Aluna sedang terburu-buru ke kampus. Bernama lengkap Aluna Mentari, usia dua puluh satu tahun, seorang mahasiswa kedokteran di sebuah kampus di Kota Kendari, memiliki sahabat bernama Fatma. Saat ini ia sedang mengendarai motor kesayangannya. Kendaraan yang selalu menemani ke mana pun Aluna pergi.
"Hari ini ada ujian dari Pak Anton. Dosen yang terkenal killer. Padahal ia tidak pernah membunuh mahasiswa. Jika pernah membunuh, pasti sekarang tidak menjadi Dosen. Mengapa Dosen yang terkenal disiplin, tidak pernah tersenyum, dan pelit nilai dikatakan Killer? Padahal 'kan Killer itu pembunuh. Kasian sekali mereka! Kapan negara kita bisa maju, jika sesuatu yang baik dikatakan membunuh?" batin Aluna, selama perjalanan menuju kampus, "entahlah itu bukan urusanku," lanjutnya sambil melihat lampu yang masih berwarna merah.
Tiba di Kampus pukul tujuh lewat, lima belas menit lagi ujian akan dimulai. Masih ada waktu untuk belajar. Beberapa hari ini ia tidak belajar, di Toko Kue sedang banyak orderan. Selain kuliah Aluna juga memiliki usaha yang di rintis bersama Fatma. Usaha itu sudah berdiri selama lima bulan, sehingga harus membagi waktu antara kuliah dan kerja.
"Alunaa!" panggil Fatma membuyarkan pikiran Aluna.
"Heii!" balas Aluna dan menunggu di antara banyak mahasiswa, "kamu sudah belajar? Aku tadi ketiduran belum sempat membaca catatan yang pernah di beri oleh Pak Anton," lanjutnya lagi setelah mereka berjalan beriringan .
"Alahh! Kamu itu tidak belajar juga pasti bisa mengerjakan soal. Katanya tidak belajar, ujung-ujungnya dapat nilai tertinggi! Meskipun tidak belajar, yang mendapat nilai tertinggi sudah pasti kamu!" Fatma berkata dengan suara cempreng, terdengar oleh semua mahasiswa.
"Huss! Diam! Malu di dengar orang! Menyesal aku, ajak kamu ngomong saat banyak orang," ucap Aluna, berjalan lebih dulu meninggalkan Fatma. Mata semua mahasiswa tertuju padanya. Fatma sangat senang membuat Aluna malu.
***
Ujian baru saja selesai, Aluna melangkah menuju arah parkir. Dari kejauhan terlihat tiga orang berseragam hitam berdiri dekat sepeda motornya. Ia memperlambat langkah, sejenak berpikir, "mungkin mereka sedang menunggu orang lain," tetapi semakin mendekat, mata mereka hanya tertuju ke arah Aluna.
"Maaf, bisakah aku mengambil motor itu?" tanya Aluna sopan, setelah tiba di Parkiran, sambil menunjuk motor. Badan mereka yang besar membuatnya takut.
"Apakah anda bernama Aluna?" tanya salah satu di antara mereka, menatap Aluna.
"Iya, aku Aluna. Ada apa ya?" jawabnya hati-hati.
"Kami datang untuk menjemput anda!" ujarnya dengan tegas.
"Ikutlah dengan kami! Jangan takut kami bukan orang jahat!" lanjut salah satu pria di sebelah kiri.
"Yaiyalah! Tidak ada orang jahat yang mengaku kalau dirinya jahat. Yang ada itu, orang jahat yang berpura-pura baik!" batin Aluna, belum menunjukkan gerakan untuk mengikuti mereka.
"Kami anak buah Pak Marfel! Dia teman dekat ibu anda! Ada wasiat dari ibu anda yang ingin disampaikan oleh Pak Marfel. Sekarang ia sedang di rawat di Rumah Sakit," ucap mereka bergantian, berusaha meyakinkan.
