“Kamu sudah cek semua jadwal hari ini, Dew?” tanya Arkan, tanpa menoleh pada karyawannya. Tatapannya fokus pada pekerjaannya yang hari itu cukup banyak.
Dewi yang merupakan sekretaris Arkan langsung menjawab, “Sudah, Pak. Semua rapat hari ini sudah selesai.” Arkan yang mendengar, hanya bergumam pelan. Dia kembali tenggelam dalam tumpukan dokumen yang harus diperiksanya. Hari ini banyak sekali rapat yang harus diselesaikan, membuatnya benar-benar sibuk. Ketukan pintu terdengar. Arkan langsung menyuruh seseorang di luar untuk masuk. Saat pintu terbuka, dia dibuat terkejut akan sosok yang baru saja muncul. “Aku boleh masuk, kan?” Arkan yang melihat Reva dengan penampilan seksi hanya diam dan menganggukkan kepala. Jelas Reva yang melihat menjadi bahagia. Dengan langkah anggun, wanita itu mendekat ke arah Arkan berada. Manik matanya tidak beralih sama sekali, memperhatikan setiap gerak pria tersebut. Hingga dia duduk di depan Arkan dan mengulas senyum lebar. “Kenapa kamu masih di sini, Reva? Ini sudah malam,” ucap Arkan datar. “Aku masih ada pemotretan di sini, Arkan. Jadi, aku baru pulang,” sahut Reva santai. “Kamu sendiri kenapa masih di sini?” “Aku harus mengerjakan banyak tugas,” jawab Arkan tenang. “Ah, iya. Sekarang kamu sudah menjadi pimpinan perusahaan dan harus menyelesaikan banyak tugas,” ucap Reva lembut, dan terdengar sangat menggoda. Arkan hanya mengulas senyum canggung. “Arkan, kamu masih banyak pekerjaan? Kalau nggak, aku mau mengajakmu makan malam,” ujar Reva tak sabar. Arkan menggelengkan kepala dan menjawab, “Aku masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, Reva. Besok ada rapat dengan para pemegang saham.” Reva yang mendengar, hanya manggut-manggut. Wajahnya berubah menjadi kesal, tetapi dia tetap berusaha tenang. Dia tak ingin menunjukkan sifatnya yang anggun. “Kalau begitu, aku pulang dulu. Kamu jaga kesehatan dan jangan lupa makan,” kata Reva pada akhirnya. Arkan hanya menganggukkan kepala. Reva bangkit dan melangkah pergi, tetapi baru beberapa langkah, dia kembali berhenti. Tubuhnya membungkuk dengan tangan memegang bagian perut erat. Reva mendesis, seakan merasakan sakit yang luar biasa, membuat Arkan langsung bangkit. “Reva, kamu kenapa?” tanya Arkan menunjukkan jelas kepedulian. “Perutku sakit, Arkan. Dari pagi aku belum makan apa pun,” jawab Reva, masih menahan sakit. Arkan tampak kesal. “Kenapa kamu belum makan apa pun?” “Aku sibuk, Arkan,” jawab Reva lagi. “Kamu boleh sibuk, tapi jangan pernah lupakan makan.” “Iya, Arkan. Maafkan aku.” “Aku akan meminta sekretarisku untuk memesan makanan. Duduklah,” kata Arkan mengajak Reva duduk di sofa yang ada di ruang kerjanya. Reva menggenggam punggung tangan Arkan dan menggelengkan kepala, seraya berkata, “Tidak perlu, Arkan. Aku mau pulang saja, tapi asistenku sudah pulang duluan, dan aku nggak bisa bawa mobil. Kamu bisa antar aku pulang?” Seketika, Arkan diam. Pria itu merasa ragu untuk mengatakan jawabannya, tetapi mendengar Reva yang terus mendesis menahan sakit, membuatnya menjadi tidak tega. “Aku akan antar kamu.” Reva tersenyum puas mendengar jawaban Arkan. *** “Ini rumahmu?” tanya Arkan saat sampai di depan sebuah rumah dengan lantai dua. Hanya rumah dengan gaya minimalis di