***
Sore itu Zolan mendapat kabar bahwa ayahnya di rawat di Rumah Sakit. Ia sedang melakukan rapat pembangunan hotel baru di Kota Bali. Belum selesai rapat ia langsung berdiri. Pikirannya tertuju pada sang ayah. Tergesa-gesa, ia meninggalkan ruang rapat. Entah apa yang akan terjadi sesudahnya, ia tidak peduli. Yang ada di pikiran Zolan sekarang, ayahnya sedang berada di Rumah Sakit dan sangat membutuhkannya.
Zolan tahu ayahnya sudah lama menderita penyakit ginjal. Ia tidak kuat jika ayahnya pergi meninggalkannya, meskipun ia tahu cepat atau lambat ayahnya pasti akan menyusul ibunya. Setiap kali mendengar ayahnya di Rumah Sakit, Zolan sangat takut. Hingga otaknya tak mampu untuk berpikir panjang, selain melihat langsung kondisi ayahnya.
Setibanya Zolan di pintu ruangan, ia berdiri sejenak, menarik napas dan menguatkan mental. Zolan melihat sosok ayah yang terbaring lemah di atas tempat tidur, menatap wajah pucat yang berada di hadapan. Sepertinya sang ayah sedang tidur nyenyak.
Zolan memegang tangan keriput yang suka mengusap kepalanya. Dingin, itu yang ia rasakan. Sebelum ke ruang ICU, Zolan menemui dokter keluarga yang selama ini merawat ayahnya. Penyakit ginjal yang di derita sudah sangat parah. Zolan termenung mengingat apa yang di katakan oleh dokter.
Lama terdiam, Zolan merasakan pergerakan ayahnya. Wajah itu berusaha melihatnya, Zolan menyambut dengan tersenyum. Ia tidak ingin sang ayah melihat kesedihannya.
Dengan sisa tenaga yang di punya, Marfel berusaha mengucap sesuatu pada Zolan.
"Zolan, Papa ingin kamu menikah!" ucap Marfel dengan terbata-bata. Berusaha mengucap kata per kata yang ingin keluar dari bibir.
Zolan kaget mendengar keinginan ayahnya. Ia tidak mampu berbicara. Lama terdiam, Zolan kembali melihat, ayahnya ingin lanjut berbicara.
"Mungkin saja Ayah tidak lama lagi akan pergi. Bisakah sebelum Ayah pergi, Ayah melihat kamu menikah? Jangan menunggu yang tidak pasti Zolan, belum tentu ia akan kembali padamu! Menikahlah! Ayah yakin kamu bisa mencintainya!" lanjut Marfel, masih melihat wajah Zolan yang terdiam, tanpa berkata apa pun.
Zolan mendengar Marfel berbicara dengan wajah memandang ke lantai. Kisah hidupnya akan rumit. Tidak mungkin dia menikah dengan perempuan yang tidak dia cintai. Namun tidak mungkin juga ia menolak permintaan ayahnya. Seumur hidup, belum pernah ia menolak keinginan ayahnya. Bukan karena ia yang tidak punya pendirian sehingga hidupnya di setir oleh orang tua, ia hanya tidak ingin menyakiti hati yang selama ini sangat menyayanginya.
Dari permintaan Marfel, tidak ada paksaan. Zolan bimbang, jika selama ini ia sangat menjaga sikap pada sang ayah, tidak mungkin di sisa hidup ia mengecewakannya.
"Baik, Ayah! Aku akan menikah, dengan perempuan pilihan Ayah!" ucap Zolan sambil tersenyum pada Marfel. Namun saat ini hatinya begitu teriris. Ia yakin sesudah ini hidupnya akan hancur.
"Namanya Aluna! Dia anak dari teman Ayah. Lima bulan lalu ibunya meninggal. Sekarang dia hidup sebatang kara. Besok orang suruhan Ayah akan membawanya ke sini. Besok kamu akan menikah di Ruangan ini!" Marfel dengan suara pelan mengatakan pada Zolan.
