Share

1. Rutinitas

"Maukah kau menjadi tunanganku?" Erickson berujar setelah memberikan kertas-kertas berisikan sebuah kontrak. Ia menatap iris lawan bicaranya yang kini membulatkan matanya sempurna dengan mantap. Kekagetan yang terlihat jelas dari raut wajah itu dirasa Erickson memang wajar. Namun bagaimana pun ia memikirkan, hanya gadis itu pilihannya.

Kertas-kertas yang berada di tangan si gadis berhamburan akibat terlepasnya pegangan tangannya. Gadis itu bernama Alice. Kini Alice terpegun begitu saja setelah mendengar kalimat yang tidak pernah ia sangka keluar dari mulut Erickson.

Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Dan lagi ada angin apa tiba-tiba ia dilamar atasannya sendiri di siang bolong begini?

Semua dimulai dari dirinya yang mendapatkan kepercayaan dari Erickson untuk sebuah proyek di perusahaan mereka dan membuat intensitas pertemuan mereka berdua menjadi lebih sering dari biasanya. Namun Alice tak pernah berpikir semua itu berubah menjadi sebuah ajakan pertunangan begini, apalagi mengingat ia yang baru saja dikhianati kekasihnya. Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh pria ini sehingga melakukan ini? Bukankah dia dikelilingi begitu banyak wanita cantik yang datang hampir setiap hari? Kenapa malah melamar dirinya?

***

Erickson melangkah melewati khalayak yang tengah mengobrol di meja sebuah lounge elit yang masih ramai meski waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia tak menyadari para wanita di sana yang melirik ke arahnya dengan tatapan kagum dan tersipu sejak ia menampakkan dirinya. Bagaimana tidak, ia bak seorang model yang tengah berjalan di atas panggung runway. Tubuh yang tinggi, pupil yang berwarna biru membuat orang yang menatap seakan tengah melihat langit indah di hari yang cerah, pahatan hidung yang terbentuk sempurna serta kulitnya yang putih memberikan impresi yang elegan pada dirinya. Dengan setelan jas pas badan berwarna hitam yang terpasang rapi di tubuhnya menambah kesan mencolok diantara banyaknya manusia yang berada di sana.

Tak butuh waktu lama untuknya sampai di ruang VIP yang menjadi tujuannya sejak awal. Ia segera dihadapkan dengan dua pria yang tengah bergurau di sana. Bersama dengan dua botol wine tergeletak di meja yang isinya telah habis tak bersisa entah sejak kapan.

Mereka serempak menoleh saat Erickson membuka pintu. Salah satu pria bernama Rino berdiri menghampiri Erickson lalu merangkulnya dengan ramah. Bau wine dalam sekejap memenuhi indera penciuman Erickson. Padahal janji temu mereka benar jam sembilan, namun menengok dua botol wine yang telah punah isinya, sepertinya mereka berdua sudah di sini lama sebelum dirinya.

"Bukankah kita harus membahas pekerjaan? Tapi kalian malah mabuk?" Erickson menyingkirkan tangan Rino dan memandangnya malas.

"Ayolah, kami tidak mabuk. Kami hanya bersantai sambil menunggumu datang." Pria satunya menyangkal.

Rino menyeka sisa wine yang berada di sudut bibirnya. "Arza, kau panggil mereka." Ia kemudian menarik Erickson untuk duduk di sebelahnya.

Arza memanggil beberapa wanita untuk masuk ke dalam ruangan mereka. Erickson menghela napas —tak suka dengan keadaan ini—. Banyak hal yang lebih penting baginya saat ini, namun kedua pria di depannya yang merupakan anak dari teman bisnis ayahnya itu juga merupakan investornya. Tak mungkin ia menunda event perusahaannya hanya karena kelakuan kedua pria itu. Meski mereka tampak seperti anak manja yang nakal tapi mereka juga punya andil dalam pekerjaannya.

Satu per satu wanita masuk ke ruangan. Alis Erickson bertaut. Muak melihat para wanita di depannya yang berpakaian minim itu memiliki sikap yang sama, mencoba sebaik mungkin terlihat menggairahkan. Pemandangan itu sudah menjadi tontonannya hampir setiap hari.

Ia terganggu dengan bermacam-macam parfum yang bercampur jadi satu di ruangan itu. Sejak awal tahu betul Rino dan Arza akan mengundang beberapa wanita pilihan mereka untuk menemani pertemuannya. Erickson berdecak. Ia bodoh mengiyakan ajakan kedua pemabuk itu. Jelas memang mereka berdua menjadikan pekerjaan sebagai salah satu alasan untuk mengajaknya bermain. Itu sudah terjadi berkali-kali.

