Aluna menarik napas dalam-dalam, menghembuskan secara perlahan, "Fatma, makasih yaa!" ucapnya, perasaan Aluna sudah lebih baik.
"Sama-sama! Harusnya kamu selalu cerita ke aku setiap ada masalah. Jangan di pendam sendiri! Apa gunanya persahabatan kita?" tutur Fatma dengan senyum lembutnya dan memegang tangan Aluna.
"Hahaha," tawa lirih Aluna, "siappp, jika ada apa-apa, aku pasti cerita!" lanjutnya.
"Hahaha!" tawa lirih mereka. Menghapus sisa air mata di wajah.
"Maafkan aku Fatma, tidak bisa menceritakan soal pernikahanku ke kamu, ini menyangkut kehidupan orang lain," batin Aluna.
***
Marfel sore ini sudah di perbolehkan pulang. Meskipun begitu, ia harus rutin melakukan hemodialisis. Setidaknya ginjal yang sudah tidak bisa berfungsi dengan baik, masih bisa di bantu lewat cuci darah. Perawatan untuk menggantikan fungsi ginjal dengan menggunakan ginjal buatan berupa mesin dialisis. Aluna menjemputnya, Zolan tidak bisa ke Rumah Sakit. Dalam
Terimakasih untuk kalian yang terus mengikuti novel Luka Cinta Aluna, jangan lupa vote yaaa...
"Tuan Muda dulu pernah menjalin hubungan dengan teman sekolahnya. Saat masih duduk di bangku SMA, Tuan sangat mencintainya. Namanya Sindy, Tuan Muda sering mengajaknya ke sini. Ia gadis yang sangat ceria. Non Sindy pintar masak dan juga mudah bergaul. Meskipun dia kekasih Tuan Muda, dia tidak pernah memperlakukan kami layaknya asisten. Dia juga sangat anggun. Menurutku kalau di lihat lebih dekat, Non Sindy sedikit mirip dengan Non Aluna. Hanya saja penampilan kalian berbeda." Ada jeda dalam ucapannya. "Maaf yah Non!" tuturnya dengan wajah yang tidak enak. "Lanjut saja Bi, tidak apa-apa," ucap Aluna sambil tersenyum, masih ingin menyimak. "Non Sindy juga sangat menyayangi Tuan Muda. Hingga akhirnya Non Sindy menghilang entah di mana keberadaannya. Sejak saat itu Tuan Muda banyak berubah." Bi Sarti terdiam, gerakannya seperti menunggu respon dari Aluna. Aluna tersenyum. "Terimakasih ya, Bi. oh iya, jangan lupa siapin bubur ayam untuk Ayah. Kata dokter, Ayah bel
Aluna ke kampus dengan perasaan bahagia, ini baru permulaan. Ia yakin suatu saat Zolan akan luluh. “Alunaa! Kenapa dari tadi kamu membaca buku sambil tersenyum?” tanya Fatma, menatap heran. “Haa! Tidak! Siapa bilang aku tersenyum?” Sanggah Aluna, leher bergerak ke kiri dan ke kanan, gerakkan tubuh yang membantah dugaan Fatma. “Ihhh, Aluna tidak waras. Senyum-senyum dengan buku,” sahut Fatma menjahili Aluna. “Tidak, Fatmaa! Siapa juga yang terseyum dengan buku? berhenti ganggu aku!” ucap Aluna, memukul pelan lengan Fatma meggunakan polpen. “Hhhsss! Berisik!” tegur salah seorang lelaki, di belakang Fatma. Saat ini mereka sedang berada di Perpustakaan. Semua orang terdiam fokus dengan buku yang sedang dibacanya. Sedikit terdengar suara, pasti akan mengganggu konsentrasi orang lain. “Maaf yaa!” ucap Fatma dengan bentuk tangan depan dada, memohon maaf. Tidak ada balasan dari lelaki itu. Ia kembali fokus dengan bacaannya. Mer
*** “Bi, Zolan sudah makan? Di meja masih ada makanan?” tanya Aluna pada Bi Sarti. Sebelum ke dapur ia melihat masih ada makanan di atas meja. “Belum, Non! Kalau Tuan Besar sudah makan. Tuan Muda masih di Kamarnya,” jawab Bi Sarti, sambil mencuci wajan. “Oh iya, Bi,” ucap Aluna lagi. Ia kembali ke meja makan. Memperlambat menyantap makanan yang ada di piring, menunggu Zolan agar bisa makan bersama. Namun yang di tunggu tak kunjung datang, hingga ia selesai makan. “Bi, tolong siapkan makanan untuk Zolan, aku akan membawakan ke kamarnya!” tutur Aluna sambil membawa bekas piring makan, ke Bi Sarti. Kaget, “Ehhh! Non kenapa piringnya di antarkan ke sini? Biar kami saja yang mengambilnya di meja makan,” ucap Bi Sarti. “Hehe, tidak apa-apa Bi,” ucap Aluna, tersenyum. “Maaf, tadi Non katakan apa?” tanya Bi Sarti karena tidak mendengar dengan jelas ucapan Aluna. “Tolong siapkan makanan untuk Zolan, aku akan mengantarkan ke kama
*** Kampus di penuhi mahasiswa, Aluna memegang dua buku berukuran tebal sambil berlari dari Perpustakaan menuju Ruang Kelas. "Aku tidak boleh telat!" batinnya. "Ini sudah hampir jam sembilan, kenapa yang lain belum datang? Fatma juga tidak ada. Hanya ada aku dalam kelas," tanya Aluna ke diri sendiri, "mungkin sebentar lagi teman-teman akan datang," lanjutnya. Ia meraih handphone dari dalam tas, menelepon Fatma. 