickson berjalan mendekat ke ranjang dimana terdapat sang ayah yang tidak sadarkan diri.

"Sudah tidak apa-apa. Katanya cuma luka ringan." Ibunya duduk di salah satu kursi di samping tempat tidur itu.

"Kenapa belum sadar?" Erickson menatap jendela, tak ingin menatap salah satu dari orang di dalam kamar itu.

"Hanya shock. Dokter juga berkata ia akan segera sadar." Wanita tua itu menggosok-gosok kedua tangannya gugup. "Sudah lama kita tidak bertemu. Bagaimana jika kau tinggal di sini sampai ayahmu sadar?"

"Saya harus bekerja. Saya cuma mampir sebentar." Erickson melirik jam tangannya, sudah pukul lima pagi. Keinginannya adalah segera pergi dari tempat itu sebelum ada ucapan yang tidak dia sukai terdengar.

Terlihat wanita itu berpikir sejenak. "Tunggulah sebentar lagi." Ia tersenyum meski tahu lawan bicaranya saat itu tidak menatap matanya.

Saat itu Erickson tahu bahwa ada seseorang yang mungkin akan datang sepersekian detik kemudian. Seseorang yang sengaja dipanggil oleh ibu tirinya. Seseorang yang selama ini berusaha ia hindari. Tangannya mengepal. Lagi-lagi begini. Taktik yang begitu licik itu sejak awal sudah diduganya. Jika ada kesempatan, ibu tirinya selalu berusaha mempertemukan mereka.

Terlihat kini raut muka Erickson telah berubah. Rahangnya mengeras, matanya menatap tajam wanita yang sejak tadi berusaha tak ia lirik. Menarik napas dalam, ia bangkit dari duduknya. Sebelum emosinya bertambah, ia harus segera pergi.

"Saya pergi dulu." Erickson berbalik. Tangannya masih mengepal menahan emosi. Seandainya ia tak datang, tak perlu ia mendengar ucapan dan ekspresi menjijikkan yang sudah lama tak ia lihat. Terdengar suara yang berusaha memanggil namanya dari belakang tepat sebelum ia menutup pintu. Andai ayahnya sadar, wanita itu pasti sudah meminta tolong untuk membujuk dirinya agar tak pergi —seperti yang selama ini selalu terjadi— dan pada akhirnya pertengkaran anak dan ayah tak terhindari. Itulah mengapa Erickson memutuskan tidak lagi tinggal bersama keluarga segera setelah ia menyelesaikan pendidikannya. Bahkan perusahaan game yang sekarang miliknya adalah hasil kerja kerasnya sendiri tanpa campur tangan keluarganya sedikitpun.

Erickson berdesis pelan. Sungguh ia berharap kehidupannya damai tanpa banyak gangguan lagi. Sudah cukup dunianya hanya berfokus pada pekerjaannya, namun tetap saja banyak sekali yang berusaha menghancurkan kedamaiannya dengan berbagai cara. Entah sampai kapan dirinya bisa bersabar.

***

Erickson menghempaskan tubuhnya seketika setelah melihat sofa di ruang kantornya. Belum lama memulai hari, ia harus berhadapan dengan hal-hal merepotkan. Arthur berdiri tak jauh darinya, sepertinya Erickson tak menyadari asistennya itu telah memanggilnya sejak tadi.

"Apa sesuatu terjadi?" Arthur menaruh beberapa berkas yang harus diperiksa oleh Erickson.

"Hanya beberapa hal merepotkan," balas Erickson malas. Ia tak menjelaskan apapun sepanjang perjalanan mereka dan Arthur sendiri juga tak menanyakan Erickson secara terang-terangan namun ia tahu pasti sekretarisnya itu dilanda keingintahuan.

"Haruskah saya jadwalkan ulang schedule anda hari ini?" tawar Arthur. Karena Erickson terlihat tak mau membahasnya, jadi Arthur pun segera mengalihkan pembicaraan mereka.

"Tidak apa-apa. Tak perlu berlebihan." Erickson mengambil berkas di meja dan mulai membacanya dengan teliti. Ia fokus pada lembar demi lembar isi dari kertas-kertas tersebut.