Aluna melihat mereka satu persatu, mencari tahu apakah ada kebohongan di wajah mereka. Setelah memastikan beberapa saat, "Baik! Aku akan ikut kalian!" ucapnya, berusaha meyakinkan diri, mereka bukanlah orang jahat.
"Silahkan ikuti kami! Kita akan menggunakan mobil. Motor anda akan ada yang bawa." sambil mengarahkan pandangan ke mobil hitam yang sudah terparkir tidak jauh dari tempat mereka berada.
Kurang lebih tiga puluh menit menempuh perjalanan, mereka telah tiba di Rumah Sakit. Aluna memasuki ruangan serba putih. Ada seorang pria yang di perkirakan usianya enam puluh tahun terbaring lemah dengan bantuan oksigen. Ia melihat ke arah Aluna dan berusaha tersenyum. Tiga orang yang menjemput, hanya mengantar sampai pintu ruangan. Mereka menyuruh untuk masuk sendiri. Aluna mendekat ke arah Marfel. Hampir sepuluh menit ia berdiri, Marfel hanya menatapnya. Hingga, dengan suara lemah, menyuruh Aluna mendengar rekaman yang sudah disediakan oleh ajudannya. Aluna mengambil dan memutar rekaman itu. Dan suara ini …
'Aluna sayang apa kabar, Nak? Sudah lama kamu tidak mendengar suara ibu! Ibu merekam suara ini saat ibu di rawat di Rumah Sakit. Maafkan ibu yang tidak bisa berbicara langsung ke kamu. Ibu ingin kamu menikah dengan anak Pak Marfel! Ibu yakin dia laki-laki yang bisa mendampingimu! Mungkin kamu belum pernah bertemu dengannya dan kamu juga belum mengenalnya. Tetapi, ibu harap kamu mau menerima perjodohan ini. Pak Marfel adalah teman ibu. Selama ibu sakit Pak Marfel sudah banyak membantu pengobatan ibu. Tetapi bukan karena itu, ibu ingin kamu menerima perjodohan ini! Ibu hanya yakin, dia adalah lelaki yang tepat untuk kamu! Kamu mau kan Aluna? Ibu harap kamu mau! Ibu sayang Aluna!'
"Oh Tuhan takdir seperti apa ini? Bagaimana mungkin aku mau menikah dengan orang asing," batin Aluna. Satu tetes air mata jatuh.
*** Sore itu Zolan mendapat kabar bahwa ayahnya di rawat di Rumah Sakit. Ia sedang melakukan rapat pembangunan hotel baru di Kota Bali. Belum selesai rapat ia langsung berdiri. Pikirannya tertuju pada sang ayah. Tergesa-gesa, ia meninggalkan ruang rapat. Entah apa yang akan terjadi sesudahnya, ia tidak peduli. Yang ada di pikiran Zolan sekarang, ayahnya sedang berada di Rumah Sakit dan sangat membutuhkannya. Zolan tahu ayahnya sudah lama menderita penyakit ginjal. Ia tidak kuat jika ayahnya pergi meninggalkannya, meskipun ia tahu cepat atau lambat ayahnya pasti akan menyusul ibunya. Setiap kali mendengar ayahnya di Rumah Sakit, Zolan sangat takut. Hingga otaknya tak mampu untuk berpikir panjang, selain melihat langsung kondisi ayahnya. Setibanya Zolan di pintu ruangan, ia berdiri sejenak, menarik napas dan menguatkan mental. Zolan melihat sosok ayah yang terbaring lemah di atas tempat tidur, menatap wajah pucat yang berada di hadapan. Sepertinya sang ayah sed
*** Aluna sedang berada di Kontrakan kecilnya. Setelah mendengar rekaman suara, Sejenak Aluna terdiam dan langsung menyimpan alat itu di tempat asalnya. Aluna langsung melangkah keluar ruangan tanpa mendengar sepatah kalimat yang keluar dari bibir Marfel. Wajah Marfel terlihat bingung untuk berucap, saat melihat respon Aluna. Tidak peduli dengan suara lemah Marfel yang berusaha memanggilnya. Tidak peduli juga dengan orang suruhan Marfel yang menatapnya iba. Air mata tanpa pamit keluar dari kelopak mata, wajahnya sudah sangat kusut. Sekarang Aluna sedang berdiam diri di depan foto ibunya, yang terpajang di dinding rumah. di raihnya foto yang saat ini sedang ia tatap, "mengapa ibu tega menjodohkan aku dengan lelaki yang tidak aku kenal? Apa Ibu tidak sayang aku? Mengapa Ibu tega? Bagaimana mungkin ini akan terjadi padaku, Ibu?" ucap Aluna sambil mengusap, foto ibu telah berada di pangkuannya, ia membiarkan air mata membasahi. Aluna masih terus menangis.
