Share

5. Terkhianati

"Maaf? Kalau rumah saya… tidak terlalu jauh, sekitar dua puluh menit dari sini." Sebenarnya Alice tidak tahu alasan Erickson menanyakan itu.

Ia menatap lekat gadis di depannya itu, membaca tiap ekspresi yang ditunjukkannya. Terlihat hanya ada kebingungan di sana. Ia mengurungkan kalimat yang awalnya akan ia katakan dan menggantinya dengan kalimat lain. "Tidak ada, pulanglah." Erickson berbalik dan kemudian melanjutkan kembali memilah dokumen di mejanya.

"Baik. Selamat malam, Presdir." Alice yang masih kebingungan tak terlalu memusingkan dan segera melangkah keluar dari ruang Erickson. Belum juga dirinya menarik gagang pintu, sosok Arthur sudah berada di depannya.

Arthur tersenyum ramah padanya lalu mempersilakan dirinya untuk keluar. Alice pun membalas dengan sedikit anggukan dan tersenyum pada Arthur.

Sambil berjalan, Alice melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul delapan malam. Hatinya gembira. Sepertinya pekerjaannya hari ini selesai lebih awal dari dugaan Alice. Ia berpikir sejenak kemana harus mengisi perutnya yang sejak tadi berbunyi. Teringat dirinya akan sebuah cafe di ujung jalan tak jauh dari tempat tinggal Vio, pacar Alice. Meski cukup jauh dari kantornya, tapi entah mengapa ia sangat merindukan makanan di cafe itu.

Alice memutuskan memanggil taksi untuk mengantarnya ke tempat dimana ia akan memuaskan rasa laparnya.

Sepanjang perjalanan, Alice berkali-kali menimbang apa ia harus menghubungi Vio atau tidak. Namun Vio sudah berkata bahwa ia akan lembur sama seperti dirinya, Alice takut mengganggu pekerjaan Vio.

Dimasukkannya lagi ponselnya ke dalam tasnya. Tak masalah baginya jika ia makan sendiri. Bukankah besok adalah akhir pekan? Dia bisa bertemu Vio saat itu.

Diliriknya keluar kaca jendela sesaat setelah taksi yang ditumpanginya berhenti. Ia tersenyum cerah dan kemudian berterima kasih setelah membayar jasa sang sopir. Sudah hampir sebulan Alice tidak datang ke sini bersama Vio, yang biasanya itu adalah salah satu tempat yang sering didatangi mereka saat berkencan.

Alice menarik gagang pintu besi tersebut. Sedikit bingung saat dirinya disambut dengan raut wajah tercengang dari salah satu waiters yang sering melayaninya dan Vio saat mereka berkunjung. Alice berpikir mungkin itu dikarenakan dia sudah lama tak datang sehingga waiters itu terkejut. Alice menyapa dengan tersenyum ramah. Sang waiters terlihat gugup. Alis Alice terangkat sedikit tidak mengerti dengan suasana itu. Tak ingin terlalu memusingkan, Alice berjalan melewatinya. Ia ingin duduk di ujung ruangan tempat dimana biasanya Alice dan Vio duduk.

Alice terkinjat melihat sosok yang tak asing bagi indera penglihatannya. Seorang pria yang paras maupun pakaiannya sangat familiar bagi Alice tengah duduk di kursi yang rencananya akan ia gunakan malam itu, bercumbu dengan seorang wanita berambut blonde panjang dengan pakaian yang seksi. Spontan Alice mundur beberapa langkah sebelum akhirnya rasa penasarannya membuatnya melangkah maju. Kedua insan di depannya itu belum menyadari kehadirannya.

Perasaannya bergejolak, hatinya meronta berharap itu bukanlah sosok yang dikenalnya. Tidak mungkin Vio mengkhianatinya. Apalagi di tempat itu yang merupakan tempat istimewa bagi mereka. Di situlah Vio pertama kali mengungkapkan perasaannya, berharap Alice menyambutnya, juga merupakan tempat kencan pertama mereka setelah menjadi pasangan kekasih dan hingga kini masih menjadi tempat kencan yang tak luput didatangi mereka.

"Vio?" Alice memanggil dengan ragu, suaranya parau seperti menahan sesuatu. Digenggamnya erat ujung bajunya dengan sebelah tangan, matanya bergetar namun tak berpaling dari dua orang di hadapannya. Hatinya masih berharap itu bukanlah pria yang dicintainya.

Diliriknya kerah baju yang sedang dipakai sang pria, sekali lagi ia terpegun. Firasat buruk membanjirinya. Ia sangat ingat coretan kecil di ujung kemeja biru muda itu karena dirinya lah yang memberikannya. Saat itu mereka sedang berada di cafe yang sama, Alice dengan kebiasaannya memainkan pulpennya setelah ia menuliskan beberapa ide terkait proposalnya yang tiba-tiba muncul saat mereka berkencan lalu tanpa sengaja pulpen tersebut terlepas dari tangannya yang kemudian menodai ujung kemeja Vio.

Pandangan Alice semakin kabur setelah pria yang lebih dulu tersadar itu ikut terkesiap menatap Alice. Dilihatnya pria itu tersentak dengan mulut terbuka berusaha mengucapkan sesuatu namun tak ada satu patah kata pun yang terdengar. Kini air mata yang sejak tadi menumpuk di pelupuk matanya sudah terjun dengan bebasnya membentuk sebuah garis panjang dan berakhir terjatuh membasahi lantai.

Betapa sakit dadanya terasa kini sehingga bahkan untuk mengusap air mata pun ia tak sanggup. Tangannya bergetar hebat, jantungnya berdegup cepat. Bagai tersambar petir di hari yang cerah, pemandangan di depannya sungguh meluluhlantakkan seluruh hatinya. Lututnya pun sudah terasa lemas, ia tak kuat lagi berdiri, hatinya tak tahan lagi meronta ingin segera meninggalkan tempat itu.

Vio adalah cinta pertamanya yang diyakini akan menjadi cinta terakhirnya. Pria itu adalah pria yang selalu memperlakukannya dirinya dengan baik, tak pernah sekalipun Vio marah atau pun menyakitinya selama mereka menjalin kasih satu tahun belakangan ini. Pria yang sifatnya begitu tenang, yang senyumnya sehangat mentari pagi, yang selalu berkata lembut padanya ternyata di belakangnya ia bermain api. Bagaimana bisa Vio yang dikenalnya dengan Vio yang sekarang ada di hadapannya terlihat sama sekali berbeda? Apakah dirinya sekarang sedang salah paham? Atau Vio yang berdiri di depannya saat ini adalah jati diri Vio yang sebenarnya?

"Kau… bukankah kau bilang hari ini lembur?" Vio berjalan hati-hati, mencoba meraih pundak Alice.

"Dia siapa?" Wanita yang sejak tadi hanya dia dan terlihat bingung, kini membuka suara. Ditatapnya Alice dan Vio bergantian sebelum akhirnya ia mengangkat alisnya dengan tangannya yang menutup mulutnya. "Kau... tunggu... Vio, apa kau selingkuh?"

Sesak. Ruangan itu terasa sesak bagi Alice. Berkali-kali ia memegang lehernya. Rasanya ia tak bisa bernapas. Ia bahkan tak bisa lagi menatap kedua orang di depannya. Wanita itu malah mengira dirinya lah yang main belakang dengan Vio.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status