Untunglah hari ini tak ada wanita aneh yang datang menemuinya di kantor. Jika tidak, ia mungkin akan langsung mengusir mereka tanpa sempat berbicara. Dalam seminggu setidaknya dua wanita berbeda akan datang padanya, mereka adalah anak dari berbagai pemegang saham di perusahaan Erickson. Ada juga yg merupakan wanita yang dijodohkan ayahnya padanya. Sebenarnya ia sudah menolak tindakan ayahnya itu namun para wanita itu sendiri yang datang menemuinya langsung.

Bosan. Hanya itu yang ia rasakan setelah melihat para wanita itu. Mereka semua memiliki tatapan yang tak ada bedanya, penuh ambisi dan berbangga diri, penuh kepura-puraan dalam tindakannya. Melelahkan.

Meskipun ia mau tidur dengan wanita, itu haruslah wanita yang dipilihnya, bukan wanita yang mendatanginya dan melebarkan kakinya dengan mudahnya tanpa memastikan apakah dirinya bersedia. Baginya semua wanita yang menghabiskan malam bersamanya tidak boleh wanita yang mendambakan cintanya. Karena hal bernama cinta hanyalah hal yang paling tidak berguna dan hanya membuang-buang waktu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Love is Dangerous   25. Apa itu kencan?

    Mobil Erickson sudah berhenti di depan apartemen Alice. Alice sudah hendak turun namun sebenarnya masih dilanda keingintahuan. Karena Erickson tidak memberitahunya alasan mengapa pria itu menanyakan kesibukannya malam besok."Sampai jumpa besok."Hanya kalimat itu yang ia dengar dari Erickson setelah dirinya turun dari mobil. Alice pun menelan rasa penasarannya. Ia mengangguk dan tak lupa berterima kasih.Mobil Erickson melaju tanpa ragu meninggalkan Alice yang masih berdiri menatap mobil hitam itu menghilang ditelan malam.***Erickson tengah duduk di meja kerjanya dengan wajah serius. Ia menatap sebuah kertas yang tergeletak diatas kotak besar di dalam ruangan tersebut. Sejak ia pulang dari mengantar Alice, ia sama sekali tak pergi kemana pun dan segera kembali ke apartemen. Saat ia kembali pun tak ada siapapun yang berada di apartemennya. Namun kini sebuah surat tergeletak dengan jelas di sudut meja yang bisa segera langsung tertangkap indera penglihatan Erickson. Terlebih lagi kot

  • Love is Dangerous   24. Candaan Erickson

    "Apa anda baru pulang?" Alice membuka mulutnya, mencoba mengganti topik pembicaraan mereka setelah dirinya menyadari sepertinya lawan bicaranya itu tak berniat sedikit pun untuk menjawab pertanyaannya tadi.Atmosfer yang masih terasa canggung. Disekeliling ada banyak orang memenuhi meja-meja di sana, sayangnya tak membuat Alice merasa lebih nyaman. "Yah, tapi untunglah. Kalau tidak, aku tidak akan tahu bahwa tunanganku sedang bersama pria lain." Erickson menggelengkan kepalanya dan berdecak menyayangkan.Itu terlihat palsu.Alice memejamkan mata, mengembuskan napas pelan. "Kenapa anda terus mengatakan tunangan?" Ia kesal. Padahal dirinya sudah berusaha mengganti topik mereka setelah Erickson tadi tidak mau menjawab pertanyaannya. Sekarang malah kembali menyinggung kata 'tunangan'. Alice merasa kata itu terlalu sering ia dengar beberapa hari belakangan."Karena kau tunanganku.""Masih belum. Bukankah masih ada waktu sampai sebelum jam 12 malam besok?""Berarti segera, bukan?""Itu bel

  • Love is Dangerous   23. Amarah Erickson

    Lengan kekar Erickson masih setia menempel di pundak Alice. Telapak tangannya yang dingin terasa menusuk ke dalam kulit bagian lengan atas Alice yang terekspos akibat gaun yang ia pakai hari ini menampilkan pundaknya dengan sempurna. Kini wajah Alice dan Erickson hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Dirinya kini bahkan bisa mendengar deru napas pria itu berpacu dengan degupan jantung miliknya yang berdetak lebih kencang dari sebelumnya.Mengapa Erickson berada di sampingnya? Memang tempat ini tak jauh dari kantor mereka, tetapi tetap saja itu tidak menjawab rasa penasaran Alice. Tidak jauh berbeda dengan dirinya, pria yang duduk di depannya pun memiliki keterkejutan yang sama. Dia terlihat membeku di tempat dengan mulut terbuka. Sepertinya dia tahu siapa yang tengah memeluk Alice saat ini."Erickson… Stewart…," ujarnya tak percaya menyebut nama Erickson. Wajahnya memucat. Sosok yang sebelumnya dia cibir dengan mulut yang sama, kini ia sebut namanya dengan ketakutan yang terpancar