Setelah menghabiskan waktu tiga puluh menit di Sekolah SMA Pelita Bunda, Zolan mengendarai mobil menuju ke Rumah Sakit. Ingatannya masih tertuju pada Sindy. Malam itu adalah ulang tahun Zolan, bertepatan dengan acara kelulusan. Zolan sedang menunggu di luar pagar, menunggu sang pujaan hati. Satu jam berlalu yang di tunggu belum juga nampak. Zolan berkali kali menghubungi Sindy, namun nomornya sudah tidak aktif. Tidak ingin penasaran, Zolan membuka pagar Rumah. Ternyata, Rumah minimalis berlantai satu itu telah kosong. Hanya ada lampu teras yang menerangi. Zolan masih menaruh harapan, mungkin saja listrik rumah sedang bermasalah. Ia mengetuk pintu rumah. Tidak ada sahutan dari dalam. Tiga kali ketukan pintu sambil memanggil nama Sindy, tetapi masih tetap sama. Sepuluh kali ketukan, tidak berubah. Zolan duduk bersandar di depan pintu. Ia menunggu hingga jam satu malam. Pemilik rumah belum memunculkan diri. Sampai sekarang ia tidak tahu di mana
*** Hari ini Aluna bangun lebih pagi, ia harus menyiapkan semua barang yang akan di bawa. Tidak banyak, Hanya baju satu koper dan satu kardus berisi buku-buku yang ia anggap penting. Aluna memandang setiap sisi rumah, "aku akan tetap kontrak, di sini ada banyak kenangan bersama ibu. Lagian, tidak mungkin aku membawa semua barang yang ada di rumah ini. Mau aku taruh di mana?" Kemarin setelah mendapat pesan dari anak buah Marfel, Aluna berusaha bangkit dan pulang ke kontrakan. Tersadar, mungkin inilah yang terbaik untuknya. Tentang hati, tidak ada yang tahu, akan jatuh cinta pada siapa. Mungkin setelah hidup dengannya, Aluna bisa mencinta. Aluna juga sudah menghubungi Fatma, hari ini Toko kue di tutup. Ia tidak mungkin bisa bekerja dalam kondisi tidak baik. "Mungkin karena hari ini adalah minggu, semua orang libur, sehingga Pak Marfel ingin pernikahan di langsungkan hari ini," batin Aluna Tak lupa pula, Aluna membawa satu-satunya barang
"Ternyata lelaki ini yang akan menjadi suamiku. Oh Tuhan. Dia sangat ganteng!" batin Aluna, sambil sesekali melihat Zolan, tak ingin ketahuan jika sedang mengagumi indahnya ciptaan Tuhan di hadapannya. Mata bulat, hidung mancung, ada sedikit janggut yang ia bisa hitung jumlahnya, kulit putih bersih, dan alis tebal yang menambah kesempurnaan wajahnya. Di samping tempat tidur Marfel, sudah disediakan meja dan kursi untuk akad nikah. Aluna melangkah kecil menuju tempat duduk sakral itu. Hingga akhirnya tiba, tempat duduk begitu dingin. Terlihat Rozi dan Zomi, menyiapkan beberapa berkas. "Bagaimana, apakah anda sudah siap?" tanyanya pada Zolan. "Siap, Pak! Kita bisa mulai!" jawab Zolan tegas tanpa tersenyum. Situasi sangat menegangkan. Aluna memegang erat rok yang ia pakai. Tangannya sedari tadi sudah berkeringat. "Baik, Pak Zolan!" lanjut Rozi lagi. "Saya nikahkan engkau dengan Aluna Mentari binti Roslan dengan maskawin sebuah cincin emas
