Arkan menggeliat pelan, merasakan tubuh yang terasa kaku. Kedua matanya perlahan terbuka, menatap langit kamar. Keningnya mulai berkerut dalam, merasa aneh karena langit kamar yang berbeda. Aroma di dalam ruangan itu cukup berbeda, membuatnya mulai meneliti setiap ruangan. Hingga saat dia melihat seseorang yang berada di sampingnya, membuat Arkan terkejut luar biasa.
“Reva?” Arkan langsung bangkit berdiri. Namun, kepala Arkan terasa berat. Dia menutup mata kembali, mencoba menghilangkan denyutan di kepalanya. Tiba-tiba sebuah ingatan melintas dalam ingatannya, membuat Arkan mengingat satu per satu memori semalam. “Arkan …” Arkan semakin mencumbu tubuh Reva. Tangannya melepas satu per satu pakaiannya, membuat tubuh bagian atasnya tidak berbusana. Reva yang melihat hal itu pun membalas dengan hal yang sama. Lama keduanya saling bercumbu, mencoba membalas setiap kecupan yang ada. Arkan yang mulia tidak tahan langsung membopong tubuh Reva ke dalam kamar dan meletakkan dengan lembut. Tanpa jeda, Arkan kembali membangkitkan gairah Reva. Dia tidak pernah merasa begitu menggebu saat bersama dengan Andine, tetapi dengan Reva, dia benar-benar tidak terkontrol. Reva yang mendapat perlakuan lembut semakin merasa bergairah. Dia membiarkan Arkan melakukan apa pun. Malam ini, udara di dalam kamarnya semakin panas karena gejolak hasrat dari keduanya. Tidak ada percakapan sama sekali. Reva dan Arkan hanya sibuk melepaskan satu per satu hasrat yang mulai memuncak. Nafsu keduanya benar-benar sudah tidak tertahan sama sekali. Bahkan Arkan sendiri lupa jika saat ini dia seharusnya sudah pulang. Dia lupa dengan statusnya yang merupakan suami orang lain. Dia hanya tahu, malam ini dia harus menghabiskan malam dengan Reva. Arkan menyatukan tubuhnya dengan Reva. Sementara Reva hanya bisa mendesis pelan saat Arkan mulai bersatu dengan tubuhnya. Suara desah dan racauan tidak jelas mulai terdengar. Keduanya benar-benar berpacu dengan gairah yang sudah sampai puncak. Keringat mengucur dari tubuh keduanya. Padahal AC di kamar Reva menyala, tetapi seperti tidak berfungsi sama sekali. Malam ini, hanya langit yang menjadi sakti seberapa bergairahnya kedua insan yang tidak memiliki ikatan tersebut. Beberapa menit setelah keduanya mencapai puncak, Arkan menidurkan tubuh di sebelah Reva. Dadanya naik-turun dengan napas menggebu. Hari ini dia cukup lelah, tetapi bibirnya malah menunjukkan senyum manis. Arkan yang sudah mengingat semuanya langsung menepuk kepala pelan. Dia mulai menyadari kebodohannya kali ini. Jika sampai terjadi sesuatu dengan Reva, apa yang akan dilakukannya nanti? “Reva …” panggil Arkan merasa bersalah, bagaimanapun Reva bukan lagi orang yang memiliki hubungan dengannya. Sungguh, Arkan tak mengerti kenapa dirinya sampai lepas kendali. “Aku takut kalau aku hamil, Arkan. Aku baru memulai karir dan kalau berita ini menyebar, bisa-bisa aku … aku tidak akan digunakan lagi di dunia hiburan,” jawab Reva dengan air mata yang mengalir begitu deras. Arkan menarik tubuh Reva dan mendekap lembut. Sebelah tangannya juga berusaha mengelus puncak kepala Reva, mencoba menenangkan wanita itu dari kecemasan. “Arkan, bagaimana kalau nantinya aku hamil? Apa kamu benar-benar mau bertanggung jawab?” tanya Reva dengan kedua