Share

Chapter 7

Pagi yang rusuh. Pandan dan Mbak Nanik saling berpandang-pandangan saat mendengar suara-suara pertengkaran dari dalam ruangan Pak Arsene. Bentakan-bentakan Pak Arsene yang diiringi dengan tangisan dan juga makian Bu Intan mewarnai pagi di P.T Inti Graha Anugrah. Mbak Nanik mengatakan selama hampir delapan tahun ia bekerja di perusahaan ini, belun pernah ada kasus yang seheboh ini. Biasanya saat ada pemecatan terhadap salah seorang staff, semua prosedur pemecatannya di tangai oleh pihak HRD. Jadi kalau yang bersangkutan tidak puas atau tidak terima bila dipecat, maka urusannya hanya sampai di HRD. Tidak ada yang berani memprotes apalagi sampai memaki-maki seorang Direktur Utama. Bu Intan merupakan satu-satunya staff senior yang berani langsung protes pada pimpinan tertinggi di perusahaan ini.

"Anda anak bau kencur tidak tahu apa-apa, bisa-bisanya Anda memperlakukan saya seperti ini. Dasar tidak tahu berterima kasih! Kalau tidak ada saya, perusahaan ini sudah kolaps setahun yang lalu. Apakah Anda tahu itu?" suara Bu Intan terdengar sampai keluar ruangan.

"Tetapi Anda juga sudah dibayar mahal oleh ayah saya bukan? Jadi tidak ada lagi istilah balas budi di sini. Tidak usah membawa-bawa jasa kalau Anda sudah menerima kompensasinya. Bahkan, nilai dari kompensasi itu sudah lebih dari yang seharusnya. Yang tidak tahu diri dan tidak tau terima kasih itu, Anda. Anda sudah melewati batas dari tugas Anda yang seharusnya!" gelegar suara Pak Arsene juga tidak kalah kerasnya dengan suara Bu Intan. 

"Baik. Saya akan resign saat ini juga. Kita akan sama-sama lihat, akan jadi apa perusahaan ini ditangan Anda? Anda pikir menjalankan perusahaan itu bisa hanya dengan mengandalkan kerja keras saja? Nonsense! Tanpa adanya trik-trik nakal dan lobby-lobby cantik, perusahaan ini sudah tinggal nama dari jauh-jauh hari. Apakah Anda tahu itu?"

"Tahu. Saya sangat tahu. Seperti saya juga tau kalau Anda adalah orang yang sangat ahli dalam melakukan trik-trik murahan sampai kebablasan. Tapi Anda tidak usah khawatir, saya sudah belajar banyak dari trik-trik lama Anda. Saya sekarang punya trik-trik baru yang lebih efektif cara kerjanya. Sekretaris saya sudah menghandle semuanya."

"Mememukan trik-trik baru? Sekretaris Anda sudah menghandle semuanya? Omong kosong! Anda menghina kecerdasaran saya kalau Anda membandingkan kinerja saya dengan sekretaris Anda yang pakaiannya sebelas dua belas dengan lemper itu. Saya sampai merasa kasihan melihat kancing bajunya yang seakan-akan meminta tolong karena  ltidak kuat lagi menahan beban."

Pandan nyengir lebar. Begitu juga Mbak Nanik dan beberapa staff yang ikut menguping pertengkaran atasan mereka. Cara Mbak Intan menggambarkan sekretaris Pak Arsene itu mewakili perasaan mereka semua. Pas banget! Bu Intan dan Pak Arsene masih terus saling jual beli kata-kata. Suasana makin lama makin memanas. Beberapa staff yang penasaran, diam-diam  menajamkan pendengaran mereka. Mereka semua kepo karena serunya adu mulut Bu Intan dengan atasan mereka.

Pintu ruangan Pak Arsene tiba-tiba terbuka. Bu Intan keluar dengan wajah merah padam dan berderaian air mata. Bu Intan berjalan lurus menuju ke ruang arsip tanpa mempedulikan tatapan keheranan para staff-staff lainnya. Beberapa menit kemudian ia keluar dengan sebuah kardus besar berisi barang-barang pribadinya. Pandan melihat ada photo-photo, buku-buku dan beberapa file-file lainnya. Dengan mulut yang membentuk garis lurus, Bu Intan mengunci mulutnya rapat-rapat dan berjalan cepat menuju ke tempat parkir. Ia kemudian masuk kecdalam mobil dan meninggalkan kantor dengan kepulan asap yang menyebar kemana-mana. 

