Share

1. Rutinitas

Author: Juya Luc
last update Last Updated: 2022-03-22 20:39:30

"Maukah kau menjadi tunanganku?" Erickson berujar setelah memberikan kertas-kertas berisikan sebuah kontrak. Ia menatap iris lawan bicaranya yang kini membulatkan matanya sempurna dengan mantap. Kekagetan yang terlihat jelas dari raut wajah itu dirasa Erickson memang wajar. Namun bagaimana pun ia memikirkan, hanya gadis itu pilihannya.

Kertas-kertas yang berada di tangan si gadis berhamburan akibat terlepasnya pegangan tangannya. Gadis itu bernama Alice. Kini Alice terpegun begitu saja setelah mendengar kalimat yang tidak pernah ia sangka keluar dari mulut Erickson.

Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Dan lagi ada angin apa tiba-tiba ia dilamar atasannya sendiri di siang bolong begini?

Semua dimulai dari dirinya yang mendapatkan kepercayaan dari Erickson untuk sebuah proyek di perusahaan mereka dan membuat intensitas pertemuan mereka berdua menjadi lebih sering dari biasanya. Namun Alice tak pernah berpikir semua itu berubah menjadi sebuah ajakan pertunangan begini, apalagi mengingat ia yang baru saja dikhianati kekasihnya. Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh pria ini sehingga melakukan ini? Bukankah dia dikelilingi begitu banyak wanita cantik yang datang hampir setiap hari? Kenapa malah melamar dirinya?

***

Erickson melangkah melewati khalayak yang tengah mengobrol di meja sebuah lounge elit yang masih ramai meski waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia tak menyadari para wanita di sana yang melirik ke arahnya dengan tatapan kagum dan tersipu sejak ia menampakkan dirinya. Bagaimana tidak, ia bak seorang model yang tengah berjalan di atas panggung runway. Tubuh yang tinggi, pupil yang berwarna biru membuat orang yang menatap seakan tengah melihat langit indah di hari yang cerah, pahatan hidung yang terbentuk sempurna serta kulitnya yang putih memberikan impresi yang elegan pada dirinya. Dengan setelan jas pas badan berwarna hitam yang terpasang rapi di tubuhnya menambah kesan mencolok diantara banyaknya manusia yang berada di sana.

Tak butuh waktu lama untuknya sampai di ruang VIP yang menjadi tujuannya sejak awal. Ia segera dihadapkan dengan dua pria yang tengah bergurau di sana. Bersama dengan dua botol wine tergeletak di meja yang isinya telah habis tak bersisa entah sejak kapan.

Mereka serempak menoleh saat Erickson membuka pintu. Salah satu pria bernama Rino berdiri menghampiri Erickson lalu merangkulnya dengan ramah. Bau wine dalam sekejap memenuhi indera penciuman Erickson. Padahal janji temu mereka benar jam sembilan, namun menengok dua botol wine yang telah punah isinya, sepertinya mereka berdua sudah di sini lama sebelum dirinya.

"Bukankah kita harus membahas pekerjaan? Tapi kalian malah mabuk?" Erickson menyingkirkan tangan Rino dan memandangnya malas.

"Ayolah, kami tidak mabuk. Kami hanya bersantai sambil menunggumu datang." Pria satunya menyangkal.

Rino menyeka sisa wine yang berada di sudut bibirnya. "Arza, kau panggil mereka." Ia kemudian menarik Erickson untuk duduk di sebelahnya.

Arza memanggil beberapa wanita untuk masuk ke dalam ruangan mereka. Erickson menghela napas —tak suka dengan keadaan ini—. Banyak hal yang lebih penting baginya saat ini, namun kedua pria di depannya yang merupakan anak dari teman bisnis ayahnya itu juga merupakan investornya. Tak mungkin ia menunda event perusahaannya hanya karena kelakuan kedua pria itu. Meski mereka tampak seperti anak manja yang nakal tapi mereka juga punya andil dalam pekerjaannya.