mata sembab. Sejenak, Arkan diam tak berkata apa pun. Dia memasang raut wajah berpikir. Beberapa menit setelahnya dia membuang napas lirih dan menjawab, “Aku akan bertanggung jawab untuk semuanya, Reva. Kamu tenang saja.” Mendengar itu, Reva langsung mendekap tubuh Arkan. Bibirnya mengulas senyum lebar penuh kemenangan dan berkata, “Terima kasih, Arkan. Aku percaya padamu.” *** Andine tersentak, dan langsung menatap sekeliling serta bangkit. Semalam dia menunggu Arkan dan ketiduran di ruang tamu. Dia bahkan tidak mengenakan selimut sama sekali. Menyadari tidak ada yang membangunkannya, Andine yakin sang suami belum pulang. Dia segera keluar rumah—dan benar saja, tidak ada mobil suaminya. “Ke mana Mas Arkan?” tanya Andine dengan wajah bingung. Andine kembali melangkah masuk dan mengambil ponsel. Semalam dia menghubungi puluhan kali, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Pagi ini, Andine akan kembali melakukannya. Dia harus memastikan kalau sang suami baik-baik saja. Namun, tetap tidak ada jawaban. Andine yang keras kepala, tetap melakukannya. Dia berharap Arkan akan menjawab supaya hatinya cukup tenang. Sayangnya harapan hanya sekadar harapan. Wanita itu mulai menyerah setelah puluhan kali panggilannya tidak berbalas. Andine melangkah masuk. Dia akan mengambil tas dan melihat sendiri sang suami di kantor, tetapi tepat saat itu, suara mobil terdengar. Andine yang cukup hafal dengan suara mobil sang suami, segera menghentikan niat. Kakinya langsung melangkah ke arah pintu masuk. “Mas, kenapa baru pulang? Apa terjadi sesuatu dengan kamu?” tanya Andine menunjukkan jelas rasa khawatirnya. Wanita itu tidak bisa menahan kecemasannya. Dia sangat takut hal buruk menimpa sang suami. “Ada pekerjaan yang harus aku urus.” Arkan memilih menjawab seperti ini, dia berbalik dan melangkah pergi mengabaikan sang istri. “Mas, tunggu. Aku khawatir sekali kamu semalam nggak pulang.” Andine menyusul Arkan. “Mas, kamu nggak kenapa-kenapa, kan?” tanyanya lagi. “Andine, bisa diam nggak sih! Kamu itu berisik sekali! Aku baru pulang dari kerja. Capek. Ngantuk. Jadi, jangan buat kepalaku tambah pusing dengan pertanyaanmu itu, Andine,” ucap Arkan dengan suara meninggi. Jelas hal itu membuat Andine tersentak. Nyalinya kembali menciut saat melihat tatapan tajam dari arah suaminya. Padahal dia hanya cemas karena Arkan yang semalaman tidak pulang. “Jangan ganggu aku,” tegas Arkan sekali lagi. “Aku hanya mencemaskanmu, Mas,” cicit Andine mencoba memberanikan diri. “Berhenti berlebihan! Aku baik-baik saja!” sentak Arkan, dan langsung kembali melanjutkan langkahnya pergi dari hadapan Andine. Jujur, setiap kalimat yang keluar dari mulut Arkan begitu menyakitkan. Tidak sekali dua kali pria itu mengatakannya. Andine sendiri masih terus berusaha sabar. Andine yang hendak menangis, langsung menahan. Jika sampai dia menangis, hal itu akan membuat Arkan semakin kesal. Dia memilih melangkahkan kaki, mengikuti sang suami yang menuju ke kamar mereka. Di sana, Arkan langsung melepas jas dan kemeja, meletakkan asal. Andine mengambil pakaian sang suami dan bersiap pergi, tetapi langkahnya berhenti di kala dirinya menghirup aroma di pakaian sang suami. Keningnya langsung berkerut dalam, merasa ada yang mengganjal. “Kenapa