sebuah perumahan yang memang dijaga begitu ketat. Mungkin karena yang menempati banyak sekali orang penting. Jadi, tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam. “Iya. Ayo masuk,” ajak Reva dengan senyuman di wajahnya. Arkan menganggukkan kepala. Dia membuka pintu dan melangkah pelan. Pria tampan itu masih memapah tubuh Reva yang terus memegang perut. Padahal di mobil tadi, Reva sudah menelan sebuah obat dan juga memakan sesuatu, tetapi entah kenapa belum juga membaik. “Arkan, aku mau ganti pakaian,” kata Reva saat sudah ada di dalam rumah. “Kamu bisa sendiri?” tanya Arkan dengan wajah cemas. Reva sedikit tersipu mendengar kepedulian Arkan. “Sebenarnya aku nggak bisa, tapi karena aku mau ganti pakaian, nggak mungkin kan aku mengajakmu?” Arkan hanya diam tak bisa berkata apa pun. Sebab, apa yang dikatakan Reva ada benarnya. Tak mungkin dia membantu Reva dalam mengganti pakaian. Ya, dia mengingat batasan antara dirinya dan Reva. “Aku masuk dulu.” Reva melangkah pergi, membuat Arkan mendesah kasar. Pria itu memilih untuk melangkah ke arah kursi, bingung untuk bersikap. Sementara di dalam kamar, Reva sudah merancang sebuah rencana. Dia berganti pakaian dengan pakaian yang terbuka. Pakaian yang dikenakannya juga cukup menerawang, membuat bagian dalamnya terlihat dengan jelas. Kakinya melangkah keluar dan menuju ke arah dapur. Wanita itu membuat sebuah minuman dan kembali ke ruang tamu. “Diminum dulu, Arkan,” ucap Reva lembut. Arkan mengalihkan pandangan. Kedua matanya semakin melebar terkejut saat melihat pemandangan di hadapannya. Jika saja bisa, dia pasti sudah menerkam wanita di depannya. Sayangnya Arkan masih cukup waras. Reva adalah mantannya. Wanita itu pernah meninggalkannya. Meski dia bilang masih mencintai, tidak serta-merta hal itu membuatnya bisa menyentuh Reva, kan? “Reva, kenapa kamu memaakai pakaian seperti itu?” tanya Arkan menegur Arkan. “Ah, maaf kalau pakaianku terbuka, Arkan. Aku kurang nyaman kalau memakai pakaian yang tertutup,” kata Reva sembari menyerahkan segelas minuman. Sengaja dia menundukkan tubuh, supaya Arkan bisa melihat bagian atasnya yang menyembul. Arkan tidak menjawab apa pun, tetapi napas yang cukup berat dan wajah yang memerah menunjukkan bahwa nafsunya sudah tidak terkendali. Dia meraih gelas dan meneguk minuman, hingga habis tak bersisa. Dia ingin meredam hasrat yang terus bergejolak. Namun, tubuhnya malah menunjukkan reaksi lain. Dia merasa ada dorongan yang begitu kuat. Tubuhnya juga mulai memanas, membuat Arkan mengendurkan ikatan dasi. Keringatnya juga semakin bercucuran. “Kamu kenapa, Arkan?” tanya Reva dengan pandangan mengamati. Arkan memperhatikan setiap lekuk tubuh Reva yang terpampang dengan jelas. Padahal dia sudah berusaha menahan, tetapi entah kenapa dia seperti tidak terkendali. Dengan cepat, Arkan bangkit dan mendorong tubuh Reva. “Arkan,” panggil Reva dengan suara sedikit mendesah. Tidak ada jawaban. Arkan malah mendekatkan tubuh, mengikis jarak yang ada diantara keduanya. Tatapan pria itu menatap Reva dengan tatapan penuh memuja, gelora gairah menggulung dalam dirinya. “Reva,” panggil Arkan, dengan nada rendah, yang terdengar menahan gelora hasrat yang ingin meledak dalam dirinya. Reva menggigit bibir