"Wuihhh... serem banget ya, Ndan kalo Bu Intan yang biasanya sabar banget itu marah? Nggak nyangka gue kalau si ibu berani memaki-maki Pak Arsene seperti tadi. Salut gue!"  Mbak Nanik bersiul kagum. Mbak Nanik yang memang doyan nonton sinetron itu sepertinya masih terpesona pada kegarangan Bu Intan walaupun pada akhirnya si ibu tetap resign juga. Pandan sebenarnya agak heran melihat interaksi antara atasannya dengan Bu Intan ini. Bertengkarnya mereka itu tidak mirip dengan pertengkaran antara karyawan dengan atasan. Tapi malah lebih mirip pertengkaran antar keluarga. Ya rasanya aneh saja kalau karyawan menangisnya sampai emosional dan baper seperti itu? Seperti habis diputuskan pacar saja. Pasti ada sesuatu di luar masalah pekerjaan yang tidak diketahui oleh mereka semua.

"Marahnya orang diem emang lebih serem, Mbak. Eh Mbak, saya boleh nggak ngerapiin ruang dokumen? Pasti keadaan ruangan itu sekarang berantakan setelah diacak-acak sama Bu Intan?" usul Pandan hati-hati.

"Ya udah sana rapiin. Emang sudah waktunya dibersihin juga. Ini kan hari kamis. Eh ntar lo jadi makan siang di luar nggak sama temen lo? Gue nitip gorengan ntar ye? Lo nggak usah takut. Gue bayar kok. Kagak minta dibeliin pake ucapan terima kasih doang," ujar Mbak Nanik kocak.

Pandan tertawa. Mbak Nanik ini walau judes tapi orangnya baik dan seru abis. Bodoh sekali mantan pacarnya yang dulu meninggalkannya. Memilih yang muda dari pada yang cinta dan setia. Padahal sekarang muda tapi sepuluh tahun lagi 'kan bakalan tua juga. Sementara cinta dan kesetiaan itu sifatnya abadi. Nggak ada batas waktunya. 

Pandan memindai pergelangan tangannya. Pukul sembilan pagi. Masih ada tiga jam lagi sebelum ia menjegal calon-calon client  Denver. Ia sudah begitu tidak sabar untuk membuat wajah kakaknya berseri-seri lagi. Masih terbayang di matanya, bagaimana kemarin kakaknya tersenyum gembira karena berhasil mendapatkan tiga project besar sekaligus tanpa ia sangka-sangka. 

Oke, mungkin caranya mendapatkan client memang licik. Tetapi tahapan yang dilalui kakaknya sebelum si calon client setuju untuk bekerjasama adalah murni atas usaha kakaknya sendiri. Ia tidak memiliki kontribusi sedikitpun di sana. Ia hanya memberi umpan, dan kakaknya sendirilah yang mengail dan mengeksekusinya. Ia tidak seperti Denver yang selain menjegal tapi juga membocorkan angka-angka nominalnya pada perusahaan Arsene. Denver itu pecundang sejati. 

Satu hal yang masih menggantung dalam pikiriannya adalah, mengapa Denver mau melakukan semua itu? Kompensasi dalam bentuk apa yang didapatkannya dari Arsene? Kalau hanya masalah uang, come on, seorang Delacroix Bimantara itu kaya. Malah kekayaannya jauh melebihi keluarga Arsene Darwis. Inilah misi selanjutnya yang harus ia gali. Misi pertamanya untuk mencari si penghianat usai sudah. Sekarang tinggal menyelidiki misi untuk apa si Denver melakukan semua ini? Pandan tau, tidak mudah memang menyingkap semua tabir ini. Tetapi jangan sebut ia sebagai putri Revan, kalau ia tidak mampu untuk mengungkap semua masalahnya hingga kecakar-akarnya. Just wait and see!

========================

Pandan keluar dari toilet cafe dengan penampilan yang sangat jauh berbeda. Kali ini ia menyamar menjadi seorang  gadis abege, karena calon clientnya berkepribadian kekinian dan masih sangat muda. Dari laman media sosialnya Pandan sudah bisa menyimpulkan kalau calon clientnya ini menyukai gadis-gadis muda. Makanya penampilannya kali ini buat menyerupai anak SMA. Ia mengenakan jumpsuit putih mix dalaman kaos rajut garis-garis, dan bandana yang ia ikat manis di atas puncak kepalanya. 

