Home / Romansa / Love is Dangerous / 5. Terkhianati

Share

5. Terkhianati

Author: Juya Luc
last update Last Updated: 2022-03-22 20:59:51

"Maaf? Kalau rumah saya… tidak terlalu jauh, sekitar dua puluh menit dari sini." Sebenarnya Alice tidak tahu alasan Erickson menanyakan itu.

Ia menatap lekat gadis di depannya itu, membaca tiap ekspresi yang ditunjukkannya. Terlihat hanya ada kebingungan di sana. Ia mengurungkan kalimat yang awalnya akan ia katakan dan menggantinya dengan kalimat lain. "Tidak ada, pulanglah." Erickson berbalik dan kemudian melanjutkan kembali memilah dokumen di mejanya.

"Baik. Selamat malam, Presdir." Alice yang masih kebingungan tak terlalu memusingkan dan segera melangkah keluar dari ruang Erickson. Belum juga dirinya menarik gagang pintu, sosok Arthur sudah berada di depannya.

Arthur tersenyum ramah padanya lalu mempersilakan dirinya untuk keluar. Alice pun membalas dengan sedikit anggukan dan tersenyum pada Arthur.

Sambil berjalan, Alice melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul delapan malam. Hatinya gembira. Sepertinya pekerjaannya hari ini selesai lebih awal dari dugaan Alice. Ia berpikir sejenak kemana harus mengisi perutnya yang sejak tadi berbunyi. Teringat dirinya akan sebuah cafe di ujung jalan tak jauh dari tempat tinggal Vio, pacar Alice. Meski cukup jauh dari kantornya, tapi entah mengapa ia sangat merindukan makanan di cafe itu.

Alice memutuskan memanggil taksi untuk mengantarnya ke tempat dimana ia akan memuaskan rasa laparnya.

Sepanjang perjalanan, Alice berkali-kali menimbang apa ia harus menghubungi Vio atau tidak. Namun Vio sudah berkata bahwa ia akan lembur sama seperti dirinya, Alice takut mengganggu pekerjaan Vio.

Dimasukkannya lagi ponselnya ke dalam tasnya. Tak masalah baginya jika ia makan sendiri. Bukankah besok adalah akhir pekan? Dia bisa bertemu Vio saat itu.

Diliriknya keluar kaca jendela sesaat setelah taksi yang ditumpanginya berhenti. Ia tersenyum cerah dan kemudian berterima kasih setelah membayar jasa sang sopir. Sudah hampir sebulan Alice tidak datang ke sini bersama Vio, yang biasanya itu adalah salah satu tempat yang sering didatangi mereka saat berkencan.

Alice menarik gagang pintu besi tersebut. Sedikit bingung saat dirinya disambut dengan raut wajah tercengang dari salah satu waiters yang sering melayaninya dan Vio saat mereka berkunjung. Alice berpikir mungkin itu dikarenakan dia sudah lama tak datang sehingga waiters itu terkejut. Alice menyapa dengan tersenyum ramah. Sang waiters terlihat gugup. Alis Alice terangkat sedikit tidak mengerti dengan suasana itu. Tak ingin terlalu memusingkan, Alice berjalan melewatinya. Ia ingin duduk di ujung ruangan tempat dimana biasanya Alice dan Vio duduk.

Alice terkinjat melihat sosok yang tak asing bagi indera penglihatannya. Seorang pria yang paras maupun pakaiannya sangat familiar bagi Alice tengah duduk di kursi yang rencananya akan ia gunakan malam itu, bercumbu dengan seorang wanita berambut blonde panjang dengan pakaian yang seksi. Spontan Alice mundur beberapa langkah sebelum akhirnya rasa penasarannya membuatnya melangkah maju. Kedua insan di depannya itu belum menyadari kehadirannya.

Perasaannya bergejolak, hatinya meronta berharap itu bukanlah sosok yang dikenalnya. Tidak mungkin Vio mengkhianatinya. Apalagi di tempat itu yang merupakan tempat istimewa bagi mereka. Di situlah Vio pertama kali mengungkapkan perasaannya, berharap Alice menyambutnya, juga merupakan tempat kencan pertama mereka setelah menjadi pasangan kekasih dan hingga kini masih menjadi tempat kencan yang tak luput didatangi mereka.

"Vio?" Alice memanggil dengan ragu, suaranya parau seperti menahan sesuatu. Digenggamnya erat ujung bajunya dengan sebelah tangan, matanya bergetar namun tak berpaling dari dua orang di hadapannya. Hatinya masih berharap itu bukanlah pria yang dicintainya.

Diliriknya kerah baju yang sedang dipakai sang pria, sekali lagi ia terpegun. Firasat buruk membanjirinya. Ia sangat ingat coretan kecil di ujung kemeja biru muda itu karena dirinya lah yang memberikannya. Saat itu mereka sedang berada di cafe yang sama, Alice dengan kebiasaannya memainkan pulpennya setelah ia menuliskan beberapa ide terkait proposalnya yang tiba-tiba muncul saat mereka berkencan lalu tanpa sengaja pulpen tersebut terlepas dari tangannya yang kemudian menodai ujung kemeja Vio.