bawahnya, membelai dada bidang Arkan. “Iya, Arkan … merindukanku, hm?” bisiknya serak dan sensual. Arkan mengumpat dalam hati, membawa tangannya membelai wajah Reva. “Aku nggak suka dalam keadaan seperti ini, Reva.” Reva tersenyum, dan mendekatkan bibirnya ke telinga Arkan, “Kenapa nggak suka? Aku malah suka keadaan seperti ini, Arkan.” Di sisi lain, Andine menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Wajahnya tampak cemas dan khawatir. Wanita cantik itu bolak-balik di depan teras rumah, menunggu Arkan pulang. “Ke mana Mas Arkan? Kenapa belum juga pulang? Apa terjadi sesuatu?” tanya Andine dengan diri sendiri, yang semakin khawatir.Arkan tak bisa tenang memikirkan perkataan Dimas. Pria tampan itu sejak tadi mengumpat kesal, karena Dimas terlalu ingin ikut campur dalam urusannya. Jika saja Dimas tak ikut campur, maka dia tidak akan seperti ini. Tatapan Arkan teralih pada foto pernikahannya dengan Andine di atas meja. Dia meraih bingkai foto itu, dan menatap penuh arti foto itu. Rasa kesal semakin timbul di dalam dirinya. Dia segera menyimpan foto itu ke dalam laci meja kerjanya. “Kenapa harus mikirin ucapan Dimas?” gerutu Arkan kesal pada dirinya sendiri. Tanpa mau lagi berpikir lebih, Arkan memutuskan bangkit berdiri seraya menyambar kunci mobil dan ponselnya. Lantas, dia hendak meninggalkan ruang kerjanya, tetapi seketika langkahnya terhenti di kala ada yang menerobos masuk ke dalam ruang kerjanya. “Pak, maaf, Bu Reva maksa masuk,” ucap sang sekretaris buru-buru, dengan nada panik. Hal yang membuatnya ketakutan adalah karena tadi tepat di kala Dimas pergi, Arkan berpesan padanya agar tidak membiarkan orang
Arkan duduk di kursi kebesarannya seraya membubuhkan tanda tangan yang diberikan oleh asisten pribadinya. Banyak project baru membuatnya harus berhati-hati dalam membaca laporan yang diberikan oleh asistennya itu. Sebab, jika salah langkah sedikit, maka semua akan kacau. “Laporan sudah selesai aku tanda tangani. Kau boleh selesaikan pekerjaanmu yang lain,” ucap Arkan dingin, seraya menyerahkan dokumen di tangannya pada sang asisten. “Baik, Pak. Saya permisi.” Sang asisten menundukkan kepala, lalu pamit undur diri dari hadapan Arkan. Arkan menyandarkan punggungnya seraya memejamkan mata singkat. Umpatan pelan lolos di bibirnya. Pria itu kesal pada diri sendiri yang belakangan ini memikirkan Andine. Entah, dia tak mengerti ada apa dengan dirinya sendiri. Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar, Arkan langsung berdecak tak suka. Padahal dia sudah mengatakan pada sang asisten untuk tidak mengganggunya. Namun, masih saja ada yang mengganggunya. “Masuk!” seru Arkan memberikan perintah
Andine sudah diperbolehkan untuk pulang dari rumah sakit. Beruntung dokter kandungan mengizinkannya. Sungguh, dia tak tahu bagaimana jadinya kalau sampai dokter kandungan tak mengizinkannya pulang. Jika dirinya berada di rumah sakit, maka pasti Arkan akan tahu tentang kondisi yang menimpa dirinya. Andine masih belum ingin menceritakan pada Arkan tentang kehamilannya. Wanita cantik itu ingin tetap merahasiakan lebih dulu. Bukan tak ingin bercerita, tetapi karena dirinya masih memilih untuk merahasiakan semua ini untuk sementara waktu. Andine bersyukur dirinya mendapatkan pertolongan dari Dimas. Dia tak tahu bagaimana dirinya jika tidak ada Dimas yang membantunya. Bukan hanya membantu saja, tetapi Dimas juga merahasiakan kehamilannya sesuai apa yang diinginkannya. Malam itu, Andine berkutat di dapur membuatkan makanan untuk dirinya dan Arkan. Dia tak terlalu banyak memasak, karena takut kelelahan. Menu makanan hanya sederhana. Cukup tiga menu saja, itu pun belum tentu Arkan akan maka