Sepertinya penyamarannya cukup sukses. Karena ada beberapa orang anak SMA yang sepertinya sedang bolos, terus saja mencuri-curi pandang penuh minat padanya. Mereka semua pasti mengira bahwa ia seusia dengan mereka. Syukurlah, itu berarti kemampuannya dalam hal merias wajah masih bisa diandalkan. Sekitar sepuluh menit menunggu, calon clientnya akhirnya muncul juga. Tepat seperti dugaannya, calon clientnya ini berpenampikan santai dengan kemeja softjeans di mix denim dan celana bahan coklat. Sangat kekinian sekali. 

"Bapak Irvan Halim? Kenalkan saya Meisya, adiknya Mbak Jessica." Pandan segera memperkenalkan diri dengan nama samaran yang baru.

"Saya Irvan Halim. Kenapa tidak Jessica saja yang menemui saya? Tapi... saya pikir keberuntungan sedang ada dipihak saya. Saya memang lebih suka memandangi wajah muda kamu dibandingkan dengan wajah serius kakakmu. Hehehehe..." 

Padahal Jessica itu ya gue juga. Dasar playboy cap duren tiga.

"Kakak saya kebetulan sedang ada urusan dengan Pak Reno. Makanya saja saya yang menemui Pak Irvan. Saya membawa contoh konsep--"

"Jangan manggil Bapak dong, Manis. Panggil Mas Irvan aja. Kan jadi lebih akrab kedengarannya."

Gatel banget ya, Pak? Pengen gue garukin nggak pake garukan sampah?

"Oh gitu ya, Mas? Baik. Saya panggil Mas aja deh." Walau eneg, Pandan tetap bersikap manis dan sopan.

"Kalo ditambah kata ganteng, jadi Mas Ganteng gitu manggilnya juga boleh kok?" Kata si calon client lagi. 

Tong sampah mana tong sampah? Kok gue jadi mendadak mual ya? 

"Oh iya Mas Ganteng. Ini adalah contoh konsep-konsep yang sudah pernah dikerjakan oleh Aditama Group. Saya kira Bapak eh Mas Gan--Ganteng langsung saja ke kantor dan melakukan negosiasi harga dengan pihak perusahaan. Mas Ganteng pasti akan mendapatkan penawaran terbaik di sana. Saya jamin." 

Pandan kembali tersenyum manis sembari sibuk menepis tangan si calon client. Tangan si Irvan ini geratil sekali. Selalu ingin  menyentuh bagian tubuhnya. Entah itu lengan atau bagian-bagian wajahnya. Pandan jadi  kepengen mengikat kedua tangan orang ini dengan tali tambang. Ternyata Reno memang benar. Temannya yang satu ini tangannya tidak bisa diam.

"Tidak masalah berapa harga yang mereka tawarkan. Saya setuju-setuju saja asal kapan-kapan jamu mau saya ajak jalan-jalan. Mau ya, Meisya?" rayu si calon client lagi. 

"Nanti saya pikirkan kalau Mas Ganteng sudah menandatangani draft-draft perjanjian kerjasama dengan Aditama Group." Sahut Pandan lugas. 

"Jangan khawatir. Sepulang dari sini, saya akan mengutus anak buah saya untuk segera menyusun schedule pertemuan dan kerjasama dengan Aditama Group secepatnya. Oh ya, saya juga akan membawa beberapa orang teman saya untuk bekerjasama dengan Aditama Group ini, karena konsepnya memang luar biasa. Sebenarnya besok mereka ada pertemuan dengan PT. Gilang Gemilang Pratama Mandiri. Tetapi setelah saya lihat bahwa konsep Aditama Group ini inovatif sekali, tidak ada salahnya saya menawarkan mereka untuk membanding-bandingkannya dengan konsep ini. Jadi bagaimana? Kamu bersedia saya ajak jalan tidak?" rayu si calon client lagi.

"Kalau Mas Ganteng sudah menandatangani MOU, terus beberapa teman Mas juga ikut bekerjasama, tentu saja saya bersedia. Kita saling membantu bukan? Win win solutions." Sahut Pandan ramah. 

Pandan sangat gembira kalau client-client Denver ini pindah ke perusahaan kakaknya semua. Hah, emang enak di tikung? Pandan sudah sangat tidak sabar untuk melihat bagaimana busuknya wajah si Denver nantinya. Kesian... kesian... kesian. Pandan tersenyum manis membayangkan kakaknya akan kembali tersenyum gembira dengan banyaknya project-project besar yang akan didapatkannya. 