Pandangan Alice semakin kabur setelah pria yang lebih dulu tersadar itu ikut terkesiap menatap Alice. Dilihatnya pria itu tersentak dengan mulut terbuka berusaha mengucapkan sesuatu namun tak ada satu patah kata pun yang terdengar. Kini air mata yang sejak tadi menumpuk di pelupuk matanya sudah terjun dengan bebasnya membentuk sebuah garis panjang dan berakhir terjatuh membasahi lantai.

Betapa sakit dadanya terasa kini sehingga bahkan untuk mengusap air mata pun ia tak sanggup. Tangannya bergetar hebat, jantungnya berdegup cepat. Bagai tersambar petir di hari yang cerah, pemandangan di depannya sungguh meluluhlantakkan seluruh hatinya. Lututnya pun sudah terasa lemas, ia tak kuat lagi berdiri, hatinya tak tahan lagi meronta ingin segera meninggalkan tempat itu.

Vio adalah cinta pertamanya yang diyakini akan menjadi cinta terakhirnya. Pria itu adalah pria yang selalu memperlakukannya dirinya dengan baik, tak pernah sekalipun Vio marah atau pun menyakitinya selama mereka menjalin kasih satu tahun belakangan ini. Pria yang sifatnya begitu tenang, yang senyumnya sehangat mentari pagi, yang selalu berkata lembut padanya ternyata di belakangnya ia bermain api. Bagaimana bisa Vio yang dikenalnya dengan Vio yang sekarang ada di hadapannya terlihat sama sekali berbeda? Apakah dirinya sekarang sedang salah paham? Atau Vio yang berdiri di depannya saat ini adalah jati diri Vio yang sebenarnya?

"Kau… bukankah kau bilang hari ini lembur?" Vio berjalan hati-hati, mencoba meraih pundak Alice.

"Dia siapa?" Wanita yang sejak tadi hanya dia dan terlihat bingung, kini membuka suara. Ditatapnya Alice dan Vio bergantian sebelum akhirnya ia mengangkat alisnya dengan tangannya yang menutup mulutnya. "Kau... tunggu... Vio, apa kau selingkuh?"

Sesak. Ruangan itu terasa sesak bagi Alice. Berkali-kali ia memegang lehernya. Rasanya ia tak bisa bernapas. Ia bahkan tak bisa lagi menatap kedua orang di depannya. Wanita itu malah mengira dirinya lah yang main belakang dengan Vio.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Love is Dangerous   25. Apa itu kencan?

    Mobil Erickson sudah berhenti di depan apartemen Alice. Alice sudah hendak turun namun sebenarnya masih dilanda keingintahuan. Karena Erickson tidak memberitahunya alasan mengapa pria itu menanyakan kesibukannya malam besok."Sampai jumpa besok."Hanya kalimat itu yang ia dengar dari Erickson setelah dirinya turun dari mobil. Alice pun menelan rasa penasarannya. Ia mengangguk dan tak lupa berterima kasih.Mobil Erickson melaju tanpa ragu meninggalkan Alice yang masih berdiri menatap mobil hitam itu menghilang ditelan malam.***Erickson tengah duduk di meja kerjanya dengan wajah serius. Ia menatap sebuah kertas yang tergeletak diatas kotak besar di dalam ruangan tersebut. Sejak ia pulang dari mengantar Alice, ia sama sekali tak pergi kemana pun dan segera kembali ke apartemen. Saat ia kembali pun tak ada siapapun yang berada di apartemennya. Namun kini sebuah surat tergeletak dengan jelas di sudut meja yang bisa segera langsung tertangkap indera penglihatan Erickson. Terlebih lagi kot

  • Love is Dangerous   24. Candaan Erickson

    "Apa anda baru pulang?" Alice membuka mulutnya, mencoba mengganti topik pembicaraan mereka setelah dirinya menyadari sepertinya lawan bicaranya itu tak berniat sedikit pun untuk menjawab pertanyaannya tadi.Atmosfer yang masih terasa canggung. Disekeliling ada banyak orang memenuhi meja-meja di sana, sayangnya tak membuat Alice merasa lebih nyaman. "Yah, tapi untunglah. Kalau tidak, aku tidak akan tahu bahwa tunanganku sedang bersama pria lain." Erickson menggelengkan kepalanya dan berdecak menyayangkan.Itu terlihat palsu.Alice memejamkan mata, mengembuskan napas pelan. "Kenapa anda terus mengatakan tunangan?" Ia kesal. Padahal dirinya sudah berusaha mengganti topik mereka setelah Erickson tadi tidak mau menjawab pertanyaannya. Sekarang malah kembali menyinggung kata 'tunangan'. Alice merasa kata itu terlalu sering ia dengar beberapa hari belakangan."Karena kau tunanganku.""Masih belum. Bukankah masih ada waktu sampai sebelum jam 12 malam besok?""Berarti segera, bukan?""Itu bel

