Hari ini Yanti memilih untuk seharian dirumah dan tidak ke kantor, Ia meminta asistennya membatalkan semua jadwal hari ini, ia ingin rehat sebentar dari segala rutinitas yang ada.
Duduk di teras balkon kamar sembari meminum secangkir kopi, itulah yang dilakukan Yanti pagi ini. Alasan dia tidak pergi ke kantor hanya karena dia trauma dengan ucapan Aris dan semua barang-barang yang dia lihat di kantor. Kata-kata pria itu benar-benar membuatnya tertampar, untuk kesekian kali ia kembali membuat hati mantan kekasihnya itu terluka.
Sesaat ia mengingat kejadian masa lalu sewaktu ia duduk dibangku SMA, saat itu ia sempat berpacaran dengan Aris. Aris merupakan pemuda yang tidak hobi menghamburkan uang dengan kekayaan keluarga, penampilannya terlihat biasa saja meski level kekayaan keluarga Aris memang cukup mumpuni tetapi masih 2 level dibawah keluarga Yanti, meski begitu perasaan dan cintanya sempurna untuk Yanti. Ia memiliki Impian yang jelas dan bahkan ia memang berniat serius dengan Yanti.
“Yanti, maukah kau menikah denganku? Aku serius pacaran sama kamu.” kala itu Aris mengutarakan dengan gamblang keinginannya meskipun ucapannya itu terdengar bodoh karena masih sama-sama sekolah dan Yanti hanya menanggapi hal itu sebagai sebuah candaan.
Hubungan mereka berjalan lama hingga tiba saatnya mereka masuk ke dunia perkuliahan, hubungan mereka mulai renggang karena Yanti kuliah berjauhan dengan Aris. Mereka menjalani hubungan LDR dan itu tidaklah mudah bagi mereka berdua.
“Ris, kita berdua sudah sama-sama saling sibuk, aku juga jarang mendapatkan kabar darimu dan juga aku pun juga habis waktu dan tak bisa pulang sebulan sekali bahkan untuk bertemu, aku rindu kamu, tapi aku harus bagaimana? Aku lelah, Ris.” Tulisan itu tertera jelas di surat, yang mana itulah surat terakhir yang bisa Yanti kirimkan pada Aris kekasihnya.
Yanti akhirnya meninggalkan Aris begitu saja tanpa kabar yang jelas, dua tahun lamanya Aris menunggu Yanti kembali menghubunginya namun hasilnya tetaplah nihil. Namun disuatu sore Aris menerima sebuah surat, sayangnya bukan surat yang ia harapkan, surat itu berupa undangan pernikahan Yanti dengan orang lain.
‘Aris, maafkan aku.’ kata Yanti dengan derai air mata sebelum ia memasukkan undangan ke kotak surat rumah Aris.
Yanti benar-benar meninggalkan Aris kali ini dan tak tergapai lagi. Yanti juga menyadari bahwa ia benar-benar jahat kala itu karena ia tidak memberikan alasan atau memberikan kejelasan pada Aris.
Lamunannya tiba-tiba terhenti karena terdengar sayup-sayup suara Tomi dari luar kamarnya.
“Maaa…. Lagi dimana?!” panggil Tomi.
“Yaaa sayang, tunggu.” Yanti berjalan menuju pintu kamar sambil mengusap matanya yang terlihat berair.
“Ma, turun deh itu Gina dateng.”
“Ohh, calon menantu Mama ya?”
“Siapa lagi, Ma.”
“Ok tunggu bentar Mama siap-siap.”
“Ok, Tomi tunggu dibawah ya, Ma.”
Tak berselang lama Yanti turun ke ruang tamu untuk menemui calon menantunya, ia memang terlalu sibuk hingga ia tak mengenal siapa kekasih anaknya.
“Halooo, wah ada tamu penting rupanya ya.” ledek Yanti.
“Halo, Tante. Aku Gina.” Dengan senyum ramah ia kemudian menjulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Yanti dan disambut jabatan tangan itu oleh Yanti dengan hangat.
“Ayo duduk, anggap saja ini rumah kamu tidak perlu sungkan toh kamu sebentar lagi juga akan jadi anak Tante. Ya kan, Tom?” lirik Yanti sambil tersenyum bahagia.
“Hahah, iya lah.” Jawab Tomi dengan mantap namun berbeda dengan Gina, ia malah tersenyum malu.
“Gini, Ma. Kemarin aku kerumah Gina dan kebetulan ketemu Papa dan Mamanya dan Tomi langsung utarakan niatanku untuk melamar Gina sebagai tanda kalau emang Tomi serius sama Gina. Kebetulan mereka merespon dengan baik apa yang Tomi utarakan dan mereka pengen kita berdua kesana secepatnya untuk melamar Gina sekalian membicarakan tanggal pernikahan kami. Orang Tua Gina pengen secepatnya sih, Ma. Menurut Mama gimana?”