Pandan akan melakukan apapun demi kelangsungan perusahaan kita, Kak. Apapun!

Tanpa Pandan ketahui, seseorang berkali-kali memotretnya yang tengah tersenyum sumringah dengan si calon  client. Ia tidak tahu kalau sebentar lagi bencana besar akan menghampirinya. Si penguntit kembali memotret dengan beberapa angle yang semakin memperlihatkan kedekatan mereka berdua. Ia mengotak-atik ponsel canggihnya sebentar. Mengetik beberapa patah kata sebelum mengirim photo-photo itu pada satu nomor yang ada dalam kontaknya. Setelah itu si penguntit diam-diam meninggalkan Pandan dan calon clientnya dengan senyum puas dibibirnya.

Pandan yang tidak tahu apa-apa, segera makan dengan lahap ketika pesanan makanan mereka telah datang. Sambil makan Pandan memikirkan seorang calon client yang akan coba ia lobby lagi nanti sore, sepulangnya dari kantor. Kegiatannya banyak sekali dalam seminggu terakhir ini. Selain sebagai seorang OG, ia juga melakoni berbagai macam profesi dalam penyamarannya. Dimulai dari seorang wanita karir, pemuda tampan rupawan, anak abege, dan nanti malam ia akan berperan sebagai seorang wanita muda berkelas yang anggun dan smart. Karena calon client yang akan ditikungnya adalah anak seorang mantan pejabat ternama negeri ini. Mantan anak pejabat ini akan membangun rumah sakit berskala internasional. Nama mantan anak pejabat itu adalah Thomas Pangestu adik dari pengusaha hotel-hotel bintang lima negeri ini Bratasena Pangestu.

========================

Denver memaki perlahan saat detektif swasta yang di hirenya, mengirimkan beberapa file. Sungguh ia tidak mengira kalau orang tidak bermoral itu adalah Pandan Wangi Aditama Perkasa. Setitik debu pun ia tidak pernah menduganya. Terlintas dipikiran saja tidak pernah. Makiannya bertambah kasar saat sang detektif memperlihatkan rekaman CCTV sebuah cafe. Cafe itu adalah tempatnya biasa nongkrong dengan Reno Malik dan Betrand Wiranata. Seorang gay yang kaya raya. Walaupun Pandan menyamar menjadi seorang laki-laki, matanya yang memang sudah terlatih untuk mengenali lekuk liku tubuh Pandan otomatis sudah mendeteksinya.  

"Gue pikir tubuh lo itu sesuci embun pagi. Tapi rupanya lo nggak ada bedanya dengan TPU di Bantar Gebang." Denver menggebrak meja kerjanya kasar. Menggulingkan kopi yang ada di atasnya. Matanya menatap layar ponsel dengan berapi-api saat melihat Pandan berjalan saling beriringan dengan Reno dan masuk ke dalam sebuah hotel. 

"Begini ini rupanya kelakuan lo divbelakang kakak lo yang memuji-muji lo sebagai gadis baik? Punya orang tua baik dan kakak selurus Lautan pun ternyata tidak menjamin akhlak lo ikutan baik juga rupanya. Bagaimana cara lo bisa tau soal semua client-client gue? Cara kotor apa lagi yang lo buat, setan kecil?"

Denver menggeram emosi melihat style Pandan yang seperti abege tapi kelakuan seperti perempuan yang sudah berpengalaman dengan laki-laki. Suara ketukan pintu membuat Denver menutup sejenak ponsel pintarnya. Setelah ia menjawab masuk, salah seorang detektif lainnya masuk diiringi dengan salah seorang staff administrasinya. Denver mengerutkan keningnya. Untuk apa detektif ini membawa staff adminnya? Sebuah pemikiran langsung singgah di kepalanya. Jangan-jangan staffnya inilah dalangnya!

"Selamat siang Pak Denver. Saya membawa orang yang telah membocorkan rahasia perusahaan kepada pihak luar." 

Ternyata dugaannya memang benar. Kalian semua berurusan dengan orang yang salah! Lihat saja, apa yang akan dilakukannya untuk membalas mereka semua. Mata untuk mata terlalu kecil artinya. Ia akan membuat mereka membayar semua perbuatan buruk mereka sampai keringnya keringat dan tetesan darah terakhir! 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status