“Lucifer,” panggil Derry dengan lembut. Anak itu muncul dari belakang Derry dengan mata bengkak, seolah ia sudah menangis terlalu lama. Dari posturnya pun ia tampak lesu dan lemas.
“Yo,” sapa Lucifer dengan tangan kanan terangkat.
“Lucifer Guardian, memberi salam kepada Sasha tercinta.” Lucifer tersenyum lebar melihat adiknya yang menatap khawatir padanya. namun kekhawatiran tersebut langsung menghilang dari wajah gadis itu setelah melihat senyum lebar kakaknya yang tampak bodoh.
Sebagian besar orang sana mengetahui bagaimana Lucifer bersikap dan bertindak. Bukan hal baru bagi mereka yang sudah mengenal Lucifer. Meski berada di kelas S, Lucifer hampir tidak pernah menghadiri kelas materi guardian lagi. Namun ia tetap memiliki banyak teman dan tak sedikit pula yang senang dengan kehadirannya. Sosok serius Lucifer adalah hal yang mustahil untuk ditemukan, bahkan Sasha sendiripun hampir tak pernah melihat sosok itu. Selain menunjukkan sikap pemalasnya, Lucifer s
Bumi adalah planet spirit dengan energi sihir putih, begitulah yang tertulis pada catatan Kael. Bumi adalah planet tujuan ekspedisi terakhir yang dikunjungi Dominiq, guardian kelas X yang menghilang 4 tahun lalu di Bumi bersama para krunya yang terdiri dari para peri hada keturunan Yume dan Orius.Lima hari telah berlalu, berita Lucifer adalah anak ramalan masih hangat menjadi pembicaraan warga Boras. Mayoritas penduduk mulai percaya mendengar cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut. Bahkan saat Derry, sang penyihir agung tidak pernah mengonfirmasi kebenarannya, orang-orang menyimpulkan pendapat mereka sebagai kebenarannya.Bangunan kaca lab penelitian yang berdiri megah di pesisir kota Boras tampak sibuk pagi itu. Beberapa orang dengan jas lab berwarna putih tampak berlalu lalang di koridor bangunan dengan beberapa tumpuk kertas yang penuh akan coretan. "Letakkan di sana!" perintah Kael pada sepasang remaja perempuan yang membawakannya tumpukkan kertas. Mereka
Lucifer yang tak mampu mengunyah dan menelan makanannya menutup matanya yang berair dengan lengan kirinya. Badannya yang sedikit gemetar menunjukkan bahwa anak itu sedang menahan sesenggukan tangisnya. Kumi menatap gemas Lucifer dengan wajah yang tersenyum teduh. “Minum dulu.” Kumi mendorong gelas air minum di atas meja ke hadapan Lucifer. Dengan perasaan malu, Lucifer mengunyah makanannya dengan cepat dan segera menelannya dengan bantuan air minum. “Sudah merasa lebih baik?” tanya Kumi lembut. Lucifer hanya mengangguk kaku. Sasha membantunya menaruh gelas minum dan memberinya sapu tangan. Herman yang sedari tadi hanya memerhatikan mendekati Lucifer dan memegang tangannya. Lucifer tak bergeming dan hanya diam menunduk. “Sekarang lebih baik?” tanya Herman yang kini benar-benar diiyakan oleh Lucifer diikuti anggukan yang lebih meyakinkan dibandingkan tadi. Dia bisa merasakan energi Herman yang mengalir di setiap nadinya. Seolah darahnya berdesir seperti
Malam hari tepat di depan rumah keluarga Smith, Menara suci milik penyihir agung berdiri dengan cantiknya. Di dalam menara, Derry sedang memeluk manja istrinya, Sarah. Tangan wanita itu mengelus lembut rambut Derry yang bersandar di dadanya. Tiga pasang mata yang menyaksikan saat itu tentunya menatap dengan heran tingkah pemimpin planet yang dipuji-puji gagah nan hebat. Derry hanyalah suami pada umumnya yang bertingkah manja pada sang istri. “Ada anak-anak disini, Ayah.” Tayas bersuara dengan sangat malas. Gadis dengan bando putih itu sudah cukup bosan melihat kemesraan orang tuanya. “Tapi kita sudah berumur ....” belum usai Teyas menyelesaikan kalimatnya, Tayas sudah menatap tajam saudarinya itu. Gadis yang mengikat rambutnya seperti ekor kuda itu tampak cemberut usai menerima tatapan Tayas. “Aku mengerti jika hanya kalian yang melihatnya, tapi kenapa aku juga harus?” Kali ini Kael menyuarakan keluhannya. Dia bukan bagian dari keluarga Gillenhart yang
Sudah dua minggu lebih berlalu sejak saat Lucifer dibawa ke lab penelitian Kael. Anak laki-laki itu seperti tidak ada niatan kembali ke rumahnya, ke kamarnya yang ia sebut-sebut sebagai surga duniawinya. Siang itu tim peneliti Kael sedang melakukan pekerjaan di ruangan lab lainnya. Sebagai gantinya seorang gadis berkaca mata bulat yang tampak seumuran Lucifer berjaga di lab Kael, Eda Ralfen. Gadis itu hanya diam dan duduk di pinggir jendela sembari sesekali memperhatikan Lucifer yang sibuk pada kegiatan anehnya. “Membosankan,” keluh gadis itu pelan. Lucifer yang beberapa kali tertidur lalu terbangun lagi dengan benda-benda aneh di tangannya tentu saja menarik perhatian Eda untuk memeperhatikan. Namun sudah lebih dari setengah jam hal itu terulang, tentu saja gadis kecil itu bosan. Lucifer sendiri tampak belum menyerah dan masih berusaha melakukan eksperimennya. Bahkan mungkin ia tidak sadar akan kehadiran gadis itu di sudut lab berdinding putih itu. Lucifer berusaha