“Wahh, Mama sih setuju-setuju aja. Oke Mama atur jadwal dulu gimana?”
“Aku pengennya tiga hari lagi kita ke rumah Gina, Ma.”
“Hmmm, ok Mama akan atur jadwal Mama dulu. Oya Gina sendiri gimana, udah siap menikah sama Tomi dan menerima Tomi dengan segala schedule dia?”
“Heheh, kebetulan kami juga sama-sama dibidang hukum, Tante. Jadi kami saling memahami situasi satu sama lain.”
“Oya?? Wah, keren kalian nih, kalau Papa dan Mama di bidang hukum juga?”
“Enggak sih. Kalau Papa itu kontraktor dan Mama ngurusin eksport import, Tante.”
“Oh begitu. Papa kamu kontraktor? Siapa namanya kali aja Tante kenal soalnya temen-temen Tante banyak yang kontraktor juga.”
“Nama Papa…” kata-katanya terhenti ketika suara ponsel Gina berdering. “Oh, maaf Tante ini Papa telpon.”
“Oh oke, silahkan.”
Gina sengaja memilih mode loudspeaker agar calon Mama mertuanya bisa mendengar suara Papanya.
“Halo, Pa, ini Gina masih dirumah Tomi kebetulan ketemu sama Mamanya Tomi juga.”
“Oya? Hmm, gini sayang, ini Papa sama Mama nanti malam ada ajakan dinner sama kolega bisnis Papa dan Mama dan dia minta kamu juga ikut. Jadi usahakan secepatnya pulang ya. Sampaikan salam Papa Mama ke Mamanya Tomi.”
Yanti merasa sedari awal suara pria yang disebut Gina sebagai Papa itu tidaklah asing ditelinganya. Ia benar-benar hafal dengan cara bicara lelaki yang ada di telpon itu.
‘Kok suaranya mirip Aris? Ahhh, tidak, tidak mungkin itu dia, suara seperti itu pasti sangat banyak di dunia ini. Aku yakin bukan dia.’ batin Yanti mulai gusar namun berusaha ia tepis.
“Ok, Pa. Abis ini Gina pulang.”
“Baiklah sayang, Papa tunggu dirumah ya.”
“Ya, Pa.”
Gina mematikan saluran telponnya dengan tersenyum.
“Tante, maaf ya kalo Gina harus buru-buru pulang.”
“Ahh, ga masalah sayang. Salam ya untuk Papa dan Mama kamu, yang jelas kami akan segera kerumah.”
“Ya Tante. Terimakasih sudah mau menerima Gina.”
“Sama-sama, sayang.” Yanti mengelus kepala Gina dengan lembut seperti belaian lembut seorang ibu kepada anaknya.
Gina kemudian berpamitan untuk pulang dan Tomi juga sekalian berpamitan untuk kembali berangkat ke kantor. Gina lalu menceritakan kejadian itu pada ayahnya dan disambut dengan senyum kemenangan.
Selama ini, Yanti tidak tahu bahwa Gina adalah anak kandung Aris. Pun Tomi, dia tidak menaruh curiga apapun seputar hubungan Yanti dan Aris yang mulai kembali bersemi.
Di saat kedua anaknya saling mencintai, ada cinta terlarang yang mulai tumbuh di antara kedua orang tua mereka. Aris yang mengasuh Gina bersama istrinya dan Yanti yang merawat Tomi seorang diri.
Malam setelah Gina datang ke rumah, Yanti memandang sebuah nama di kontak ponselnya. Cukup lama, seperti seseorang yang ingin melakukan panggilan. Mengumpulkan niat, Yanti menekan tombol itu.
“Halo” suara Aris terdengar jelas ditelinga Yanti.
“Halo, Aris?” Yanti menjawab dengan sedikit ragu
“Iya, ada apa, Yan”
“Loh kok kamu tahu? Kamu save nomorku ya?”
“Enggak aku sama sekali ga punya nomormu, aku hanya mengingat suaramu dan ingatanku tak pernah salah.”
“Oh, begitu, ternyata kamu benar-benar mengingatku bahkan sampai dengan suaraku.”
“Ingatan tentang kamu ga pernah satu pun aku lupain.”
“Setelah kejadian dikantorku tadi kamu masih mau ngomong sama aku dan kamu ga nutup telponmu.”