seperti parfum wanita?” gumam Andine bingung. Andine kembali menciumi pakaian sang suami, tapi benar itu adalah parfum wanita. Dia sangat hafal parfum suaminya. Tampak raut wajahnya mulai menunjukkan jelas rasa curiga. Sang suami tidak pulang, dan tercium parfum wanita di tubuh suaminya itu. Kecurigaan menyelimuti dirinya. Namun, dia langsung menggelengkan kepala tegas, meyakinkan bahwa tak mungkin Arkan berbuat aneh-aneh. Meskipun Arkan selama ini tak pernah bersikap hangat padanya, tapi dia yakin Arkan tak akan melakukan sebuah tindakan yang merusak rumah tangga mereka. “Jangan mikir aneh-aneh, Andine. Aroma parfum ini mungkin saja aroma rekan bisnis Mas Arkan,” gumam Andine meyakinkan dirinya sendiri untuk berpikir positive.Arkan tak bisa tenang memikirkan perkataan Dimas. Pria tampan itu sejak tadi mengumpat kesal, karena Dimas terlalu ingin ikut campur dalam urusannya. Jika saja Dimas tak ikut campur, maka dia tidak akan seperti ini. Tatapan Arkan teralih pada foto pernikahannya dengan Andine di atas meja. Dia meraih bingkai foto itu, dan menatap penuh arti foto itu. Rasa kesal semakin timbul di dalam dirinya. Dia segera menyimpan foto itu ke dalam laci meja kerjanya. “Kenapa harus mikirin ucapan Dimas?” gerutu Arkan kesal pada dirinya sendiri. Tanpa mau lagi berpikir lebih, Arkan memutuskan bangkit berdiri seraya menyambar kunci mobil dan ponselnya. Lantas, dia hendak meninggalkan ruang kerjanya, tetapi seketika langkahnya terhenti di kala ada yang menerobos masuk ke dalam ruang kerjanya. “Pak, maaf, Bu Reva maksa masuk,” ucap sang sekretaris buru-buru, dengan nada panik. Hal yang membuatnya ketakutan adalah karena tadi tepat di kala Dimas pergi, Arkan berpesan padanya agar tidak membiarkan orang
Arkan duduk di kursi kebesarannya seraya membubuhkan tanda tangan yang diberikan oleh asisten pribadinya. Banyak project baru membuatnya harus berhati-hati dalam membaca laporan yang diberikan oleh asistennya itu. Sebab, jika salah langkah sedikit, maka semua akan kacau. “Laporan sudah selesai aku tanda tangani. Kau boleh selesaikan pekerjaanmu yang lain,” ucap Arkan dingin, seraya menyerahkan dokumen di tangannya pada sang asisten. “Baik, Pak. Saya permisi.” Sang asisten menundukkan kepala, lalu pamit undur diri dari hadapan Arkan. Arkan menyandarkan punggungnya seraya memejamkan mata singkat. Umpatan pelan lolos di bibirnya. Pria itu kesal pada diri sendiri yang belakangan ini memikirkan Andine. Entah, dia tak mengerti ada apa dengan dirinya sendiri. Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar, Arkan langsung berdecak tak suka. Padahal dia sudah mengatakan pada sang asisten untuk tidak mengganggunya. Namun, masih saja ada yang mengganggunya. “Masuk!” seru Arkan memberikan perintah
Andine sudah diperbolehkan untuk pulang dari rumah sakit. Beruntung dokter kandungan mengizinkannya. Sungguh, dia tak tahu bagaimana jadinya kalau sampai dokter kandungan tak mengizinkannya pulang. Jika dirinya berada di rumah sakit, maka pasti Arkan akan tahu tentang kondisi yang menimpa dirinya. Andine masih belum ingin menceritakan pada Arkan tentang kehamilannya. Wanita cantik itu ingin tetap merahasiakan lebih dulu. Bukan tak ingin bercerita, tetapi karena dirinya masih memilih untuk merahasiakan