Mainan kayu berbentuk beruang yang menggantung di atasnya sudah tak asing lagi. Lucifer memandang mainan itu, ia sesekali berkedip dan mengalihkan pandangan ke langit-langit ruangan. Sepertinya sudah gelap di luar rumah, tampak langit-langit yang menggantungkan sebuah bola menyala terang berawarna keemasan. Tanpa sadar tangan-tangan mungil Lucifer bergerak seolah ingin meraih beruang kecil yang bergerak pelan oleh hembusan angin malam. Lalu sebuah tangan besar muncul dan menutup mata Lucifer, tangan hangat yang sedikit kasar. “Tidurlah sebentar, aku tidak ingin Harin kesusahan,” ucap si pemilik tangan besar dengan suara berat yang sangat khas seperti suara pria yang baru terbangun dari tidurnya. Seperti sihir, tubuh mungil Lucifer terlelap dan kesadarannya kembali ke Zois. “Sudah bangun?” tanya Herman yang masih memangku kepala Lucifer. Badannya ia sandarkan dengan tangan melipat di depan dadanya. Sepertinya ia juga tidak sengaja tertidur beberapa saat, dapat dilihat
Hari-hari monoton yang membosankan berlalu layaknya kewajiban yang tak bisa dilewati dengan mudah. Lucifer tidak berhenti mencoba semua hal dalam tiga tahun terakhir. Barang-barang aneh yang coba ia pindahkan lintas dimensi tidak ada yang sampai dengan sempurna dan semakin hancur. Bahkan kadang ia kerap gagal memindahkannya.“Aku tidak bisa merasakannya,” keluh Lucifer menatap jemarinya yang tampak kurus dan putih pucat. Lucifer terbangun dengan rambut sebahunya yang cukup berantakkan, kumis tipisnya menunjukkan ia sudah memasuki masa remaja yang sebenarnya. Lucifer delapan belas tahun memiliki perubahan drastis dalam hal fisik. Badannya yang jauh lebih tinggi dan besar, garis rahang yang tegas, namun wajah remaja berlesung pipi itu masih tampak manis seperti Lucifer tiga tahun lalu.“Pakai bajumu.” Herman melempar sebuah kaos berawarna gelap ke wajah Lucifer. Tidak langsung memakainya, Lucifer kembali merebahkan badannya dan hanya menaruh asal
Rantang merah muda yang sudah tidak asing keluar masuk di ruang laboratorium Kael Smith hari ini hadir kembali. Menu makan siang hari ini adalah ikan goreng dengan bumbu special milik Nyonya Smith dan sayuran yang ditumis dengan rempah-rempah yang menguarkan bau harum nan gurih. Hoodie merah muda panjang kebesaran dan rok putih sepaha membuat gadis mungil itu tampak sangat lucu dengan rantang yang senada dengan pakaiannya. Sepatu vantopel putihnya mengetuk-ngetuk lantai bersih itu dengan langkah kecilnya.“Hai, Sasha,” sapa seorang peneliti cantik dengan tag nama Mio Sahy dari dalam ruangan tersebut, saat Sasha terlihat di ambang pintu masuk. Sasha hanya tersenyum. Matanya terlalu sibuk memperhatikan kakaknya yang tertidur lelap masih di tempat yang sama di atas sofa yang mulai lusuh setelah tiga tahun sofa itu menjadi surga kedua Lucifer. Semua peneliti di lab itu berkumpul di meja bundar, mengikuti Sasha yang mulai menyiapkan makanan untuk mereka.“
Manusia itu bagaikan makhluk lemah berjiwa kuat. Walaupun berumur singkat, namun keinginan untuk bertahan hidupnya tidak bisa dianggap remeh. Mereka terlalu sulit untuk dijatuhkan dengan kenyataan, namun mudah dibangkitkan dengan kata-kata. Memang aneh dan tak mudah dimengerti. Bahkan pengetahuan mereka yang tak seberapa tak memungkinkan bagi mereka untuk menyerah pada Bumi kecil ini. Rasa haus akan pengetahuan, rasa penasaran yang tak ada habisnya, manusia cukup berbahaya jika soal rasa ingin tahu. "Jauh di timur ada planet yang sedang meneliti kita." Begitulah kata Lucifer kecil dengan jari yang menunjuk lurus ke langit timur. Hanya ada bintang-bintang yang menghiasi malam itu, bahkan bulan pun tak tampak. Entah planet apa yang dimaksud anak itu, sang ibu yang berdiri di sebelahnya hanya tertawa kecil seolah menanggapi lelucon yang ia percayai dari anaknya. "Ibu percaya?" Tanya Lucifer menatap ragu kepada ibunya. Sang ibu menunduk menatap kembali manik mata anaknya yang berbinar p