“Kalo nurutin emosi, ya aku lakuin sesuai sama yang kamu katakan tapi kenyataannya aku ga bisa dan aku yakin kamu mau menghubungi aku pasti penuh pertimbangan, jadi aku ga mau kamu merasa tertolak setelah kamu berusaha menurunkan egomu untuk menghubungiku.”
“Makasih, Ris. Hmm, ngomong-ngomong tujuanku telpon malam ini aku ingin ngajak kamu keluar. Aku pengen ngobrol santai sama kamu, setelah apa yang aku lakukan dikantor tadi terdengar sangat keterlaluan jadi aku ingin minta maaf sama kamu secara langsung. Terserah kamu ada waktu kapan dan saat kamu dah merasa baik-baik aja.”
“Mau ketemu diluar sekarang?”
“Ya kalau kamu ada waktu sih, Ris.”
“Aku sangat-sangat ada waktu, saking bebasnya waktuku malam ini aku sampai bisa memandangi rumah mewah bercat putih dengan nomor rumah 11 dan tak ingin beranjak.”
“Aris, maksudmu apa?”
“Aku diluar rumahmu.”
Dengan segera Yanti membuka tirai abu-abu dikamarnya, dan benar saja ada mobil Aris didepan rumahnya.
“Kok kamu tahu rumahku?”
“Kali ini aku tahu rumahmu dari rekan bisnisku yang juga teman kita sekelas yang kebetulan handle renovasi layout rumah nomor 15 dan dia pernah lihat kamu beberapa kali keluar dari rumah ini, saat aku cek rupanya benar ini adalah rumahmu dan aku cukup bahagia saat itu meski aku tak menyapamu, melihat kamu sehat dan baik-baik saja sudah cukup bagiku.”
“Ohh jadi begitu, hmm, baiklah aku akan turun untuk menemuimu, bye.” Yanti kemudian menutup saluran telponnya. Dengan wajah sumringah ia berlari menuju ke arah pria yang membuatnya kelimpungan seharian.
Yanti merasa haus akan kebahagiaan yang ia rasakan saat ini, energinya seperti kembali pulih saat ia mendengar suara dari Aris.
‘Bagaimana jika rasa ini tak bisa aku tutupi lagi?’ batin Yanti seraya berlari kecil menuju pintu keluar.
Farhan melajukan mobilnya dengan cepat dan mendahului mobil Aris membuat emosi Aris memuncak. Ia mematikan saluran panggilan lelaki yang sedang terang-terangan mendekati kekasihnya itu. Terlihat Farhan tersenyum smirk dibalik kemudinya, ia sangat faham karakter sahabatnya itu dimana ia tidak bisa diam jika ditantang untuk balapan. "Kau terlalu mudah tertebak, Ris. Mau kalah berapa puluh kali lagi sekarang?" kata Farhan dengan wajah penuh kemenangan karena ia bisa membaca bahwa ia akan memenangkan sepersekian detik dari Aris."Brengsek!! Ia sangat tahu celah untuk aku jatuh!!" Aris memukul kemudinya dengan cukup keras membuat Yanti yang ada disampingnya takut."Ris, udahlah ngapain sih kalian?! Berhenti ga!! Ini jalur jalan raya, padat kendaraan!!" Yanti berteriak namun itu tak membuat Aris berhenti. Dengan cepat Yanti mengambil ponselnya dan menelpon Farhan, karena ini hanya bisa berhenti jika salah satunya berhenti."Kamu ngapain??!" tanya Aris membuat kensentrasinya sedikit buyar.