Aluna melipat kertas putih yang ada di tangannya. Lima point yang menyambut kedatangan di Rumah megah ini. Kamar yang terlalu besar jika ia tempati sendiri. Tetapi apa daya, Aluna harus tidur sendiri di sini. "Sendiri lagi, sepertinya aku memang diciptakan untuk selalu sendiri," batin Aluna, melipat kecil kertas dan di simpan dalam kotak cincin. Aluna melangkah untuk duduk depan cermin. Melepas kaca mata yang ia gunakan, membebaskan rambut dari pengikatnya, di biarkan lurus terurai. Mata terpejam, merasakan hembusan angin menusuk tubuh. Ia ingin sejenak tidak melihat dunia. Sungguh miris goresan takdir, belum cukup sehari ia menjadi seorang istri, sudah di kagetkan dengan peraturan nikah yang di buat oleh Zolan. "Selalu sendiri, dari kecil aku sudah sendiri! Ibu sibuk bekerja untuk membiayaiku. Hingga aku tidak bisa sepenuhnya mendapat kasih sayang Ibu. Aku tidak marah, Ibu melakukannya demi membuatku bahagia dengan hidup berkecukupan. Tetapi sebagai anak, aku juga b
*** Aluna memasuki ruang kuliah, "pagi ini di awali dengan mata kuliah Pak Anton. Ia seorang dokter bedah. Namun, tidak ingin kami memanggilnya dr. Anton, lebih senang di panggil Pak Anton. Aneh, kenapa mau jadi dokter? Kalau tidak suka di panggil dokter," batinnya. Fatma sudah berada di kelas. Hampir semua tempat duduk sudah berpenghuni. Aluna duduk paling depan. Sejajar dengan meja dosen. Tempat duduk yang selalu kosong jika bukan Aluna yang menduduki. "Lun, sebentar malam nonton yuk!" ucap Fatma sambil duduk di kursi belakang Aluna. "Aku tidak bisa Fatma!" tutur Aluna singkat. "Kita sudah jarang pergi bersama, Aluna! Kamu yang sekarang, sering sibuk tidak jelas. Setiap di ajak jalan, selalu saja tidak bisa," ungkap Fatma, kesal pada Aluna. "Hehehe, nanti saja yaa jalan-jalannya," jawab Aluna, menolehkan kepala melihat Fatma. "Toko kue bagaimana, Lun? Sudah seminggu kita tutup.
"Non Aluna, tidak apa-apa?" tanya Bi Sarti. Ia melihat Aluna yang terus memandang ke lantai. Makanan dan piring sudah tidak terbentuk. "Iya, Bi, aku tidak apa-apa!" ucap Aluna, menghapus air mata. Ia terdiam beberapa menit. Bi sarti belum beranjak dari tempatnya. Menarik napas, Aluna lanjut berkata pada Bi Sarti, "minta tolong semua dibersihin ya, Bi!" Ia berlari meninggalkan Bi Sarti di ruang makan. Terdengar samar di telinga, Bi Sarti menjawab, "iya, Non Aluna!" Saat langkahnya sudah menjauh. Aluna berlari menuju kamar. Aluna berdiri memandang keluar jendela, "Zolan, tidak bisakah kamu memperlakukan aku layaknya teman? Aku tahu kamu terpaksa menerima perjodohan ini! Tetapi tidak begini caramu memperlakukan aku!" lirihnya. Air mata terus saja membanjiri pipi. "Zolan, Aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku akan berjuang agar kamu mau berteman denganku. Tidak usah menganggapku istri. Aku dijadikan teman saja, bagiku sudah cukup," lanjut Aluna, belum