Satu per satu wanita masuk ke ruangan. Alis Erickson bertaut. Muak melihat para wanita di depannya yang berpakaian minim itu memiliki sikap yang sama, mencoba sebaik mungkin terlihat menggairahkan. Pemandangan itu sudah menjadi tontonannya hampir setiap hari.

Ia terganggu dengan bermacam-macam parfum yang bercampur jadi satu di ruangan itu. Sejak awal tahu betul Rino dan Arza akan mengundang beberapa wanita pilihan mereka untuk menemani pertemuannya. Erickson berdecak. Ia bodoh mengiyakan ajakan kedua pemabuk itu. Jelas memang mereka berdua menjadikan pekerjaan sebagai salah satu alasan untuk mengajaknya bermain. Itu sudah terjadi berkali-kali.

"Aku mengiyakan karena memang masih banyak yang belum kita bicarakan, sedangkan meeting-nya datang dalam dua hari." Erickson menatap kesal Rino.

"Aku tahu. Kita bicarakan setelah ini."

Dua wanita mengapit kedua sisinya dengan manisnya. Erickson mengacuhkan keduanya dan hanya fokus pada berkas yang sejak tadi sudah dibukanya. Ia sungguh tidak tertarik pada wanita jika sedang berurusan dengan pekerjaan. Setidaknya berkas itu dirasanya lebih baik daripada mengamati dua pria menyedihkan di depannya yang hanya tahu mabuk saja.

Beberapa kali para wanita itu juga mengajaknya berbicara. Sayangnya tak ada yang menarik perhatiannya. Akan lebih baik jika mereka langsung membicarakan pekerjaan. Diliriknya jam tangannya. Ia mendengus. Malam ini ia harus ekstra sabar.

***

Dua jam berlalu begitu pula dengan semua urusan Erickson bersama kedua pria itu pun mencapai akhir. Tanpa membuang lebih banyak waktu di sana, Erickson beranjak pergi tanpa keraguan meski Rino dan Arza yang meracau memanggilnya asal. Erickson menggelengkan kepala, betapa tidak awasnya mereka berdua hingga mabuk melebihi batas. Padahal itu bisa menjadi hal berbahaya karena mereka bisa dengan mudah dijebak jika seseorang memiliki niat. Bahkan jika salah satu wanita di sana membeberkan bahwa ia telah dilecehkan pun tak ada yang tahu apakah itu kebenaran atau bukan.

Erickson memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Ia memencet tombol B1 yang mengantarnya menuju tempat mobilnya terparkir dengan seseorang yang telah menunggunya selama dua jam lebih.

Pria yang merupakan sekretarisnya itu sepertinya juga tengah melakukan pekerjaan, ia fokus pada laptop di depannya tak sadar sang atasan sudah berada di hadapannya.

"Apa kau belum selesai?" Erickson segera membuka pintu mobil belakang dan duduk di sana. Pria berkacamata yang diajak bicara pun kini menghentikan ketukan jarinya pada keyboard dan menoleh.

Erickson bersandar karena merasa lelah. Entah mengapa indera penciumannya seperti terganggu akibat parfum yang digunakan para wanita di dalam ruangan tadi. Bau itu masih menempel lekat di hidungnya meski ia sudah beranjak dari sana. Dilihatnya sekretarisnya yang menatapnya tanpa berucap sepatah katapun.

"Seperti yang kau duga, mereka lagi-lagi membawa banyak wanita." Erickson menjawab keingintahuan pria itu yang tertulis jelas di wajahnya.

"Jadi apa anda mabuk?" Pria itu menyelidik. Ingin tahu dengan semua detil yang ada.

"Arthur, kau tahu kan aku tidak suka minum saat bekerja." Erickson berdecak pelan, malas menjawab lebih.

Arthur menggeleng pelan. Pasti di dalam sana sangat kacau menilik dari wajah Erickson yang biasanya datar kini terlihat mengernyit kesal. Bahkan saat Erickson masuk ke dalam mobil, aroma parfum wanita yang tercium memenuhi Indra penciumannya bahkan membuatnya tak mengenal lagi aroma apa saja yang bercampur di sana yang begitu menyengat, itu saja sudah menjadi bukti seperti apa keadaan di dalam sana. Ia memuji Erickson yang menahan itu selama lebih dari dua jam mengingat dirinya sangat tak menyukai parfum yang menyengat. Itu juga menjadi alasan atasannya itu hampir selalu memakai masker meskipun di dalam ruangan kecuali ruang kantornya sendiri. Hidungnya amat sensitif akan wewangian yang kadang membuatnya merasa pusing bahkan mual jika mencium parfum yang terlalu kuat.