semua ini untuk sementara waktu. Andine bersyukur dirinya mendapatkan pertolongan dari Dimas. Dia tak tahu bagaimana dirinya jika tidak ada Dimas yang membantunya. Bukan hanya membantu saja, tetapi Dimas juga merahasiakan kehamilannya sesuai apa yang diinginkannya. Malam itu, Andine berkutat di dapur membuatkan makanan untuk dirinya dan Arkan. Dia tak terlalu banyak memasak, karena takut kelelahan. Menu makanan hanya sederhana. Cukup tiga menu saja, itu pun belum tentu Arkan akan maka
Reva bersembunyi di balik dinding, melihat Dimas yang kini melangkah. Hatinya mulai merasakan penasaran luar biasa. Detik itu juga, yang dilakukannya mengikuti Dimas, mengawasi dari kejauhan agar Dimas tak melihat keberadaannya. Namun, seketika raut wajah Reva berubah melihat Dimas masuk ke dalam ruang dokter kandungan. Kening wanita itu mengerut dalam, penasaran dalam dirinya semakin menjadi, menimbulkan kebingungan yang melanda. “Kenapa Dimas ke dokter kandungan?” gumam Reva bingung. Beberapa menit Reva tetap memilih menunggu di balik dinding, dia ingin menunggu sampai Dimas keluar dari ruang dokter kandungan. Hatinya benar-benar menjadi penasaran. Jika Dimas mememui dokter umum, maka dia tidak akan mungkin sampai menunggu Dimas seperti ini. Tak selang lama, Reva melihat Dimas keluar dari ruang dokter. Buru-buru, dia semakin bersembunyi, agar tidak ketahuan Dimas. Dia tak mau sampai Dimas melihat dirinya. “Pak, kondisi Bu Andine sebenarnya kurang baik. Kandungannya lemah. Teka
Reva mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Kedua tangannya memegang kemudi dengan erat, membuat otot di tangannya tercetak dengan jelas. Emosinya juga meningkat saat tadi Arkan yang awalnya ingin istirahat di rumahnya, malah memilih untuk pergi, dan dia yakin besar kemungkinan Arkan pulang ke rumah bukan ke kantor. Reva masih menatap jalanan dengan tatapan dingin, dan tersirat memancarkan emosi yang berkobar di dalam diri. Sungguh, dia ingin sekali memberi tahu Andine, tentang hubungannya dengan Arkan, tetapi semua itu tidak akan bisa dia lakukan. Bukan karena takut, tapi karena dia tak ingin nanti menimbulkan sebuah masalah. Reva mengumpat dalam hati, dan berusaha untuk tetap berjuang menenangkan emosi di dalam dirinya. Wanita itu terus melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Emosi di dalam diri, membuatnya memilih untuk mengebut di jalanan. Namun tiba-tiba … Brakkkk … Reva menabrak trotoar di kala dirinya tak mampu mengendalikan kemudi. Dia langsung merutuki d
Arkan mengendarai mobil dengan sangat cepat. Pikirannya cukup kacau karena Andine mulai berani menentang dirinya. Padahal sebelumnya itu istrinya adalah sosok yang sangat penurut, dan tidak berani menentang dirinya. Namun entah kenapa sekarang istrinya mulai berani padanya. Hal paling tergila adalah Arkan mulai memikirkan Andine. Seharusnya dia tak peduli sama sekali pada Andine, tapi dia tak mengerti kenapa belakangan ini dia memikirkan tentang Andine. Bahkan di kala istrinya itu mendiaminya saja, dia sangat tidak suka. “Shit!” umpat Arkan seraya memukul setir mobilnya. Pria tampan itu melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, guna menangkan segala pikirannya yang kacau. Tiba-tiba sesuatu hal muncul dalam benak Arkan. Pria itu langsung memutar balik, dan kini menuju rumah Reva. Dia ingin mencoba menenangkan dirinya dengan bertemu dengan Reva. Dia harap setelah bertemu dengan Reva akan membuat emosi di dalam dirinya terkendali. Tak selang lama, mobil yang dilajukan Arkan mulai tiba
