“Aku gila karenamu ….” Rayhan berbisik di sela ciuman, tangannya sudah menggeser pinggul Alesha, menekan ke meja dapur.Alesha mendesah, suara kecil keluar dari tenggorokannya. “Rayhan ….” Suaranya bergetar, tapi bukan karena menolak.Ciuman itu pecah sebentar ketika Rayhan menurunkan bibirnya ke leher Alesha. Ia mengecap kulit hangat itu, menjilat pelan, lalu menggigit ringan hingga Alesha menggeliat. Tubuhnya merunduk, bibirnya bergerak di sepanjang tulang selangka.“Rasanya … aku tidak bisa menahan diri malam ini,” Rayhan mengaku, suaranya rendah, hampir seperti geraman.Alesha menggenggam bahunya erat, seolah itu satu-satunya pegangan agar tidak jatuh. “Kalau begitu ... Jangan … berhenti.”Rayhan menatapnya sekejap, matanya berkilat. Senyum tipis di bibirnya liar sekaligus menyakitkan. Ia meraih pinggiran baju tidur Alesha, perlahan menggeser ke atas. Suara kain yang bergesek terdengar jelas di ruang dapur yang sepi.Piyama tipis itu segera melorot dari bahunya, meninggalkan kulit
Rayhan menggeser kursinya perlahan, bunyi kayu berderit halus mengisi ruang dapur yang sepi. Alesha menoleh, dan detik itu tatapan mereka bersua. Ada jarak yang nyaris lenyap di antara mereka.Rayhan menempelkan dahinya ke dahi Alesha, napasnya berat, dadanya naik turun. “Kamu sadar, kan? Setiap kali kita mencoba berhenti, kita justru kembali … lebih dalam dari sebelumnya.”Alesha menelan ludah, jantungnya berdegup kacau. Ucapan itu menghantam tepat di inti hatinya. Ia tahu Rayhan benar—mereka seharusnya berhenti sejak lama. Namun, setiap pertemuan justru semakin menjeratnya.“Om … jangan,” bisik Alesha, hampir tak terdengar. Suaranya bergetar, seperti tali rapuh yang siap putus. Tapi Rayhan bukanlah orang bodoh; ia tahu persis arti di balik getaran itu. Itu bukan penolakan, melainkan permohonan lemah yang penuh paradoks.Rayhan tersenyum miring, tatapannya intens, penuh keyakinan. Jemarinya terangkat, menyusuri garis rahang Alesha dengan kelembutan yang berbahaya. “Kamu bisa menyuruh
Malam sudah dalam. Hujan deras yang sedari senja turun kini tinggal sisa rintik, menetes pelan di atap rumah keluarga itu. Jam dinding di ruang keluarga menunjuk hampir pukul satu dini hari. Semua penghuni rumah terlelap dalam tidurnya, kecuali satu orang: Alesha.Ia berbaring di ranjang empuk kamar Zira, tapi matanya menolak tertutup. Cahaya lampu tidur remang-remang hanya membuat pikirannya makin bising. Di sampingnya, Zira sudah terlelap sejak lama, bernapas pelan dengan posisi meringkuk.Alesha menatap langit-langit kamar, lalu menoleh ke jendela yang tertutup tirai tipis. Suara rintik hujan masih terdengar samar, beradu dengan desir angin. Ia merasa gelisah. Entah karena suasana asing dari rumah besar itu, atau … karena sosok seseorang yang terus membayang di kepalanya.Rayhan.Nama itu muncul tanpa diundang. Setiap kali ia mencoba memalingkan hati, bayangan pria itu semakin kuat menjerat. Tadi sore, di ruang keluarga, tatapan mereka berulang kali bersua. Bahkan di depan Zira sek
Alesha buru-buru menunduk, pura-pura sibuk dengan kertas kado. Ia takut Zira membaca sesuatu di wajahnya.Beberapa kali, situasi kecil kembali menciptakan jarak yang penuh ketegangan.Saat Alesha meraih kotak kado di pojok, tangannya hampir bersentuhan dengan tangan Rayhan yang juga ikut merapikan meja. Keduanya sama-sama menarik tangan dengan cepat, tapi justru itu membuat momen makin jelas terasa.“Aku taruh sini saja ya,” kata Rayhan pelan, suaranya nyaris berbisik ke arah Alesha.“Baik, Dok—eh, Om,” Alesha tergagap.Rayhan menahan senyum tipis, lalu mundur perlahan.Zira masih sibuk dengan boneka baru, tidak memperhatikan apa pun.Waktu berjalan, tumpukan kado berkurang satu demi satu. Hingga tanpa terasa, senja berubah jadi malam. Rintik hujan terdengar di luar, makin lama makin deras.Alesha duduk bersila di karpet, sedikit letih. Rambutnya jatuh ke bahu, pipinya memerah karena udara hangat.Rayhan, dari sofa, mengamati dalam diam. Ada sesuatu pada cara Alesha menghela napas, pa
Beberapa saat kemudian, Zira menepuk bahu Alesha. “Aku haus, ayo ke dapur ambil minum.”Mereka berdiri. Rayhan menoleh, menutup sejenak tabletnya. “Boleh ambilin Om juga segelas, Lesh?” katanya santai.Alesha mengangguk cepat. “Iya, Om.”Langkah mereka menuju dapur terasa aneh bagi Alesha, seolah ada sepasang mata yang mengikuti tiap geraknya.Di dapur, Zira sibuk mencari kue di kulkas. Alesha menuang air ke gelas, tangannya sedikit gemetar.“Lesh, kamu kenapa sih? Dari tadi kayak nggak fokus,” tanya Zira sambil melirik.“Enggak kok. Mungkin capek aja,” jawab Alesha, buru-buru meneguk air.Zira tidak curiga. Ia kembali asyik dengan kudapan, sementara Alesha berusaha mengatur napas.Mereka kembali ke ruang keluarga, membawa minuman dan sepiring kue. Alesha meletakkan segelas air di meja kecil dekat Rayhan. “Ini, Om,” ucapnya singkat.Rayhan mengangguk, pandangan matanya menahan sesuatu. “Terima kasih, Lesha.” Suaranya pelan, tapi cukup membuat Alesha menunduk buru-buru.Zira tidak sada
Suara riuh mahasiswa di kantin siang itu memenuhi udara, aroma nasi goreng dan mie instan bercampur dengan asap kopi sachet yang mengepul dari meja-meja kecil. Alesha mengaduk jus alpukatnya dengan sendok, matanya sesekali melirik ke arah pintu kantin, seolah mencari udara segar di tengah kebisingan.Zira duduk di hadapannya, sedang sibuk menyendok ayam penyet ke mulut. “Lesh, habis ini jangan buru-buru pulang, ya,” katanya dengan mulut penuh, lalu meneguk es teh manisnya.Alesha menoleh, keningnya berkerut. “Kenapa?”“Aku mau kamu ikut ke rumah, sekalian buka kado-kado yang kemarin belum sempat. Banyak banget, aku sampai pusing sendiri. Bantuin aku, please?” Zira meraih tangan Alesha, menggoyangnya manja.Alesha terdiam sejenak. Rumah Zira berarti … Rayhan. Pria itu, ayah sahabatnya sendiri, sekaligus rahasia yang ia simpan dalam-dalam. Rasanya belum siap berhadapan lagi setelah malam-malam yang membekas. Tapi menolak Zira? Itu sama saja menimbulkan kecurigaan.“Ya sudah,” jawab Ales