Reva bersembunyi di balik dinding, melihat Dimas yang kini melangkah. Hatinya mulai merasakan penasaran luar biasa. Detik itu juga, yang dilakukannya mengikuti Dimas, mengawasi dari kejauhan agar Dimas tak melihat keberadaannya. Namun, seketika raut wajah Reva berubah melihat Dimas masuk ke dalam ruang dokter kandungan. Kening wanita itu mengerut dalam, penasaran dalam dirinya semakin menjadi, menimbulkan kebingungan yang melanda. “Kenapa Dimas ke dokter kandungan?” gumam Reva bingung. Beberapa menit Reva tetap memilih menunggu di balik dinding, dia ingin menunggu sampai Dimas keluar dari ruang dokter kandungan. Hatinya benar-benar menjadi penasaran. Jika Dimas mememui dokter umum, maka dia tidak akan mungkin sampai menunggu Dimas seperti ini. Tak selang lama, Reva melihat Dimas keluar dari ruang dokter. Buru-buru, dia semakin bersembunyi, agar tidak ketahuan Dimas. Dia tak mau sampai Dimas melihat dirinya. “Pak, kondisi Bu Andine sebenarnya kurang baik. Kandungannya lemah. Teka
Reva mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Kedua tangannya memegang kemudi dengan erat, membuat otot di tangannya tercetak dengan jelas. Emosinya juga meningkat saat tadi Arkan yang awalnya ingin istirahat di rumahnya, malah memilih untuk pergi, dan dia yakin besar kemungkinan Arkan pulang ke rumah bukan ke kantor. Reva masih menatap jalanan dengan tatapan dingin, dan tersirat memancarkan emosi yang berkobar di dalam diri. Sungguh, dia ingin sekali memberi tahu Andine, tentang hubungannya dengan Arkan, tetapi semua itu tidak akan bisa dia lakukan. Bukan karena takut, tapi karena dia tak ingin nanti menimbulkan sebuah masalah. Reva mengumpat dalam hati, dan berusaha untuk tetap berjuang menenangkan emosi di dalam dirinya. Wanita itu terus melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Emosi di dalam diri, membuatnya memilih untuk mengebut di jalanan. Namun tiba-tiba … Brakkkk … Reva menabrak trotoar di kala dirinya tak mampu mengendalikan kemudi. Dia langsung merutuki d
Arkan mengendarai mobil dengan sangat cepat. Pikirannya cukup kacau karena Andine mulai berani menentang dirinya. Padahal sebelumnya itu istrinya adalah sosok yang sangat penurut, dan tidak berani menentang dirinya. Namun entah kenapa sekarang istrinya mulai berani padanya. Hal paling tergila adalah Arkan mulai memikirkan Andine. Seharusnya dia tak peduli sama sekali pada Andine, tapi dia tak mengerti kenapa belakangan ini dia memikirkan tentang Andine. Bahkan di kala istrinya itu mendiaminya saja, dia sangat tidak suka. “Shit!” umpat Arkan seraya memukul setir mobilnya. Pria tampan itu melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, guna menangkan segala pikirannya yang kacau. Tiba-tiba sesuatu hal muncul dalam benak Arkan. Pria itu langsung memutar balik, dan kini menuju rumah Reva. Dia ingin mencoba menenangkan dirinya dengan bertemu dengan Reva. Dia harap setelah bertemu dengan Reva akan membuat emosi di dalam dirinya terkendali. Tak selang lama, mobil yang dilajukan Arkan mulai tiba