Zolan keget mendengar pernyataan Marfel, "bagaimana mungkin aku akan menikah secepat itu?" batin Zolan, ia menampakkan wajah seolah baik-baik saja dengan permintaan ayahnya.
"Iya, Ayah! Zolan siap kapan pun akan menikah! Hari ini juga bisa. Hehe," ujarnya, demi membentuk segaris senyum pada bibir ayahnya yang pucat.
"Percaya dengan Ayah, dia adalah perempuan terbaik untuk kamu," lanjut Marfel lagi. Ia berusaha mencari tangan Zolan untuk di genggam.
Zolan yang melihat pergerakan tangan ayahnya, langsung memegang tangan itu. Tersenyum lembut dan mengusap kepala yang sudah dipenuhi rambut putih.
"Maafkan aku, Sindy! Aku sangat mencintaimu! Tetapi aku tidak kuasa menolak permintaan Ayah," batin Zolan.
“Itu benaran Aluna. Tanpa bedak tebal saja, dia sudah menjadi perempuan paling cantik hari ini. Apalagi jika Aluna, menggunakan jasa perias,” tutur Lilis pelan pada Fatma. Mereka duduk berdampingan. “Aluna punya trauma, dia tidak ingin berdandan seperti layaknya perempuan lain dan akan di puji cantik. Aluna sangat membenci jika ada yang mengagumi kecantikannya,” ucap Fatma, sambil menatap Aluna yang saat ini sedang berbicara di podium. “Trauma … kenapa bisa?” tanya Lilis, menoleh ke Fatma. “Ceritanya panjang. Nanti saja aku ceritakan. Sekarang aku ingin fokus mendegar Aluna bicara,” ucap Fatma, tanpa melihat wajah penasaran Lilis. Ia mendengar Aluna yang sedang berucap, “atas apa yang dapat di raih hari ini, kita patut berterimakasih pada seluruh pihak yang telah mendukung dan membantu semua proses. Untuk itu perkenankanlah saya mewakili wisudawan untuk menyampaikan banyak terimakasih.” Lilis tidak melanjutkan percakapan mereka. Ia pun ikut fokus meny
*** Aluna sedang bersiap-siap, ia menggunakan kebaya berwarna biru nafi, dipadukan dengan rok batik bermotif kupu-kupu kecil. Kemudian ia menutupi dengan baju toga hitam pemberian kampus untuk wisudawan. Aluna tidak menggunakan jasa perias. Dengan kemampuan pas-pasan, ia menempel tipis bedak di wajah. Tidak lupa, Aluna juga memakai lip cream di bibir agar tidak terlihat kering. Kali ini, Aluna tidak akan mengepang dua rambut. Ia sudah membeli pengikat khusus agar bagian kepala terlihat cantik. Ia lalu memakai anting cantik berukuran kecil di telinga. Aluna hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk selesai. Ia lalu memakai high hells. Bercermin kembali, untuk memastikan jika ia sudah selesai. Aluna mengambil toga yang sudah ia siapkan di atas meja belajar. “Kok rasanya, aku malu. Ini pertama kali aku memakai bedak ke kampus,” tutur Aluna, ia memalingkan pandangan pada kacamata. “Sepertinya untuk hari ini, aku tidak memakai kacamata. Hanya untuk hari
Mengikuti kata hati, Sindy akhirnya masuk ke dalam warung untuk memesan makanan yang akan di bawa pulang. Ia bercerita dengan seorang ibu yang juga menunggu pesanan. Lima belas menit keasyika, Sindy menyadari jika lelaki itu sudah tidak ada. Dengan cepat Sindy membayar ketika namanya di panggil. Sambil memperbaiki masker dan topi yang ia pakai, Sindy melangkah lebar menuju rumah kos. Setibanya, sebelum memasuki rumah Sindy menoleh ke kiri dan ke kanan. Ingin memastikan jika tidak ada lagi yang mengikuti. "Sekarang aku harus lebih berhati-hati," Sindy berucap lirih sambil mengusap dada dari balik pintu. Beberapa jam telah berlalu. Waktu menunjukan pukul sepuluh malam, Fahmi masih berada di sebuah kafe menunggu seseorang. Saat ia meneguk kopi, orang yang di tunggu akhirnya datang. “Maaf aku telat, bos,” ucap lelaki yang sedang memakai topi hitam. Ia membuka masker yang ada di wajah dan menarik kursi untuk duduk. “Informasi apa yang sudah kamu dapa