  • Love is Dangerous   23. Amarah Erickson

    Lengan kekar Erickson masih setia menempel di pundak Alice. Telapak tangannya yang dingin terasa menusuk ke dalam kulit bagian lengan atas Alice yang terekspos akibat gaun yang ia pakai hari ini menampilkan pundaknya dengan sempurna. Kini wajah Alice dan Erickson hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Dirinya kini bahkan bisa mendengar deru napas pria itu berpacu dengan degupan jantung miliknya yang berdetak lebih kencang dari sebelumnya.Mengapa Erickson berada di sampingnya? Memang tempat ini tak jauh dari kantor mereka, tetapi tetap saja itu tidak menjawab rasa penasaran Alice. Tidak jauh berbeda dengan dirinya, pria yang duduk di depannya pun memiliki keterkejutan yang sama. Dia terlihat membeku di tempat dengan mulut terbuka. Sepertinya dia tahu siapa yang tengah memeluk Alice saat ini."Erickson… Stewart…," ujarnya tak percaya menyebut nama Erickson. Wajahnya memucat. Sosok yang sebelumnya dia cibir dengan mulut yang sama, kini ia sebut namanya dengan ketakutan yang terpancar

  • Love is Dangerous   22. Makan siang bersama

    Ah, tidak. Saat ini yang terpenting adalah membuat mereka tidak makan di sana. Alice memutar otaknya. "Bagaimana kalau makan di luar saja? Saya rasa akan sedikit ramai di sana karena sepertinya kita orang terakhir yang datang." Alice berpura-pura melirik jam di tangannya untuk memperkuat alasannya. Padahal ia sama sekali tidak memerhatikan arah jarum jam tangannya itu menunjuk ke mana.Namun, ternyata hal itu cukup berhasil. Erickson melirik jam di tangannya dan beberapa saat kemudian ia berkata, "Benar. Kalau begitu, kita makan di tempat lain saja." Erickson membalikkan badannya dan membuat Alice merasakan kelegaan setelah beberapa saat merasakan kepanikan."Bagaimana dengan restoran di belakang?" Alice dengan sedikit bersemangat menyarankan. Itu adalah restoran yang berada di belakang gedung perkantoran mereka, yang berjarak hanya dengan sebuah jalan kecil namun panjang yang berujung ke sebuah jalan besar. Restoran itu biasanya didatangi oleh banyak dari rekan kerjanya saat pulang k

  • Love is Dangerous   21. Waktu untuk berpikir

    Erickson sungguh tak menyangka bahwa ucapan Arthur malah benar adanya. Wanita di depannya ini tidak semudah itu untuk menyetujui. Lantas Erickson menyeringai tipis, ia memejamkan matanya seolah merasa puas.Berbeda dengan Alice yang kini malah bergidik ngeri melihat Erickson menampakkan senyum yang menurutnya menyeramkan. Bagaimana tidak, sebelumnya pria itu terlihat mengernyit tak senang, namun sedetik kemudian dia malah tersenyum menyeringai.Tanpa memedulikan ekspresi Alice yang terlihat jelas di matanya, Erickson dengan santainya berujar, "Mengapa kau ragu-ragu? Bukankah ini cukup menguntungkan bagimu?""Meskipun tidak banyak yang mengetahui tentang kandasnya hubungan saya, tapi tetap saja, hal ini terlalu tiba-tiba. Orang-orang pasti akan sama terkejutnya seperti saya saat ini."Erickson sedikit memicingkan matanya. Lalu ia tertawa kecil. "Jadi apa kau ingin menolak?" ujarnya memancing. Diperhatikannya dengan seksama wajah Alice yang sedang kebingungan.Alice menelan ludahnya saa

  • Love is Dangerous   20. Syarat

    Keheningan menyelimuti. Alice masih cukup linglung untuk bertanya pada Erickson yang saat ini masih mengawasinya dalam diam.Tidak pernah terpikirkan olehnya hal seperti itu akan datang kepadanya. Terlebih lagi dari orang yang dia hormati itu. Ini terlihat tidak nyata. Apa ini mimpi?"Anda bercanda, kan?" ucapan yang hanya ia katakan dalam hatinya ternyata lolos dari mulutnya. Ia sangat ingin memastikan. Dengan sedikit perasaan segan yang menyelimuti, Alice perlahan menatap manik Erickson yang ekspresinya masih sama; datar. Namun, Alice tahu bahwa tidak ada candaan dalam mimik muka itu. "Meskipun aku memberimu kontrak seperti ini, tapi tenanglah, ini bukan kontrak yang mengekang atau memiliki batas waktu," Erickson akhirnya mengeluarkan suaranya setelah memilih bungkam dan sejak tadi setia mengawasi Alice yang kebingungan. Ia lalu menyuruh Alice membaca isi dari kontrak itu dengan gestur tangannya. Jika gadis itu terus saja terperanjat, maka pembicaraan mereka ini tidak akan selesai b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status