Melihat raut wajah Erickson yang sudah sangat lelah, tanpa berbicara lagi Arthur segera menjalankan mobilnya menuju apartemen milik sang atasan. Meski awalnya masih ada yang ingin dia diskusikan, tapi diurungkan karena dia tahu betul jika mood Erickson pasti tidak bagus malam itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Love is Dangerous   25. Apa itu kencan?

    Mobil Erickson sudah berhenti di depan apartemen Alice. Alice sudah hendak turun namun sebenarnya masih dilanda keingintahuan. Karena Erickson tidak memberitahunya alasan mengapa pria itu menanyakan kesibukannya malam besok."Sampai jumpa besok."Hanya kalimat itu yang ia dengar dari Erickson setelah dirinya turun dari mobil. Alice pun menelan rasa penasarannya. Ia mengangguk dan tak lupa berterima kasih.Mobil Erickson melaju tanpa ragu meninggalkan Alice yang masih berdiri menatap mobil hitam itu menghilang ditelan malam.***Erickson tengah duduk di meja kerjanya dengan wajah serius. Ia menatap sebuah kertas yang tergeletak diatas kotak besar di dalam ruangan tersebut. Sejak ia pulang dari mengantar Alice, ia sama sekali tak pergi kemana pun dan segera kembali ke apartemen. Saat ia kembali pun tak ada siapapun yang berada di apartemennya. Namun kini sebuah surat tergeletak dengan jelas di sudut meja yang bisa segera langsung tertangkap indera penglihatan Erickson. Terlebih lagi kot

  • Love is Dangerous   24. Candaan Erickson

    "Apa anda baru pulang?" Alice membuka mulutnya, mencoba mengganti topik pembicaraan mereka setelah dirinya menyadari sepertinya lawan bicaranya itu tak berniat sedikit pun untuk menjawab pertanyaannya tadi.Atmosfer yang masih terasa canggung. Disekeliling ada banyak orang memenuhi meja-meja di sana, sayangnya tak membuat Alice merasa lebih nyaman. "Yah, tapi untunglah. Kalau tidak, aku tidak akan tahu bahwa tunanganku sedang bersama pria lain." Erickson menggelengkan kepalanya dan berdecak menyayangkan.Itu terlihat palsu.Alice memejamkan mata, mengembuskan napas pelan. "Kenapa anda terus mengatakan tunangan?" Ia kesal. Padahal dirinya sudah berusaha mengganti topik mereka setelah Erickson tadi tidak mau menjawab pertanyaannya. Sekarang malah kembali menyinggung kata 'tunangan'. Alice merasa kata itu terlalu sering ia dengar beberapa hari belakangan."Karena kau tunanganku.""Masih belum. Bukankah masih ada waktu sampai sebelum jam 12 malam besok?""Berarti segera, bukan?""Itu bel

  • Love is Dangerous   23. Amarah Erickson

    Lengan kekar Erickson masih setia menempel di pundak Alice. Telapak tangannya yang dingin terasa menusuk ke dalam kulit bagian lengan atas Alice yang terekspos akibat gaun yang ia pakai hari ini menampilkan pundaknya dengan sempurna. Kini wajah Alice dan Erickson hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Dirinya kini bahkan bisa mendengar deru napas pria itu berpacu dengan degupan jantung miliknya yang berdetak lebih kencang dari sebelumnya.Mengapa Erickson berada di sampingnya? Memang tempat ini tak jauh dari kantor mereka, tetapi tetap saja itu tidak menjawab rasa penasaran Alice. Tidak jauh berbeda dengan dirinya, pria yang duduk di depannya pun memiliki keterkejutan yang sama. Dia terlihat membeku di tempat dengan mulut terbuka. Sepertinya dia tahu siapa yang tengah memeluk Alice saat ini."Erickson… Stewart…," ujarnya tak percaya menyebut nama Erickson. Wajahnya memucat. Sosok yang sebelumnya dia cibir dengan mulut yang sama, kini ia sebut namanya dengan ketakutan yang terpancar