'Fatma, kamu di mana? Kita kuliah jam berapa, kenapa di dalam kelas tidak ada teman-teman?' tanya Aluna, setelah Fatma mengangkat telepon. 'Aluna kenapa sihh? Hari ini kita tidak ada matakuliah, adanya besok!' jawab Fatma masih dengan suara mengantuk. 'Haa! kok bisa?' ucap Aluna sambil mengingat hari, 'hari ini rabu kan?' lanjutnya lagi. 'Ya Tuhan, Alunaa! Ini hari selasa. Siapa bilang rabu. Matakuliah hari ini di pindahkan hari kamis. Kamu sungguh mengganggu mimpiku Aluna,' kesal Fatma, 'sudah yaa! Sebentar aku akan ke kampus m
"What? Sebenarnya siapa yang butuh dan membutuhkan di sini?" Aluna masih terus membatin, ia merasa jengkel. Tidak mungkin Aluna mengatakan kalimat itu kepada Anton. Ia masih ingin selesai kuliah dengan aman. "Baik, Pak! Aku akan menjadi guru les anak anda!" ucap Aluna, terpaksa dan pasrah. "Okey, di mulai besok sore! Silahkan Keluar!" lanjut Anton setelah mendengar jawaban Aluna. "Apaa? Aku langsung di usir? Dosen ini benar-benar kelewatan. Hatinya terbuat dari apa?" batin Aluna, ia berdiri dan langsung keluar dari Ruangan Anton. "Sungguh sial aku hari ini. Harusnya aku masih bersantai ria di Rumah. Mengapa juga aku bisa lupa, jika hari ini tidak ada matakuliah? Dan sialnya lagi, aku harus bertemu dosen yang sangattt menyebalkan di dunia!" ucap Aluna dengan suara yang tak mungkin di dengar oleh orang. Aluna berjalan menuju Perpustakaan. Setibanya, Aluna mengambil buku yang ingin ia baca dari dalam tas. Ia terlihat fokus membaca buku, tepatnya
*** Aluna tidak mengerti rencana Fatma. Saat ini ia sedang berhadapan dengan perias yang sudah di bayar oleh Fatma. "Entah berapa banyak uang yang sudah Fatma keluarkan? Membeli gaun dan menyewa perias, aku rasa tidak murah. Ingin menolak, tapi tidak mau membuat Fatma kecewa. Sebenarnya aku merasa malu, sebagai wanita, di dandani oleh lelaki," batin Aluna. Mata Aluna di beri softlens. Perih, hingga air matanya jatuh. Bukan karena rabun, ia tidak rabun, hanya untuk mempercantik mata. Wajah Aluna sudah selesai di rias, kini tangan lelaki itu berpindah pada rambut. "Ini rambutku akan dibuat seperti apa?" lirih Aluna, saat tangan mengambil sedikit rambut bagian atas. "Kamu tunggu saja hasilnya," tutur lelaki itu, mengikat rambut Aluna dengan pita, sisa rambut yang lain di biarkan terurai. "Sudah selesai! Sekarang waktunya ganti baju," lanjutnya dengan gaya yang ayu. Menuruti perintah, Aluna berdiri, melihatnya dengan intens, "Ia sangat ganteng jik
"Ini Aluna, teman Fatma!" jawab Fahmi. Dengan seyum yang Aluna tidak tahu apa maksudnya. "Aku, Aluna!" memperkenalkan diri pada Zolan. Tangannya terulur ke depan. "Apakah Zolan, lelaki yang di maksud Fatma beberapa hari lalu? Haruskah sekarang aku mengikuti permainannya? Berpura-pura tidak saling kenal! Jika ini yang diinginkan Zolan, baiklah, akan aku turuti. Zolan tidak ingin, Pernikahan kami ada yang tahu!" batin Aluna. "Zolan!" jawabnya singkat dan tersenyum. Sambil membalas uluran tangan Aluna. "Ini pertama kalinya tangan kotorku menyentuh tangan Zolan. Ini juga pertama kali aku melihat senyum Zolan, sangat manis. Tetapi senyuman itu untuk Aluna, teman Fatma. Bukan Aluna, istrinya!" batin Aluna, ia pun ikut tersenyum. "Malam ini Zolan terlihat sangat berwibawa. Dengan Jas berwarna silver dan rambut disisir rapi. Siapa pun yang melihatnya akan terpesona. Zolan memiliki tinggi 185 cm. Aku baru sadar, jika aku terlihat begitu kecil saat berhadapan dengan Zo
*** “Bro minggu depan kita akan ke Bali!” ucap Fahmi. Ia sedang makan di Ruangan Zolan. Zolan tidak menjawab pertanyaan Fahmi, ia justru balik bertanya, “Fahmi, siapa perempuan yang kemarin datang bersama adik kamu,” tuturnya. "Mengapa Aluna bisa mengenal adik Fahmi?" batin Zolan penasaran. “Dia sahabat Fatma, satu jurusan di kedokteran,” jawab Fahmi sambil tersenyum. Belum pernah Zolan menanyakan soal perempuan kepadanya. Sudah banyak perempuan yang Fahmi kenalkan pada Zolan, tetapi tidak satu pun yang ia gubris. “Semoga usahaku berhasil, ini bisa jadi lampu merah untuk mereka berdua. Perempuan itu memang sangat cantik, tidak heran jika Zolan menanyakannya,” batin Fahmi. Kaget Zolan. Ia yang awalnya sedang mengetik berkas di laptopnya, mengangkat kepala dan menatap Fahmi. “Perempuan itu kuliah?” tanya Zolan. keningnya berkerut, heran. “Iya!” jawab Fahmi. Ia masih sibuk menyantap makanan yang ada di hadapannya. Tidak melihat respon Zol