Aluna kembali ke kamar dan memilih berbaring di atas ranjang. Mata menatap langit-langit dan tidak berpindah. “Tidak mengapa Aluna. Sebentar lagi kamu akan koas. Kalian akan jarang bertemu, jadi kamu pasti bisa kuat,” batin Aluna menyemangati diri, "apa aku harus menyerah?" Aluna memiringkan badan ke samping. Menatap tempat Zolan jika tidur di kamarnya. Tangan mengusap bantal yang sering digunakan suaminya, ia berucap lirih, “aku harusnya sadar dari dulu, jika tidak boleh mencintai kamu, Zolan. Ini akibatnya, karena telah lancang berharap dicintai.” Tidak terasa, air mata yang sudah ia tahan sejak berada di kamar Zolan, akhirnya tumpah. “Aku tidak pernah meminta takdir seperti ini. Mengapa harus aku yang merasakan?” Bantal yang digunakan Aluna telah basah. Tangan menutup mulut dan membiarkan air di mata keluar begitu deras.Satu jam lebih ia berbaring di atas kasur, meratapi hati yang di rasa begitu sakit. Aluna akhirnya bangkit menuju meja belajar,
***Hari ini, tepat sepekan Marfel berpulang. Aluna sedang berada di kamar Zolan. Sudah seminggu Zolan tidak keluar rumah, begitupun dengan Aluna.“Aku masih kenyang, Aluna. Kamu saja yang makan,” tutur Zolan, melihat Aluna masih memegang sendok berisi makan, dari tadi Aluna terus memaksa.“Kamu harus makan Zolan! Hari ini kamu belum makan. Tiga sendok saja, terus aku akan keluar dari kamar kamu.” Aluna terus berusaha merayu. Sejak meninggalnya Marfel, Zolan sudah jarang makan. Makanan yang sering di antar ke kamar, selalu di ambil kembali dalam keadaan utuh.Melihat Zolan, yang masih menutup mulut. Aluna berdiri untuk menyimpan piring yang di tangan ke atas meja. Ia lalu kembali duduk di dekat Zolan. “Aku tahu kamu merasa bersalah! Aku tidak tahu sebelumnya apa yang terjadi antara kamu dengan ayah! ... Tetapi, kamu tidak bisa begini terus ... Badan kamu juga punya hak untuk sehat!” Aluna berkata dengan suara sedi
Asisten itu menarik lembut Aluna. Ia langsung memeluk tanpa banyak berkata. Ia tahu bagaimana rapuhnya Aluna. “Ada kami, Non. Non Aluna masih punya kami, tidak sendiri,” ia berbisik pelan di telinga Aluna, berusaha menguatkan.Semua asisten mengetahui hubungan Aluna dan Zolan. Meskipun sudah tidur sekamar, tetapi masih nampak di mata semua asisten, jika Zolan tidak mencintai Aluna. Bukan hanya itu, asisten yang setiap hari membersihkan rumah mengetahui, jika Zolan masih menyimpan semua baju di kamarnya, tidak memindahkan ke kamar Aluna.Di tempat lain, Zolan masih berada di depan sekolah. Setelah bertengkar hebat dengan Marfel, ia tidak bisa fokus untuk bekerja, sehingga ia pergi meninggalkan kantor dan menuju sekolah yang sudah mempertemukannya dengan Sindy. Zolan juga tidak mengaktifkan handphone, ia sedang tidak ingin di ganggu.Zolan memarkir mobil di seberang sekolah. Dari jauh ia melihat anak-anak sekolah keluar dari gerbang. Ada yang jail, ada