  • Love is Dangerous   22. Makan siang bersama

    Ah, tidak. Saat ini yang terpenting adalah membuat mereka tidak makan di sana. Alice memutar otaknya. "Bagaimana kalau makan di luar saja? Saya rasa akan sedikit ramai di sana karena sepertinya kita orang terakhir yang datang." Alice berpura-pura melirik jam di tangannya untuk memperkuat alasannya. Padahal ia sama sekali tidak memerhatikan arah jarum jam tangannya itu menunjuk ke mana.Namun, ternyata hal itu cukup berhasil. Erickson melirik jam di tangannya dan beberapa saat kemudian ia berkata, "Benar. Kalau begitu, kita makan di tempat lain saja." Erickson membalikkan badannya dan membuat Alice merasakan kelegaan setelah beberapa saat merasakan kepanikan."Bagaimana dengan restoran di belakang?" Alice dengan sedikit bersemangat menyarankan. Itu adalah restoran yang berada di belakang gedung perkantoran mereka, yang berjarak hanya dengan sebuah jalan kecil namun panjang yang berujung ke sebuah jalan besar. Restoran itu biasanya didatangi oleh banyak dari rekan kerjanya saat pulang k

  • Love is Dangerous   21. Waktu untuk berpikir

    Erickson sungguh tak menyangka bahwa ucapan Arthur malah benar adanya. Wanita di depannya ini tidak semudah itu untuk menyetujui. Lantas Erickson menyeringai tipis, ia memejamkan matanya seolah merasa puas.Berbeda dengan Alice yang kini malah bergidik ngeri melihat Erickson menampakkan senyum yang menurutnya menyeramkan. Bagaimana tidak, sebelumnya pria itu terlihat mengernyit tak senang, namun sedetik kemudian dia malah tersenyum menyeringai.Tanpa memedulikan ekspresi Alice yang terlihat jelas di matanya, Erickson dengan santainya berujar, "Mengapa kau ragu-ragu? Bukankah ini cukup menguntungkan bagimu?""Meskipun tidak banyak yang mengetahui tentang kandasnya hubungan saya, tapi tetap saja, hal ini terlalu tiba-tiba. Orang-orang pasti akan sama terkejutnya seperti saya saat ini."Erickson sedikit memicingkan matanya. Lalu ia tertawa kecil. "Jadi apa kau ingin menolak?" ujarnya memancing. Diperhatikannya dengan seksama wajah Alice yang sedang kebingungan.Alice menelan ludahnya saa

  • Love is Dangerous   20. Syarat

    Keheningan menyelimuti. Alice masih cukup linglung untuk bertanya pada Erickson yang saat ini masih mengawasinya dalam diam.Tidak pernah terpikirkan olehnya hal seperti itu akan datang kepadanya. Terlebih lagi dari orang yang dia hormati itu. Ini terlihat tidak nyata. Apa ini mimpi?"Anda bercanda, kan?" ucapan yang hanya ia katakan dalam hatinya ternyata lolos dari mulutnya. Ia sangat ingin memastikan. Dengan sedikit perasaan segan yang menyelimuti, Alice perlahan menatap manik Erickson yang ekspresinya masih sama; datar. Namun, Alice tahu bahwa tidak ada candaan dalam mimik muka itu. "Meskipun aku memberimu kontrak seperti ini, tapi tenanglah, ini bukan kontrak yang mengekang atau memiliki batas waktu," Erickson akhirnya mengeluarkan suaranya setelah memilih bungkam dan sejak tadi setia mengawasi Alice yang kebingungan. Ia lalu menyuruh Alice membaca isi dari kontrak itu dengan gestur tangannya. Jika gadis itu terus saja terperanjat, maka pembicaraan mereka ini tidak akan selesai b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status