"Kok kamu ga kasih tahu aku sih, Ris?""Trus kalau kamu tahu mau kamu apain? Hubungan kamu sama dia sudah renggang, apa aku tega makin menambah bensin di api yang sedang menyala? Apa kamu mau itu terjadi dan membuat semua makin runyam?"Yanti hanya bisa terdiam dan menatap jalan yang ada dihadapannya sambil menggigit sisi bibirnya tanda bahwa ia sedang berfikir keras."Udahlah, kamu harus berfikir dari sisi positifnya bahwa ia seprotectif itu karena dia sayang sama kamu dan ingin memperhatikanmu.""Memperhatikanku atau ia ingin menghancurkan hubungan kita berharap hubungannya dengan Gina bisa berjalan tanpa hambatan?""Yan, apapun alasannya ingat bahwa ia Tomi..anakmu, jangan terlalu keraslah sama dia? Aku tahu hubungan kalian saat ini sedang tidak baik, aku juga tidak akan bahagia jika berada diposisinya melihat kedekatan kita yang setelah sekian tahun lamanya berakhir namun kembali terjalin sedangkan dia memiliki hubungan dengan anak dari kekasih
Pagi ini Farhan ada janji temu diluar kota dengan kliennya, setelah ia selesai mandi ia mendengar suara notifikasi chat masuk, masih dengan mengenakan handuk putih yang ia lilitkan melingkar di area pinggang Farhan kemudian mengambil ponsel di meja nakas dan melihat rupanya dari Kia sang informan."Tuan, hari ini nyonya Yanti dijemput oleh tuan Aris menuju ke kantornya. Berikut saya kirim foto sebagai bukti." Kia memberikan foto-foto tersebut kepada Farhan.Ketika Farhan melihat foto tersebut rasa kesal dan cemburu kembali membakar hatinya. 'Brengsek!!! Kenapa dia bisa dekat lagi sama Yanti, harusnya sudah tidak ada celah untuk membuat Yanti kesal padanya!!! Arrrgghhhhh!!!' Farhan terlihat sangat kesal, wajahnya yang semula sumringah tiba-tiba berubah dan kehilangan semangat.====Kebersamaan Aris dan Yanti sebelum Kia datangPagi ini Yanti rencana hanya ingin berdiam dikantor, ia berusaha melupakan sejenak semua kekesalannya terhadap para lelaki terutama Aris. Saat ia tengah bersiap
"Gina??" suara Rachel memecah keadaan, ia terlihat terkejut namun ada satu sisi yang membuatnya merasa menang dari Gina.Tomi yang muai terbangun melihat kearah Gina berdiri, ia cukup terkejut dan merasa bersalah namun Tomi melihat ini sebagai suatu kesempatan dimana Gina pasti akan pergi meninggalkannya karena melihat situasi yang membuat calon tunangannya itu sangat terluka."Tom..kok kamu tega sih sama aku?!! Kenapa kamu berubah!" Gina berteriak sambil terisak.Tomi kemudian berdiri, kebetulan ia hanya bertelanjang dada dan ia sudah mengenakan kembali celananya yang sempat ia tanggalkan. Ia berjalan mendekat ke arah Gina dengan senyum seringai yang memperlihatkan rasa muak akan wanita yang tak diundang itu."Aku tega? Lebih tega mana kamu atau aku? Kamu membuat statement buruk tentang Mamaku..inget Gina.. MAMA KU!!! Kau dengan enaknya menuduh wanita yang melahirkanku dengan mulutmu! Kau melukaiku teramat dalam kau harus tahu itu dan sekarang aku melakukan ini dengan Rachel dan kamu
Terdengar suara pintu kamar apartemen Tomi terbuka, rachel yang ketakutan mengintip dari balik tembok kamar yang dapat langsung melihat ke area ruang tamu, rupanya yang masuk adlaah sang pemilik apartemen. Wajah wanita itu langsung terlihat lega, dengan tersenyum ia berjalan mendekat dan menyapa lelaki itu, namun ia melihat wajah Tomi terlihat sangat kusut dan tidak seperti biasanya."Tom? Kamu ga papa?""Kenapa emangnya?" jawab Tomi singkat dengan nada yang datar."Hmmm..kalau kamu pengen sendirian, ga papa kok. Aku menghindar dulu karena sepertinya kamu sedang tidak ingin di ganggu.""Huffttttt..ga gitu sih, Chel. Aku minta maaf kalau sikapku bikin kamu ga nyaman. Tapi ga gitu maksudku." kata Tomi dengan wajah menyesal dan mendekat ke arah Rachel dan memegang kedua lengan wanita berambut panjang dan cantik itu."Lalu??""Ada hal yang bikin aku ga nyaman aja di sana.""Gina?""Kok kamu tahu sih?""Ya kan kalian satu tim
Setelah tiga puluh menit berlalu, Aris rupanya sudah sampai lebih dahulu kemudian tak lama Farhan datang dan masuk ke ruang utama. Situasi terlihat berbeda karena tak biasa cafe itu sepi pengunjung, Farhan melihat sekeliling yang terlihat tidak biasa sedangkan Rana tetap berada di mobil untuk menunggu Farhan.Ketika Farhan melihat sang pemilik cafe, ia menanyakan kenapa dengan memberikan kode gerakan kepala dijawab oleh pemilik cafe kopi itu dengan memasang tulisan Closed di pintu. Wajah Farhan langsung berubah serius karena jelas ini akan berakhir tidak baik-baik saja karena tak akan mungkin Aris membooking tempat ini hanya untuk hal tak penting.Terlihat Aris duduk disudut area belakang, ia duduk dengan membelakangi pintu masuk. Farhan kemudian berjalan menuju meja tersebut."Ada apa kau memanggilku." tanya Farhan datar yang tanpa dipersilahkan ia langsung duduk berhadapan dengan Aris seraya menyalakan rokoknya."Langsung saja, apa maumu.""Mauku? Tentang apa dulu nih, kok tiba-tiba