Di ruang tunggu rumah sakit, Irsyad duduk dengan wajah tegang. Matanya merah, dadanya sesak menahan amarah sekaligus cemas pada Hana yang tak kunjung bisa ia hubungi. Ketika ia baru saja berdiri hendak kembali menjenguk ibunya, langkah kaki yang sangat ia kenal terdengar mendekat.Sandra muncul, wajahnya masih penuh dengan riasan yang tak rapi, mungkin bekas tangisan atau amarah. Tapi sorot matanya tetap angkuh, penuh kepercayaan diri, seakan tak ada yang salah dengan perbuatannya."Irsyad ." panggil Sandra datar, lalu duduk di hadapan suaminya tanpa meminta izin. "Kau lihat sendiri kan? Ini akibatnya kalau kamu berani berkhianat di belakangku, siapapun yang berusaha merebut mu dariku akan ku hancurkan. Semua orang akhirnya tahu siapa Hana itu sebenarnya, semua orang sekarang tahu seperti apa wajah asli Hana!"Irsyad menoleh, tatapannya tajam penuh bara. Kata-kata itu membuat rahang Irsyad mengeras. Ia berdiri, menatap Sandra dari atas. "Aku? Mengkhianatimu? Jangan membalikkan fakta,
Di depan rumah Bu Rum, kerumunan warga semakin ramai. Suara teriakan bercampur cacian memenuhi udara. Wajah-wajah penuh amarah menatap Hana yang berdiri sambil memeluk erat Ihsan, anaknya yang masih berusia satu tahun. Bayi itu menangis keras, tubuhnya gemetar karena kaget melihat kerumunan orang yang terus berteriak."Dasar pelakor! Wanita tak tahu malu!""Pergi dari desa ini, jangan bawa sial di kampung kami!""Anakmu itu anak haram, pembawa malapetaka!"Setiap kata menusuk hati Hana lebih dalam. Matanya memerah, dadanya sesak. Ia mencoba melindungi kepala Ihsan dengan kerudung tipis, seolah itu bisa menghalangi kebencian yang dilemparkan padanya.Tak lama, beberapa warga mulai melempari Hana dengan telur busuk. Cairan lengket mengotori kerudung dan bajunya. Hana menggigit bibir, menahan air mata yang hampir pecah. Ia hanya memeluk Ihsan semakin erat."Astaghfirullah, hentikan! kalian tega sekali!" teriak Bu Rum, yang berdiri di samping Hana. Tubuh tuanya bergetar, tangannya berusah
Irsyad baru saja bersiap membawa Mama Nur ke rumah sakit besar dengan mobilnya. Hana yang awalnya berniat ikut, berdiri di samping mobil sambil menggendong Ihsan. Namun sebelum kakinya melangkah masuk, ponselnya berdering. Nama Bu Rum tertera di layar. Ia menekan tombol hijau, lalu mendengar suara di seberang. "Hana… tolong, Nak… kamu bisa pulang sebentar! Ibu takut!" suara Bu Rum terdengar serak, diiringi isak tangis yang pecah di sela-sela kata-katanya. Hana langsung tegang. "Bu, kenapa? Ada apa? Jangan nangis, Bu. Tenang dulu, ceritain sama Hana, ya?" tanyanya cepat, wajahnya pucat. Tapi yang terdengar hanya tangisan dan teriakan lirih, "Rumah… rumah kita berantakan, Hana… warga mengamuk semua hancur… Ibu takut." Hana menoleh ke arah Irsyad dengan mata berkaca-kaca. "Mas, aku nggak bisa ikut. Aku harus pulang ke rumah Bu Rum sekarang. Sepertinya ada yang nggak beres." Irsyad yang sedang membantu Mama Nur masuk mobil, menatap Hana penuh khawatir. "Kenapa jadi seperti
Warga sekitar yang sudah berkumpul ikut menyimak, sebagian malah sengaja berdiri di belakang Sandra agar ikut terekam kamera yang masih melakukan live sosial medianya. Komentar demi komentar langsung bermunculan di layar ponselnya.Komentar Netizen.“Astaghfirullah, parah banget nih perempuan!”“Pelakor kelas kakap, tega banget!”“Suaminya juga nggak becus, dasar cowok brengsek!”“Gas terus, Mbak! Jangan kasih ampun!”“Kasian kamu, pasti sakit hati banget.”Notifikasi like dan gift berdatangan, layar ponsel Sandra dipenuhi ikon hati dan bunga digital. Senyumnya yang getir makin menjadi, seolah mendapat pembenaran dari ribuan orang asing yang menontonnya."Terima kasih semua yang sudah dukung aku. Lihat kan, bukan aku yang salah di sini. Bukan aku yang bikin keluarga hancur. Semua karena dia… wanita tak tahu diri ini!" ucap Sandra seraya tersenyum sinis kearah kamera.Sandra lalu mengarahkan kamera tepat ke wajah Hana yang berdiri gemetar di samping Irsyad."Ngaku kamu! Ngaku kalau kam
"Inilah, semua orang lihat ya!" suara Sandra lantang, tangannya gemetar karena emosi. Kamera ponselnya ia arahkan ke wajah Hana yang masih terkejut memeluk Ihsan. "Perempuan ini, si penggoda, yang pura-pura polos, tapi tega merebut suami orang!"Hana seketika pucat. "Mbak… Sandra? Astaghfirullah… apa yang—" suaranya tercekat, tak mampu melanjutkan. Ia hanya bisa mendekap Ihsan lebih erat, membuat bayi itu menangis ketakutan karena merasakan kegaduhan di sekelilingnya.Irsyad yang hendak memberikan mainan kepada Ihsan, terhentak kaget hingga mainan di tangannya jatuh ke lantai. "Sandra! Astaghfirullah… apa-apaan kamu ini? Kenapa kamu ada di sini?"Sandra langsung menoleh ke arah suaminya dengan tatapan penuh kebencian. "Apa-apaan? Harusnya aku yang tanya, Syad! Katanya kamu dinas ke luar negeri, katanya urusan kerjaan, tapi ternyata… ternyata kamu ada di sini! Sama perempuan ini!" ia menunjuk Hana dengan geram. "Jadi semua kebohonganmu selama ini karena dia?!""Kamu salah paham, Sandra
Dini hari itu Sandra duduk di ruang kerjanya yang berantakan. Laporan keuangan perusahaan berserakan, tapi pikirannya sama sekali tidak fokus pada angka-angka. Sejak semalam, perkataan Anton terus berputar di kepalanya. "Tidak ada pembelian tiket pesawat ke luar negeri atas nama Irsyad beberapa bulan terakhir, bisa dipastikan dia bukan dinas keluar negeri."Ia merasa jantungnya berdetak lebih kencang. Ada bagian dalam dirinya yang takut pada kebenaran, tapi rasa ingin tahu jauh lebih kuat. Maka ketika ponselnya bergetar, menampilkan nama Anton di layar, Sandra langsung menyambut dengan cepat."Anton, ada kabar?" suaranya penuh ketegangan."Ya," jawab Anton dengan nada berat. "Aku minta orangku mencari jejak Irsyad. Dan hasilnya… mengejutkan."Sandra menggenggam ponselnya erat. "Cepat katakan.""Dia tidak pergi keluar negeri, Sandra. Tujuan perjalanannya sebenarnya hanya ke sebuah desa kecil, sekitar delapan jam perjalanan dari sini."Sandra terperanjat. "Desa kecil? Desa apa?!"Anton