  • Love is Dangerous   22. Makan siang bersama

    Ah, tidak. Saat ini yang terpenting adalah membuat mereka tidak makan di sana. Alice memutar otaknya. "Bagaimana kalau makan di luar saja? Saya rasa akan sedikit ramai di sana karena sepertinya kita orang terakhir yang datang." Alice berpura-pura melirik jam di tangannya untuk memperkuat alasannya. Padahal ia sama sekali tidak memerhatikan arah jarum jam tangannya itu menunjuk ke mana.Namun, ternyata hal itu cukup berhasil. Erickson melirik jam di tangannya dan beberapa saat kemudian ia berkata, "Benar. Kalau begitu, kita makan di tempat lain saja." Erickson membalikkan badannya dan membuat Alice merasakan kelegaan setelah beberapa saat merasakan kepanikan."Bagaimana dengan restoran di belakang?" Alice dengan sedikit bersemangat menyarankan. Itu adalah restoran yang berada di belakang gedung perkantoran mereka, yang berjarak hanya dengan sebuah jalan kecil namun panjang yang berujung ke sebuah jalan besar. Restoran itu biasanya didatangi oleh banyak dari rekan kerjanya saat pulang k

  • Love is Dangerous   21. Waktu untuk berpikir

    Erickson sungguh tak menyangka bahwa ucapan Arthur malah benar adanya. Wanita di depannya ini tidak semudah itu untuk menyetujui. Lantas Erickson menyeringai tipis, ia memejamkan matanya seolah merasa puas.Berbeda dengan Alice yang kini malah bergidik ngeri melihat Erickson menampakkan senyum yang menurutnya menyeramkan. Bagaimana tidak, sebelumnya pria itu terlihat mengernyit tak senang, namun sedetik kemudian dia malah tersenyum menyeringai.Tanpa memedulikan ekspresi Alice yang terlihat jelas di matanya, Erickson dengan santainya berujar, "Mengapa kau ragu-ragu? Bukankah ini cukup menguntungkan bagimu?""Meskipun tidak banyak yang mengetahui tentang kandasnya hubungan saya, tapi tetap saja, hal ini terlalu tiba-tiba. Orang-orang pasti akan sama terkejutnya seperti saya saat ini."Erickson sedikit memicingkan matanya. Lalu ia tertawa kecil. "Jadi apa kau ingin menolak?" ujarnya memancing. Diperhatikannya dengan seksama wajah Alice yang sedang kebingungan.Alice menelan ludahnya saa

  • Love is Dangerous   20. Syarat

    Keheningan menyelimuti. Alice masih cukup linglung untuk bertanya pada Erickson yang saat ini masih mengawasinya dalam diam.Tidak pernah terpikirkan olehnya hal seperti itu akan datang kepadanya. Terlebih lagi dari orang yang dia hormati itu. Ini terlihat tidak nyata. Apa ini mimpi?"Anda bercanda, kan?" ucapan yang hanya ia katakan dalam hatinya ternyata lolos dari mulutnya. Ia sangat ingin memastikan. Dengan sedikit perasaan segan yang menyelimuti, Alice perlahan menatap manik Erickson yang ekspresinya masih sama; datar. Namun, Alice tahu bahwa tidak ada candaan dalam mimik muka itu. "Meskipun aku memberimu kontrak seperti ini, tapi tenanglah, ini bukan kontrak yang mengekang atau memiliki batas waktu," Erickson akhirnya mengeluarkan suaranya setelah memilih bungkam dan sejak tadi setia mengawasi Alice yang kebingungan. Ia lalu menyuruh Alice membaca isi dari kontrak itu dengan gestur tangannya. Jika gadis itu terus saja terperanjat, maka pembicaraan mereka ini tidak akan selesai b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status