“Pemotretan hari ini selesai. Good job, Reva.” Sang fotografer memuji kinerja Reva. Dia tampak puas dengan hasil foto Reva berpose di kolam renang begitu menakjubkan. Tidak susah untuknya mengatur Reva. Reva tersenyum lega, seraya memakai bathrobe. “Coba aku lihat hasil fotoku. Aku ingin tahu bagaimana hasil foto-fotoku.” Sang fotografer itu langsung menunjukkan foto yang dia ambil pada Reva. “Ini hasilnya sangat bagus. Kamu memang berbakat menjadi seorang model, Reva,” pujinya dengan senyuman bangga. Reva kembali tersenyum, di kala melihat hasil foto-foto yang diambil fotografer tampak menakjubkan. “Tentu saja aku berbakat.” Sang fotografer menurunkan kameranya. “Ngomong-ngomong tadi aku lihat ada seorang pria yang terus melihatmu. Aku rasa dia mengenalmu.” Kening Reva mengerut dalam. “Seorang pria? Siapa?” tanyanya penasaran ingin tahu siapa yang menatapnya. Sang fotografer menunjuk punggung pria yang berjalan pergi menjauh. “Dia. Pria pakai kemeja biru itu terus lihat kamu. A
Andine membuka pintu kamar dan melangkah keluar. Tangannya memegang koper dan menarik koper itu tanpa semangat. Entah kenapa dia merasakan tubuhnya masih terlalu lemah. Perutnya juga masih terasa mual. Padahal dia sudah meminum obat, tapi seperti tidak ada reaksinya sama sekali. Namun, meski demikian dia masih enggan jika harus diperiksa oleh dokter. Dia hanya ingin segera pulang, dan beristirahat di rumah. Langkah kaki Andine terhenti tepat di kala dia hendak menuruni undakan tangga. Tampak jelas raut wajahnya memancarkan kemuraman dan rasa sedih yang menyelimuti dirinya. Dia menarik napas panjang, dan mengembuskan napas pelan—bersiap untuk menuruni undakan tangga sambil mengangkat koper. Namun … “Biar aku yang mengangkat kopermu.” Dimas tiba-tiba muncul, dan mengambil alih koper Andine. Andine sedikit terkejut sambil menatap Dimas yang membantunya. “Dimas? B-biar aku saja. Koperku berat.” Dimas tersenyum. “Karena kopermu berat, aku menawarkan diri untuk membantumu. Kamu kan seor
Andine menuruni satu per satu anak tangga dengan raut wajah muram, dan terlihat jelas menunjukkan perasaan yang ditutupinya. Pikirannya benar-benar kacau. Bahkan semala, dia tidak tidur dengan nyenyak, karena banyak hal yang membebani pikirannya. Andine kini menarik napas dalam dan membuang secara perlahan. Dia mencoba untuk tegang tenang dan bersikap biasa. Dia tidak mau ada yang curiga dengan kondisi hatinya sekarang. Apalagi dirinya masih berada di lingkungan keluarga sang suami. Saat Andine berada di lantai bawah, tatapannya teralih pada Melly yang bercanda dengan Reva. Seperti biasa memang ibu mertuanya itu sangat dekat dengan Reva. Sangat berbeda jauh jika mertuanya itu berada di dekatnya. Hati Andine mendadak merasakan nyeri luar biasa. Dia bukan hanya mendapatkan luka dari suaminya saja, tetapi ibu mertuanya juga memberikan luka padanya seakan dirinya memang benar-benar tidak dianggap. Meski selama ini dia sudah berusaha sangat baik, tetap saja dirinya selalu salah di mata