"Aku mengiyakan karena memang masih banyak yang belum kita bicarakan, sedangkan meeting-nya datang dalam dua hari." Erickson menatap kesal Rino.

"Aku tahu. Kita bicarakan setelah ini."

Dua wanita mengapit kedua sisinya dengan manisnya. Erickson mengacuhkan keduanya dan hanya fokus pada berkas yang sejak tadi sudah dibukanya. Ia sungguh tidak tertarik pada wanita jika sedang berurusan dengan pekerjaan. Setidaknya berkas itu dirasanya lebih baik daripada mengamati dua pria menyedihkan di depannya yang hanya tahu mabuk saja.

Beberapa kali para wanita itu juga mengajaknya berbicara. Sayangnya tak ada yang menarik perhatiannya. Akan lebih baik jika mereka langsung membicarakan pekerjaan. Diliriknya jam tangannya. Ia mendengus. Malam ini ia harus ekstra sabar.

***

Dua jam berlalu begitu pula dengan semua urusan Erickson bersama kedua pria itu pun mencapai akhir. Tanpa membuang lebih banyak waktu di sana, Erickson beranjak pergi tanpa keraguan meski Rino dan Arza yang meracau memanggilnya asal. Erickson menggelengkan kepala, betapa tidak awasnya mereka berdua hingga mabuk melebihi batas. Padahal itu bisa menjadi hal berbahaya karena mereka bisa dengan mudah dijebak jika seseorang memiliki niat. Bahkan jika salah satu wanita di sana membeberkan bahwa ia telah dilecehkan pun tak ada yang tahu apakah itu kebenaran atau bukan.

Erickson memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Ia memencet tombol B1 yang mengantarnya menuju tempat mobilnya terparkir dengan seseorang yang telah menunggunya selama dua jam lebih.

Pria yang merupakan sekretarisnya itu sepertinya juga tengah melakukan pekerjaan, ia fokus pada laptop di depannya tak sadar sang atasan sudah berada di hadapannya.

"Apa kau belum selesai?" Erickson segera membuka pintu mobil belakang dan duduk di sana. Pria berkacamata yang diajak bicara pun kini menghentikan ketukan jarinya pada keyboard dan menoleh.

Erickson bersandar karena merasa lelah. Entah mengapa indera penciumannya seperti terganggu akibat parfum yang digunakan para wanita di dalam ruangan tadi. Bau itu masih menempel lekat di hidungnya meski ia sudah beranjak dari sana. Dilihatnya sekretarisnya yang menatapnya tanpa berucap sepatah katapun.

"Seperti yang kau duga, mereka lagi-lagi membawa banyak wanita." Erickson menjawab keingintahuan pria itu yang tertulis jelas di wajahnya.

"Jadi apa anda mabuk?" Pria itu menyelidik. Ingin tahu dengan semua detil yang ada.

"Arthur, kau tahu kan aku tidak suka minum saat bekerja." Erickson berdecak pelan, malas menjawab lebih.

Arthur menggeleng pelan. Pasti di dalam sana sangat kacau menilik dari wajah Erickson yang biasanya datar kini terlihat mengernyit kesal. Bahkan saat Erickson masuk ke dalam mobil, aroma parfum wanita yang tercium memenuhi Indra penciumannya bahkan membuatnya tak mengenal lagi aroma apa saja yang bercampur di sana yang begitu menyengat, itu saja sudah menjadi bukti seperti apa keadaan di dalam sana. Ia memuji Erickson yang menahan itu selama lebih dari dua jam mengingat dirinya sangat tak menyukai parfum yang menyengat. Itu juga menjadi alasan atasannya itu hampir selalu memakai masker meskipun di dalam ruangan kecuali ruang kantornya sendiri. Hidungnya amat sensitif akan wewangian yang kadang membuatnya merasa pusing bahkan mual jika mencium parfum yang terlalu kuat.

Melihat raut wajah Erickson yang sudah sangat lelah, tanpa berbicara lagi Arthur segera menjalankan mobilnya menuju apartemen milik sang atasan. Meski awalnya masih ada yang ingin dia diskusikan, tapi diurungkan karena dia tahu betul jika mood Erickson pasti tidak bagus malam itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status