Irsyad terduduk lemas di kursi ruang kerjanya, tangannya gemetar memegang selembar surat yang ditulis tangan oleh Hana. Surat yang tak terlalu panjang itu berhasil membuat dinding pertahanannya runtuh. Ia membacanya berulang-ulang, berharap tiap kata yang tertulis hanyalah gurauan atau lelucon sarkastik. Namun sayangnya, semua nyata.~~~Maafkan aku, Mas Irsyad. Aku harus pergi meninggalkan mu, aku tak sanggup lagi bertahan di sisimu.Aku tahu sekarang semua kebenarannya. Tentang tuduhan pencurian di gudang kosmetik yang ternyata hanyalah jebakan. Aku tahu, semua itu adalah rencana mbak Sandra untuk memaksaku masuk ke dalam pernikahan ini.Aku gak tahu apa salahku pada mbak Sandra, aku selalu berusaha jadi karyawan yang baik dan jujur, tapi dia malah tega menjebak ku seperti ini.Aku sudah mencoba membentengi hati, tapi aku lemah, Aku kalah, akhirnya aku tetap jatuh cinta padamu.Meskipun awalnya aku benci situasi pernikahan itu, aku mencoba ikhlas menerima semuanya.Hingga kau membe
Ruangan kantor yang biasanya sunyi mendadak dipenuhi derap langkah cepat Irsyad. Wajahnya terlihat tegang saat ia menghampiri ruang kerja Marco, atasannya yang juga sahabat lamanya. Ia tak mengetuk, hanya membuka pintu dengan cepat sambil mencoba menahan kegelisahan yang menggerogoti dadanya.Marco yang sedang duduk menandatangani dokumen, langsung menoleh dengan alis mengernyit."Irsyad?" tanyanya. "Kenapa kamu kelihatan panik begitu?"Irsyad menelan ludah, suaranya serak. "Saya harus pulang sekarang, Pak. Asisten rumah tangga saya barusan telpon... Hana... istri kedua saya, katanya dia kabur dari rumah."Marco terdiam sejenak. Tangannya berhenti menulis. Ia bersandar ke kursinya, menarik napas dalam. "Kabur?"Irsyad mengangguk cepat. "Iya, Pak. Saya juga nggak ngerti kenapa, tapi saya harus pulang sekarang. Saya-saya takut terjadi apa-apa."Marco menghela napas berat sambil memijat pelipisnya. "Irsyad, berapa kali saya bilang... Kamu harus lebih tegas. Jangan biarkan istri pertamamu
Sejak mengambil uang di ATM, hari demi hari Hana jalani dengan gelisah. Ia takut Irsyad menyadari jika dirinya menarik uang yang banyak, tetapi Irsyad tak menyadari itu sebab ia tak pernah mengecek mutasi rekening. Baginya uang yang sudah ia berikan pada Hana itu adalah hak Hana mau digunakan untuk apa bahkan jika di habiskan pun tak apa.Beberapa hari setelah Hana menarik uang di ATM.Siang itu, Bi Piah baru saja berangkat ke pasar untuk belanja keperluan dapur. Sementara itu, tukang kebun terlihat sibuk memotong rumput yang sudah meninggi di belakang rumah.Hana duduk di ruang tamu dengan bayi mungilnya di gendongan. Anak itu baru genap berusia satu bulan, wajahnya merah muda dengan mata sipit yang masih sulit terbuka. Hana menatap pintu gerbang yang tertutup rapat, lalu menoleh pada security yang berdiri di pos jaga.Dalam hatinya, Hana sudah memantapkan niat sejak semalam. Ia tidak bisa lagi bertahan di rumah ini. Luka hatinya terlalu dalam setelah mendengar percakapan Irsyad dan
Siang itu, matahari terik menyinari halaman rumah megah yang terasa asing bagi Hana. Sandra pergi bekerja mengurus perusahaan kosmetik seperti biasanya, sementara Irsyad mengabari lewat pesan bahwa ia sedang ada rapat di kantor. Hanya ada Hana, bayinya, dan ART yang sibuk di dapur.Kesempatan ini tak boleh ia sia-siakan. Sejak semalam, pikirannya penuh dengan satu tekad, kabur. Ia sudah tak sanggup hidup dalam lingkaran kebohongan dan penghinaan.Hana berdiri di depan cermin, memastikan wajahnya tidak menunjukkan kegelisahan. Bayinya terlelap di boks, selimut menutupi tubuh mungil itu. Hana mengusap kepala si kecil perlahan. "Tidur yang nyenyak, Nak. Sebentar lagi kita pergi jauh dari sini," bisiknya, suaranya bergetar.Setelah menitip pesan singkat ke ART bahwa ia ingin beli perlengkapan bayi sebentar, Hana melangkah keluar rumah dengan hati-hati. Jalanan komplek siang itu lengang. Ia menahan langkah agar tidak terlihat seperti sedang terburu-buru.ATM terdekat berada di depan minima
Malam berikutnya, Hana duduk di tepi ranjang sambil menggendong bayinya yang terus menangis. Tubuhnya lemah, matanya sembab, tapi ia tetap berusaha menenangkan anaknya."Sayang, ayo, Nak. Minum ya, ni susu mama," bisiknya pelan sambil mencoba menyusui kembali. Namun bayi itu menolak. Ia menggeleng kecil, menangis kian keras. Hana mencoba berkali-kali, tapi hasilnya sama. Dadanya perih, bukan karena fisik, melainkan karena hatinya. Air susunya berlimpah, tapi anaknya tak mau lagi menyusu. Ia teringat perkataan Sandra. "Kalau terus disusuin sama kamu, nanti dia ketergantungan."Tangis Hana pecah tanpa suara. Ia menggigit bibirnya, menahan rasa marah yang membakar dada, tapi apa daya, ia hanya istri kedua. Di rumah ini, ia selalu harus mengalah. Ia tak bisa menantang Sandra, apalagi Irsyad yang selama ini hanya menenangkan dengan kata-kata manis, tanpa pernah benar-benar bersikap tegas."Mas, kenapa kamu biarin semua ini terjadi. Aku terima kalau kamu gak bisa cinta sama aku, tapi untuk
Suasana rumah besar itu terasa berbeda sejak suara tangisan bayi hadir di sana. Hana duduk di ruang kamar pribadinya, tubuhnya masih lemah setelah melahirkan beberapa hari yang lalu. Di pangkuannya, seorang bayi mungil dengan kulit putih kemerahan sedang tertidur pulas setelah menyusu. Matanya menatap wajah kecil itu dengan penuh cinta.Pintu kamar diketuk perlahan. Suara lembut terdengar."Hana... boleh mama masuk?"Hana tersenyum tipis."Iya, Ma. Masuk saja."Pintu terbuka, menampilkan sosok Nur. Wajahnya teduh, dengan mata yang tampak bahagia melihat cucu laki-laki yang selama ini ia harapkan. Nur melangkah mendekat dan duduk di tepi ranjang. Tangannya perlahan mengelus kepala bayi itu."Masya Allah, ganteng sekali cucu nenek. Hana, kamu hebat sekali. Kamu sudah melahirkan bayi ini dengan selamat. Mama bangga sama kamu," ucap Nur dengan suara bergetar, seolah menahan haru.Hana tersenyum samar, matanya berkaca-kaca."Terima kasih, Ma. Aku juga bahagia bisa melahirkan bayi ini denga