“Pemotretan hari ini selesai. Good job, Reva.” Sang fotografer memuji kinerja Reva. Dia tampak puas dengan hasil foto Reva berpose di kolam renang begitu menakjubkan. Tidak susah untuknya mengatur Reva. Reva tersenyum lega, seraya memakai bathrobe. “Coba aku lihat hasil fotoku. Aku ingin tahu bagaimana hasil foto-fotoku.” Sang fotografer itu langsung menunjukkan foto yang dia ambil pada Reva. “Ini hasilnya sangat bagus. Kamu memang berbakat menjadi seorang model, Reva,” pujinya dengan senyuman bangga. Reva kembali tersenyum, di kala melihat hasil foto-foto yang diambil fotografer tampak menakjubkan. “Tentu saja aku berbakat.” Sang fotografer menurunkan kameranya. “Ngomong-ngomong tadi aku lihat ada seorang pria yang terus melihatmu. Aku rasa dia mengenalmu.” Kening Reva mengerut dalam. “Seorang pria? Siapa?” tanyanya penasaran ingin tahu siapa yang menatapnya. Sang fotografer menunjuk punggung pria yang berjalan pergi menjauh. “Dia. Pria pakai kemeja biru itu terus lihat kamu. A
Andine membuka pintu kamar dan melangkah keluar. Tangannya memegang koper dan menarik koper itu tanpa semangat. Entah kenapa dia merasakan tubuhnya masih terlalu lemah. Perutnya juga masih terasa mual. Padahal dia sudah meminum obat, tapi seperti tidak ada reaksinya sama sekali. Namun, meski demikian dia masih enggan jika harus diperiksa oleh dokter. Dia hanya ingin segera pulang, dan beristirahat di rumah. Langkah kaki Andine terhenti tepat di kala dia hendak menuruni undakan tangga. Tampak jelas raut wajahnya memancarkan kemuraman dan rasa sedih yang menyelimuti dirinya. Dia menarik napas panjang, dan mengembuskan napas pelan—bersiap untuk menuruni undakan tangga sambil mengangkat koper. Namun … “Biar aku yang mengangkat kopermu.” Dimas tiba-tiba muncul, dan mengambil alih koper Andine. Andine sedikit terkejut sambil menatap Dimas yang membantunya. “Dimas? B-biar aku saja. Koperku berat.” Dimas tersenyum. “Karena kopermu berat, aku menawarkan diri untuk membantumu. Kamu kan seor
Andine menuruni satu per satu anak tangga dengan raut wajah muram, dan terlihat jelas menunjukkan perasaan yang ditutupinya. Pikirannya benar-benar kacau. Bahkan semala, dia tidak tidur dengan nyenyak, karena banyak hal yang membebani pikirannya. Andine kini menarik napas dalam dan membuang secara perlahan. Dia mencoba untuk tegang tenang dan bersikap biasa. Dia tidak mau ada yang curiga dengan kondisi hatinya sekarang. Apalagi dirinya masih berada di lingkungan keluarga sang suami. Saat Andine berada di lantai bawah, tatapannya teralih pada Melly yang bercanda dengan Reva. Seperti biasa memang ibu mertuanya itu sangat dekat dengan Reva. Sangat berbeda jauh jika mertuanya itu berada di dekatnya. Hati Andine mendadak merasakan nyeri luar biasa. Dia bukan hanya mendapatkan luka dari suaminya saja, tetapi ibu mertuanya juga memberikan luka padanya seakan dirinya memang benar-benar tidak dianggap. Meski selama ini dia sudah berusaha sangat baik, tetap saja dirinya selalu salah di mata